Oleh :
FARHAN SYATHIR, S.H.
UNIVERSITAS TARUMANEGARA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak hukum membuat tradisi untuk ditulis (written law), maka pembacaan terhadap
teks hukum menjadi masalah yang penting sekali. Sejak pembacaan teks menjadi
penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan, bahkan
tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung
hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu
penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk
dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis, mengatakan bahwa teks hukum sudah
jelas adalah satu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya
diam-diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberi penjelasan. Sejarah
mencatat bahwa terdapat pertarungan sengit antara para ahli hukum tentang
apakah penafsiran atau interpretasi atas hukum itu diperlukan ataukah tidak.[1]
Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti
atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasarkan pada kaitannya.[2]
Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, dan dalam upaya penegakkan
hukum itu hakim sebagai penegak hukum akan dihadapkan pada berbagai kaidah,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang dikodifikasikan umumnya
bersifat statis. Ketidaksempurnaan dan ketidaklengkapan senantiasa
menjadi hukum tertulis, sekalipun kodifikasi telah diatur sedemikian rupa.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpedoman kepada kodifikasi agar
mendapat kepastian hukum, dalam hal ini Indonesia menggunakan aliran rechtsvinding berarti hakim memutuskan
perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam
masyarakat secara gebonden vrijheid
(kebebasan yang terikat) dan vrije
gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Apabila undang-undangnya tidak ada
(kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum
(analogi), penemuan hukum (rechtsverfijning)
dan argumentum a contracio. Penafsiran
atau interpretasi hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas
dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental di mana
dalam sistem hukum ini sumber hukum yang utama adalah perundang-undangan,
sehingga segala hal yang berhubungan dengan perundang-undangan
lebih diutamakan eksistensi serta pelaksanaannya. Hal yang berhubungan dengan
perundang-undangan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai
penafsiran hukum, di mana hukum yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu sebagaimana menurut Bapak Bagir Manan adalah “
Kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini
sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia”, di mana hukum
positif sudah seharusnya dapat diartikan dan dipahami secara jelas
mempertimbangkan dasar filosofis, sosiologis dan juga yuridisnya.
Penafsiran pada hakekatnya
merupakan suatu proses kedua yang
hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak mungkin dirasakan masuk akal,
khususnya terhadap istilah-istilah biasa dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim
sebagai salah satu penegakan hukum, harus dilandasi dengan pertimbangan dari
asas-asas penerapan hukum positif, yang dilakukan dalam rangka melaksanakan
hukum sebagai suatu fungsi pelayanan atau pengawasan terhadap kegiatan
masyarakat serta mempertahankan hukum akibat terjadi pelanggaran atas suatu
aturan hukum seperti yang dilakukan oleh badan peradilan.[3]
Dalam hal ini penafsiran hukum adalah tugas dari badan peradilan maupun lembaga
penegakan hukum resmi lainnya seperti lembaga arbitrase yang pada hakekatnya
merupakan tugas dan wewenang seorang hakim untuk dapat memutus suatu perkara
dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Mengapa penafsiran diperlukan, fakta di lapangan
memberikan pelajaran berharga, betapa banyak sengketa (i.c. sengketa komersial)
justru muncul ketika pelaksanaan perjanjian. Sengketa ini berawal manakala para
pihak mempunyai pengertian berbeda mengenai pernyataan yang mereka pergunakan
dalam perjanjian. Memang pelaku bisnis sangat paham dengan proses bisnis yang
mereka lakukan, namun pada saat proses bisnis tersebut dituangkan dalam bahasa
perjanjian dan dirancang oleh mereka yang tidak paham aspek-aspek hukum
perjanjian, dapat dipastikan perjanjian tersebut membuka peluang terjadinya
sengketa.
Dalam dunia perasuransian, sering
terjadi perdebatan antara penanggung dan tertanggung mengenai ganti kerugian yang
dimintakan oleh tertanggung. Polis yang merupakan
sumber perjanjian yang mengikat para pihak adalah
sumber yang menjadi pedoman untuk
menentukan apakah tertanggung
berhak mendapatkan ganti
kerugian atas kerugian yang dialaminya atau
tidak.
Perjanjian asuransi atau yang
sering disebut dengan polis asuransi merupakan
jenis perjanjian baku, di
mana klausula-klausula perjanjian telah disiapkan
terlebih dahulu oleh pihak penanggung. Dengan
menggunakan perjanjian baku maka terdapat perbedaan posisi para pihak dalam
perjanjian asuransi. Para
pihak tidak memiliki posisi tawar yang sama kuat. Bila salah satu pihak
memiliki posisi tawar yang lemah, maka besar kemungkinan pihak yang kuat akan
menentukan isi kontrak untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan pihak yang
lemah.
Salah satu permasalahan yang menjadi fokus dalam
penulisan tesis ini adalah tentang penafsiran perjanjian terhadap polis
asuransi yang menjadi dasar atau undang-undang bagi para pihak dalam suatu
perikatan, khususnya penafsiran terhadap polis Marine Cargo Insurance yang menjadi
perdebatan antara PT Prima Multi Artha sebagai tertanggung
atau pemegang polis dan PT Asuransi Bina Dana Arta
Tbk sebagai penanggung atau
perusahaan asuransi.
Di Indonesia perjanjian asuransi kapal pada polis
asuransi Marine
Cargo Insurance, masih menggunakan polis
asuransi yang mengacu
pada polis
standar Marine
Cargo Insurance yang
diterbitkan
oleh Harvey di
Inggris, oleh sebab itu terdapat beberapa klausul dalam polis Marine Cargo Insurance yang
multitafsir dan bahkan tidak applicable untuk
kapal di Indonesia.
Dalam hal terjadi dispute antara para
pihak mengenai perbedaan pendapat terhadap isi dari polis asuransi yang
merupakan perjanjian yang disepakati oleh para pihak, maka hakim sebagai pihak
yang bertindak sebagai juri dapat menggunakan metode-metode penafsiran
perjanjian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
dan doktrin-doktrin umum dalam penafsiran perjanjian.[4]
Selain pihak penanggung
maupun pihak tertanggung dalam sengketa asuransi tersebut di atas, masalah
penafsiran terhadap suatu perjanjian merupakan
permasalahan
yang juga selalu
dihadapi dalam penegakan hukum di Indonesia dalam
berbagai macam perjanjian khususnya perjanjian yang bersifat baku yang sering
diperdebatkan dalam lembaga peradilan, lembaga
arbitrase
atau para pengacara, baik dalam kaitannya dengan
hukum nasional maupun dengan
hukum
international.
Oleh
karena itu maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan mengenai penafsiran perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tesis berjudul : “PENAFSIRAN
PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI
INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis
Artibrase Ad-Hoc Dalam
Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima
Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di dalam
bagian latar belakang di
atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana ketentuan
mengenai penafsiran
perjanjian dalam
hukum kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan penerapannya dalam penafsiran polis Marine Cargo Insurance di Indonesia?
2.
Apakah implementasi penafsiran
perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim
asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk sudah sesuai
dengan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata?
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian
ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui ketentuan
mengenai penafsiran
perjanjian dalam
hukum kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan penerapannya dalam penafsiran polis Marine Cargo Insurance di Indonesia.
2.
Untuk
mengetahui implementasi penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim
asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk sudah sesuai atau
tidak dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
|
1.
Teoretis, bahwa
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada hukum perjanjian dan hukum asuransi di
Indonesia khususnya
mengenai penafsiran
terhadap Polis Marine Cargo Insurance di
Indonesia dan penerapannya
dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya.
2.
Praktis,
bahwa hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi semua
pihak dan para pembaca.
D.
Kerangka Konseptual
Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep dan
pengertian mengenai istilah saat penulisan untuk memudahkan dalam memahami dan
mencegah terjadinya salah paham, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa
istilah yang dipergunakan:
1.
Interpretasi
atau penafsiran adalah sebuah metode untuk mencari atau menemukan makna yang
hakiki (sesungguhnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan
lain-lain, suatu interpretasi yang jelas akan berfungsi sebagai rekonstruksi
cita hukum yang tersembunyi.[5]
2.
Contra Proferentem adalah
doktrin yang dapat digunakan dalam hal terjadi penafsiran terhadap suatu perjanjian, yang dimaksudkan
adalah bahwa penafsiran perjanjian dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun
perjanjian tersebut. Jika ada keragu-raguan, suatu
persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikan dan atas keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu (Pasal
1349 KUH Perdata).
3.
Asuransi
adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang
polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
sebagai imbalan untuk:
a.
Memberikan
penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.
Memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
(Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
4.
Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata).
5.
Polis
adalah suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang
dinamakan polis
(Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
6.
Tertanggung
adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian
Asuransi atau perjanjian reasuransi (Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
7.
Penanggung adalah
perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat, dam tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul
dari peristiwa yang tidak pasti terjadi.[6]
8.
Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau
perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan
berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat (Pasal 1 ayat (29) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian).
9.
Objek Asuransi
adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa,
serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau
berkurang nilainya (Pasal 1 ayat (25)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
10.
Marine Cargo Insurance adalah suatu asuransi atau
pertanggungan yang memberikan jaminan atau proteksi terhadap kerugian atau
kerusakan atas objek pertanggungan sebagai akibat adanya bahaya-bahaya laut (Maritime
Perils) yang terjadi dalam masa pengangkutan melalui laut yang dilakukan (Institute Cargo Clauses (A) - ICC (C)
l/l/82).
11.
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa
(Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa).
12.
Hakim Ad-Hoc adalah hakim yang bersifat
sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di
bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum).
E.
Metode Penelitian
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”,
namun menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan
sebagai berikut:[7]
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan
dalam penelitan dan penilaian;
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu
pengetahuan;
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu
prosedur.
Agar tesis ini mempunyai nilai ilmiah,
maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai syarat-syarat penelitian metode ilmiah.
Mengingat penelitian sebagai salah satu sarana dalam pengembangan ilmu yang
digunakan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis serta
konsisten, maka proses selama penelitian perlu dianalisis dan kemudian
dikonstruksikan dengan masalah terkait
yang ada, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya secara objektif.
Adapun metode yang digunakan dalam dalam
penulisan tesis sebagai berikut:
1.
Pendekatan
Masalah
Penelitian tentang “Penafsiran Terhadap Polis Marine
Cargo Insurance di Indonesia (Studi Kasus Putusan Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima
Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)” merupakan suatu penelitian dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum
yang mencakup: penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.[8] Sesuai dengan
judul tesis yang dibuat oleh penulis maka penelitian dilakukan terhadap
azas-azas hukum, baik hukum dalam peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang berupa putusan pengadilan atau
badan arbitrase.
2.
Spesifikasi
Penelitian
Spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
deskriptif analitis, yaitu mencari dan menemukan
hubungan antara data yang diperoleh dari penelitian dengan landasan yang ada
dan dipakai sehingga memberikan gambaran-gambaran konstruktif mengenai
permasalahan yang diteliti[9].
Penelitian yang bersifat
deskritif analitis ini bertujuan agar hasil
penelitian yang diperoleh dapat memberikan gambaran
mengenai penafsiran perjanjian khususnya penafsiran pada polis Marine Cargo
Insurance dalam kasus
klaim asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk dan menganalisisnya
sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum.
3.
Sumber
Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah data
sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan buku-buku yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh penulis.[10] Data sekunder
terdiri dari:
a. Bahan-bahan hukum primer, yaitu
bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas undang-undang, yaitu:
1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu
bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang berfungsi
menjelaskan bahan-bahan hukum primer, antara lain terdiri dari:
1)
Putusan Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT
Asuransi Bina Dana Arta Tbk ;
2)
Polis Marine Cargo
Insurance PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk;
3)
Buku-buku
yang memberikan penjelasan mengenai penafsiran suatu perjanjian dalam hukum perjanjian
di Indonesia.
4)
Makalah dan tulisan lain yang relevan dan memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum yang memiliki keterkaitkan dengan perumusan masalah yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan
yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap dua jenis bahan hukum yang telah
disebutkan, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4.
Teknik
Pengumpulan Data
Metode yang digunakan sebagai sumber untuk
memperoleh data dalam usaha mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan
metode penelitian
kepustakaan, yaitu
data yang diperoleh dengan penelitian kepustakaan guna mendapat landasan teoretis berupa pendapat-pendapat,
tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak
lain yang berwenang, ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang dilakukan pada
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta.
5.
Teknik
Analisis Data
Seluruh data sekunder dari hasil penelitian ini dianalisis secara
kualitatif, artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, menyeluruh,
dan merupakan satu kesatuan bulat mengenai masalah yang terkait. Dalam hal ini
yang dianalisis adalah mengenai dua
masalah yang terkait, yaitu mengenai 1. ketentuan
penafsiran
perjanjian dalam
hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan penafsiran perjanjian yang diterapkan
oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam kasus
klaim asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk,
sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
6.
Metode Pengambilan Kesimpulan
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif,
artinya adalah metode dengan menarik kesimpulan
yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.[11] Metode
ini dilakukan dengan cara menganalisis
pengertian atau konsep-konsep umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian dan Polis Marine Cargo
Insurance yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus mengenai penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis
Arbitrase Ad-Hoc dalam kasus
klaim asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk
F.
Sistematika Penulisan
Dalam
rangka penyusunan karya ilmiah atau tesis memerlukan
sistematika yang logis dan diperlukan kerangka dasar yang rapi serta teratur,
sehingga akan memudahkan pembaca untuk mengikuti isinya dan juga memudahkan
penyusunan bagi penulis, yang mulai dari
awal sampai akhir tesis ini.
Guna
mempermudah dalam penelitian dan penulisan tesis ini, maka penulis membuat dan
menyusun suatu sistematika tesis yang terdiri dari 5 (lima) Bab dengan
rincian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan
tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian,
kerangka konseptual, metode
penelitian dan sistematika
penulisan. Dalam latar belakang diuraikan mengenai hal-hal yang menjadi alasan
dilakukannya penelitian
dan penulisan tentang penafsiran
perjanjian terhadap polis Marine Cargo
Iinsurance
di Indonesia dalam kasus
klaim asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk. Menjaga agar penelitian
tidak menyimpang dalam pembahasannya,
maka penelitian dibatasi pada permasalahan
yang diuraikan dalam perumusan permasalahan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam
bab ini
diuraikan tentang pandangan mengenai penafsiran
terhadap suatu perjanjian, penafsiran perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, metode-metode dalam penafsiran perjanjian, penafsiran perjanjian
dalam hukum international, prinsip atau doktrin-doktrin dalam penafsiran
perjanjian, pengertian asuransi secara
umum, prinsip-prinsip umum asuransi, asuransi pengangkutan barang (Marine Cargo Insurance), dasar hukum
asuransi pengangkutan barang (Marine Cargo
Insurance) dan isi polis Marine Cargo
Insurance.
BAB III HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan hasil
penelitian mengenai Penafsiran Perjanjian Polis Marine Cargo Insurance dalam sengketa klaim asuransi PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk dan
isi putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
dalam perkara tersebut.
BAB IV ANALISIS
Dalam bab ini diuraikan tentang analisis yang memuat
hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi ketentuan mengenai penafsiran
perjanjian dalam
hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan analisis terhadap penafsiran perjanjian dalam sengketa klaim
asuransi antara PT
Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina
Dana Arta Tbk
BAB
V PENUTUP
Bab ini merupakan
bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang berisi kesimpulan dari pokok
permasalahan yang telah dibahas, serta saran yang dapat diberikan berkaitan
dengan masalah yang dibahas dalam tesis ini.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Penafsiran Perjanjian
1.
Pandangan Mengenai Penafsiran Terhadap Suatu Perjanjian
Dalam sejarah perkembangan KUH Perdata yang terlahir di
Negara Eropa Continental (civil law
system), di mana begitu mengagung-agungkan tanpa “reserve” sumber hukum kodifikasi sebagai sumber hukum yang dianggap
mutlak kebenarannya dan mengakomodir setiap problema hukum masyarakat telah
membawa ketidakadilan di masyarakat. Pada awal mulanya, interpretasi terhadap
aturan hukum perjanjian (dalam hubunganya dengan subtansi perjanjian).
