Rabu, 11 September 2019

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA MENGENAI BLOK AMBALAT MENURUT PERSPEKTIF UNCLOS 1982











FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA

SKRIPSI

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA MENGENAI BLOK AMBALAT MENURUT PERSPEKTIF UNCLOS 1982


Disusun Oleh:

Nama                                       : Wurika Retno Safitri
NPM                                       : 3012210432
Bagian                                     : Hukum Laut
Program Kekhususan              : Hukum Transnasional (PK-VI)




UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM
JAKARTA
2016





ABSTRAK


Konsepsi Negara Kepulauan (archipelagic state) yang ada di dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957 tersebut telah diterima dalam Konferensi Hukum Laut PBB ke III. Negara Indonesia memiliki batas wilayah laut dengan 10 negara tetangga, salah satunya Negara Malaysia yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan Indonesia. Konflik bilateral antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas-batas wilayah Negara sebenarnya sudah muncul ketika terjadinya sengketa Kalimantan Utara pada masa pemerintah Bung Karno di era Orde Lama, dan yang terakhir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berakhirnya kedua pulau tersebut jatuh ke tangan Malaysia atas keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002. Sengketa batas wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia muncul lagi ketika Malaysia mengklaim Blok Ambalat di Laut Sulawesi setelah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi milik Malaysia, kini timbul klaim perebutan Blok konsesi Ambalat. Blok Ambalat adalah kelanjutan alamiah daratan Kalimantan Indonesia, batuan dasarnya adalah bagian dari lempeng benua pembentukan Kalimantan. Batuan sedimen yang berada di atasnya berasal dari daratan Kalimantan yang kemudian ditransport melalui sungai kayan untuk kemudian diendapkan membentuk delta yang besar di landas kontinen yang bersangkutan. Konflik Blok Ambalat ini terjadi tidak terlepas dari kemenangan Malaysia atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang menyatakan bahwa sebuah pulau berhak memiliki laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri dan Malaysia secara sepihak menerapkan prosedur penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) dari kedua pulau tersebut. Hal itu jelas-jelas tidak benar karena tidak sesuai dan bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut. Indonesia menolak klaim Malaysia dengan argumen bahwa menurut sejarah riwayat Indonesia, wilayah Blok Ambalat merupakan bagian dari Indonesia. Konvensi Hukum Laut PBB yang telah diratifikasi dalam UU No. 17 tahun 1984, ternyata Blok Ambalat juga diakui dunia Internasional sebagai wilayah Indonesia. Skripsi ini membahas tentang cara yang dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia harus bertindak menyelesaikan sengketa perbatasan maritim ini dengan tetap melakukan perundingan secara bilateral dengan Malaysia dan sebaiknya tidak perlu membawa sengketa ini kepada Mahkamah Internasional maupun ITLOS, dikarenakan posisi Indonesia yang sudah menguntungkan. Maka cukup diselesaikan secara kekeluargaan kedua Negara yang bertetangga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.



ABSTRACT

The archipelagic state's conception of the Djuanda Declaration of 1957 was adopted at the 3rd UN Conference on the Law of the Sea. The state of Indonesia has a maritime boundary with 10 neighboring countries, one of which is Malaysia which is mostly bordered by Indonesia. The bilateral conflict between Indonesia and Malaysia regarding the boundaries of the State has actually emerged when the North Kalimantan dispute occurred during the Bung Karno government in the Old Order era, and the last conflict over the seizure of Sipadan Island and Ligitan Island which ended both islands fell to Malaysia over the decision of the International Court of Justice in 2002. The maritime boundary dispute between Indonesia and Malaysia reappeared when Malaysia claimed Ambalat Block in the Sulawesi Sea after Sipadan Island and Ligitan Island belonged to Malaysia, now there is a claim to seize Ambalat concession block. Ambalat block is a natural continuation of mainland Kalimantan Indonesia, rock basically is part of continental plate forming Kalimantan. The sedimentary rocks above it are derived from the Bornean mainland which are then transported through the kayan river to be deposited to form a large delta on the continental shelf. This Ambalat Block conflict is inseparable from Malaysia's victory over the ownership of Sipadan Island and Ligitan Island, which states that an island is entitled to own the territorial sea, its exclusive economic zone and its own continental shelf and Malaysia unilaterally implements the archipelagic baseline procedure of both islands. It is clearly not true because it is not in accordance and contrary to the Sea Law Convention. Indonesia rejects Malaysia's claim with the argument that according to the history of Indonesia, Ambalat Block is part of Indonesia. The UN Conference on the Law of the Sea Convention which has been ratified in Law no. 17 years 1984, Ambalat Block was also recognized internationally as the territory of Indonesia. This thesis discusses the possible ways to resolve the Ambalat Block dispute between Indonesia and Malaysia. It can be concluded that the Government of Indonesia must act to resolve this maritime border dispute by continuing to negotiate bilaterally with Malaysia and should not have to bring this dispute to the International Court of Justice or ITLOS, due to Indonesia's already profitable position. Then simply settled in a kinship between the two neighboring countries. The method used in this research is normative law research.




DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI....................................... i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
ABSTRAK................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................................ vii
BAB I           PENDAHULUAN
                     A. Latar Belakang ................................................................................ 1
                     B. Pokok Permasalahan .................................................................. .... 8
                     C. Tujuan Penulisan ........................................................................ .... 8
                     D. Kerangka Konseptual..................................................................     8
                     E. Metode Penelitian........................................................................     10
                     F. Sistematika Penulisan ................................................................. .... 14

BAB II         TINJAUAN TEORI TENTANG HUKUM LAUT INTERNASIONAL
                     A. Hukum Laut Internasional..........................................................     17
  B. Rezim Wilayah Perairan Laut Indonesia....................................     23
1. Perairan Pedalaman...................................................................... 23
2. perairan Kepulauan ..................................................................... 24
3. Laut Teritorial ............................................................................. 24
4. Zona Tambahan ........................................................................... 26
5. Zona Ekonomi Eksklusif ............................................................. 27
6. Landas Kontinen ......................................................................... 29
7. Laut Lepas ................................................................................... 32
8. Kawasan ...................................................................................... 34
C. Cara Penyelesaian Sengketa Internasional..................................     35
1. Penyelesaian Cara Damai ............................................................ 36
2. Penyelesaian Cara Paksa/Kekerasan ........................................... 41
D. Cara Penyelesaian Sengketa Menurut UNCLOS 1982 .............. .... 42
     1. ITLOS .................................................................................... .... 42
     2. Arbitral Tribunal .................................................................... .... 43
     3. Special Arbitral Tribunal............................................................. 45
     4. ICJ ............................................................................................... 47

BAB III        SENGKETA BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA DI WILAYAH TERITORIAL INDONESIA
                     A. Perjanjian-Perjanjian Tentang Batas Wilayah Indonesia Dengan Malaysia                        50
                          1. Perjanjian-Perjanjian Yang Sudah Selesai ............................ .... 50
                          2. Perjanjian-Perjanjian Yang Masih Dalam Tahap Penyelesaian   56
                     B. Asal-Muasal Timbulnya Sengketa.............................................. .... 61
                     C. Deskripsi Geografis Blok Ambalat dan Ambalat Timur............ .... 69
                     D. Klaim Indonesia Tentang Blok Ambalat.................................... .... 78
1. Ambalat Sebagai Kelanjutan Alamiah Kalimantan Timur ........ 78
2. Implikasi Putusan Mahkamah Internasional Tahun 2002 ......... 81
3. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan ....................................... 83
4. Konsesi Minyak Yang Diberikan Indonesia .............................. 87
5. Keberadaan Mercusuar Di Karang Unarang .............................. 89
6. Aspek Historis ........................................................................... 92
E. Klaim Malaysia Tentang Blok Ambalat .......................................... 94
1. Peta 1979 Malaysia Dan Klaim Uniteral Ambalat .................... 94
2. Kemenangan Malaysia Dalam Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan                 97
3. Konsesi Minyak Yang Diberikan Malaysia ............................... 98