Sikap yang melarang atau mengesampingkan perlunya metode
interpretasi ini dapat dirujuk dari pernyataan Kaisar Justinianus[12]
yang mengancam dengan pidana kepada siapa yang memberanikan diri untuk
menafsirkan undang-undang. Interpretasi adalah salah (preversio), sehingga hanya atas dasar persetujuan kaisar diberikan
kewenangan untuk menafsirkan undang-undang. Juga Proberspiere[13]
mengemukakan dalam jiwa yang sama: “Kata yurisprudensi seharusnya dihapuskan
dari bahasa kita. Dalam suatu negara yang hanya mempunyai satu konstitusi, satu
pembentuk undang-undang, yurisprudensi berarti tidak lain dari pada
undang-undang. Bahkan interpretasi dianggap sebagai “cambuk perusak undang-undang”. Demikian pula Napoleon dalam karya
besarnya “Code Napoleon” (i.c. Code
Civil yang diberlakukan secara konkordansi menjadi KUH Perdata di Belanda)
melarang interpretasi. Hal ini tercermin dalam pengaturan Pasal 1342 KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa: “Jika
kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan menyimpang daripadaya
dengan jalan penafsiran”. Sesuatu yang sesungguhnya belum tentu jelas untuk
“kata-kata suatu perjanjian yang dianggap jelas.
Menurut Paul Scholten[14]
untuk memahami sebuah teks undang-undang, perjanjian maupun dokumen-dokumen
bisnis kiranya perlu untuk melakukan interpretasi dengan baik. Menurutnya
undang-undang tidak selalu jelas, tidak mungkin Undang-Undang memberikan
penyelesaian bagi 1001 persoalan yang diajukan kepadanya dengan semudah itu. Dengan
demikian adalah sebuah arogansi atau kekhilafan yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang menyatakan bahwa kodifikasi undang-undang telah mampu mengakomodir segala
problema yang muncul di masyarakat, akibatnya mereka beranggapan bahwa
interpretasi tidak perlu bahkan dilarang. Setiap undang-undang, juga yang
paling baik dirumuskan sekalipun, membutuhkan penafsiran.[15]
Pada setiap penafsiran, keadilan itu harus selalu
diperhatikan dan dalam setiap usaha untuk menemukan hukum yang konkrit,
keadilan adalah awal dan akhirnya.[16]
Ulpianus mengatakan, “Quamvis sit
manifestissiumum Edictum Praetoris, attamen non est negligenda interpretatio
ejus.” (juga meskipun peraturan dari preator
jelas sekali, namun bagaimanapun penafsirannya tidak boleh diabaikan).[17]
Menurut Celcus, “Sciere leges non hoc est
verba corum tenere, sed vim nac potestatem.” (juga meskipun pada
penglihatan pertama kata-katanya jelas, maka bagaimanapun harus ditafsirkan
menurut maksud orang yang memberikan atau mengeluarkan peraturan itu).[18]
Adalah sangat berbahaya apabila hanya menyandarkan pada kata-kata saja, karena
orang dapat menyelundupi tujuan undang-undang dalam batas-batas sepenuhnya dari
kata-kata undang-undang. Di sini terjadi “fraus
legis” atau penyelundupan undang-undang. “qui salvis verbis legis sententiam ejus circumvenit.” Dengan
demikian sekedar menghormati kata-kata undang-undang secara kaku, yang terjadi
justru penyelundupan undang-undang. Kesimpulan boleh terletak di samping
kata-katanya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan kata-katanya, jadi boleh “praeter legem, non contra legem.”
Vollmar[19]
mengingatkan pentingnya interpretasi, mengingat bahasa yang dipergunakan dalam
undang-undang, termasuk perjanjian, sulit untuk mewujudkan pikiran-pikiran baik
seluruhnya maupun sebagian yang tidak termasuk perumusannya. Melalui
interpretasi, menurut Vollmar[20]
kita mencari tujuan serta maskud dari kata-kata yang terdapat dalam
undang-undang, sehingga interpretasi tidak lain adalah untuk menemukan hukum (rechtsvinding).
Isi perjanjian terutama ditentukan oleh apa yang saling
diperjanjikan oleh para pihak. Dengan menafsirkan pernyataan-pernyataan
tertentu, dalam hal ini untuk menentukan maknanya, akan jelas terhadap apa para
pihak mengikatkan diri. Mengapa penafsiran diperlukan, fakta di lapangan
memberikan pelajaran berharga, betapa banyak sengketa (i.c. sengketa komersial)
justru muncul ketika pelaksanaan perjanjian. Sengketa ini berawal manakala para
pihak mempunyai pengertian berbeda mengenai pernyataan yang mereka pergunakan
dalam perjanjian. Memang pelaku bisnis sangat paham dengan proses bisnis yang
mereka lakukan, namun pada saat proses bisnis tersebut dituangkan dalam bahasa
perjanjian dan dirancang oleh mereka yang tidak paham aspek-aspek hukum
perjanjian, dapat dipastikan perjanjian tersebut membuka peluang terjadinya
sengketa.
Menyikapi kondisi tersebut di atas, perlu diperhatikan
faktor-faktor apa saja yang menentukan makna pernyataan-pernyataan yang
diungkapkan dalam hubungan perjanjiantual para pihak. Ada dua kemungkinan yang
dapat dijadikan landasan dalam menentukan makna dan pernyataan-pernyataan
tersebut, yaitu:
a.
Maksud
yang melandasi pernyataan, dan
b.
Istilah-istilah
yang digunakan dalam pernyataan.
Instrumen penting
untuk menentukan makna pernyataan-pernyataan dalam hubungan perjanjiantual para
pihak, khususnya perjanjian komersial, perlu pemahaman yang utuh terhadap
pernyataan-pernyataan para pihak melalui “interpretasi”.
Hal ini karena isi perjanjian yang memuat pernyataan-pernyataan tersebut
umumnya dituangkan dalam bentuk bahasa (tertulis). Bahasa sebagai sarana bagi
para pihak untuk saling berkomunikasi, terutama bahasa perjanjian, acapkali
terkendala dengan keterbatasan kemampuan para pihak ketika menuangkan maksud
maupun peristilahan yang dipergunakan ke dalam struktur bahasa perjanjian yang
tepat. Kendala tersebut antara lain terkait kata atau istilah yang dipergunakan
bermakna ganda, kabur bahkan kontradiksi satu dengan lainnya. Satu kata atau
istilah dapat mempunyai satu atau seratus bahkan seribu arti yang harus secara
tepat dikonstruksikan ke dalam bahasa hukum (perjanjian).
Interpretasi
merupakan sebuah metode untuk mencari atau menemukan makna yang hakiki
(sesungguhnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan lain-lain. Suatu
interpretasi yang jelas akan berfungsi sebagai rekonstruksi cita hukum yang
tersembunyi. Pendek kata interpretasi bertujuan “mencari yang tersirat dari yang tersurat”, namun upaya ini bukan
hal yang mudah untuk dilakukan setiap orang, terlebih mereka yang awam hukum.
Menurut Gorbin, interpretasi perjanjian adalah proses di mana seseorang memberikan
makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain (baik
berupa oral, tullisan maupun perbuatan). Interpretasi perjanjian ini harus
dibedakan dengan konstruksi perjanjian. Pada perjanjian yang senantiasa dimulai
dengan interpretasi bahasa yang digunakan (gramatikal), proses interpretasi
berhasil manakala sampai pada penentuan hubungan hukum di antara para pihak.
Menurut A. Joanne Kellermann,[21]
penafsiran perjanjian adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari
pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian dan akibat
hukum yang timbul karenanya. Dengan demikian pemahaman komprehensif terhadap
substansi perjanjian sangat tergantung pada kemampuan dan penguasaan oleh
mereka yang memang profesional di bidangnya (i.c. para yuris).
Dalam Black’s Law Dictionary,[22]
interpretasi diartikan sebagai “the art
or process of discovering and ascertaining the meaning of a statute, will,
contract, or other written document. The discovery anf representation of the
true meaning of any signs used to convey ideas.” Interpretasi sebagai suatu
metode untuk menemukan pemahaman yang utuh dan padu, bukanlah merupakan langkah
mudah dan sederhana, namun lebih dari itu dibutuhkan pemahaman yang
komprehensif dan integratif terhadap konteks pernyataan, ketentuan atau aturan
dimaksud. Dengan demikian proses menafsirkan bukanlah sekedar memaknai secara
harfiah gramatikal, namun lebih dari itu pemahaman pada konteksnya dan berujung
pada suatu konklusi yang tepat dan valid.
Prosedur sederhana
yang dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan pernyataan-pernyataan para
pihak, terkait “maksud” maupun “peristilahan” yang dipergunakan, adalah sebagai
berikut.[23]
a.
Pertama,
gambaran para pihak berkenaan dengan hak dan kewajiban, kata-kata dalam
pernyataan tidak penting. Berarti interpretasi didasarkan pada “maksud” para
pihak mengenai penggunaan istilah-istilah dalam perjanjian yang mereka buat.
Tidak menjadi masalah, apakah istilah tersebut dimaknai sebagaimana lazimnya di
masyarakat atau tidak. Di sini “maksud” para pihak merupakan manifestasi
kebebasan berkontrak dalam menentukan makna berdasar istilah yang digunakan,
dan karenanya mengikat mereka;
b.
Kedua,
apabila gambaran yang berkenaan dengan hak dan kewajiban tidak dapat
ditunjukkan, artinya para pihak tidak sama pemahaman dan pengertiannya terhadap
“peristilahan” yang dipergunakan, maka pernyataan ditentukan oleh kepercayaan
yang wajar dari pernyataan tersebut. Kepercayaan yang wajar di sini berarti
menyerahkan penilaian makna “peristilahan” tersebut kepada praktik di
masyarakat.
Di dunia hukum paling
tidak dikenal beberapa metode interpretasi, antara lain: gramatikal, teologis
atau sosiologis, otentik, sistematis, historis, restriktif, ekstentsif, analog
dan a-contrario. Apa yang sementara
ini dipahami oleh sebagian kalangan lebih mengarah pada pola interpretasi yang gramatikal dan
fatamorgana, sehingga hasil capaiannya menjadi semu dan tidak mendasar.
Penguasaan terhadap metode interpretsi yang baik akan membuat seorang yuridis
lebih arif dan bijaksana dalam memaknai segala sesuatunya sesuai konteksnya,
tanpa meninggalkan atau sekedar menekankan pada suatu metode saja.
Pitlo menegaskan
bahwa seorang yuridis yang bekerja sungguh-sungguh, berkat
pemikiran-pemikirannya lambat laun akan menguasai cara kerja yang tepat dan
mantap, tetapi harus membuka mata terhadap nilai metode-metode lain. Kesediaan
untuk menggunakan semua cara, akan menghasilkan harapan yang terbesar untuk
sampai pada hasil yang objektif dan benar. Sebuah hasil yang layak sesuai
dengan tujuan hukum yang membawa keadilan dan ketentraman dalam saling
berhubungan antara sesama manusia (dalam konteks telaah ini hubungan para
pelaku bisnis).[24]
2. Penafsiran
Perjanjian Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Beberapa pedoman dalam penafsiran perjanjian sudah
dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata
(yang selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu di Buku Ketiga Bagian Keempat,
yang terdiri dari 10 pasal, mulai dari Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.[25]
pasal-pasal tersebut memuat sepuluh prinsip interpretasi perjanjian, yaitu:
a.
Jika
kata-kata dalam perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpanginya dengan
jalan penafsiran atau interpretasi. Kata
“jelas” berarti kata-kata yang
sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang berbeda.
Semacam doktrin pengertian jelas atau “plain
meaning rules” (Pasal 1342 KUH Perdata);
b.
Jika
kata-kata suatu perjanjian mengandung multi interpretasi, maka maksud para
pihak lebih diutamakan daripada kata-kata dalam perjanjian (Pasal 1343 KUH
Perdata);
c.
Jika
suatu
perjanjian mengandung macam-macam pengertian, maka dipilih makna
yang memungkinkan untuk dilaksanakan (Pasal 1344 KUH Perdata);
d.
Jika
kata dalam suatu perjanjian bermakna ganda, makna harus dipilih makna yang
paling sesuai dengan sifat perjanjiannya (Pasal 1345 KUH Perdata);
e.
Jika
ada
perkataan yang meragukan, harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau
di tempat persetujuan dibuat
(Pasal 1345 KUH Perdata);
f.
Syarat-syarat
yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk
dalam perjanjian, walaupun tidak ditegaskan dalam perjanjian (Pasal 1347 KUH
Perdata);
g.
Antara
satu klausul dengan klausul lainnya dalam suatu perjanjian harus diartikan
dalam hubungannya satu sama lain (interpretasi komprehensif-menyeluruh) (Pasal
1348 KUH Perdata);
h.
Jika
ada
keragu-raguan, suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta
diperjanjikan dan atas keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya dalam
perjanjian itu, semacam doktrin “contra proferentem” (Pasal 1349 KUH Perdata);
i.
Jika
kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu perjanjian mempunyai makna yang
meluas, maka harus diinterpretasikan sebatas hal-hal yang nyata-nyata
dimaksudkan para pihak pada saat membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata);
j.
Jika
dalam suatu perjanjian terdapat penegasan tentang suatu hal, tidaklah
mengurangi atau membatasi daya berlaku perjanjian terhadap hal-hal lain yang
tidak ditegaskan dalam perjanjian tersebut (Pasal 1351 KUH Perdata).
Dengan demikian dalam
memahami isi perjanjian secara komprehensif, tidak dapat sekedar menafsirkan
kata demi kata, istilah per istilah, menurut pengertian gramatikalnya saja.
Demikian halnya ketika memaknai rumusan Pasal 1342 KUH Perdata secara
gramatikal, maka larangan untuk melakukan interpretasi terhadap kata-kata suatu
perjanjian yang sudah jelas, kiranya patut direnungkan lebih mendalam. Pada
umumnya kata-kata dalam suatu perjanjian pergramatikal jelas, tetapi makna yang
terkandung di dalamnya tidak mudah untuk dipahami dan dijelaskan.
Salah satu contoh
ketentuan pasal yang jelas bunyinya, namun tidak demikian pemaknaannya dapat
dianalisis substansi di dalam Pasal 1446 KUH Perdata yang menyatakan, “Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang
yang belum dewasa (minderjarig) atau orang-orang yang ditaruh di bawah
pengampuan (curatela), adalah batal demi hukum (nietig).” benarkah
perikatan yang dibuat oleh mereka yang onbekwaam
(minderjarig maupun curandus) adalah batal demi hukum?
Pergramatikal maka bunyi Pasal 1446 KUH Perdata ini jelas, namun pemaknaanya
justru tidak jelas dan kontradiksi dengan kenyataan di lapangan, di mana
perikatan yang dibuat oleh minderjarig
atau mereka yang dibawah pengampuan, hal ini terkait dengan kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum justru tidak batal (nietig) tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hal ini sejalan dengan pemikiran doktrin terhadap Pasal
1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, di mana tidak dipenuhinya
syarat kesepakatan (toestemming) dan
kecakapan (bekwaamheid), sebagai
syarat subjektif, tidak mengakibatkan batalnya perjanjian. Melalui interpretasi
historis pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa pada proses penyusuanan pasal ini
sebenarnya yang dimaksud pembentuk undang-undang pada waktu itu bukan batal
demi hukum (nietig) tetapi dapat
dibatalkan (vernietigbaar). Dengan
demikian kata “nietig” dalam Pasal
1446 KUH Perdata harus dibaca (diinterpretasi) “vernietigbaar.”
Perkembangan lain
yang memperkuat asumsi perlunya metode interpretasi sebagai sarana yang
mempersentasi adanya kepastian hukum dan keadilan, dapat dicermati putusan
pengadilan yang menggunakan metode interpretasi terhadap penerapan Pasal 1365 KUH
Perdata dan Pasal 1977 KUH Perdata. Sebelum putusan H.R. 31 Januari 1919, NJ
161 : dalam kasus Lidenbaum-Cohen,
perbuatan melanggar hukum (onrechmatig
daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata diinterpretasi secara
sempit hanya sebatas perbuatan melanggar undang-undang (onwetmatige daad). Demikian pula dengan ketentuan Pasal 1977 (1) KUH
Perdata, di mana penerapan pasal ini mengalami perkembangan melalui
interpretasi bahkan penghalusan hukum (rechtsvervijning).
Interpretasi gramatikal terhadap adagium Pasal 1977 (1) KUH Perdata, “bezit geldt als volkoman titel”, justru
menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Sebagaimana diketahui bahwa
ketentuan Pasal 1977 (1) KUH Perdata ini menerobos prinsip dasar levering (penyerahan) sebagaimana diatur
dalam Pasal 584 KUH Perdata, yang mensyaratkan adanya titel sah (geldige titel; peristiwa perdata) dan
kewenangan berhak (beschikkings-bevoegd).