BAB IV        ANALISA PENYELESAIAN SENGKETA BLOK  AMBALAT MENURUT PERSPKTIF HUKUM LAUT ............................        100
A.    Penyelesaian Sengketa Menurut Konvensi Hukum Laut ......        102
1.   Perundingan Bilateral Kedua Negara ...............................        104
2.   International Tribunal For The Law Of The Sea ..............        108
3.   Penerapan Maritime Joint Development Zone ..................        109
B.     Upaya Negara Indonesia Dalam Menghadapi Klaim Malaysia Atas Blok Ambalat .........................................................................        113
1.   Langkah Hukum Negara Indonesia ...................................        113
2.   Mendepositkan Titik Pangkal Maupun Garis Pangkal Untuk Didaftarkan Di PBB ..........................................................        119

BAB V  PENUTUP
                     A. Simpulan .................................................................................       126
                     B. Saran .......................................................................................       129

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada taraf integrasi masyarakat dunia saat ini, masyarakat-masyarakat sudah terorganisir dalam suatu satuan-satuan politik yang bebas satu dari yang lainnya sebagai Negara yang berdaulat, dimana masing-masing Negara tersebut mempunyai Pemerintah sendiri, penduduk dan wilayah. Suatu Negara hanya dapat berfungsi berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya, yang secara internal diwujudkan dalam bentuk supremasi dari lembaga-lembaga pemerintah dan secara eksternal dalam bentuk supremasi Negara sebagai subyek hukum internasional.[1] Dalam hal itu, konsep dasar dari ruang berlakunya kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi Negara dibatasi oleh wilayah Negara itu, sehingga Negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.[2] Pengertian Negara disini tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar Negara sebagai suatu kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya masing-masing. Dengan demikian, wilayah Negara menjadi konsep yang paling mendasar (fundamental) dalam hukum internasional, untuk menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dan eksklusif Negara dalam batas-batas wilayahnya.[3]
      Peranan penting dari wilayah Negara dalam hukum internasional tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat dalam pelbagai instrument internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal dari suatu Negara.[4] Meskipun demikian, sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi dewasa ini, dalam hubungan antar Negara tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilayah Negara. Hingga saat ini kedaulatan teritotial tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah Negara.[5] Esensi dari kedaulatan territotial terletak pada kondisi factual maupun legal sehingga suatu wilayah dapat dianggap berada dibawah kedaulatan suatu Negara tertentu. Dengan demikian, dalam suatu sengketa antara dua Negara yang berkaitan dengan kepemilikan terhadap suatu wilayah, yang akan dijadikan pertimbangan oleh Mahkamah adalah argumentasi hukum dari salah satu pihak yang dianggap paling kuat.[6] Menyindir sedikit pada sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, karena kedua belah pihak dianggap tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat, Mahkamah Internasional harus mencari dasar lain untuk menetapkan pihak mana yang dianggap memiliki kedaulatan, yaitu pendudukan yang effektif (effective occupation) disertai dengan bukti-bukti pelaksanaannya.
      Dalam praktiknya sengketa kewilayahan secara garis besarnya dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu dalam bentuk klaim terhadap seluruh wilayah dari suatu negara atau dapat juga dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari wilayah negara yang berbatasan. Tuntutan terhadap wilayah atau bagian wilayah dari suatu Negara dapat didasarkan pada berbagai macam hal mulai dari bentuk klasik seperti okupasi atau preskripsi, sampai kepada bentuk paling mutakhir misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination), dengan dukungan berbagai faktor yang bersifat politis maupun hukum, misalnya kelanjutan geografis (geographical contiguity), tuntutan sejarah atau faktor ekonomi.[7]
      Mengetahui sengketa-sengketa tentang kedaulatan dan yurisdiksi Negara di laut mulai bermunculan, pengaturan mengenai hal itu juga mulai dilakukan peninjauan kembali terhadap Konvensi-konvensi sebelumnya yang telah ada mengatur mengenai kedaulatan dan yusridiksi Negara di laut. Berikut uraian mengenai penyelesaian sengketa secara umum; Penyelesaian sengketa Internasioanal dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara damai dan dengan perang.[8] Secara sederhana dua mekanisme tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a.       Secara damai
1)      Litigasi: Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional (melalui International Court of Justice dan International Criminal Court)
2)      Non Litigasi: Negosiasi, mediasi, jasa baik, konsiliasi, penyelidikan, penemuan fakta, penyelesaian regional, penyelesaian dibawah wibawa PBB (Pasal 33 Piagam PBB).
b.      Melalui kekerasan yaitu retorsi, reprisal (pembalasan), blockade masa damai, dan perang. Pasal 51 Piagam PBB memungkinkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa dengan alasan self defence.
      Setelah melalui perundingan yang cukup panjang, Negara-negara peserta Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 pada akhirnya telah menyepakati Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Konvensi ini mengatur tentang segala aspek kegiatan di laut, seperti misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut, riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih teknologi dan penyelesaian sengketa tentang masalah-masalah kelautan.[9]
   Dalam hal ini, penulis menemukan sengketa Internasional (Indonesia-Malaysia) dimana kedua Negara tersebut termasuk anggota ASEAN yang sampai sekarang belum menemukan titik terang mengenai penyelesaian sengketanya. Sengketa tersebut terdapat di dalam perairan Indonesia dimana Ambalat yang merupakan bagian wilayah kedaulatan Indonesia telah diklaim oleh Malaysia. Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970.
Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus Ambalat merupakan permasalahan yang sangat krusial bagi kedua belah pihak baik bagi Indonesia maupun bagi Malaysia karena masalah Ambalat merupakan masalah kedaulatan dan konsitusi suatu negara, berarti jika suatu wilayah di rampas (diambil) oleh negara lain maka pemerintah yang bersangkutan akan mempertahanakan kedaulatan wilayahnya dengan cara apapun baik secara kekerasan (militer) maupun diplomasi untuk mempertahanakan kedaulatannya. Apalagi ditambah dengan adanya kandungan sumber daya alam yang sangat melimpah di wilayah perairan Ambalat yaitu yang berupa minyak dan gas bumi. Kandungan minyak dan gas bumi di dua lempengan East Ambalat dan Blok East Ambalat jika dieksploitasi memberi potensi keuangan sebesar Rp 4.200 triliun.
Sejak tahun 1979, Malaysia telah mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu sebagai miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya. Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi oleh pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan Blok East Ambalat sebagai ND 7 atau Balok Z.2.[10]
Sejak awal pembuatan peta tahun 1979, Malaysia ditentang oleh negara-negara tetangga di ASEAN karena tidak mematuhi hukum Internasional (resistant state objectors). Penentuan dan pembuatan peta wilayah laut mensyaratkan adanya keterlibatan negara-negara tetangga lainnya. Tindakan sepihak tersebut bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1982.[11]
“Pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi tentang hukum laut tumbuh dan berkembang melalui adanya hukum kebiasaan internasional, suatu pemikiran-pemikiran yang masih sangat sederhana terkait bagaimana dengan penggunaan dan pemanfaatan laut, karena hukum internasional akan dapat menjadi hukum yang lebih efektif dan dapat diterima masyarakat internasional, apabila dapat memberi manfaat bersama untuk Negara-negara. Untuk mengamati perkembangan dalam sengketa mengenai kedaulatan wilayah dan laut maka diperlukan suatu penelitian dan analisis atas kepentingan-kepentingan yang mendasari sikap-sikap Negara sebagai anggota atau bagian dari masyarakat internasional.”
            Berdasarkan hal tersebut diatas dan untuk mengkaji lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan wilayah yuridiksi perairan suatu Negara dalam Hukum Laut Internasional terkhususnya pengaturan mengenai pengklaiman tapal batas kontinental Blok Ambalat yang dilakukan oleh Malaysia secara sepihak, maka Penulis merasa tertarik untuk mengangkat perihal sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia dalam sebuah proposal dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA MENGENAI SENGKETA BLOK AMBALAT MENURUT PERSPEKTIF UNCLOS 1982”




    B.    Pokok Permasalahan
           1.      Bagaimana penyelesaian sengketa Blok Ambalat menurut perspektif Konvensi Hukum Laut
                  (UNCLOS 1982) ?
    C.     Tujuan Penulisan
           1.      Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian sengketa Blok Ambalat menurut perspektif
                  Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982).
    D.    Kerangka Konsepstual
            Penulisan untuk skripsi ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai pengaturan dalam menyelesaikan Sengketa yang terjadi pada dua Negara tetangga terkhusus dalam sengketa wilayah kedaulatan perbatasan laut menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982.