Penerobosan oleh Pasal 1977 (1) KUH Perdata ini
khususnya terkait dengan kewenangan berhak (beschikkings-bevoegd) walaupun demikian menerapkannya tidak
diperkenankan sekedar diinterpretasi secara gramatikal. Oleh karena itu Pasal
1977 (1) KUH Perdata justru harus diinterpretasi sedemikian rupa dengan melalui
tahapan atau fase-fase yang harus dilalui sehingga adagium “bezit geldt als volkomen titel” dapat
diberlakukan.[26]
Hal ini sejalan dengan pendapat H.R. 5 Mei 1950, Nj 1951, damhot atau staat, di
mana agar memperoleh perlindungan Pasal 1977 (1) KUH Perdata, maka pihak III
harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a.
Memperoleh
bezit karena pemindahan (feitelijke overgave),
b.
Perolehan
karena suatu alas hak yang sah (geldige
titel),
c.
Memperoleh
sesuatu dengan itikad baik (ter goede
trouw),
d.
Perolehan
dengan imbalan (onder bezwarende titel
atau om baat).
Berbeda dengan KUH Perdata lama, termasuk KUH Perdata
Indonesia yang mengatur tentang interpretasi dalam bagian khusus (Bagian
Keempat), tentang Penafsiran Perjanjian, Pasal 1342-1351 BW), maka NBW tidak
lagi mengatur secara khusus. Penghapusan ketentuan interpretasi dalam NBW
karena substansi pasal-pasal tentang interpretasi tersebut dianggap terlalu
umum rumusannya, sehingga maknanya menjadi tidak tepat dan sulit untuk
diterapkan.
3.
Metode-Metode Dalam Penafsiran Perjanjian
Menurut Achmad
Ali, metode penemuan hukum oleh hakim dibedakan menjadi dua jenis, yaitu metode
interpretasi dan metode konstruksi. Pada metode interpretasi,
penafsiran terhadap teks undang-undang dengan tetap berpegang pada bunyi teks.
Sedangkan pada metode konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya
untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak
lagi berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak
mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.[27]
Achmad Ali berpendapat bahwa, interpretasi sistematis
sebagaimana metode interpretasi lainnya, mempunyai nilai relatif. Suatu kata
dalam suatu perundang-undangan memiliki makna yang lebih tinggi dibandingkan
kata yang sama dalam perundang-undangan yang lain.[28]
Kalimat maupun istilah-istilah yang terdapat di dalam
suatu perjanjian terkadang tidak jelas dan memiliki penafsiran yang
multitafsir, oleh karena itu, penafsiran atau interpretasi terhadap
klausul yang terdapat di dalam perjanjian terkadang perlu
dilakukan. Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan
yaitu:
a.
Penafsiran
Gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan tata bahasa, yang karena itu
hanya mengingat bunyi kata-kata dalam kalimat itu sendiri (penjelasan undang-undang
menurut susunan kata-katanya).[29] Dengan menggunakan interpretasi
gramatikal, maka pengadilan dapat menyatakan bahwa:
1)
Naskah
yang terdapat dalam undang-undang atau perjanjian tersebut jelas mengatur
perkaranya; atau
2)
Ada
dua naskah atau lebih solusi atau pendektan yang dapat dipilih;
3)
Naskah
undang-undang tersebut, yang tersusun dalam kalimat, tidak mudah terpengaruh
oleh soslusi.[30] Contoh suatu peraturan melarang
orang memparkirkan kendaraannya di suatu tempat.[31]
b.
Penafsiran
historis atau sejarah, adalah meneliti sejarah dari undang-undang
yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya.
Penafsiran historis dibedakan menjadi dua yaitu :
1)
Sejarah
hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP,
BW, hukum romawi dan sebagainya.[32]
2)
Sejarah
undang-undang, yaitu penelitian terhadap pembentukan undang-undang tersebut,
seperti ketentuan denda dalam KUHP pidana, sekarang dikalikan lima belas
mendekati harga-harga pada waktu KUHP Pidana itu dibentuk.[33]
Contoh : seseorang yang melanggar okum didenda sebesar
Rp. 500,-, maka denda sebesar itu jika diterapkan pada zaman sekarang jelas
tidak sesuai, oleh karena itu harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga
yang sekarang ini.
c.
Penafsiran
Sistematis, yaitu dengan cara mempelajari sistem dan rumusan undang-undang
yang meliputi:
1)
Penalaran
analogi dan penalaran a contario.
Penggunaan a contario yaitu
memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara
kebalikan, sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah
undang-undang.
2)
Penafsiran
ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah terdahulu secara logis
tak ada perbedaan).
3)
Penghalusan
atau pengkhususan berlakunya undang-undang.
d.
Penafsiran
Teleologis atau Sosiologis, yaitu penafsiran berdasarkan maksud atau
tujuan dibuatnya undang-undang itu dan ini meningkatkan kebutuhan manusia yang
selalu berubah menurut masa, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak
berubah. Contoh walaupun undang-undang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan akan
tetapi jika undang-undang itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap
kejadian atau peristiwa masa sekarang.
e.
Penafsiran
Authentic (Sahih dan
Resmi), yaitu memberikan penafsiran yang pasti sebagaimana yang telah
ditentukan oleh undang-undang itu sendiri.[34] Contoh:
Pasal 98 KUHP, dinyatakan malam, hal ini yang dimaksud adalah waktu antara
matahari terbenam dan matahari terbit, dan Pasal 100 KUHP, dinyatakan binatang
ternak, yang dimaksudkan di sini adalah binatang yang berkuku satu, mamah biak,
dan babi.
f.
Penafsiran
Ektensis (Luas), Yaitu menafsirkan berdasarkan luasnya arti kata dalam
peraturan itu, sehingga suatu peristiwa dapat dimasukannya, seperti : aliran
listrik dapat dimasukan kedalam kata benda, karena itu ada yang berwujud dan
yang tidak berwujud. Contoh aliran listrik termasuk benda.
g.
Penafsiran
Analogi, sesungguhnya hal ini sudah tidak termasuk interpretasi, karena
analogi sama dengan qiyas, yaitu hukum ibarat
dengan kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuai
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, kemudian dianggap sesuai
dengan bunyi aturan tersebut, misalnya, menyambung atau menyantol aliran
listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Misalnya: Hakim
cari undang-undang yang tepat untuk mengadili perkara kalau undang-undang tidak
ada, maka ia lari ke:
1)
Yurisprudensi;
2)
Dalil
hukum adat;
3)
Melakukan
undang-undang secara analogi (kontruksi hukum).
Hakim kalau dalam melakukan undang-undang secara analogi
ini harus berhati-hati dalam penggunaannya, maka ada hal-hal yang harus
diperhatikan berikut ini:
1)
Apabila
ada perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh undang-undang cukup
persamaannya, sehingga penerapan asas yang sama dapat dipertanggungjawabkan
serta tidak bertentangan dengan asas keadilan.[35]
2)
Apabila
keadilan yang tertarik dari analogi hukum itu serasi dan cocok dengan sitem
serta maksud perundang-undangan yang ada.[36]
Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi
kekosongan dalam undang-undang.
h.
Penafsiran
Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata
dalam peraturan itu, misalnya, kerugian tidak termasuk kerugian yang terwujud
seperti sakit, cacat, dan sebagainya.[37]
i.
Penafsiran
Nasional, yaitu cara penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan hukum-hukum
yang berlaku.
j.
Penafsiran
a Contrario (Menurut
Pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan
pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam
suatu undang-undang. Berdasarkan perlawanan (pengingkaran) itu dapat dinyatakan
bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau
berada di luar pasal itu. Misalnya Pasal 1576 KUH Perdata: “Penjualan
benda yang disewakan tidak menyebabkan putusnya sewa menyewa”. Bagaimana kalau
peristiwa penghibahan? Di dalam Pasal 1576 KUH Perdata itu tertulis
“penjualan” bukan “penghibahan.” Contoh lain Pasal 34 KUH
Perdata berbunyi bahwa; “seorang perempuan tidak diperkenankan menikah
lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.”
Bagaimana halnya bagi seorang laki-laki? Waktu tunggu 300 hari? Jawabannya
tidak, karena Pasal 34 KUH Perdata itu tidak menyebutkan bagi laki-laki, tetapi
harus ditujukan kepada seorang perempuan. Maksud waktu menunggu dalam Pasal 34
KUH Perdata bagi seorang perempuan itu adalah untuk mencegah adanya keraguan
mengenai kedudukan sang anak, ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu
dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama. Hal-hal tersebut di atas
dapatlah dinyatakan bahwa dasar berfikir a contrario itu merupakan lawan dari menafsirkan undang-undang
secara analogis, karena dasar berfikir a
contrario itu sama sekali bukan dalil, bahwa pasal untuk suatu
peristiwa tertentu juga dapat diadakan peraturan tersendiri itu, sudah bukti yang
jelas bahwa undang-undang tidak menghendaki peristiwa yang serupa itu termasuk
diatur juga[38].
k.
Penafsiran
Perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan
penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.
Menurut Sudikno
Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum pada
peristiwa hukum yang kongkrit.
Mengenai asas
keseimbangan R. Kranenburg mengatakan bahwa: Asas keseimbangan merupakan dasar
berfungsinya kesadaran hukum orang, yang mana kesadaran hukum seseorang adalah
menjadi sumber hukum seseorang. Dalil atas asas keseimbangan tersebut adalah
bahwa tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak
dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu, dan dalam
hal pembagian keuntungan dan kerugian tersebut tidak ditetapkan terlebih dahulu
dasar-dasarnya, maka tiap-tiap anggota-anggota masyarakat hukum sederajat dan
sama.[39]
4. Penafsiran
Perjanjian Dalam Hukum International
Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) merupakan landasan utama atas pengaturan
perjanjian international secara teknis maupun material. Perjanjian International menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi
Wina 1969 tentang hukum perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh
negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum international, apakah
terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apapun namanya.[40]
Penafsiran perjanjian international berarti perbuatan untuk memberikan
keterangan atau menjelaskan instrumen-instrumen atau substansi persetujuan
tertulis yang dibuat oleh negara-negara.
Pasal 31 Konvensi Wina 1969
menetapkan aturan-aturan umum penafsiran perjanjian
yang terdiri dari
empat ketentuan, yaitu:
a.
Suatu
perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik menurut arti yang umum yang
tercantum dalam ketentuan perjanjian sesuai konteksnya sebagai cermin
atas objek dan maksud
perjanjian.
b.
Kerangka
tujuan penafsiran harus mencakup sebagai tambahan atau teks
konsideran dan lampiran yang mencakup setiap persetujuan naskah yang ada
hubungannya dengan perjanjian tersebut, dan instrumen apapun yang dibuat oleh
satu atau beberapa pihak sehubungan dengan tujuan perjanjian dan oleh pihak lain sebagai instrumen yang
berhubungan dengan perjanjian.
c.
Harus
juga diperhatikan setiap persetujuan dan praktik penerapan yang menyusul
pembentukan perjanjian, serta setiap aturan hukum international yang
relevan.
d.
Arti yang
khusus dapat ditetapkan bagi suatu hal
jika para pihak menghendaki demikian.
Untuk memperkuat arti yang dihasilkan dari penerapan
penafsiran sesuai dengan Pasal 31 Konvensi Wina 1969 di atas, maka ada sarana
tambahan untuk melakukan penafsiran tersebut yang dimuat dalam Pasal 32
Konvensi Wina 1969, yakni sebagai suatu alat pelengkap dalam melakukan
penafsiran, yang mana dalam melakukan penafsiran itu hasilnya tidak ambiguiti atau bermakna ganda atau kabur
dan tidak menghasilkan arti yang tidak masuk akal atau yang berlebih-lebihan.
Pasal 33 Konvensi Wina 1969 menjelaskan mengenai
perjanjian yang dibuat dalam dua bahasa atau lebih maka istilah-istilah dalam
kedua bahasa tersebut dianggap sama, namun apabila suatu teks tertentu dari
perjanjian ini memiliki suatu makna yang jauh berbeda maka naskah khususlah
yang akan dipakai (a particular text).
Berikut ketentuan
penafsiran perjanjian dalam dua bahasa yang dalam implementasinya melibatkan Negara Indonesia
dengan negara-negara lainnya:[41]
a.
Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga Negara Indonesia.
b.
Perjanjian
yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa
nasional pihak asing tersebut dan atau bahasa
Inggris.
c.
Jika
perjanjian telah disahkan dalam dua atau lebih bahasa, naskah tersebut akan sama-sama sah dalam setiap bahasa,
kecuali perjanjian mengatur atau para pihak sepakat bahwa jika terjadi
perbedaan penafsiran, naskah dengan bahasa ditentukan dalam
perjanjianlah yang akan berlaku.
d.
Versi
naskah perjanjian dalam sebuah bahasa salah satu dari naskah-naskah yang telah
disahkan akan dianggap naskah otentik jika perjanjian
mengatur demikian atau para pihak menyetujuinya.
e.
Syarat-syarat perjanjian dianggap
memiliki arti yang sama di masing-masing naskah otentik.
f.
Makna yang paling mendamaikan isi
naskah dengan memerhatikan objek dan tujuan dari perjanjian,
harus diadopsi.
Ada 3 (tiga) aliran besar yang menjadi doktrin dalam penafsiran
perjanjian international, yaitu:[42]
a.
Aliran
yang menekankan pada naskah perjanjian (textual
school), menurut aliran ini teks
atau naskah dalam perjanjian itu sendirilah yang secara tegas merupakan wujud
dari maksud dan kehendak para pihak, oleh karena itu untuk mengetahui maksud
dan kehendak dari para pihak haruslah dilihat dan dibaca naskah dari perjanjian
itu sendiri.
b.
Aliran
yang menekankan pada maksud dari para pihak (intention of the parties school), menurut aliran ini makna yang
terkandung dalam suatu perjanjian international hendaknya dicari maksud dari
para pihak ketika mereka merundingkan naskah perjanjian itu, oleh karena itu
menurut aliran ini meskipun sudah ada naskah perjanjiannya, tetapi dari naskah
itu tidak dapat diketahui sepenuhnya maksud dari pada pihak, sebab bahasa yang
tercantum dalam naskah itu tidak sepenuhnya representatif sebagai sarana
menuangkan maksud dari para pihak.
c.
Aliran
yang menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian (teological school), aliran ini menitikberatkan pada tujuan dari
perjanjian, karena pengaruh dari berbagai faktor, apa yang menjadi tujuannya
belum tentu sama seperti ketika dalam proses perundingan ataupun seperti yang
tertuang di dalam naskah perjanjian.
Doktrin-doktrin dalam
melakukan penafsiran ini dapat menutupi kekurangan satu sama lain, karena
faktanya perjanjian international itu ada yang dari naskah perjanjiannya dapat
dilihat dan dicari makna suatu istilah tertentu, adapun istilah tertentu
tersebut dapat diketahui maknanya dari tujuan perjanjian itu sendiri. Dalam hal
ini tidak ada cara ataupun metode yang diharuskan atau mengikat untuk diikuti
dalam melakukan suatu penafsiran. Pasal 31, 32 dan 33 Konvensi Wina 1969 hanya
sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan suatu penafsiran dalam hukum
international.
5.
Prinsip atau Doktrin-Dokrin Umum Dalam Penafsiran Perjanjian
Dalam ilmu hukum perjanjian, dikenal 3 (tiga) unsur yang
harus dipenuhi dalam penafsiran perjanjian, yaitu sebagai berikut:[43]
a.
Penafsiran
perjanjian harus untuk mendapatkan arti logis atau masuk akal (reasonable);
b.
Penafsiran
perjanjian harus untuk mendapatkan arti yang sesuai dengan undang-undang dan
kebiasaan yang berlaku;
c.
Penafsiran
perjanjian haruslah untuk mendapatkan arti yang efektif dan efisien.
Di samping 3 (tiga)
unsur yang harus dipenuhi dalam penafsiran perjanjian di atas, maka dalam ilmu
hukum perjanjian dikenal pula beberapa prinsip-prinsip atau doktrin-doktrin
umum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam hal terjadi perbedaan penafsiran
atau interpretasi terhadap perjanjian, yaitu sebagai berikut:[44]
a.
Pegangan
utama dalam menafsirkan perjanjian adalah adanya asumsi bahwa para pihak telah
menggunakan bahasa dengan cara yang sama seperti kebanyakan orang
menggunakannya;
b.
Klausula
yang dinegosiasikan secara khusus lebih diperhatian ketimbang klausula baku;
c.