    E.    Metode Penelitian
            Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
       1.      Metode Penelitian
            Metode penelitian yang dipakai ialah metode penelitian Normatif yaitu suatu penelitian kepustakaan, penelitian terhadap data sekunder.[1] Menurut Soekanto dan Mamudji (1986), penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (di samping adanya penelitian hukum sosiologi atau empiris yang terutama meneliti data primer).[2]
       2.      Jenis Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat monodisipliner dan interdisipliner. Karena, di dalam penelitian terdapat kegiatan yang menjelaskan:
-          Untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positif mengenai suatu masalah yang tertentu
-          Untuk menyusun dokumen-dokumen hukum
-          Untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu
-          Untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum, khususnya apabila kita mencari asas hukum, teori hukum, dan system hukum, terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang baru, dan system hukum nasional (yang baru).
    3.      Sumber Data
Data yang diperlukan:
            Data sekunder merupakan  data yang mendukung sumber data primer berupa data dari buku-buku literature, peraturan-peraturan dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
     4.      Metode Pengumpulan Data
            Studi pustaka data yang diteliti dalam suatu penelitian dapat berwujud data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Dengan demikian, data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui bahan kepustakaan.
      5.      Metode Analisis Data
            Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data secara kualitatif, yaitu “Segala sesuatu yang dinyatakan responden, baik secara tertulis maupun lisan serta perilaku nyata yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.”
            Penggunaan metode analisis kualitatif dalam penelitian adalah dengan cara membahas pokok permasalahan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari hasil penelitian di lapangan yang kemudian dianalisis secara kualitatf untuk pemecahan. “Analisis ini dilakukan dengan bersamaan proses data. Adapun model analisis yang digunakan yaitu model analisis interaktif yang didukung proses triangulasi mencakup  metode-metode, kajian ulang dan meliputi praktek-praktek yang biasanya diikuti untuk memperkirakan validitas dan reliabilitas temuan-temuan penelitian.”[3] Sedangkan yang dimaksud dengan metode analisis interaktif, ialah model analisa yang terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu sebagai berikut:
a.       Reduksi data
      Yaitu bentuk analisa yang mempertegas, memperpendek, membuat focus, membuang hal-hal tidak penting yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
b.      Sajian data
      Yaitu sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan.
c.       Kesimpulan
      Setelah memahami maksud berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pertanyaan-pertanyaan, alur sebab akibat akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan.

     F.     Sistematika Penulisan
            Adapun sistematika penulisan ini terbagi dalam lima bab, yaitu bab satu yang merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konseptual, metode penulisan dan sistematika penulisan.
            Bab kedua merupakan tinjauan teori tentang hukum laut internasional, yang berisikan pengertian hukum laut yang terdiri dari territorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen. Juga menjelaskan teori konvensi, cara penyelesaian sengketa internasional, dan penyelesaian sengketa menurut UNCLOS.
            Bab ketiga berisikan perjanjian-perjanjian tentang batas wilayah yang telah dilakukan antara Indonesia dengan Malaysia, bagaimana asal-muasal sengketa Blok Ambalat, deskripsi geografis Blok Ambalat, beserta argumentasi Indonesia dan Malaysia yang disampaikan wakil-wakil kedua Negara dalam berbagai tahap pemeriksaan.
            Bab keempat merupakan penyelesaian sengketa Blok Ambalat dilihat dari perspektif Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982).
            Sebagai bab terakhir, bab kelima merupakan bab penutup dari penulisan ini yang berisikan kesimpulan yang dapat ditarik dari bab-bab sebelumnya dan beberapa saran jika diperlukan.



BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A.    Hukum Laut Internasional
Laut merupakan suatu batas Negara dengan Negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula merupakan batas kekusaan suatu Negara, sejauh garis terluar batas wilayahnya.[1] Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu Negara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu Negara dapat berakibat fatal, bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan, dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang lebih baik bagi setiap Negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan kepentingan Negara lain.[2]
Hubungan antara masyarakat suatu bangsa dengan laut di sekitarnya merupakan hubungan historis yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, masyarakat dan Negara. Telah berabad-abad lamanya laut merupakan tempat bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sumber hayati serta media perhubungan, terutama mereka yang memusatkan kehidupannya di pantai. Kegiatan masyarakat untuk menangkap ikan, kultivasi di laut, perhubungan antar pulau yang bersifat historis tersebut membutuhkan perlindungan pemerintah masing-masing.[3]
Penentuan batas wilayah yang meliputi kelautan di dalam perbuatannya perlu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain, sehingga kepentingannya sama-sama berjalan. Ketentuan yang dikeluarkan dimaksudkan agar berlaku secara umum sepanjang dapat diterapkan pada kondisi wilayah laut suatu Negara, kecuali bagi Negara-negara pantai yang wilayah lautnya tidak memenuhi batas yang ditentukan, mengingat batas-batas yang dimaksud merupakan batas maksimal yang dapat dimanfaatkan oleh Negara pantai.[4]
Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh terhadap laut teritorial negaranya seperti yang tertulis dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 Pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut:

“The sovereignty of a coastal state extends, beyond its land territory and internal water and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic water, to an adjacent belt of sea, describe as the territorial sea.”[5]
Kedaulatan dari Negara pantai menyambung keluar dari wilayah daratan dan perairan pedalamannya atau perairan kepulauannya ke kawasan laut yang disebut Laut Teritorial.[6]
Kedaulatan ini menyambung ke ruang udara di atas laut teritorial, demikian pula ke dasar lautan, tanah serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta Negara-negara akan melaksanakan kedaulatannya atas laut teritorial dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan konvensi ini dan aturan-aturan lain dari hukum internasional.[7]
Kedaulatan Negara atas laut teritorial bersifat teritoir atau kewilayahan, oleh karena itu mempunyai kedaulatan mutlak untuk menggali dan memanfaatkan sumber alam yang terdapat di dasar laut, tanah di bawahnya serta kolom air di atasnya. Sedangkan masyarakat internasional hanya dapat mempergunakan wilayah tersebut secara sangat terbatas, yaitu melintas apabila diperlukan.[8]
Pada saat ini kegiatan-kegiatan manusia di laut sudah sedemikian berkembang, sehingga apabila tidak dibatasi dapat membahayakan kepentingan-kepentingan Negara lain. Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS) 1982 bertujuan dalam pembukaan sebagai berikut:[9]

A legal order for seas and oceans which would facilitate international communication and promote their resources, the study, protection and preservation of marine environment and conservation of living resources theorof.”

Sampai dengan Konvensi Hukum Laut ke-III yang dibuka di Caracas pada tahun 1973, tidak ada kesatuan pandangan tentang dasar-dasar untuk menetapkan lebar laut wilayah, yang pada akhirnya ditetapkan bersama-sama masyarakat bangsa-bangsa dalam Konvensi Hukum Laut 1982, sejauh 12 mil.[10]
Diluar laut wilayah, pada hakekatnya semua Negara tetap menghendaki kebebasan-kebebasan dalam memanfaatkan sumber daya alam, pelayaran, terbang melintas dan lain sebagainya, namun kebebasan-kebebasan tersebut dalam perkembangannya semakin terbatas, terutama pada wilayah perairan yang bersambungan dan berbatasan dengan laut wilayah, hal mana disebabkan oleh “merayapnya” tuntutan yurisdiksi Negara-negara pantai, seperti yang kemudian kita saksikan pengukuhannya dalam Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusif.[11]
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, telah diratifikasi oleh 60 negara pada tanggal 16 November 1993, dan berlaku efektif sebagai Perjanjian/Treaty setelah setahun kemudian yaitu tanggal 16 November 1994.[12] Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, maka mengandung konsekuensi yang perlu segera dilakukan antara lain adalah penyelesaian masalah-masalah perbatasan wilayah serta pengaturan rejim-rejim hukum perairan kepulauan. Jauh sebelum UNCLOS 1982 berlaku secara efektif, Indonesia telah melakukan perjanjian batas wilayah laut dengan beberapa Negara, baik batas laut wilayah maupun batas landas kontinen.[13]
Perjanjian-perjanjian batas landas kontinen yang telah disepakati antara lain: di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan antara Indonesia dan Malaysia tahun 1969; di Selat Malaka bagian Utara antara Indonesia, Malaysia dan Thailand tahun 1971; di Selat Malaka bagian Utara dan di Laut Andaman antara Indonesia dan Thailand tahun 1971; di Laut Arafuru sebelah timur, di pantai selatan Pulau Irian sebelah barat dan di pantai utara Pulau Irian serta sebelah selatan Kepulauan Tanimbar, selatan Pulau Roti dan Timor antara Indonesia dan Australia tahun 1971; di daerah antara Sumatera dan Nicobar Besar antara Indonesia dan India tahun 1974; di Laut Andaman antara Indonesia dan Malaysia dan Thailand tahun 1975. Sedangkan perjanjian-perjanjian garis batas laut wilyah yang telah disepakati antara lain: di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia tahun 1970 dan di Selat Singapura antara Indonesia dan Singapura tahun 1973.[14]



B.     Rezim Wilayah Perairan Laut Indonesia
Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (Selanjutnya disebut UNCLOS 1982)[15], ditentukan bahwa zona maritim yang dapat diklaim oleh suatu negara meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan (khusus bagi Negara Kepulauan), laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Masing-masing zona maritim tersebut memiliki status hukum tertentu, sebagai berikut:[16]
1.      Perairan Pedalaman
Merupakan perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut teritorial suatu Negara.[17] Sungai, teluk, pelabuhan serta bagian-bagian perairan lain sepanjang berada pada sisi darat dari garis pangkal.[18] Dengan demikian, batas terluar dari perairan pedalaman bagi suatu Negara pantai biasa adalah garis pangkal, yang dapat berupa garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus, atau kombinasi dari keduanya. Sedangkan bagi Negara kepulauan berlaku ketentuan khusus, yaitu perairan pedalaman dapat ditetapkan dengan menarik suatu garis penutup pada mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang berada pada perairan kepulauannya.[19] Pada perairan ini, negara pantai memiliki kedaulatan yang melingkupi perairan, ruang udara di atasnya beserta dasar laut dan tanah di bawahnya.[20]
2.      Perairan Kepulauan
Merupakan perairan yang terletak pada sebelah dalam dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur dan terdapat pembatasan kedaulatan di dalamnya. Kedaulatan negara kepulauan di perairan ini dibatasi dengan kewajiban untuk memberikan akomodasi bagi pelayaran internasional dalam bentuk hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan.[21]
3.      Laut Teritorial
Merupakan wilayah yang menjadi tanggungjawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dan pada wilayah ini berlaku hukum nasional negara tersebut.[22] Laut teritorial telah diatur oleh Konvensi, yaitu yang terdapat dalam Bab II dari mulai Pasal 2-32. Bab II Konvensi Hukum Laut 1982 berjudul “Territorial Sea and Contiguous Zone”. Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi sebagai berikut:[23]
1.      The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea;
2.      This sovereignty extends to the air space over the territory sea as well as to its bed and subsoil.
3.      The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law.


Pasal 2 ini menegaskan bahwa kedaulatan Negara pantai mencakup wilayah darat, perairan pedalaman, perairan kepulauan kalau Negara kepulauan, dan sampai laut teritorial atau laut wilayah. Kedaulatan tersebut meliputi ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya.[24]
Di dalam laut teritorialnya, sebuah Negara pantai memiliki kedaulatan penuh atau sovereignty. Lebar laut teritorial yang diperbolehkan UNCLOS 1982 adalah tidak melebihi 12 mil laut dari garis pangkal. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 3 sebagai berikut:
Every State has the right to establish the breadth or its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical miles, measured from baselines determined in accordance with this Convention.”[25]



4.      Zona Tambahan
Setiap Negara pantai yang laut teritoralnya melebihi 12 mil laut berarti ia juga akan mempunyai zona tambahan (contiguous zone) yang mempunyai peranan penting dalam keamanan dan pembangunan ekonominya.[26]
Konsep zona tambahan sudah diatur oleh Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu yang terdapat dalam Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut:[27]

1.      In a zone contiguous to its territotial sea, described as the contiguous zona, the coastal State may exercise the control necessary to:
(a)   Prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations within its territory or territorial sea;
(b)   Punish infringement of the above laws and regulations committed within its territory or territorial sea.
2.      The contiguous zone may not extend beyond 24 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.


Di zona tambahan setiap Negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau sanitasi, dan menghukum para pelakunya. Setiap Negara pantai mempunyai zona tambahan yang jauhnya tidak melebihi 24 mil yang diukur dari garis pangkal dimana lebar laut teritorial diukur atau sejauh 12 mil diukur dari laut teritorial suatu Negara pantai. Status zona tambahan berbeda dengan status laut teritorial, kalau laut teritorial adalah milik kedaulatan suatu Negara pantai secara mutlak, sedangkan status zona tambahan adalah tunduk pada rejim yurisdiksi pengawasan Negara pantai, bukan bagian dari kedaulatan Negara.[28]
5.      ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif)
Perkembangan zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) mencerminkan kebiasaan internasional (international customs) yang diterima menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law) karena sudah terpenuhi dua syarat penting, yaitu praktik Negara-negara (state practice) dan opinion juris sive necessitates. Zona ekonomi eksklusif bagi Negara berkembang seperti Indonesia adalah vital, karena di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya alam hayati dan non hayati, sehingga mempunyai peranan sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan Negara.[29]
Di dunia ini ada 15 negara yang mempunyai leading exclusive economic zone, yaitu Amerika Serikat, Prancis, Indonesia, Selandia Baru, Australia, Rusia, Jepang, Brasil, Kanada, Meksiko, Kiribati, Papua Nugini, Chili, Norwegia, dan India. Indonesia beruntung sekali termasuk 1 dari 15 negara yang mempunyai zona ekonomi eksklusif sangat luas bahkan termasuk tiga besar setelah Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sekitar 1.577.300 square nautical miles.[30] Dengan status Indonesia yang memiliki zona ekonomi eksklusif seperti itu, sudah seharusnya Indonesia menjadi Negara yang subur, makmur, sejahtera, tetapi bukti menunjukkan sebaliknya, sehingga harus dicarikan solusinya.[31]
Konvensi Hukum Laut 1982 telah mengatur secara lengkap tentang zona ekonomi eksklusif yang mempunyai sifat sui generis atau specifical legal regime, seperti yang terdapat dalam Pasal 55-75. Pasal 55 Konvensi berbunyi sebagai berikut:

The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of other State are governed by the relevant provisions of this Convention.”[32]

Zona ekonomi eksklusif adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus dimana terdapat hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai, hak dan kebebasan Negara lain yang diatur oleh Konvensi. Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap Negara pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57 Konvensi yang berbunyi: “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured”, yang artinya bahwa zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur.[33]
6.      Landas Kontinen
Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi Hukum Laut adalah, daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (pasal 76).[34]
Semua ketentuan tentang landas kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 diubah oleh Konvensi Hukum Laut 1982.[35] Dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982, tentang landas kontinen diatur dalam Bagian VI (Part VI) mulai dari Pasal 76-85. Pasal 76 yang terdiri dari ayat 1-10 seluruhnya mengatur tentang substansi dan ruang lingkup dari landas kontinen. Dengan sedemikian banyaknya ayat yang terdapat dalam suatu pasal yang secara khusus hanya mengatur tentang batasan landas kontinen, menunjukkan, bahwa Konvensi ini berusaha memperjelas dan mempertegas batasan landas kontinen. Tampaknya, para perancang Konvensi, belajar dari kelemahan atau ketidak-tegasan rumusan tentang landas kontinen dari Konvensi tentang Landas Kontinen 1958, merumuskan substansi dan ruang lingkup landas kontinen dengan lebih jelas, tegas dan limitatif.[36] Tegasnya, Pasal 76 Ayat (1) dan (5) memberikan batasan tentang landas kontinen sebagai berikut:

(1)   The continental shelf of a coastal State comprises of the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughtout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breath of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance[37]
(5) “The fixed points compising the line of the outer limits of the continental shelf on the sea-bed, drawn in accordance with paragraph 4 (a) (i) dan (ii), either shall not exceed 360 nautical miles from the baseline from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.[38]