Klausula
khusus lebih diperhatikan ketimbang klausula umum;
d.
Maksud
utama (primary purpose) dari para
pihak lebih diutamakan;
e.
Penafsiran
dilakukan untuk keuntungan pihak yang beritikad baik daripada pihak yang tidak
beritikad baik;
f.
Klausula
yang ditulis tangan lebih diperhatikan ketimbang klausula yang diketik;
g.
Klausula
yang diketik lebih diperhatikan ketimbang klausula yang ditulis dicetak;
h.
Jika
dalam perjanjian ada 2 (dua) klausula yang bertentangan, maka klausula yang
lebih banyak dibicarakan (dinegosiasikan) lebih dimenangkan daripada klausula
yang kurang dinegosiasikan;
i.
Penafsiran
dilakukan untuk keuntungan pihak yang tidak memakai tenaga lawyer atau tenaga ahli dalam proses drafting atau negosiasi perjanjian, daripada pihak yang memakai
tenaga lawyer atau tenaga ahli;
j.
Doktrin
contra proferentem. Dalam hal
penafsiran perjanjian, yang dimaksudkan adalah bahwa penafsiran perjanjian
dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun perjanjian tersebut;
k.
Doktrin
expressio unius est exclusio alterius.
Artinya, harafiahnya adalah bahwa menyatakan sesuatu berarti tidak untuk memasukan
yang lain. Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini dimaksudkan bahwa jika para
pihak telah dengan khusus membuat daftar dari sesuatu, maka berarti yang
lainnya tidak akan termasuk dalam daftar tersebut. Kecuali ada kata-kata yang bersifat inklusif dalam daftar tersebut,
seperti kata-kata “dan lain-lain” misalnya;
l.
Doktrin
ejusdem generis (dari jenis yang
sama). Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini dimaksudkan bahwa jika para
pihak telah dengan khusus membuat daftar dari sesuatu, disertai dengan
kata-kata yang bersifat inklusif dalam daftar tersebut, seperti kata-kata
“dan-lain-lain” misalnya, maka dalam hal ini, hal lain yang boleh masuk ke
dalam daftar tersebut adalah hal-hal yang sejenis dengan hal yang ada dalam
daftar tersebut;
m.
Doktrin
noscitur a sociis (dikenal dari
kelompoknya). Doktrin ini serupa dengan doktrin ejusdem generis. Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini
dimaksudkan bahwa arti dari suatu kata dalam perjanjian dapat dilihat dari
kata-kata lain yang menyertainya;
n.
Jika
kebijaksanaan hukum atau kebijaksanaan pengadilan pada umumnya lebih
menghendaki keabsahan perjanjian, maka penafsiran harus untuk mengesahkan
berlakunya perjanjian daripada membatalkan perjanjian;
o.
Dalam
menafsirkan perjanjian, kebiasaan dalam perdagangan mengikat para pihak,
meskipun salah satu pihak dalam perjanjian tidak mengetahui adanya kebiasaan
tersebut. Misalnya, kata “50% (lima puluh persen)” dalam bisnis bisa juga
berarti 49,5% (empat puluh sembilan koma lima persen);
p.
Suatu
perjanjian tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan, tidak bisa
sepotong-sepotong;
q.
Istilah-istilah
teknis harus ditafsirkan sesuai pengertiannya secara teknis dalam bidang yang
bersangkutan, tidak ditafsirkan dalam pengertiannya yang umum.;
r.
Istilah
khusus harus diartikan secara khusus daripada memakai arti yang berasal dari
bahasa yang umum.
Penyebutan prinsip-prinsip tersebut di atas tidak berarti
bahwa daftar tersebut sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap.
Prinsip-prinsip tersebut memberikan beberapa pedoman umum penafsiran
perjanjian. Beberapa prinsip-prinsip tersebut di atas sebenarnya diambil dari
ketentuan dalam KUH Perdata (lama).
Walaupun demikian Arthut S. Hartkamp dan Marianne M.M.
mengemukakan beberapa prinsip umum interpretasi perjanjian yang diterima dalam
praktik penerapan interpretasi di pengadilan Belanda, yaitu:[45]
a.
Maksud
para pihak yang harus diuji daripada sekedar menafsirkan makna literal kata-kata
dalam perjanjian;
b.
Ketentuan-ketentuan
perjanjian harus dipahami dalam makna “in
which it would have any effect rather than in a sense in which it would have no
effect”;
c.
Kata-kata
perjanjian harus diperlukan sesuai dengan sifat perjanjian;
d.
Jika
menafsirkan suatu perjanjian harus memperhatikan aspek regional, lokal,
profesional, dan kebiasaan;
e.
Terkait
dengan klausul baku dalam perjanjian konsumen-berlaku doktrin contra proferentem;
f.
Syarat-syarat
umum yang tertulis atau ketikan tambahan yang dicetak mengesampingkan
persyaratan yang dicetak; dan
g.
Penerapan
suatu argumentum a-contrario harus
dilakukan dengan hati-hati.
h.
In case of uncertainties (general) conditions drwan up by
a profesional party are in principle construed in favor of other party, especially
when the other party is a consumer.
Cara penafsiran yang demikian itu berbeda dengan yang
dianut di Amerika Serikat. Jika di dalam sistem civil law, hakim dapat langsung menafsirkan perjanjian berdasarkan
asas itikad baik, sedangkan dalam sistem common
law, penafsiran perjanjian umumnya diarahkan kepada unsur yang mengacu
kepada maksud para pihak (intention the
parties).[46]
Proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara
penafsiran juga sudah sejak lama dikenal dalam lapangan hukum international,
khususnya berbagai cara penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian
international, baik yang diatur dalam Konvensi, pendapat para ahli maupun dari
berbagai keputusan pengadilan (nasional ataupun international). Interaksi
antara ketentuan hukum nasional dengan kaidah-kaidah hukum international akan
semakin bertambah karena berkembangnya lalu lintas pergaulan hidup
international. Hubungan kerjasama antarnegara senantiasa dipelihara dan
ditingkatkan. Sebagai salah satu bentuk perwujudannya dituangkan dalam kegiatan
itu sehingga peselisihan yang berkaitan dengan penafsiran pernjanjian juga akan
semakin meningkat.[47]
Di dalam struktur hukum international dewasa ini tidak
terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan penafsiran pada perjanjian
international yang dapat mengikat semua negara. Lazimnya penafsiran perjanjian
dilakukan oleh negara masing-masing menurut ketentuan hukum nasionalnya, baik
hal ini dilakukan oleh pengadilan maupun pemerintahannya. Hak suatu negara
untuk mengadakan penafsiran sendiri memang diakui dalam hukum internasional
sehingga tidaklah berlebihan apabila dikemukakan pendapat Mc. Nair sebagaimana
dikutip oleh Yudha Bakti Ardhiwisastra yang menyatakan bahwa: “there is no part of the Law of Treaties
which the writer approaches with more trepidation that the question of
inter-pretation”.[48]
UUPC dan RUU Perjanjian (ELIPS), dalam sistematika Bab IV
tentang Penafsiran (Interpretation), Pasal
4.1-4.8, mengenai interpretasi perjanjian di atur sebagai berikut:
a.
Interpretasi
berdasarkan maksud para pihak (vide Pasal 4.1);
b.
Interpretasi
berdasarkan pernyataan dan perilaku lainnya (vide Pasal 4.2);
c.
Interpretasi
berdasarkan keadaan yang relevan, meliputi perundingan pendahuluan, praktik-praktik
yang telah ditetapkan para pihak, perilaku para pihak sebagai tindak lanjut
dari pembentukan perjanjian tersebut, serta sifat dan tujuan perjanjian (vide Pasal
4.3);
d.
Interpretasi
berdasarkan istilah dan ungkapan dari sudut pandang keseluruhan perjanjian
(vide Pasal 4.4);
e.
Interpretasi
berdasarkan semua istilah yang dipergunakan para pihak dalam perjanjian
tersebut (vide Pasal 4.5);
f.
Interpretasi
berdasarkan doktrin contra proferentem (vide Pasal 4.6);
g.
Interpretasi
dengan memasukan syarat yang belum tercantum, apabila terdapat perbedaan
mengenai hak dan kewajiban perjanjiantual, dengan memperhatikan maksud para
pihak, sifat dan tujuan perjanjian, itikad baik dan transaksi jujur, serta
kewajaran (vide Pasal 4.8).
Dalam Akta Perjanjian
1950, interpretasi sama sekali tidak disinggung, walaupun demikian praktik
pengadilan (khususnya untuk perjanjian konsumen) menerapkan dua teknik utama
untuk melakukan interpretasi terhadap klausul perjanjian yang bersifat
membatasi, mengecualikan tanggung gugat (i.c
exemption clause, exclusion clause, disclaimer clause), yaitu:[49]
a.
Teknik
pemasukan (incorporation), dengan
jalan memasukan klausul tersebut sebagai terma (ketentuan) dalam perjanjian. Di
sini terdapat dua metode utama untuk memasukan dalam pasal perjanjian, melalui:
(i) dokumen perjanjian, dan (ii) notis yang dibelakangnya tercetak klausul
dimaksud);
b.
Teknik
interpretasi tegas (contra proferentem), dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
kepada pengguna (konsumen).
B.
Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance) di Indonesia
1.
Pengertian Asuransi Secara Umum
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu
perjanjian, maka “perjanjian” itu sendiri perlu dikaji sebagai variabel untuk menuju pada pengertian
asuransi. Di samping itu acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian
dasar dari perjanjian.
Secara umum perngertian perjanjian dapat dijabarkan
antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Sesuatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih;
b.
Suatu
hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu (penanggung atau
tertanggung) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. (penanggung atau
tertanggung), yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas
suatu prestasi.[50]
Dari batasan tersebut
di atas dapat dinyatakan bahwa setiap perjanjian pada dasarnya akan meliputi
hal-hal tersebut di bawah ini:
a.
Perjanjian
selalu menciptakan hubungan hukum;
b.
Perjanjian
menunjukkan adanya kemampuan atau kewenangan menurut hukum;
c.
Perjanjian
mempunyai atau berisikan suatu tujuan bahwa pihak yang satu akan memperoleh
dari pihak yang lain suatu prestasi yang mungkin memberikan sesuatu, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
d.
Dalam
setiap perjanjian, Kreditur berhak atas prestasi dari Debitur, yang dengan suka
rela akan memnuhinya.
e.
Bahwa
dalam setiap perjanjian Debitur wajib dan bertanggung jawab melakukan
prestasinya sesuai dengan isi perjanjian.
Kelima unsur termasuk
di atas pada hakekatnya selalu terkandung pada setiap jenis perjanjian termasuk
perjanjian asuransi. Jadi pada perjanjian asuransi di samping harus mengandung
kelima unsur pokok tersebut di atas, mengandung pula unsur-unsur lain yang
menunjukkan ciri-ciri khusus dalam karakteristiknya. Ciri-ciri dan
karakteristik perjanjian asuransi inilah nanti yang membedakannya dengan jenis
perjanjian pada umumnya dan perjanjian-perjanjian lain.
Mengingat arti
pentingnya perjanjian asuransi sesuai dengan tujuannya, yaitu sebagai suatu
perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini sebenarnya menawarkan
suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis
yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti.
Pertanggungan dalam
praktek sering disebut dengan asuransi, tetapi kedua istilah tersebut
sebenarnya mempunyai pengertian yang sama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 Pasal 1 butir (1), mendefinisikan Asuransi sebagai suatu:
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu
perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi
oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
1)
Memberikan
penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
2)
Memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan atau atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat dinyatakan adanya unsur-unsur asuransi sebagai berikut:
a.
Adanya
Pihak Penanggung dan Tertanggung
Penanggung
dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban, dengan demikian perjanjian
antara penanggung dan tertanggung merupakan perjanjian timbal balik dan
konsensual.
b.
Adanya
Peralihan Risiko dari Tertanggung kepada Penanggung
Mengadakan
asuransi dengan tujuan mengalihkan risikonya yang mengancam harta kekayaan.
Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh
pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak
memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang
diasuransikan.
c.
Adanya
Peristiwa Tidak Tertentu (Evenemen)
Evenemen
adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan
terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat
ditentukan dan juga tidak diharapkan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan
kerugian.
d.
Adanya
Pembayaran Premi dari Tertanggung kepada Penanggung
Dengan
membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula
risiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu
asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki
dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung.
e.
Adanya
Ganti Kerugian
Jika
pada suatu ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah
menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan
ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Apabila kerugian yang timbul
itu bersifat sebagian (partial loss) maka
kepada tertanggung diberi penggantian kerugian sebesar kerugian yang diderita
tertanggung saja, meskipun tertanggung membayar penuh premi sebesar nilai benda
yang diasuransikan, dan apabila kerugian tersebut (total loss) dengan demikian barulah penanggung akan memberikan
ganti rugi seluruhnya kepada tertanggung.
f.
Tanggung
Jawab Hukum terhadap Pihak Ketiga
Tertanggung
mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga, adanya hak
tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Jadi perjanjian itu
diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya keadaan
(ekonomi) sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa. Batasan perjanjian
asuransi secara formal terdapat dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
Pasal 246 KUH Dagang:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Batasan tersebut di
atas oleh Prof. Emmy Pangaribuan secara luwes dikembangkan sebagai berikut:[51]
“Pertanggungan adalah suatu perjanjian, di mana
penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung
untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang
diharapkan yang akan dapat diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum
pasti.”
Dari batasan tersebut
di atas Prof. Emmy Pangaribuan selanjutnya menjabarkan lebih lanjut bahwa
perjanjian asuransi atau pertanggungan itu mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:
a.
Perjanjian
asuransi atau pertanggungan pada asasnya adalah suatu perjanjian penggantian
kerugian (chcadeverzekering atau indemniteits contrat). Penanggung
mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita
kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang
sungguh-sungguh diderita (prinsip indemnitas);
b.
Perjanjian
asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian bersyarat. Kewajiban mengganti
rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu
atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi;
c.
Perjanjian
asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban
penanggung mengganti rugi diharapkan dengan kewajiban bertanggung membayar
premi;
d.
Kerugian
yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas
mana diadakan pertanggungan.
Di samping itu Prof.
P. L. Wery, dalam bukunya Hoofzaken van
het verzekeringsrecht lebih lanjutnya mengatakan bahwa dari batasan Pasal
246 KUH Dagang Indonesia, yang sama dengan Pasal 246 juga dari dari Wetboek van Koophandel menyimpulkan bahwa pasal tersebut mengandung
3 sifat pokok dari perjanjian asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:[52]
a.
Asuransi
pada dasarnya merupakan perjanjian atau perjanjian ganti rugi atau perjanjian
indemnitas pihak yang satu (penanggung) mengikat dirinya terhadap pihak yang
lain (pengambil asuransi atau tertanggung) untuk mengganti kerugian yang
mungkin diderita olehnya;
b.
Asuransi
merupakan perjanjian bersyarat, dalam arti penanggung mengganti kerugian pihak
tertanggung ditentukan atau tertanggung pada peristiwa yang tidak dapat
dipastikan terlebih dahulu;
c.
Asuransi
merupakan perjanjian timbal balik.
Oleh karena itu
penanggung terdapat ikatan bersyarat terhadap tertanggung untuk membayar ganti
rugi, tetapi sebaliknya dari sisi tertanggung terdapat ikatan tidak bersyarat
untuk membayar premi.
Menurut Prof. P.L.
Wery selanjutnya masih dalam bukunya yang sama, dikemukakan lagi dua sifat lain
dari perjanjian asuransi, meskipun tidak terdapat dalam Pasal yang sama (246
KUH Dagang) tetapi dalam pasal-pasal yang lain yaitu pada Pasal 257 dan 258 KUH
Dagang sebagai berikut:[53]
1.
"Asuransi
merupakan perjanjian berdasarkan konsensus, dapat terjadi setelah ada kata
sepakat, artinya merupakan perjanjian tanpa bentuk.
2.
Asuransi
mempunyai sifat kepercayaan yang istimewa, saling percaya mempercayai di
antara para pihak adalah yang menentukan
perjanjian itu sendiri.
Pasal 246 KUH Dagang
yang memberikan batasan perjanjian asuransi, merupakan satu pasal kunci di
dalam sistem pengaturan perjanjian asuransi. pasal tersebut mengatur suatu
hubungan hukum dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian
sehingga perjanjian yang bersangkutan dapat disebut sebaga perjanjian asuransi.