Landas kontinen dari suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah perairan laut yang terletak di luar area laut teritorial yang merupakan perpanjangan atau kelanjutan secara alamiah dari wilayah daratannya sampai pada pinggiran luar dari tepi kontinen atau sampai pada suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal tempat lebar laut teritorial Negara pantai itu diukur serta pinggiran luar dari tepi kontinen tidak boleh melampaui dari jarak tersebut.[39]
Batasan tentang landas kontinen ini menunjukkan adanya keterpaduan antara aspek geologi dan aspek yuridisnya. Pertama, batasan ini menggunakan dan mendasarkan kriteria geologi, yang terlihat dalam rumusan: “… throughout the natural prolongation of its land territory …” Adanya istilah “natural prolongation” (perpanjangan atau kelanjutan secara alamiah) ini, tampaknya dipengaruhi oleh putusan Mahkamah Internasional dalam North Sea Continental Shelf Case, 1969.[40] Dalam putusannya itu, Mahkamah menggunakan kriteria natural prolongation dalam menentukan landas kontinen suatu Negara. Kedua, kriteria geologi lainnya adalah adanya penegasan tentang batas luar (outer limit) dari landas kontinen itu yang didasarkan pada “… to the outer edge of the continental margin”. Penentuan pinggiran luar dari tepi kontinen, tentu saja hanya dapat dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah dalam geologi. Para ahli geologilah, khususnya pada ahli geologi kelautan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam menetapkan pinggiran luar dari tepi kontinen tersebut.[41]
Namun masih ada masalah yang timbul, yakni, tidaklah semua pinggiran luar dari tepi kontinen setiap Negara jatuh dalam jarak yang sama. Ada tepi kontinen yang demikian jauhnya dari garis pangkal, misalnya karena pantainya landai, tetapi ada pula yang sangat dekat, misalnya karena dasar laut dan tanah dibawahnya di hadapan pantai suatu Negara itu sangat curam serta perairan di atasnya sangat dalam. Dengan demikian, maka secara geologi ada sejumlah Negara yang landas kontinennya amat luas dan sebagian lagi ada Negara yang landas kontinennya sangat sempit. Akibatnya, jika hanya mendasarkan batas luar landas kontinen semata-mata berdasarkan kriteria geologi, tentu saja akan menimbulkan ketidak-adilan.[42]
7.      Laut Lepas
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian laut lepas sebagai berikut:

The provisions of this Part apply to all parts of the sea that are not included in the exclusive economic zone, in the territorial sea or in the internal waters of a State, or in the archipelagic waters of an archipelagic State.”

Bahwa laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu Negara dan perairan kepulauan dalam Negara kepulauan. Pengertian laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini sangat jauh statusnya dengan pengertian laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958. Laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari laut teritorial, sedangkan laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah dimulai dari zona ekonomi eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, laut teritorial yang sejauh 12 mil itu tunduk pada kedaulatan penuh suatu Negara, sedangkan zona ekonomi eksklusif yang sejauh itu mempunyai status sui generic, yaitu bahwa sifat khusus yang bukan bagian dari kedaulatan Negara, tetapi juga tidak tunduk pada rezim internasional. Dalam zona ekonomi eksklusif, setiap Negara mempunyai hak-hak berdaulat dan yurisdiksi sebagaimana dijelaskan di atas.[43]
Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa laut lepas adalah terbuka bagi semua Negara baik Negara pantai (costal State) maupun Negara tidak berpantai (land-locked State). Semua Negara mempunyai kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), yaitu sebagai berikut:[44]
a)      Kebebasan pelayaran (freedom of navigation);
b)      Kebebasan penerbangan (freedom of overflight);
c)      Kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines);
d)      Kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya sesuai dengan hukum internasional (freedom to construct artificial islands and other installations permitted under international law);
e)      Kebebasan penangkapan ikan (freedom of fishing);
f)       Kebebasan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific research).
Kebebasan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan Negara lain dalam melaksanakan kebebasan yang sama, karena pelaksanaan kebebasan tersebut harus dilaksanakan untuk tujuan-tujuan damai (peaceful purpose) dan tidak boleh Negara melaksanakan kedaulatannya di laut lepas sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 88-89 Konvensi Hukum Laut 1982.[45]
8.      Kawasan
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat asas-asas yang mengatur mengenai kawasan, pada Pasal 136 mengatakan “The Area and its resources are the common heritage of mankind.[46]
Pengelolaan kekayaan di Kawasan berada pada Badan Otorita Intern/ISA.[47] Status hukum Kawasan dan kekayaan-kekayaannya sebagaimana dalam Pasal 137 yang berbunyi sebagai berikut:[48]

1.      No State shall claim or exercise sovereignty or sovereign rights over any part of the Area its resources, nor shall any State or natural or juridical person appropriate any part thereof. No such claim or exercise of sovereignty or sovereign rights nor such appropriation shall be recognized.
2.      All rights in the reseources of the Area are vested in mankind as a whole, on whose behalf the Authority shall act. These resources are not subject to alienation. The minerals recovered from the Area, however, may only be alienated in accordance with this Part and the rules, regulations and procedures of the Authority.
3.      No State or natural or juridical person shall claim, acquire or exercise rights with respect to the minerals recovered from the Area except in accordance with this Part. Otherwise, no such claim, acquisition or exercise of such rights shall be recognized.


C.    Cara Penyelesaian Sengketa Internasional
Prosedur penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan penerapannya dengan tepat dan efisien sangat penting bagi perjanjian-perjanjian internasional. Namun hal ini tidak berlaku bagi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bukan saja karena sulitnya memahami ketentuan-ketentuannya, tapi juga karena adanya pasal-pasal yang dapat ditafsirkan bermacam-macam (setiap kata dapat begantung kepada penafsiran masing-masing pihak). Hal ini dapat terlihat pada prosedur konsensus yang dipakai Konperensi: Konperensi acapkali terus merundingkan masalah-masalah sulit sampai masalah itu dapat diterima oleh sebanyak mungkin Negara, meskipun teks yang diperdebatkan itu dapat diinterpretasi dalam beberapa cara. Karena itu bukanlah tanpa alasan, Konperensi membentuk ketentuan yang terpisah dari Konvensi yang khusus dibuat untuk penyelesaian sengketa, meskipun ketentuan-ketentuannya pun tidak dapat dikatakan memuaskan.[49]
Dalam hukum internasional, penyelesaian sengketa antar Negara dapat dilakukan dengan menempuh dua cara, yaitu jalur damai dan perang. Namun, upaya damai selalu lebih diutamakan daripada harus menempuh jalur kekerasan atau perang sebagai cara penyelesaian.[50]
     1.      Penyelesaian Cara Damai[51]
a.      Non Hukum
1)      Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh manusia. Cara penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa yang diselesaikan melalui cara ini tanpa publisitas atau perhatian publik.[52] Alasannya dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaian didasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak.[53]
2)      Mediasi
Mediasi merupakan cara atau metode penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut sering disebut dengan mediator. Mediator dalam hal ini bisa Negara, organisasi internasional atau individu, mediator ikut serta secara aktif dalam setiap proses negosiasi. Biasanya mediator dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.[54]
b.      Hukum
1)      Arbitrase (Arbitration)
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin popular dan semakin banyak digunakan dalam penyelesaian sengketa-sengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu kalusul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketa lahir, orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter.[55]
2)      Jasa-Jasa Baik
Jasa-jasa baik merupakan cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga para pihak mau duduk bersama dan bernegosiasi.[56]
3)      Konsiliasi
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.[57]
4)      Penyelidikan (Inquiry)
Sengketa sering kali berawal dari mempersoalkan sengketa mengenai suatu fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, akan tetapi sering kali suatu permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian bergantung pada penguraian fakta para pihak yang tidak disepakati. Oleh sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Dengan demikian para pihak yang bersengketa dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikannya melalui metode pencarian fakta yang menimbulkan persengketaan.[58]
5)      Penyelesaian di bawah naungan Organisasi PBB (Pengadilan Internasional)
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional merupakan alternatif penyelesaian sengketa selain cara-cara di atas adalah melalui pengadilan. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu pengadilan permanen (International Court of Justice) dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.[59]

Berdasarkan hukum internasional, negara sebagai pihak yang bersengketa memiliki kewajiban untuk menyelesaikannya dengan cara damai.

States are under an obligation to settle disputes by peaceful means, whether the dispute concerns a direct or an indirect wrong (see article 33 of the UN Charter, and the 1982 Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States, UN GA Res. 37/10, (1982)). Unless they are bound by treaty to have recourse to any specific procedure, States are free to use any mens of their own choosing for the settlement of disputes.”[60]

Cara penyelesaian secara damai yang dapat dilakukan oleh para pihak diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter sebagai berikut:
The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.”[61]


2.      Penyelesaian Cara Paksa/Kekerasan
Melalui kekerasan yaitu, retorsi, reprisal (pembalasan), blockade masa damai, dan perang. Perang dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan, bukan hanya untuk Negara yang mengalami kekalahan, tetapi juga terhadap Negara pemenang perang. Oleh karena itu, jalur diplomasi selalu diupayakan menjadi cara yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa demi mencegah terjadinya peperangan.[62] Pasal 51 Piagam PBB memungkinkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa dengan alasan self defence.

Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”[63]




D.    Cara Penyelesaian Sengketa Menurut UNCLOS 1982
Ketentuan untuk menyelesaikan sengketa damai juga terdapat dalam UNCLOS 1982 yang menyatakan cara penyelesaiannya dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak (Pasal 279 jo. 280 UNCLOS 1982). Suatu Negara memiliki hak untuk memilih salah satu atau lebih mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan UNCLOS seperti yang terdapat pada Pasal 287 ayat (1), yaitu:[64]
a.       International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS)
b.      Arbitral Tribunal yang dibentuk sesuai dengan Annex VII
c.       Special Arbitral Tribunal yang dibentuk sesuai dengan Annex VIII.
d.      International Court of Justice (ICJ)
Mengenai mekanisme penyelesaian sengketa melalui badan-badan ini akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1.      ITLOS[65]
ITLOS merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan interpretasi dan pelaksanaan konvensi. Berdasarkan Pasal 20 Statuta ITLOS, badan ini terbuka untuk semua Negara anggota, namun untuk sengketa khusus seperti yang tercantum pada pasal 187 UNCLOS tentang rezim deep sea-bed, badan ini juga terbuka untuk lembaga lain selain Negara, misalnya perusahaan, badan hukum atau orang perorangan secara khusus, dan joint venture yang dijelaskan secara spesifik pada Pasal 153 ayat (2) UNCLOS. Badan ini juga memiliki yurisdiksi berdasarkan perjanjian para pihak yang mencantumkan pilihan forum terhadap ITLOS di dalamnya (Pasal 21 Statuta ITLOS). Jika para pihak meminta, badan ini dapat membentuk Special Chambers untuk mengatasi sengketa yang muncul.

2.      Arbitral Tribunal yang dibentuk sesuai dengan Annex VII
Dalam hal pilihan forum dijatuhkan pada arbitral tribunal berdasarkan Annex VII, dimulai dengan pengiriman nota tertulis oleh satu pihak kepada pihak lainnya dengan menyebutkan klaim serta dasar-dasar hukum dari klaim tersebut.[66] Para pihak dapat masing-masing 4 orang arbiter yang ahli di bidang hukum laut serta memiliki reputasi, integritas dan kompetensi yang baik.[67] Menentukan prosedur pelaksanaan, Arbitrase untuk setiap kasus mempunyai 5 (lima) orang anggota, masing-masing pihak bersengketa memilih 1 (satu) orang anggota dan ketiga anggota lainnya adalah warga Negara dari Negara ketiga (kecuali kalau ditentukan lain oleh pihak-pihak bersangkutan) dipilih dengan persetujuan pihak-pihak. Pihak-pihak bersengketa akan menunjuk Ketua Arbitrase dari tiga orang anggota tersebut. Dalam hal tidak tercapai permufakatan, Ketua atau Anggota Senior Mahkamah Hukum Laut akan melakukan penunjukan.[68] Kecuali kalau pihak-pihak bersengketa menyetujui hal lainnya, Arbitrase akan menetapkan prosedurnya sendiir dan memberikan jaminan bahwa masing-masing pihak diberi kesempatan penuh untuk didengar dan mengemukakan kasusnya.[69]
Pihak-pihak diharuskan untuk memberikan bahan-bahan bagi pekerjaan arbitrase dengan jalan menyediakan dokumen-dokumen, fasilitas dan informasi-informasi serta dimungkinkan untuk memanggil saksi-saksi dan tenaga ahli serta kunjungan ke tempat kasus terjadi.[70] Pengeluaran-pengeluaran dari Arbitrase dipikul rata oleh pihak-pihak yang bersengketa, kecuali kalau Arbitrase menentukan lainnya.[71] Keputusan akan diambil berdasarkan suara terbanyak, dengan Ketua Arbitrase memberikan suara yang menentukan, apabila terdapat hasil pungutan suara yang sama banyak.[72]
Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul di depan sidang Arbitrase, atau gagal mempertahankan kasusnya, pihak lainnya dapat meminta proses pemeriksaan kasus untuk diteruskan dengan pemberian suatu keputusan oleh Arbitrase dan harus meyakinkan dirinya terlebih dahulu atas yurisdiksinya untuk kasus tersebut dan juga bahwa klaim tersebut mempunyai dasar di dalam fakta dan menurut hukum.[73] Keputusan Arbitrase akan dibatasi kepada subyek dari kasus dan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan.[74] Dan menentukan putusan adalah final tidak akan ada banding atas putusan arbiter, dalam hal sebelumnya telah ada kesepakatan mengenai hal ini.[75]

3.      Special Arbitral Tribunal yang dibentuk sesuai dengan Annex VIII
Kewenangan dari badan ini adalah untuk menangani sengketa terkait interpretasi dan penerapan pasal-pasal UNCLOS yang terkait dengan perikanan, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah laut, pelayaran termasuk polusi dari kapal dan terkait dumping.
Cara penyelesaian dengan Arbitrase khusus ini ialah dengan mengirimkan nota tertulis kepada pihak lain. Nota harus dilampiri dengan statement dari hal apa yang dituntut dan dasar-dasar mengajukan klaim tersebut.[76]
Suatu daftar tenaga ahli untuk keempat bidang tersebut di atas akan dibentuk berdasarkan penunjukan tenaga ahli oleh masing-masing Negara anggota konvensi yang dapat menunjuk dua orang untuk masing-masing bidang tersebut di atas yang mempunyai kemampuan di bidang hukum, ilmiah atau teknis dan bidang-bidang tersebut di atas dan yang secara umum dikenal dan mempunyai reputasi tinggi dalam kejujuran dan integritasnya.[77] Arbitrase khusus terdiri dari 5 (lima) orang anggota, masing-masing pihak memiliki dua orang, seyogyanya dari daftar ahli-ahli yang tersedia, sedangkan anggota yang kelima biasanya diambil dari warga Negara ketiga yang akan menjadi Ketua Arbitrase Khusus dan dipilih oleh pihak-pihak bersangkutan. Apabila hal ini gagal, penunjukan dilakukan oleh Sekertaris Jenderal PBB.[78]
Adapun prosedur untuk Arbitrase biasa, yaitu pasal-pasal 4 sampai 13 dari Annex VII, berlaku sebagai prosedur untuk Arbitrase Khusus ini.[79] Pihak-pihak yang berselisih dapat meminta kepada Arbitrase Khusus untuk melakukan fact-finding, yaitu untuk melakukan penyelidikan dan menunjukkan fakta-fakta yang menimbulkan perselisihan tersebut. Findings dari Arbitrase Khusus dapat dipandang mengakhiri perselisihan, kecuali kalau pihak-pihak bersangkutan berpendapat lain. Apabila dikehendaki oleh pihak-pihak berselisih, Arbitrase Khusus dapat menyusun rekomendasi yang tidak memiliki kekuatan mengikat (non-binding recommendation), akan tetapi dapat menjadi dasar dari peninjauan kembali oleh pihak-pihak bersangkutan tentang masalah yang menimbulkan perselisihan.[80]
4.      ICJ.
International Court of Justice atau yang lebih dikenal dengan Pengadilan Dunia (world court) merupakan badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki tempat kedudukan di Den Haag didirikan tahun 1945 berdasarkan Piagam PBB. Organ Peradilan utama PBB ini mulai bekerja tahun 1946 sebagai successor dari Permanent Court of International Justice.[81] Yurisdiksi yang dimiliki Mahkamah Internasional yang diatur dalam Piagam PBB, antara lain:
1.      Untuk memutus sengketa (contentious issues) sesuai degan hukum internasional permasalahan-permasalahan hukum yang diajukan oleh Negara-negara;
2.      Memberikan advisory opinions dalam hal permasalahan-permasalahan yang berkenaan hukum yang diajukan oleh Negara atau pihak lain melalui rekomendasi dari Dewan Keamanan dan diputus dalam Majelis Umum PBB.