Sifat khusus yang ditentukan di dalam Pasal 246 KUH Dagang inilah yang
merupakan dasar dari perjanjian asuransi, yang akan didukung oleh asas-asas
penting lain yang diatur lebih lanjut dalamm KUH Dagang. Asas-asas lain sebagai
asas pelengkap dari perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 250, 251, yo 268,
253, 257, 258 KUH Dagang dan seterusnya.
2.
Prinsip-Prinsip Umum Asuransi
Berdasarkan pada definisi-definisi tentang asuransi, maka
terdapat prinsip-prinsip pokok yang berlaku pada perjanjian asuransi, seperti:
a.
Prinsip
Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable
Interest)
Dalam perjanjian asuransi, kepentingan atas benda yang
dipertanggungkan merupakan syarat yang harus ada pada pihak tertanggung.
Berdasarkan prinsip ini, pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu
harus mempunyai kepentingan dengan barang yang akan diasuransikan, dan agar
kepentingan itu harus dapat dinilai dengan uang[54]
Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa, apabila seorang yang mengadakan suatu
pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah
diadakan suatu pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap
barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan
memberikan ganti rugi. Dengan demikian berdasarkan Pasal 250 KUHD tersebut,
kepentingan ini harus ada pada saat perjanjian asuransi diadakan. Pelanggaran pasal
ini dapat menyebabkan penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi.
Namun dalam prakteknya dewasa ini, ketentuan ini banyak dilanggar, karena
berdasarkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat ternyata berpendapat lain.
b.
Prinsip
Keseimbangan (Indemnity)
Perjanjian asuransi itu memberikan ganti rugi terhadap
kerugian yang diderita oleh tertanggung, yang disebabkan oleh bahaya
sebagaimana ditentukan di dalam polis. Berdasarkan nilai ganti rugi adalah sama
dengan besarnya kerugian yang diderita oleh tertanggung, tidak lebih. Kecuali
ditentukan lain di dalam undang-undang, maka suatu objek yang telah
dipertanggungkan secara penuh dalam jangka waktu yang sama, tidak dapat
dipertanggungakan lagi. Bila hal ini dilakukan, maka perjanjian yang kedua itu
terancam batal (Pasal 252 KUHD).[55]
Isi Pasal 252 KUHD ini melarang pertanggungan atas benda yang sama dengan nilai
penuh untuk kedua kalinya dalam waktu yang bersamaan dengan tujuan untuk
mencegah adanya ganti rugi yang melebihi kerugian yang sungguh-sungguh
dideritanya. Tujuan adanya prinsip indemnitas ini pada pertanggungan ini adalah
untuk mencegah perbuatan orang-orang
yang mempertanggungkan harta
bendanya hanya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.
c.
Prinsip
Itikad Baik dan Kejujuran yang Sempurna (Utmost
Good Faith)
Di dalam perjanjian asuransi, tertanggung diwajibkan
untuk memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya, mengenai objek atau
barang yang dipertanggungkan secara benar. Keterangan yang tidak benar atau
informasi yang tidak diberikan kepada penanggung walaupun dengan itikad baik
sekalipun dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi, prinsip ini diatur
di dalam Pasal 251 KUHD. Pasal 251 KUHD, berfungsi untuk memberikan
perlindungan kepada pihak tertanggung, karena ketentuan tersebut mewajibkan
tertanggung memberikan keterangan sedemikian rupa sehingga keterangan tersebut
dapat diandalkan oleh penanggung untuk menutup asuransi. Pembentukan undang-undang
membebani tertanggung dengan kewajiban memberikan keterangan tersebut, karena
tertanggung dianggap sebagai orang yang paling tahu tentang risiko yang akan
dipertanggungkannya. Oleh karena itu jika tertanggung tidak memberikan
keterangan yang jujur, maka penanggung dapat membebaskan dirinya dari risiko
yang secara tidak adil telah diperalihkan kepadanya.
d.
Prinsip
Subrogasi
Prinsip ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari
prinsip indemnity, yaitu yang hanya
memberikan ganti rugi kepada tertanggung sebesar kerugian yang dideritanya.
Apabila tertanggung setelah menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan
kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanmya, dan hak itu
beralih kepada penanggung. Prinsip ini diatur secara tegas dalam Pasal 284
KUHD yang berbunyi: seorang penanggung yang membayar
kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung
dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan
penerbitan kerugian tersebut, dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab
untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap
orang-orang ketiga itu.[56]
Dari Pasal 284 KUHD juga dapat dinyatakan bahwa untuk terjadinya subrogasi
diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1)
Tertanggung
mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga;
2)
Adanya
hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak
ketiga.
Di
samping itu, dapat juga dinyatakan bahwa subrogasi hanya berlaku jika
penanggung telah membayar ganti rugi yang diwajibkan. Subrogasi terjadi secara
otomatis.d.engan sendirinya karena undang-undang, penanggung yang telah
membayar uang ganti rugi kepada tertanggung, berdasarkan undang-undang dapat
menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang sebenarnya dapat dituntut
pertanggung jawabannya atas kerugian itu oleh tertanggung, dan tertanggung
telah melepaskan tuntutan itu terhadap pihak tersebut, karena tertanggung sudah
menuntut kepada penanggung. Subrogasi berlaku pada pertanggungan kerugian.
e.
Prinsip
Sebab Langsung
Dalam prinsip ini risiko yang tercantum dalam polis
itulah yang diganti kerugiannya, karena dalam polis telah tercantum hal-hal
yang telah disepakati mengenai risiko-risiko apa saja yang dijamin, yang akan
diganti kerugiannya oleh perusahaan asuransi ketika terjadi peristiwa yang
menyebabkan kerugian, kecuali yang tercantum dalam Pasal 249 dan Pasal 276
KUHD, serta risiko-risiko yang tidak dijamin dalam Polis.
Pasal 249 KUHD:
“Penanggung
sama sekali tidak wajib menanggung untuk kerusakan atau kerugian yang langsung
timbul karena cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan kodrat dari yang
dipertanggungkan sendiri, kecuali jika dipertanggungkan untuk itu dengan
tegas”.
Pasal 276 KUHD:
“Tiada
kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan dari tertanggung
sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia boleh tetap memegang atau
menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul bahaya”.
3.
Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance)
Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance) adalah suatu asuransi atau pertanggungan yang
memberikan jaminan atau proteksi terhadap kerugian atau kerusakan atas objek
pertanggungan sebagai akibat adanya bahaya-bahaya laut (Maritime Perils)
yang terjadi dalam masa pengangkutan melalui laut.
Pengelompokan Jenis Asuransi
Pengangkutan Laut, dibagi dalam 3 (tiga) jenis :
a. Pengangkutan barang keluar negeri (Export), yaitu pengangkutan ditujukan untuk barang-barang yang hendak dikirimkan dari Indonesia keluar
negeri (Export);
b. Pengangkutan barang ke dalam negeri (Import), yaitu pengangkutan ditujukan untuk barang-barang yang dikirim dari luar negeri masukn ke
Indonesia (Import);
c. Pengangkutan antar pulau (Inter-insular), yaitu pengangkutan ditujukan untuk barang-barang yang dikirimkan antara satu kota atau pulau
lain dalam suatu negara.
Objek pertanggungan dalam asuransi ini
adalah barang yang diangkut itu sendiri (cargo), biaya angkut atau
uang tambang (freight), keuntungan yang diharapkan (imaginary
profit) dan premi asuransi barang tersebut (insurance premium).
Adapun risiko-risiko
yang dijamin dalam Marine Cargo Insurance:
a.
Bahaya-bahaya yang disebabkan oleh laut seperti ombak
besar, angin topan dan sebagainya (perils of the seas);
b.
Bahaya-bahaya yang
mungkin timbul atau terjadi di atas lautan seperti tabrakan kapal, kebakaran di
kapal, pembajakan dan sebagainya (perils on the seas);
c.
Bahaya-bahaya yang
tidak termasuk dalam perils of the seas
maupun perils on the seas seperti
pencurian, pembongkaran, barang tidak dikirim, pecah dan lain-lain (extraneous
risk).
Secara rinci kondisi
pertanggungan yang dijamin dalam Marine Cargo
Insurance yaitu:
a. Pengangkutan Laut (Marine Cargo)
1)
ICC “A”, adapun jaminan
yang diberikan adalah kerugian yang terjadi selama dalam perjalanan diakibatkan
oleh:
a) Kebakaran atau
peledakan;
b) Kapal kandas,
tenggelam atau terbaliknya alat angkut;
c) Terbalik, tergelincir
alat angkut darat;
d) Bahaya-bahaya
pembongkaran barang di suatu pelabuhan darurat;
e) Tabrakan antar alat
angkut (kapal) dengan benda-benda selain air;
f) Tindakan penyelamatan
umum (general average); dan
g) Pembuangan barang ke
laut (jettison).
2)
ICC “B”, adapun jaminan
yang diberikan adalah sama dengan ICC “C” ditambah akibat:
a) Gempa bumi letusan
gunung api;
b)
Petir;
c)
Terlempar dari kapal (washing over board);
d)
Kerusakan karena air atau masuknya air ke palka,
peti kemas dan tempat penimbunan dikapal; dan
e)
Bongkar muat barang.
3)
ICC “C”, adapun jaminan
yang diberikan adalah lingkup yang terluas
yaitu terhadap semua risiko
pengangkutan kecuali yang dikecualikan seperti:
a) Kerusakan akibat
perbuatan yang disengaja Tertanggung sendiri;
b)
Kerusakan akibat sifat-sifat alamiah barang
itu sendiri;
c)
Kerusakan akibat susut berat atau isi dan keausan
dari barang yang diasuransikan atau karena kebocoran;
d)
Kerusakan akibat pembungkus atau packing yang kurang baik;
e)
Kerusakan akibat tidak layaknya kapal pengangkut;
dan
f)
Kerusakan akibat tindakan teroris atau tindakan
yang berlatar belakang politik.
b. Pengangkutan Udara (Air Cargo)
1) Air Cargo All Risk
2) Land and Air Cargo Cover “A”
3) Land and Air Cargo Cover “B”
c. Pengangkutan Darat (Land Transit)
1) Land Transit Cover “A”, adapun jaminan yang diberikan adalah:
a)
Kebakaran;
b)
Banjir;
c)
Terguling atau tergelincirnya alat angkut;
d)
Tabrakannya alat angkut atau barang yang
diangkut dengan benda lain; dan
e)
Tenggelamnya Ferry saat dilakukan penyebrangan.
2) Land Transit Cover “B”, adapun jaminan yang diberikan adalah
semua risiko selama pengangkutan darat berlangsung.
4.
Dasar Hukum Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance)
Perjanjian Marine Cargo
Insurance di Indonesia yang
diwujudkan dalam bentuk polis asuransi didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia dan didasarkan pada kesepakatan
yang tertuang dalam perjanjian yang disepakati oleh para pihak. Apabila
asuransi tersebut didasarkan pada undang-undang maka asuransi tersebut bersifat
memaksa. Tetapi sebenarnya asuransi didasarkan pada perjanjian, yaitu
perjanjian antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan nasabah
asuransi sebagai tertanggung.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
asuransi antara lain:
a.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Berhubung asuransi didasarkan pada suatu perjanjian, maka
pasal-pasal yang berkaitan dengan asuransi adalah:
1)
Pasal
1320 KUHPerdata
Yaitu suatu perjanjian asuransi harus memenuhi syarat
sahnya suatu perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu:[57]
a) Kesepakatan Para Pihak (Consensus)
Artinya, setiap orang yang mengadakan suatu perjanjian
harus ada kata sepakat di antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut, apa yang disepakati pihak pertama juga harus disepakati oleh pihak
yang lainnya, kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
(1)
Benda
yang menjadi objek asuransi;
(2)
Pengalihan
risiko dan pembayaran premi;
(3)
Evenemen dan
ganti kerugian;
(4)
Syarat-syarat
khusus asuransi;
(5)
Dibuat
secara tertulis yang disebut polis.
b)
Kecapakan
Para Pihak
Artinya, orang-orang yang melakukan perjanjian harus
cakap menurut hukum, yaitu setiap orang yang sudah dewasa. Menurut KUHPerdata
adalah sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah dan tidak berada dibawah
pengampuan.[58]
c)
Kewenangan
(Authority)
Kedua belah pihak, tertanggung dan penanggung mempunyai
kewenangan melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang, kewenangan
berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif.
Kewenangan subjektif artinya kedua belah pihak sudah dewasa, sehat ingatan,
tidak berada dibawah perwalian, atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif
artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan objek asuransi karena
benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.[59]
d)
Objek
Tertentu (Fixed Object)
Artinya, objek asuransi yang diasuransikan harus jelas,
paling sedikit harus ditentukan objeknya. Objek tertentu dalam perjanjian
asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan
kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, objek tertentu berupa harta
kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada
perjanjian asuransi kerugian. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek
asuransi tersebut harus jelas dan pasti, apabila berupa harta kekayaan, harta
kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya, di mana letaknya, berapa nilainya
dan sebagainya, karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka
dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi
tersebut, dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri
harta kekayaan, dan dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung
hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat
membuktikan bahwa dia adalah benar sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan
atas objek asuransi.[60]
e)
Kausa
yang Halal
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi
itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal
tersebut, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah
beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi.
Jadi kedua belah pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung
menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar maka risiko
beralih, jika premi tidak dibayar maka risiko tidak beralih.[61]
f)
Pemberitahuan
(Notification)
Salah satu teori hukum yang dikenal dalam hukum asuransi
adalah teori objektivitas. Setiap asuransi harus mempunyai objek tertentu,
artinya jenis, identitas, dan sifat objek asuransi wajib diberitahukan oleh
tertanggung kepada penanggung, tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat objek
asuransi mungkin dapat menjadi sebab timbulnya kerugian. Berdasarkan
pemberitahuan itu penanggung dapat mempertimbangkan apakah dia akan menerima
pengalihan risiko dari tertanggung atau tidak. Keunggulan teori ini adalah
penanggung dilindungi dari perbuatan tertanggung yang tidak jujur. Teori objektivitas
bertujuan untuk mengarahkan tertanggung dan penanggung agar mengadakan
perjanjian asuransi dilandasi asas kebebasan berkontrak yang adil.[62]
b.
Pasal
1338 KUHPerdata
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa kesepakatan
antara penanggung dan tertanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada
dibawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak
sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan pasal
ini, yaitu mengenai kebebasan berperjanjian.
Ayat (1), “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Ayat (2), “Suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.
Ayat (3), “Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
c.
Pasal
1774 KUHPerdata
“Suatu perjanjian
untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak, maupun bagi sebagian pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu”.
d.
Pasal
1266 KUHPerdata
“Syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.
e.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang yang terdapat di dalam Buku I Bab 9. Pasal 246 - Pasal
286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi.
f.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian. Jika Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdatan maka Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 mengatur tentang gambaran usaha perasuransian.
g.
Polis
Marine Cargo Insurance yang menjadi
kesepakatan antara para pihak akan menjadi undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
6.
Isi Polis Marine Cargo
Insurance
Isi Polis Marine Cargo
Insurance yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi di Indonesia
ternyata masih mengacu kepada polis standar Marine Cargo Insurance yang
diterbitkan
oleh Harvey di
Inggris, terlepas dari pada itu polis Marine Cargo Insurance di Indonesia
memuat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 256 dan 287 KUHD tentang isi polis,
juga secara khusus memuat:
a.
Policy Schedule, yang memuat data lengkap terkait dengan nomor polis, jenis polis, nama
tertanggung, jumlah pertanggungan, dan lain-lain.
b.
Prosedur
dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan di mana kemungkinan penanggung
bertanggung jawab, yang melibatkan pihak pengangkut, pihak yang bertanggung
jawab atas barang atau pihak ketiga lainnya;
c.
Instruksi
untuk survey.
d.
Dokumentasi
klaim.
e.