Berdasarkan Pasal 288 ayat (1) UNCLOS 1982, forum penyelesaian sengketa yang disediakan sesuai pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982 dapat memiliki yurisdiksi dalam setiap sengketa yang diajukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan, terkait interpretasi dan penerapan UNCLOS atau perjanjian internasional yang berhubungan dengan tujuan Konvensi. Jika cara yang dipilih para pihak gagal untuk menyelesaikan sengketa secara damai, maka sesi 2 bagian XV UNCLOS 1982 telah menyediakan prosedur memaksa atau compulstory procedures yang memiliki binding decisions.[82]
Tetapi, Konvensi memberikan hak kepada Negara peserta konvensi untuk mengecualikan compulstory procedures dalam hal menyangkut kepentingan vital Negara antara lain batas – batas Negara, keamanan dan beberapa hal terkait pengawasan atas sumber daya lepas pantainya.[83]
Jadi, dalam hal sengketa mengenai delimitasi batas maritime, Negara pihak tidak berkewajiban untuk menempuh compulstory procedures dalam sesi 2 bagian XV UNCLOS 1982, seperti yang juga ditegaskan oleh Churchill dan Lowe sebagai berikut:
“If a state declares that it will not accept compulstory settlement of disputes over the boundaries of its territorial sea, EEZ or continental shelf, and such a dispute arises which is not settled by negotiation within reasonable time, either State party may insist that the matter be referred to ‘compulstory conciliation’. Furthermore, the disputing State are obliged to negotiate an agreement on the basis of the conciliation commision’s report. If they do not do so, they must agree upon some other procedure for settling the dispute.“[84]

Jika suatu Negara menyatakan tidak menerima compulstory settelement of disputes terkait batas-batas laut teritotial, ZEE atau landas kontinen, dan sengketa yang timbul tidak diselesaikan melalui negosiasi dalam waktu yang wajar, salah satu pihak dapat mendesak agar sengketa tersebut diselesaikan melalui compulstrory conciliation.[85]


           BAB V
PENUTUP

     A.    Simpulan
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia yang dibahas disini adalah sengketa kedaulatan atas wilayah kecil yang terletak di Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan yaitu Blok Ambalat, yang pada dasar lautnya terdapat kandungan minyak dan gas bumi. Sebenarnya sengketa ini juga muncul dilatarbelakangi fakta yang belum dibuatnya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang mengatur batas wilayah laut di Laut Sulawesi sehingga pada akhirnya ketidakjelasan batas tersebut menimbulkan konflik antar Negara yang saling bertetangga itu. Konvensi serta Protokol London yang pernah disepakati oleh Belanda dan Inggris pada tahun 1891 dan 1915 pun tidak dapat dijadikan dasar pembagian batas wilayah laut Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Hal ini dikarenakan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 menyatakan bahwa garis pembagian wilayah yang terdapat pada Konvensi dan Protokol tersebut hanya membagi wilayah darat di Pulau Kalimantan saja dan tidak diasumsikan berlanjut ke Laut Sulawesi.
Dalam sengketa Ambalat antara Indonesia dan Malaysia sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan damai atau cara diplomasi dengan bersama-sama duduk sejajar sebagai dua Negara tetangga yang bersahabat, bermartabat dan bermoral islam, kedua Negara harus bisa bertindak dengan niat baik (good faith) untuk menyelesaikan masalah ini.
Selanjutnya dalam menyelesaikan sengketa ini, Hukum Internasional dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyediakan beberapa mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan oleh kedua Negara, yaitu melalui Perundingan Bilateral Kedua Negara (seperti yang selama ini masih dilakukan secara kontinuitas), melalui mekanisme Tribunal Internasional Hukum Laut, dan penerapan Joint Development Zone sebagai upaya penyelesaian sengketa yang paling akhir. Namun mengenai hal ini, Indonesia dan Malaysia sudah sepakat untuk menyelesaikan sengketa secara damai tanpa membawa ke Mahkamah Internasional. Kedua Negara juga telah sepakat membentuk Utusan Khusus yang akan ditugaskan untuk mengkaji dan mencari pemecahan terbaik atas sengketa ini.
Bagi Indonesia, Konsepsi Negara Kepulauan serta garis pangkal kepulauan dapat dipergunakan untuk mempertahankan klaimnya atas Kawasan Blok Ambalat. Kemudian dengan berdirinya Mercusuar di Karang Unarang, berdasakan hukum laut internasional, Indonesia dapat menggunakan low tide elevation sebagai titik bagi penarikan archipelagic baselines Indonesia yang baru, menggantikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang kini menjadi milik Malaysia. Dan masuknya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke dalam wilayah Malaysia dapat digunakan pihak Malaysia juga sebagai dasar menentukan titik pangkal, namun apabila Malaysia berhasil memenuhi persyaratan berdasarkan hukum laut internasional sebagai pulau-pulau yang memiliki landas kontinen. Memang mengenai pembuktian dan penerapan dasar-dasar tersebut secara nyata diperlukan penelitian lebih lanjut, akan tetapi berdasarkan analisa yang telah Penulis lakukan dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang hukum internasional dan konvensi hukum laut, kedudukan Indonesia lebih kuat dibandingkan Malaysia.
Mengenai bentuk penyelesaian yang mungkin dapat diterapkan, bahwa dalam sengketa ini juga dikarenakan terjadi  masalah perbedaan penerapan interpretasi konvensi mengenai garis pangkal itu sendiri. Maka untuk memperjelas bukti penafsiran pada definisi dari garis pangkal kepulauan di dalam Pasal 47 UNCLOS 1982, maka A Manual on Technical Aspects of the United Nations Convention on the Law of The Sea (TALOS) yang sebagai panduan aspek-aspek teknis dari Konvensi Hukum Laut dapat mempertegas kembali ketentuan mengenai penarikan garis pangkal kepulauan tersebut. Indonesia dengan tim ahlinya mencoba mendepositkan penjelasan dari Point on the Baselines (garis pangkal) itu sendiri melalui landas teknik  dalam sidang IHO (International Hydrographic Bureau) oleh Badan Penasehat Hukum Laut (ABLOS) terlebih dahulu. Apabila aturan penarikan garis pangkal Negara kepulauan telah ditentukan jelas dan sudah di daftarkan ke PBB (dimasukkan dalam ketentuan TALOS), maka klaim Indonesia semakin kuat dan kapan saja dapat dibawa ke jalur peradilan sebagai kesimpulan akhir yang sah mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan batas Laut Sulawesi.
  
     B.     Saran
Langkah-langkah yang harus lebih ditingkatkan lagi untuk pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menghadapi konflik susulan dari Negara tetangga mengenai perbatasan wilayah maritim yaitu; pertama, ditingkatkannya lagi strategi diplomasi luar negeri dan pengaturan perundang-undangan. Kementerian Luar Negeri harus lebih menekankan soft diplomacy yaitu cara penyelesaian masalah secara halus tetapi tetap mempertahankan misi dengan kuat tanpa merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Dalam sengketa Blok Ambalat, Penulis lebih menekankan Pemerintah Indonesia untuk tetap melakukan perundingan secara bilateral dengan Malaysia dan tidak akan membawa kepada Mahkamah Internasional maupun ITLOS sekalipun sebagai upaya terakhir. Karena sebagai contoh sengketa yang hampir mirip dengan masalah perbatasan maritim Negara tetangga seperti Indonesia dan Malaysia ini, Penulis melihat sengketa antara China vs Filipina dalam isu Laut China Selatan. Bahwa China lebih menghendaki penyelesaian sengketa maritim melalui jalur musyawarah dan perundingan dan sepenuhnya mencerminkan sikap penghormatannya kepada fakta dan hukum.
Kedua, Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan lembaga Negara yang terkait untuk segera mengerjakan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah Blok Ambalat dengan tanpa ragu-ragu memberikan izin konsesi kepada pihak yang ingin melakukan pengolahan sumber daya alamnya di wilayah tersebut, karena Blok Ambalat memang merupakan kedaulatan wilayah NKRI.
Ketiga, aparat penegak hukum di laut dan beberapa komponen bangsa lainnya di laut dapat melaksanakan gelar operasi rutin di wilayah sengketa untuk memonitor setiap bahaya atau apabila ada ancaman yang dapat merugikan kepentingan bangsa.
Keempat, Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah dapat juga melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim. Penetapan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya, karena menjaga dan memelihara perbatasan itu juga menjadi tantangan yang sangat sulit. Perwujudan batas dalam peta dengan spesifkasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada seluruh pihak yang berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah suatu keharusan. Agar masyarakat di wilayah Ambalat tidak ragu melakukan kegiatan ekonominya di wilayah Ambalat.