Institute Coal Clauses – 1/10/82 yang terdiri dari 19 pasal yang berisi mengenai:
1)
Risks Covered, yang terdiri dari:
a)
Risks Clause (article 1);
b)
General Average Clause (article 2);
c)
Both to Blame Collision Clause (article 3);
2)
Exclusions,
yang terdiri dari:
(1)
General Exclusions Clause (article 4);
(2)
Unseaworthiness Exclusions Clause (article 5);
(3)
War Exclusions Clause (article 6);
(4)
Strikes Exclusions Clause (article 7);
3)
Duration,
yang terdiri dari:
(1)
Transit Clause (article 8);
(2)
Termination of Contract of Carriage Clause (article 9);
(3)
Change of Voyage Clause (article 10);
4)
Claim, yang
terdiri dari:
(1)
Have an Insurable Interest in the Interest Clause
(article 11);
(2)
Forwarding Charges Clause (article 12);
(3)
Constructive Total Loss (article 13);
(4)
Increased Value Clause (article 14);
5)
Benefit of Insurance, yang terdiri dari “Not
to Inure” (article 15);
6)
Minimising Losses, yang terdiri dari:
(1)
Duty of Assured Clause (article 16);
(2)
Waiver Clause (article 17);
7)
Avoidance of Delay, yang terdiri dari “Reasonable
Despatch Clause” (article 18);
8)
Law and Practice, yang terdiri dari “English
Law and Practice Clause” (article 19).
f.
Institute Strikes Clauses (Cargo) – 1 atau 1 atau 82 yang terdiri dari 14 pasal yang berisi
mengenai:
1)
Risks Covered (article 1-2);
2)
Exclusions (General Exclusions Clause) (article 3-4);
3)
Duration (article 5-7);
4)
Claims (article 8-9);
5)
Benefit of Insurance (article 10);
6)
Minimising Losses (article 11-12);
7)
Avoidance of Delay (article 13);
8)
Law and Practice (article 14).
g.
Institute Theft, Pilferage & Non-Delivery Clauses – 1 atau 12 atau 82.
h.
Institute Extended Radioactive Contamniation Exlusion
Clause.
i.
Information Technology Hazards Clause.
j.
Institute Radioactive Contamination, Chemical,
Biological, Bio-Chemicaland Electromagnetic Weapons Exclusion Clause.
k.
Notice of Cancellation Clause.
l.
Seepage and Pollution Exclution.
m.
Terrorism Exclusion Clause.
n.
Transmission and Distribution Lines Exclusion Clause.
BAB III
HASIL PENELITIAN
Dalam Bab ini, penulis
menguraikan hasil penelitian mengenai penafsiran perjanjian polis Marine Cargo Insurance dalam sengketa
klaim asuransi PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk dan uraian
mengenai isi putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
dalam perkara tersebut.
A.
Uraian Kasus
Dalam
perkara ini PT Prima Multi Artha
selaku Tertanggung mengajukan klaim asuransi Marine Cargo kepada PT
Asuransi Bina Dana Artha Tbk selaku
Penanggung berdasarkan Polis
Marine Cargo Insurance Open cover
nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan perluasan coverage “Institute Coal Clause 1 atau 10
atau 81” yang menjadi dasar perikatan antara para pihak. Adapun yang menjadi
objek pertanggungan dalam perjanjian asuransi tersebut adalah cargo berupa batubara (coal) dengan nilai pertanggungan (sum insurance) sebesar Rp. 3.641.332.128,-
(tiga milyar enam ratus empat puluh satu juta tiga ratus tiga puluh dua ribu
seratus dua puluh delapan rupiah) per
shipment untuk jangka waktu pertanggungan (period of insurance) 28 Mei 2012 s.d. 28 Mei 2013.
Bahwa PT Prima Multi Artha selaku
Tertanggung telah mengajukan klaim asuransi Marine
Cargo kepada PT Asuransi Bina Dana
Artha Tbk selaku Penanggung atas hilang atau tumpahnya cargo atau objek pertanggungan milik
Tertanggung ke dalam laut berupa batubara yang diangkut dengan menggunakan kapal
tongkang atau barge BG
SSA 308 yang ditarik oleh kapal
tugboat TB SSA 08 dalam perjalanan dari Pelabuhan Hasnur Jaya Utama di
daerah Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan menuju ke Pembangkit Listrik
Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuhan Banten.
Bahwa Syahbandar Sungai Putting telah menerbitkan Surat
Persetujuan Berlayar (SPB) untuk kapal tongkang atau barge BG SSA 308 dan
tugboat TB SSA 08 tertanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan bahwa kapal layak
laut (seaworthy) baik hull maupun awaknya sudah sesuai dengan
ketentuan perundang–undangan atau pelayaran yang berlaku. Dalam hal ini
pemuatan batubara telah dilakukan
survei (Draft Loading Survey) oleh PT
Geoservices, hasil survei atau pengukuran muatan batubara seberat 7,967.904 MT.
Evenemen atau kerugian atas hilang atau tumpahnya cargo atau objek pertanggungan milik Tertanggung ke dalam laut terjadi pada tanggal 2 Juli 2013. Sesuai dengan Berita
Acara BG SSA 308 yang ditanda tangani oleh Nakhoda kapal yang isinya menyatakan
“pada hari senin 2 Juli 2012 jam 12.40 WITA kurang lebih 60 mil utara Pulau
Bawean, tiba-tiba BG SSA 308 mendadak mengalami kemiringan sehingga
mengakibatkan sebagian muatan tumpah kedalam laut, pada saat itu keadaan cuaca
sangat buruk, ombak besar, dan angin cukup kencang dari arah Tenggara dan
penyebab kemiringan tongkang tersebut belum bisa diketahui.
Pada tanggal 5 Juli 2012 diketahui penyebab miringnya
kapal adalah cuaca buruk dan ombak besar sehingga air masuk ke dalam kapal
melalui manhole yang sudah tidak ada
penutupnya yang mengakibatkan kapal tidak seimbang atau miring dan muatan
tumpah ke laut. Pada saat TB SSA 08 dan BG
SSA 308 sampai tujuan dilakukan survei oleh PT Sucofindo, dari hasil survei
diketahui bahwa sisa cargo atau meter
batubara yang ada di dalam BG SSA 308 adalah 4.118.101 MT dari muatan semula
7,967.904 MT.
Bahwa akibat kejadian tersebut Tertanggung mengalami
kerugian sebesar Rp. 1.759.359.971,00 (Satu milyar tujuh ratus lima puluh
sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh
satu Rupiah) atau sebanyak 3,849.803 MT batubara yang hilang karena tumpah ke
dalam laut dengan nilai Rp. 457.000,00 per MT.
Bahwa atas kejadian tersebut Tertanggung mengajukan klaim
kepada Penanggung dan klaim yang diajukan oleh Tertanggung tersebut ditolak
oleh Penanggung dengan alasan bahwa akibat cuaca buruk dan ombak besar maka air
laut masuk ke dalam tangki melalui 4 (empat) manhole yang hilang karena dicuri, berakibat tongkang miring ke
kanan, hal ini menyebabkan muatan batubara menekan pintu tongkang sehingga
pintu tongkang kanan jebol yang menyebabkan sebagian batubaranya jatuh ke laut.
Penanggung berpendapat kerugian yang terjadi bukan merupakan kejadian yang
dijamin di dalam Polis Intitute Coal
Clauses 1/10/82 point 1.2.3. “entry
of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage”
ataupun point 1.1.2. “Jettison or wahing overboad”.
Sebaliknya Tertanggung berpendapat lain bahwa klaim
tersebut adalah klaim yang harus dibayarkan (polis liable) dengan alasan masuknya air ke dalam kapal dijamin dalam Institute Coal Clauses 1.10.82 (Riks Covered) point 1.2.3. “entry of sea lake or river water into
vessel, hold container or place of storage”. Masuknya air laut ke dalam
kapal diakibatkan oleh cuaca buruk, sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan &
Pekerjaan yang ditanda tangani oleh Nakhoda, Yoso Subagyo “kemungkinan penyebab kemiringan tongkang karena faktor cuaca yang
sangat buruk sehingga ombak yang besar airnya masuk ke lubang manhole yang
sudah tidak ada tutupnya tersebut”. Artinya meskipun manhole dicuri kapal tidak akan miring bilamana tidak ada cuaca
buruk dan masuknya air laut ke dalam kapal. Oleh karenanya pencurian atau theft atas manhole merupakan “remote
cause” penyebab yang jauh karena ada periode yang merupakan periode interruption setelah itu muncul causa proxima baru, yaitu entry of sea water. Tertanggung
berpendapat di dalam perjanjian asuransi marine
cargo manganut doktrin causa proxima
non remota spectatur (the proximate
not the remote cause must be looked into). Artinya bahwa yang perlu
diperhatikan adalah penyebab terdekat bukan penyebab terjauh. Di dalam
peristiwa klaim ini theft menjadi “remote cause” dan masuknya air laut ke
dalam kapal adalah “causa proxima”
yang menyebabkan kapal miring dan muatan tumpah ke laut.
Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat antara para
pihak terkait dengan penafsiran clausule
yang terdapat di dalam polis Marine Cargo
Insurance dengan perluasan coverage
Institute Coal Clause 1/10/82 khususnya pada butir 1.2.3 “entry of sea lake or
river water into vessel hold
container or place of storage”. Penanggung berpendapat bahwa kata vessel hold pada kalimat tersebut
merupakan satu kesatuan kata yang memiliki makna palka kapal, oleh karena kapal
tongkang atau barge BG SSA 308 tidak
memiliki palka kapal maka clausule pada
butir 1.2.3 Institute Coal Clause
1/10/82 tidak dapat diberlakukan untuk kapal tongkang atau barge BG SSA 308. Namun tertanggung memiliki pendapat yang berbeda
bahwa kata “vessel hold” yang
terdapat di dalam polis Marine Cargo
Insurance dengan perluasan coverage
Institute Coal Clause 1/10/82 memiliki makna yang berdiri sendiri, yaitu
kata vessel yang berarti kapal dalam
arti luas dan kata hold yang berarti
palka atau ruang palka. Tertanggung berpendapat bahwa penanggung atau
perusahaan asuransi dilarang membuat suatu perjanjian asuransi yang tidak
diperuntukan untuk objek yang tidak akan dipertanggungkan atau diasuransikan,
mengingat bahwa tongkang atau barge
BG SSA 308 ini tidak memiliki palka kapal atau ruang palka maka seharusnya
penanggung tidak dapat menafsirkan bahwa kata vessel hold mempunyai makna palka kapal atau suang palka, artinya
perusahaan asuransi dalam hal ini PT Asuransi Bina Dana Artha Tbk tidak menjunjung prinsip itikad baik (insurable interest) dalam suatu
perjanjian asuransi atau dengan kata lain Penanggung telah melakukan
penyelundupan undang-undang (fraus legis).
Terkait dengan tidak adanya kesepakatan atas penyelesaian
klaim asuransi yang diajukan oleh Tertanggung dan berujung pada perdebatan
perbedaan pendapat antara Tertanggung dan Penanggung terhadap penafsiran isi
dari pada polis terkait dengan dijamin atau tidak dijaminnya kerugian yang
dialami oleh Tertanggung sebagaimana klausula yang tercantum di dalam Polis Marine Cargo Insurance, maka Tertanggung
dan Penanggung sepakat menyelesaikan penyelesaian klaim asuransi tersebut
melalui jalur Arbitrase.
B.
Isi Putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha
Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk
1.
Para Pihak
PT Prima
Multi Artha, yang berkedudukan di Synergy
Building 11th Floor Suite 06, Jl.
Jalur Sutera Barat No. 17, Alam Sutera – Tangerang 15325, Indonesia, dalam hal
ini diwakili oleh kuasa hukumnya Abdul Aziz, AAAIK, ANZIIF (Snr. Assoc), SE,
SH, MH dan Efrizal, SH secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang semuanya
adalah Para Advokat pada Global Assurance Partnership Law Firm beralamat
di Komplek Bungur Grand Center Blok C No.3, Jl. Ciputat Raya No.4-6, Kebayoran
Lama Utara, Jakarta Selatan 12240, Indonesia, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 29 Nopember 2013, selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON.
PT
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
yang berkedudukan di Plaza ABDA atau Plaza Asia Lt. 27 Jl. Jend. Sudirman Kav. 59,
Jakarta 12190, Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Imam
Supriyono, SH, MH dan Asrul Togo, SH selaku Advokat dan Konsultan Hukum dari Law Office Imam Supriyono, SH &
Partner beralamat di Jl. E2 Raya No. 32, Harapan Mulia Kemayoran Jakarta Pusat,
Indonesia, berdasarkan surat kuasa khusus No. SK-010 atau CL atau III atau 2014
tanggal 18 Maret 2014, selanjutnya disebut sebagai : TERMOHON.
2.
Duduk Perkara
Permohonan
Pemohon
Menimbang bahwa
PEMOHON melalui kuasa hukumnya Abdul Aziz, AAAIK, ANZIIF (Snr. Assoc), SE, SH,
MH dan Efrizal, SH dengan surat permohonannya No. 052 atau IV atau MP atau GAP
atau 2014 tertanggal 29 April 2014 telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
a.
Bahwa
adanya Polis Asuransi Marine Cargo
Insurance Open cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 yang
telah diterbitkan TERMOHON yang membuktikan adanya hubungan perjanjiantual
antara PEMOHON dengan TERMOHON sesuai dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang melekat pada perjanjian tersebut.
b.
Bahwa
PEMOHON telah memenuhi kewajiban dengan membayar premi pada tanggal 18 Juli
2012. Pembayaran premi oleh PEMOHON sebelum jatuh tempo pembayaran premi, yaitu
30 (tiga puluh) hari sejak masa pertanggungan yang dimulai pada tanggal 29 Juni
2012.
c.
Bahwa
telah terjadi klaim atau kerugian atas cargo
yang dipertanggungkan dalam polis OCPB02031200001 Sertifikat No. 000019.
d.
Bahwa
surat penolakan klaim oleh TERMOHON nomor : 0402 atau ABDA atau CLM atau IV
atau 2013 tanggal 29 April 2013 dan Facsimile
Transmittal nomor : F999 atau ABDA atau CLM atau XI-2012 tanggal 14
Nopember 2012 yang membuktikan bahwa TERMOHON telah menolak klaim Asuransi
PEMOHON secara final.
e.
Bahwa
surat penunjukan sebagai kuasa hukum PEMOHON kantor Advokat dan Konsultan Hukum Global Assurance Partnership, yang
membuktikan bahwa PEMOHON telah menunjuk kantor Pengacara dan Konsultan hukum
tersebut sebagai kuasa hukumnya dalam penyelesaian perselisihan klaim PEMOHON,
sehingga tindakan kuasa hukum PEMOHON yang terkait dengan penyelesaian
perselisihan klaim PEMOHON merupakan tindakan PEMOHON.
f.
Bahwa
melalui surat nomor : S.527 atau NB.21 atau 2013 tanggal 27 Agustus 2013
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta agar TERMOHON memenuhi ketentuan KMK nomor
: 422 atau KMK.06 atau 2003 Pasal 16, sehingga harus mengikuti permintaan
PEMOHON atau Tertanggung menyelesaikan sengketa melalui forum Arbitrase.
g.
Bahwa
surat TERMOHON nomor : S163-BOD-IX-2013 tanggal 25 September 2013 yang
memutuskan untuk menyelesaikan sengketa klaim ini melalui Majelis Arbitrase Ad-Hoc, yang membuktikan bahwa sengketa
klaim tersebut akan diselesaikan melalui forum Arbitrase.
h.
Bahwa
Surat Pemberitahuan untuk mengadakan Arbitrase dari PEMOHON atau GAP Law Firm kepada TERMOHON dengan surat
nomor : 009 atau I atau MP atau GAP atau 2014 tanggal 29 Januari 2014 dan surat
tanggal 30 Januari 2014 nomor : 010 atau I atau MP atau GAP atau 2014, yang
sekaligus memenuhi ketentuan Pasal 8 dari pada Undang-Undang Republik Indonesia
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang
membuktikan bahwa PEMOHON telah memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku dan yang terkait dengan proses Arbitrase.
Keterangan
Tentang Permasalahan dan Perselisihan Klaim
a.
Bahwa
pada saat itu pemuatan batubara di pelabuhan Hasnur Jaya Utama telah dilakukan
survei (Draft Loading Survey) yang
dilakukan oleh PT Geoservices, hasil survei atau pengukuran muatan batubara
seberat 7,967.904 MT.
b.
Bahwa
Syahbandar Sungai Putting telah menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
untuk TB SSA 08 dan BG SSA 308 tertanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan bahwa
kapal layak laut (seaworthy) baik hull maupun awaknya sudah sesuai dengan
ketentuan perundang–undangan atau pelayaran yang berlaku.
c.
Bahwa
kecelakaan yang menyebabkan kerugian (klaim) atas Objek Pertanggungan yang ada
pada Polis Asuransi Marine Cargo Open
Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat nomor : 000019, terjadi tanggal 2
Juli 2013. Sesuai dengan Berita Acara BG SSA 308 yang ditanda tangani oleh
Nakhoda kapal yang isinya menyatakan “pada hari senin 2 Juli 2012 jam 12.40
WITA kurang lebih 60 mil utara Pulau Bawean, tiba-tiba BG SSA 308 mendadak
mengalami kemiringan sehingga mengakibatkan sebagian muatan tumpah kedalam
laut. Pada saat itu keadaan cuaca sangat buruk, ombak besar, dan angin cukup
kencang dari arah Tenggara dan penyebab kemiringan tongkang tersebut belum bisa
diketahui.
d.
Bahwa
pada tanggal 5 Juli 2012 diketahui penyebab miringnya kapal adalah cuaca buruk
dan ombak besar sehingga air masuk ke dalam kapal melalui manhole yang sudah tidak ada penutupnya yang mengakibatkan kapal
tidak seimbang atau miring dan muatan tumpah ke laut.
e.
Bahwa
pada saat TB SSA 08 dan BG SSA 308 sampai tujuan dilakukan survei oleh PT
Sucofindo, dari hasil survei diketahui bahwa sisa cargo atau meter batubara yang ada di dalam BG SSA 308 adalah
4.118.101 MT.
f.
Bahwa
surat PEMOHON kepada TRMOHON nomor : 011 atau PMA-JKT atau VII atau 2012
tanggal 23 Juli 2012 menyampaikan total kerugian yang dialami PEMOHON atas cargo yang diangkut dengan menggunakan TB
SSA 08.BG SSA 308 sebesar Rp. 1.759.359.971,00 (Satu milyar tujuh ratus lima
puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh
puluh satu Rupiah), yaitu 3,849.803 MT batubara dengan nilai Rp. 457.000,00 per
MT.
g.
Bahwa
sejak pemberitahuan kejadian klaim oleh PEMOHON kepada TERMOHON yakni tanggal
12 Juli 2013, Proses penyelesaian klaim dapat PEMOHON uraikan secara singkat
sebagai berikut :
1)
Bahwa
alasan penolakan klaim telah diajukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON, yaitu
sebagai berikut :
a)
Facsimilie Transmittal TERMOHON nomor: F999 atau ABDA atau CLM atau XI atau -2012
tanggal 14 Nopember 2012 yang menyatakan bahwa berdasarkan “berita Acara
Pemeriksaaan Nakhoda”, akibat cuaca buruk dan ombak besar maka air sungai masuk
ke kapal lewat manhole yang tutupnya
hilang. Hal tersebut yang menyebabkan kapal miring, sehingga cargo terdorong ke pintu dan akhirnya
jatuh kelaut.
Policy Liability
Pertarungan
atas cargo dimaksud ditutup oleh
Polis Marine Cargo dengan kondisi Institude Coal Clauses 1/10/82 yang di
antaranya menjamin hal sebagai berikut :
1.2.
loss
of damage to the subject matter insured caused by
1.1.2.
jettison or washing overboad
Sesuai
dengan dokumen-dokumen pendukung yang ada bahwa kekurangan jumlah cargo yang terjadi disebabkan oleh
masuknya air laut melalui “manhole”
yang hilang tutupnya selama cuaca buruk sehingga menyebabkan kapal miring dan cargo terdorong ke pintu yang akhirnya
jatuh ke laut.
Kesimpulan Termohon
Disebabkan
kerugian yang terjadi disebabkan oleh hal yang tidak dijamin oleh polis seperti
yang diuraikan tersebut di atas, maka kami tidak mempunyai dasar teknik untuk
memproses klaim ini lebih lanjut.
b)
Surat
TERMOHON nomor : 0402 atau ABDA atau CLM atau IV atau 2013 tanggal 29 April
2013 yang menegaskan bahwa :
(1)
Kejadian
Air
Laut masuk ke dalam tangki melalui 4 (empat) manhole yang hilang karena dicuri, berakibat tongkang miring ke
kanan, hal ini menyebabkan muatan batubara menekan pintu tongkang sehingga
pintu tongkang kanan jebol yang menyebabkan sebagian batubaranya jatuh ke laut.
Kerugian yang terjadi bukan “washing
overboad”
(2)
Klausula
polis Intitute Coal Clauses 1/10/82
Polis ini memberikan
jaminan ganti rugi antara lain untuk :
Ø Jettison
or wahing overboad
Ø Entry
of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage
(3)
Batubara
yang jatuh ke laut di atas bukan disebabkan oleh
“washing overboad” sehingga tidak termasuk jaminan di atas.
2)
Terkait
dengan argumen-argumen yang diungkapkan oleh TERMOHON di atas, sebaliknya
PEMOHON berpendapat bahwa klaim tersebut adalah klaim yang harus dibayarkan
(polis liable) dengan alasan sebagai
berikut :
a)
Masuknya
air ke dalam kapal dijamin dalam Institute
Coal Clauses 1.10.82 (Riks Covered)
point 1.2.3. entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place
of storage. Masuknya air laut ke dalam kapal diakibatkan oleh cuaca
buruk, sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan & Pekerjaan yang ditanda
tangani oleh Nakhoda, Yoso Subagyo “kemungkinan penyebab kemiringan tongkang
karena faktor cuaca yang sangat buruk sehingga ombak yang besar airnya masuk ke
lubang manhole yang sudah tidak ada
tutupnya tersebut”. Artinya meskipun manhole
dicuri kapal tidak akan miring bilamana tidak ada cuaca buruk dan masuknya air
laut ke dalam kapal. Oleh karenanya Theft
atas manhole merupakan “remote cause” penyebab yang jauh atau remote karena ada periode yang merupakan
periode interruption setelah itu
muncul causa proxima baru, yaitu entry of sea water. Terlampir polis marine cargo open cover dan sertifikat yang diterbitkan oleh TERMOHON nomor :
OCPB020131200001 atau 000019.
b)
Atas
penolakan klaim oleh TERMOHON, PT Jaya Proteksindo Sakti meminta second opinion dari Loss Adjuster yang mempunyai reputasi internasional, yaitu Harvey Ashby Limited. Pendapat dari Michael
Harvey (Average Adjuster & claims
Consultant, website : www.harvey-ashby.co.uk yang disampaikan melalui email kepada PT Jaya
Proteksindo Sakti sebagai Broker Asuransi PEMOHON yang menyatakan bahwa :
“The Adjuster has suggested that the cause of the loss of
local was theft which is not an insured peril. I think that the adjuster is
entirely wrong here. The coal was not stolen and therefore the loss was not
proximately caused by theft. In any event the loss of the manhole it self did
not cause any damage to the cargo perse, the damage was caused by the entry of
the seaweater and the resultant list. I am sure that had the weather been
benign seaweater would not have gained access to the barge.
In my view the loss was caused by the barge taking a
list. This list was the result of sweater entering the barge via the missing manhole.
In this respect it would seem that loss was proximately caused by “entry of
sea.. water into vessel...” insured under Clauses 1.2.3. Strictly speaking it
is not necessary to investigate the cause of the entry of sweater, other than
to ensure that exclusions do not aplly, as it a peril in intself. In the same
way damage caused by fire is covered and the only reason to consider the cause
of cause of a fire is to ensure that an exclusion does noy aply”.
Opini dari Michael Harvey sangat jelas sesuai dengan
fakta atau peristiwa dan jaminan Clauses
1.2.3. bahwa air laut telah memasuki kapal sehingga menyebabkan kapal miring
dan muatan tumpah ke laut.
Bahwa masuknya air laut ke dalam kapal melalui manhole yang dicuri disebabkan oleh
cuaca yang buruk dan ombak. Namun apapun penyebab air laut masuk ke dalam kapal
tidak perlu dipermasalahkan sebagaimana dijelaskan di dalam email Michael
Harvey “it is not necessary to
investigate the cause of the entry of sea water other than to ensure that
exclusions do not apply, as it is a peril in itself”. Jadi tidak perlu
melakukan investigasi penyebab masuknya air ke dalam kapal, selain memastikan
bahwa pengecualian tidak berlaku karena masuknya air laut adalah peril yang
dijamin.
c)
Bahwa
di dalam perjanjian asuransi marine cargo
menganut doktrin causa proxima non remota
spectatur (the proximate not the
remote cause must be looked into). Artinya bahwa yang perlu diperhatikan
adalah penyebab terdekat bukan penyebab terjauh. Di dalam peristiwa klaim ini theft menjadi “remote cause” dan masuknya air laut ke dalam kapal adalah “causa proxima” yang menyebabkan kapal
miring dan muatan tumpah ke laut.
d)
Marine insurance act 1906, terkait dengan
proximate cause in section 99(1) “ subject
to the provision of this act, and subject to the policy otherwise provides, the
insurer is liable for any loss proximately caused by a perils insured
againts...” di dalam polis masuknya air laut ke dalam kapal dijamin (Clauses 1.2.3. entery of sea lake or river
water into vessel hold container or place or storage). Oleh karenanya
menjadi “cause proxima”.
e)
Di dalam
surat-surat penolakan klaim yang diajukan oleh TERMOHON atau Penanggung,
penolakan ditujukan kepada jaminan 1.2.2. jettison or washing overboard, sementara fakta dan peristiwa jelas bahwa klaim
atas jaminan 1.2.3. “entry of sea lake or
river water into vessel, hold container or place of storage” yang mengakibatkan
kapal miring ke kanan dan muatan tumpah ke laut.
f)
Pihak
Nakhoda beserta Crew atau Awak telah
berusaha optimal untuk menyelamatkan kapal dan muatan batubara agar tidak
mengalami kerugian lebih besar yang tentunya merupakan bukti niat baik dari Nahkoda
atau Tertanggung.
g)
Berdasarkan
kronologis yang ada yang merupakan fakta bahwa unsur-unsur perjanjian yang
sesuai dengan perjanjian polis, praktek umum dan ketentuan perundangan yang
berlaku telah terpenuhi yang meliputi :
(1)
Adanya
polis dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati bersama (agreed terms dan conditions) sebagai
perikatan antara PEMOHON atau Tertanggung dan TERMOHON atau Penanggung.
(2)
Premi
telah dibayarkan dan diterima oleh TERMOHON atau Penanggung.
(3)
Pada
saat terjadinya klaim polis dalam keadaan aktif (in force).
(4)
Peristiwa
yang mengakibatkan kerugian dan peristiwa tersebut dijamin atau tidak
dikecualikan oleh polis sebagaimana PEMOHON uraikan di dalam point 7.2. di
atas.
(5)
Tidak
ada pelanggaran warranty (breach of
warranty).
h.
Bahwa
berdasarkan fakta dan dalil-dalil yang PEMOHON kemukakan, mohon kiranya Majelis
Arbitrase Ad-Hoc memutuskan sebagai
berikut :
MENGADILI
Primair
·
Menerima
Permohonan Arbitrase PEMOHON dan Seluruh dalil-dalilnya.
·
Menghukum
TERMOHON membayar kerugian PEMOHON sebesar Rp. 1.759.359.971,00 (satu milyar
tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima ribu sembilan ratus tujuh
puluh satu rupiah).
Subsidair
·
Jika
Majelis Arbitrase Ad-Hoc berpendapat
lain mohon putusan seadil-adilnya.
Bahwa untuk
mempertahankan tuntutannya PEMOHON telah mengajukan repliknya dengan surat
nomor : 063 atau V atau MP atau GAP atau 2014 tanggal 26 Mei 2014 dan
kesimpulannya dengan surat nomor : 077 atau VIII atau MP atau GAP atau 2014
tanggal 5 Agustus 2014, yang untuk mempersingkat uraian putusan ini harus
dianggap dimuat dalam putusan ini.
Jawaban Termohon
Bahwa terhadap
Permohonan PEMOHON tersebut, TERMOHON telah mengajukan jawabannya
tertanggal 13 Mei 2014, sebagai berikut:
a.
Bahwa
TERMOHON menolak dengan tegas
seluruh dalil-dalil yang dikemukakan PEMOHON
kecuali dengan tegas kebenarannya oleh TERMOHON;
b.
Bahwa
benar TERMOHON dengan PEMOHON terjadi hubungan kotraktual
sebagaimana Polis Asuransi Marine Cargo
Insurance Open Cover Nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 yang
diterbitkan TERMOHON dan PEMOHON telah melakukan pembayaran premi sebelum jatuh
tempo pada tanggal 18 Juli 2012;
c.
Bahwa
Polis Asuransi Marine Cargo Insurance
Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 diperluas.d.ilekatkan
klausula ”Institute Coal Clauses” (Asuransi Pengangkutan Batu Bara), dengan
demikian terhadap ketentuan sebagaimana Polis Asuransi Marine Cargo Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat
No. 000019 dengan klausula “Institute
Coal Clauses” 1/10/82 telah mengikat antara PEMOHON selaku tetanggung dan
TERMOHON selaku Penanggung;
d.
Bahwa
benar PEMOHON selaku Tertanggung dalam asuransi telah mengajukan klaim atas
kehilangan cargo dalam polis No. OCPB02031200001/sertifikat
No. 000019 dengan perluasan jaminan “Institute
Coal Clauses” 1/10/82 (Asuransi Pengangkutan Batu Bara) yang
dipertanggungkan kepada TERMOHON selaku Penanggung dan TERMOHON selaku
Penanggung telah menolak klaim yang diajukan PEMOHON tersebut oleh karena klaim
tersebut cukup alasan untuk ditolak berdasarkan Fakta “Institute Coal Clauses” (Asuransi Pengangkutan Batu Bara) baik
butir 1.2.2 maupun butir 1.2.3;
e.
Bahwa
atas penolakan klaim PEMOHON selaku Tertanggung oleh TERMOHON selaku Penanggung
tersebut untuk dan atas saran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) TERMOHON tidak
keberatan untuk diselesaikan melalui Arbitrase Ad-Hoc yang di mohonkan PEMOHON agar mendapatkan kepastian hukum;
f.
Bahwa
benar telah terjadi kecelakaan pada tanggal 2 Juli 2012 atas objek
pertangggungan sebagaimana dalam polis Asuransi Cargo Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 akibat
dari cuaca buruk, ombak besar angin kencang yang mengakibatkan air masuk
kedalam void space (ruang yang
seharusnya kosong) melalui manhole
(lubang lalu lintas orang) yang terbuka, tongkang miring, pintu jebol dan
muatan jatuh ke laut, sesuai Berita Acara yang dibuat dan di tandatangani
Nahkoda kapal;
g.
Bahwa
terjadinya kecelakaan kapal tersebut TERMOHON selaku Penanggung dengan sepengetahuan PEMOHON selaku
Tertanggung telah menunjuk Loss Adjuster
dari PT Dharma Nilatama selaku usaha jasa penilai kerugian yang independent telah diakui keberadaannya
menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian untuk melakukan facts finding atas liability polis dengan menerbitkan Final Report atau Laporan Akhir;
h.
Bahwa
dari hasil investivigasi atau facts
finding atas liability polis, PT
Dharma Nilatama selaku Loss Adjusters
menyimpulkan bahwa sebagai penyebab kecelakaan kapal karena tidak ada penutup manhole sehingga dengan terjadinya cuaca
buruk, ombak besar dan angin kencang mengakibatkan air masuk ke dalam kapal
yang menjadikan kapal miring dan pintu kapal atau tongkang jebol dan sebagian
muatan tumpah ke dalam laut, Tumpahnya atau jatuhnya muatan kelaut akibat
tersebut di atas di luar jaminan polis;
i.
Bahwa
jatuhnya batu bara ke laut disebabkan oleh jebolnya pintu tongkang, Pintu tongkang jebol karena
terdorong cargo batu bara pada saat
tongkang miring, tongkang miring karena pada saat cuaca buruk air masuk kedalam
void space, Institute Coal Clauses 1/10/82
tidak menjamin jatuhnya batu bara karena sebab di atas hal ini sebagaimana
diatur di butir 1.2.2;
j.
Bahwa
TERMOHON menolak dalil PEMOHON angka 7.2
huruf a di mana dalil tersebut terkesan menyesatkan oleh karena sebagaimana
Intitute Coal Clauses butir 1.2.3
yang seharusnya tertulis “entery of sea lake or river water into vessel
hold containers or place of stroge” oleh PEMOHON ditambah tanda koma
dibelakang kata vessel yaitu ditulis
oleh PEMOHON “entry of sea lake or river
water into vessel, hold containers or
place of stroge” yang sudah barang tentu akan memberikan arti dan makna
yang berbeda tidak sebagaimana arti dan makna yang seharusnya dalam “Institute coal Clauses” 1/10/82 butir
1.2.3, karena batu bara dimuat menggunakan tongkang yang diletakan di atas deck (place
of stroge) dan tongkang itu sendiri tidak memiliki palka (ruang dibawah deck untuk menyimpan muatan) dengan
demikian tidak mungkin ada air yang masuk kedalam ruang palka dari tongkang
tersebut;
k.