[1] Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori Dan Praktek, (Banjarmasin: FH Unlam Press), hlm. 145.
[2] Ibid.
[3] Kresno Buntoro, Batas Maritim Antar Indonesia dan Malaysia, hlm. 1. (disampaikan dalam kuliah umum di UPN tanggal 4 Oktober 2010)
[4] Ibid, hlm.146.
[5] Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, (Penerbit Djambatan, 1989), hlm. 145.
[6] Ibid.
[7] Buana, Op. Cit., hlm. 147.
[8] Buntoro, Op. Cit., hlm. 2.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Pasal 308 UNCLOS 1982: “The Convention shall enter force 12 month after the date of deposit of the sixteen instrument of ratification or accession.”
[13] Buntoro, Op. Cit., hlm. 3.
[14] Ibid.
[15] UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).
[16] Theopita Indica Tampubolon, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Klaim Indonesia dan Malaysia Dalam Sengketa Ambalat”, (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2008), hlm. 3-4.
[17] UNCLOS 1982, art. 8 (1): “Except as provided in part IV, waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State.”
[18] Kusumaadtmadja, Op. Cit., hlm. 172.

[19] Pasal 50 UNCLOS 1982:  “Within its archipelagic waters, the archipelagic State may draw closing lines for the delimitation of internal waters, in accordance with articles 9, 10 and 11.”
[20] Kusumaadtmadja, Op. Cit.
[21] Ibid., hlm. 179.
[22] P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 21,
[23] Dewan Kelautan Indonesia, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, (Departemen Kelautan dan Perikanan Sekertariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, 2008), hlm. 23.
[24] Ibid.
[25] Pasal 33 (1) UNCLOS 1982.
[26] Dewan Kelautan Indonesia, Op. Cit., hlm. 28.
[27] Ibid, hlm. 29.
[28] Ibid.
[29] Ibid, hlm. 31.
[30] R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, third edition, Juris Publishing, (Inggris: Manchester Univerisity, 1999), hlm. 178.
[31] Dewan Kelautan Indonesia, Loc. Cit.
[32] Ibid, hlm. 32.
[33] Ibid.
[34] Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univeristy Press, 1994), hlm. 9.
[35] Dewan Kelautan Indonesia, Op. Cit., hlm. 38.
[36] I Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 24.
[37] Ibid., hlm. 25
[38] Dewan Kelautan Indonesia, Op. Cit., hlm. 39.
[39] Ibid.
[40] Lihat dan bacalah ringkasan putusan Mahkamah Internasional dalam North Sea Continental Shelf Case, 1969.
[41] Parthiana, Op. Cit., hlm. 26.
[42] Ibid.
[43] Dewan Kelautan Indonesia, Op. Cit., hlm. 45.
[44] Ibid, hlm. 46.
[45] Ibid.
[46] Lihat Pasal 136 UNCLOS 1982
[47] Dewan Kelautan Indonesia, Op. Cit., hlm. 100.
[48] Pasal 137 UNCLOS 1982
[49] Ibid, hlm. 70.
[50] Tampubolon, Op. Cit., hlm. 28
[51] Adolf, Op. Cit.
[52] Ibid, hlm. 514.
[53] Aziz Ikhsan Bakhtiar, Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia Dan Malaysia Di Wilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional, Staf Dinas Pengadaan TNI AL MABESAL Cilangkap Jakarta, hlm. 4
[54] W. Poeggel and E. Oeser, Op. Cit., hlm. 515.
[55] Behrens, Op. Cit., hlm. 24.
[56] W. Poeggel and E. Oeser, Methods of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaouni (ed), (International Law: Achievements and Prospects, Martinus Nijhoff and UNESCO, Dordrescht, 1991), hlm. 515.
[57] Behrens, Op. Cit., hlm. 24.
[58] Ibid, hlm. 19. Bandingkan dengan pendapat Collier dan Lowe yang menyatakan bahwa this method of settlement does not involve investigationor application of rules of law, Collier and Lowe, Op. Cit., hlm. 24.
[59] TB Kohona, Op. Cit., hlm. 24.
[60] Churchill and Lowe, Op. Cit., hlm. 449.
[61] Pasal 33 (1) Piagam PBB.
[62] Ibid.
[63] United Nations, Charter of the United Nations, 1945, art. 51.
[64] Tampubolon, Op. Cit., hlm. 45.
[65] ITLOS merupakan pengadilan khusus terkait masalah kelautan Mengenai pemilihan forum ini sebagai upaya penyelesaian Sengketa Ambalat sebenarnya merupakan salah satu pilihan yang baik karena tentu saja ITLOS memiliki para expert di bidang hukum laut. Hal ini merupakan salah satu keunggulan ITLOS dibandingkan jika melakukan forum ke ICJ.
[66] Pasal 1 Annex VII UNCLOS 1982.
[67] Pasal 2 Annex VII UNCLOS 1982.
[68] Pasal 3 Annex VII UNCLOS 1982.
[69] Pasal 5 Annex VII UNCLOS 1982.
[70] Pasal 6 Annex VII UNCLOS 1982.
[71] Pasal 7 Annex VII UNCLOS 1982.
[72] Pasal 8 Annex VII UNCLOS 1982.
[73] Pasal 9 Annex VII UNCLOS 1982.
[74] Pasal 10 Annex VII UNCLOS 1982.
[75] Pasal 11 Annex VII UNCLOS 1982.
[76] Pasal 1 Annex VIII UNCLOS 1982.
[77] Pasal 2 Annex VIII UNCLOS 1982.
[78] Pasal 3 Annex VIII UNCLOS 1982.
[79] Pasal 4 Annex VIII UNCLOS 1982.
[80] Pasal 5 Annex VIII UNCLOS 1982.
[81] https://id.wikipedia.org/wiki/Perserikatan_Bangsa-Bangsa, diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 01.12 WIB.
[82] Tampubolon, Op. Cit., hlm. 47.
[83] Lihat pasal 298 ayat (1) UNCLOS 1982: “A State may… declare in writing that it does not accept any one or more of the procedures provided for in section 2 with respect to one or more of the following categories of disputes: (a) (i) disputes concerning the interpretation or application of articles 15, 74 and 83 relating to sea boundary delimitations, or those involving historic bays or titles… (b) disputes concerning military activities… and disputes concerning law enforcement activities in regard to the exercise of sovereign rights or jurisdiction excluded from the jurisdiction of a court or tribunal under article 297, paragraph 2 or 3 (c) disputes in respect of which the Security Council of the United Nations, unless the Security Council decides to remove the matter from its agenda or calls upon the parties to settle it by the means provided for in this Convention.”

[84] Ibid., Pasal 456.
[85] Pasal 298 paragraf (1) a(i) UNCLOS 1982.








[1] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11.

[2] Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 15.
[3] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI-Press, 1986), hlm. 125.


[1] Malcolm N. Shaw, International Law, 3rd ed., (Cambridge: Grotius Publications Ltd., 1991), hlm. 276.

[2] Lihat uraian mengenai hal ini dalam Bab I, Supra, hlm. 13.
[3] O’Connell, International Law, 2rd ed., Vol. 1, 1970, hlm. 87.

[4] Lihat Pasal 2 ayat (4) dan (7) dari Piagam PBB; Declaration of Principles of International Law yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1970; dan dalam pelbagai Resolusi Majelis Umum PBB yang berkaitan dengan masalah agresi.

[5] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: P.T. Alumni, 2003), hlm. 162.
[6] Ibid, hlm. 163.

[7] Ibid, hlm. 164.
[8] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian sengketa Internasional, (Bandung: Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.

[9] Kusumaatmadja, Op. Cit.,  hlm. 171.
[10] Nassamothree Blog spot, (5 Maret 2016), terdapat di situs http://nassamothree.blogspot.co.id/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html.

[11] Jawahir Thontowi Word press, (5 Maret 2016), terdapat di situs https://jawahirthontowi.wordpress.com/2009/09/14/blok-ambalat-wilayah-indonesia/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENAFSIRAN PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)

Oleh : FARHAN SYATHIR, S.H. UNIVERSITAS TARUMANEGARA 2014 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sejak hukum memb...