Bahwa
TERMOHON menolak dalil PEMOHON angka 7.2
huruf b yang mengutip pendapat michael Hervey sebagai berikut “...
the loss was proximately caused by “entry of ... water into the vessel...”
pendapat ini telah menghilangkan kata hold
dibelakang vessel, sehingga pendapat
ini adalah menyesatkan karena menurut Michael Hervey air laut cukup memasuki
kapal sedangkan arti atau makna yang ada pada “Institute Coal Clauses” 1/10/82 butir 1.2.3 air harus
masuk ke vessel hold atau palka,
dengan demikian pendapat ini tidak berlaku bagi batu bara yang hilang karena
miringnya tongkang pengangkut sehingga muatan batu bara tumpah kelaut yang
tidak disebabkan air masuk ke dalam palka oleh karena tongkang tidak memiliki
palka, oleh karena pendapat ini tidak benar maka klaim atau permohonan PEMOHON
harus ditolak;
l.
Bahwa
benar causa proxima non remota soectature
hanya sebagai doktrin atau teori ilmiah, sehingga dalil yang dikemukakan oleh
PEMOHON dalam permohonannya butir 7.2.c tidak merupakan bukti hukum. Hal ini
sudah dijelaskan dalam butir 10 dan 11 jawaban TERMOHON karenanya dalil ini
patut diabaikan.
m.
Bahwa
mempergunakan Marine Insurance Act
dalam permohonan PEMOHON butir 7.2.d menurut kami tidak tepat, benar dalam
Institute Coal Clauses yang berlaku Pasal
19, asuransi ini tunduk kepada hukum dan praktek inggris, namun dengan
ditandatanganinya perjanjian penyelesaian sengketa melalui Arbitrase Ad-Hoc yang mengacu pada Undang-Undang
Arbitrase No.30 Tahun 1999 yang merupakan hukum positif Indonesia, maka dengan
sadar dan sepakat ketentuan Pasal 19 Institute
Coal Clauses tersebut diabaikan, dengan demikian mempergunakan hukum
Inggris (marine Act 1906 terkait
dengan doktrin atau teori butir 7.2.d patut diabaikan. Butir 7.2.d inipun sudah
dijelaskan dalam jawaban TERMOHON butir 10 dan 11;
n.
Bahwa
TERMOHON menolak dalil sebagaimana Permohonan PEMOHON butir 7.2.e oleh karena
untuk loss of (kehilangan) hanya
berlaku Clauses 1.2.1 dan 1.2.2
sedangkan untuk Clauses 1.2.3 bukan
untuk kargo hilang, maka dari itu Asuransi tidak menyinggung Clauses 1.2.3;
o.
Bahwa
klaim yang diajukan PEMOHON selaku Tertanggung kepada TERMOHON selaku
Penanggung berdasarkan Open Cover
Nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 diperlakukan “Institute Coal Clauses” 1/10/82 (Asuransi Pengangkutan Batu Bara),
dalam klausula pengangkutan batu bara memberikan
jaminan terkait dengan barang, di antaranya dalam butir :
1.2.
loss of or damage to the subject matter
insured caused by
(kehilangan atau kerusakan terhadap
barang yang diasuransikan
yang disebabkan oleh) :
1.2.1. General
avarage sacrifice (pengorbanan)
1.2.2. Jettison
or washing overboad (pembuangan muatan ke laut dengan sengaja untuk menyelamatkan awak kapal, kapal, dan
muatannya) atau muatan muatan tersapu ombak.
1.2.3. entery of sea lake or river water into vessel
hold container or
place of
storage (masuknya air laut,
danau atau sungai ke
dalam palka,
kontainer atau tempat penyimpanan).
p.
Bahwa
fakta berdasarkan dokumen Berita Acara kecelakaan kapal oleh Nahkoda,
kehilangan atau kerusakan barang yang diasuransikan (batu bara) dikaitkan
dengan klausula asuransi pengangkutan batu bara (institute coal Clausess 1/10/82) adalah disebabkan oleh masuknya
air laut masuk ke void space (ruang
yang seharusnya kosong) selama cuaca buruk sehingga menyebabkan kapal miring dan cargo terdorong ke pintu mengakibatkan pintu jebol dan barang
jatuh ke laut yang bukan disebabkan karena barang muatan disapu oleh ombak.
q.
Berdasarkan
fakta sangat jelas bahwa muatan yang jatuh ke laut bukan karena disapu ombak (washing overboard), bukan karena
pengorbanan (general average), bukan
karena dengan sengaja membuang muatan ke laut (jettison) dan bukan pula karena masuknya air laut ke dalam palka,
container atau tempat penyimpanan cargo,
dengan demikian klaim atau Permohonan PEMOHON harus dinyatakan untuk ditolak
oleh karena kehilangan cargo milik
PEMOHON tidak termasuk risiko yang dijamin oleh polis serta ketentuan yang
melekat sebagaimana klausula asuransi pengangkutan batu bara (institute coal Clauses 1/10/82) butir
1.2.1 butir 1.2.2 maupun butir 1.2.3. sebagaimana dasar Permohonan atau klaim
oleh PEMOHON;
r.
Bahwa
oleh karena Permohonan PEMOHON tidak cukup alasan maka Permohonan PEMOHON harus
di tolak seluruhnya atau setidak tidaknya dinyatakan Permohonan tidak dapat
diterima.
Maka berdasarkan
dalil yang dikemukakan di atas Termohon mohon kepada Majelis Arbitrase Ad-Hoc yang memeriksa perkara ini agar
berkenan memberikan putusan sebagai berikut :
1.
Menolak
permohonan PEMOHON seluruhnya.
2.
Menyatakan
Klaim yang diajukan PEMOHON tidak Terjamin dama Polis Asuransi Marine Cargo Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat
000019;
3.
Menyatakan
Termohon tidak berkewajiban untuk membayar klaim PEMOHON atau membebaskan
TERMOHON dari segala tuntutan atau klaim yang dimohonkan PEMOHON
ATAU
Apabila Majelis
Arbitrase Ad-Hoc Yang Terhormat yang
memeriksa perkara ini berpendapat lain mohon putusan yang adil (ex aquo et bono)
Bahwa untuk
selanjutnya TERMOHON telah mengajukan dupliknya tertanggal 10 Juni 2014 dan
kesimpulan pada tanggal 5 Agustus 2014, yang untuk mempersingkat uraian putusan
ini harus dianggap di muat dalam putusan ini.
Keterangan Saksi-Saksi
Bahwa untuk
menguatkan dalil-dalilnya PEMOHON telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi yaitu Sdr Yoso Subagio (Mualim I) dan Sdr Eko
Prayitno (Nakhoda) dalam
kapasitas pribadi bukan sebagai karyawan PT Prima Multi Artha sedangkan untuk
menguatkan dalil-dalilnya dari TERMOHON mengajukan 1 (satu) orang saksi fakta
yaitu Sdr Capt Sutrisno Jayadi Putro
sebagai Saksi dalam kapasitas sebagai tehnical adviser PT Dharma Nilaitama Loss Adjuster.
Sedangkan Majelis
mengajukan 1 (satu) orang Saksi Ahli yaitu Sdr
Alam Darma keahlian sebagai Average
Adjuster pada PT Radita Hutama Internusa Loss Adjuster dan sebelum memberikan kesaksian Saksi-Saksi dan
Saksi Ahli telah diambil sumpah terlebih dahulu menurut agama masing-masing.
3.
Pertimbangan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
1)
Menimbang
bahwa PEMOHON telah mengajukan Permohonan Arbitrase tanggal 29 April 2014,
Replik tanggal 26 Mei 2014 dan Kesimpulan tanggal 5 Agustus 2014 yang untuk
mempersingkat uraian putusan ini harus dianggap sudah dimuat dalam putusan ini.
2)
Menimbang
bahwa TERMOHON telah mengajukan Jawaban tanggal 13 Mei 2014, Duplik tanggal 10
Juni 2014 dan Kesimpulan tanggal 5 Agustus 2014 yang untuk mempersingkat uraian
putusan ini harus dianggap sudah dimuat dalam putusan ini.
3)
Menimbang
bahwa antara PEMOHON dan TERMOHON telah disepakati perjanjian Asuransi Marine Cargo Open Cover untuk pengiriman
batubara 7.976.904 MT dari Pelabuhan Hasnur Jaya Utama ke Pembangkit Listrik
Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuan, Banten, Indonesia dengan nilai sebesar Rp 3.641.332.128,- (tiga milyar enam ratus empat
puluh satu juta tiga ratus tiga puluh dua ribu seratus dua puluh delapan
Rupiah).
4)
Menimbang
bahwa untuk objek yang disebutkan pada angka (3), TERMOHON telah menerbitkan
polis Marine Cargo Open Cover nomor :
OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 (Bukti P1-P1A & T-1)
untuk jangka waktu pertanggungan mulai 28 Mei 2012 sampai dengan 28 Mei 2013
dan premi asuransi sudah dibayar lunas oleh Pemohon pada tanggal 18 Juli 2012
(Bukti P2-P2A & T-2), maka telah terjadi perikatan secara hukum antara
PEMOHON dan TERMOHON.
5)
Menimbang
bahwa pada tanggal 2 Juli 2012 Barge SSA 308 yang berlokasi kurang lebih 60 mil
utara Pulau Bawean mendadak mengalami kemiringan yang disebabkan masuknya air
laut ke void space melalui manhole yang tutupnya hilang sebanyak
4 (empat) tutup yang menyebabkan
sebagian muatan cargo tumpah ke laut
dan pada saat itu cuaca sangat buruk, ombak besar dan angin cukup kencang dari
arah tenggara sehingga PEMOHON mengalami kerugian sebesar Rp 1.759.359.971,-
(satu milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh
sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh satu Rupiah).
6)
Menimbang
bahwa PEMOHON telah melaporkan peristiwa kemiringan Barge SSA 308 yang
menyebabkan sebagian muatan tumpah ke laut pada tanggal 2 Juli 2012 tersebut
kepada TERMOHON dan TERMOHON telah menunjuk Loss
Adjuster PT Dharma Nilaitama untuk melakukan facts finding atas liability
polis.
7)
Menimbang
bahwa Loss Adjuster PT Dharma
Nilaitama telah melakukan facts finding
atas liability polis pada objek
pertanggungan yang mengalami kerugian dan dalam final reportnya tertanggal 1
November 2012 Ref.No: GY atau 2120702 atau AT menyimpulkan bahwa “ As a
result of which the barge listed to starboard by which the cargo pushed the
door that finally detached and fell into the sea together with some cargo” dengan
demikian kerugian tersebut bukan yang termasuk dalam jaminan polis.
8)
Menimbang
bahwa berdasarkan hasil facts finding
atas liability polis yang dilakukan
oleh Loss Adjuster PT Dharma
Nilaitama pada objek pertanggungan yang mengalami kerugian yang dituangkan
dalam final report Ref.No: GY atau 2120702 atau AT tertanggal 1 November 2012
maka TERMOHON menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh PEMOHON.
9)
Menimbang
bahwa PEMOHON tidak bisa menerima alasan penolakan tuntutan ganti rugi yang
disampaikan oleh TERMOHON berdasarkan hasil facts
finding atas liability polis pada
objek pertanggungan oleh Loss Adjuster
PT Dharma Nilaitama bahwa kerugian tersebut bukan yang termasuk dalam jaminan
polis, maka di antara PEMOHON dan TERMOHON telah terjadi sengketa asuransi.
10) Menimbang bahwa tidak adanya “dispute clause” yang tercantum dalam polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No.
000019 dengan coverage Institute Coal
Clause 1/10/82 maka PEMOHON melalui Pialang Asuransi PT Jaya Proteksindo
Sakti pada tanggal 11 Juni 2013 mengajukan permohonan perlindungan konsumen
asuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
11) Menimbang bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui
suratnya Nomor: S.527 atau NB.21 atau 2013 tertanggal 27 Agustus 2013 telah
memberi jawaban dengan memberikan informasi kepada TERMOHON dengan tembusan
kepada Pialang Asuransi PT Jaya Proteksindo Sakti yang secara garis besar
perusahaan asuransi semestinya tidak membatasi upaya PEMOHON untuk melakukan
upaya hukum melalui jalur arbitrase.
12) Menimbang bahwa dengan dikeluarkannya surat dari Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Nomor: S.527 atau NB.21 atau 2013 tertanggal 27 Agustus
2013 maka PEMOHON dan TERMOHON telah bersepakat untuk menyelesaikan sengketa
ini melalui jalur Arbitrase Ad-Hoc
yang dinyatakan dengan Surat Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa
Melalui Arbitrase Ad-Hoc tertanggal 1
April 2014.
13) Menimbang bahwa sampai dengan proses pemeriksaan
persidangan Arbitrase ditutup, Majelis Arbitrase Ad-Hoc telah berusaha untuk mendamaikan Para Pihak yang bersengketa
namun usaha perdamaian yang ditawarkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc tidak tercapai karena Para Pihak
tetap mempertahankan sesuai permohonan dan jawaban masing-masing karenanya
pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan.
14) Menimbang bahwa oleh karena Polis telah berlaku sah dan
peristiwa terjadinya kerugian material sudah merupakan fakta hukum, maka
Majelis Arbitrase Ad-Hoc telah
mempertimbangkan hal-hal yang dipersengketakan oleh Para Pihak sebagaimana
diuraikan di bawah ini dengan mengacu pada syarat dan ketentuan polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat
No. 000019 dengan coverage Institute Coal
Clause 1/10/82 yang telah disepakati oleh Para Pihak.
15) Menimbang bahwa mengenai perbedaan pendapat antara Para
Pihak tersebut, Majelis Arbitrase Ad-Hoc
telah mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan dan pendapat-pendapat yang
diajukan oleh Para Pihak dalam dokumen-dokumen Permohonan, Jawaban, Replik,
Duplik dan Kesimpulan serta bukti-bukti pendukung yang diajukan, termasuk
hal-hal yang dikemukakan Para Pihak dalam proses persidangan.
16) Menimbang bahwa Majelis Arbitrase Ad-Hoc juga telah mendengar dan mempelajari hal-hal yang
disampaikan saksi-saksi yang diajukan PEMOHON (Saudara Yoso Subagio dan Saudara
Eko Prayitno) dan saksi yang diajukan TERMOHON (Saudara CaPT Sutrisno Jayadi
Putro) serta saksi ahli yang diajukan Majelis Arbitrase Ad-Hoc (Saudara Alam Darma).
17) Menimbang bahwa TERMOHON menolak tuntutan ganti rugi yang
diajukan PEMOHON dengan alasan karena kehilangan sebagian muatan cargo milik PEMOHON pada saat pengiriman
ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuan, Banten, Indonesia tidak
termasuk risiko yang dijamin oleh Institute
Coal Clauses 1/10/82 butir 1.2.1. dan butir 1.2.2 maupun butir 1.2.3. yang
berbunyi (kutipan):
1.2. loss or damage to the
subject-matter insured caused by
1.2.1 general
average sacrifice
1.2.2 jettison or
washing overboard
1.2.3 entry of sea lake or river
water into vessel hold container or
place of storage
karena
penyebabnya adalah masuknya air laut ke dalam tongkang melalui tangki
penampungan air yang ada di sebelah kanan disebabkan 4 manhole-nya hilang dicuri sehingga tongkang miring ke kanan.
Akibatnya muatan batu bara menekan pintu tongkang sebelah kanan hingga jebol
yang menyebabkan sebagian batu bara jatuh ke laut dan hal ini tidak termasuk
jaminan dari Institute Coal Clauses 1/10/82)
butir 1.2.2 dan butir 1.2.3. sehingga klaim PEMOHON ditolak oleh TERMOHON.
18)
Menimbang
bahwa PEMOHON berpendapat sebaliknya yaitu seharusnya TERMOHON harus membayar
tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh PEMOHON (policy liable) dengan alasan masuknya air laut ke dalam tongkang
dijamin dalam Institute Coal Clauses 1/10/82
(risks covered) pada butir 1.2.3 “entry of sea lake or river water into
vessel, hold container or place of storage” bukan dengan 1.2.2 jettison or washing overboard. Masuknya
air laut ke dalam kapal diakibatkan oleh cuaca buruk, sebagaimana berita acara
pemeriksaan & perkerjaan yang ditanda tangani oleh Nakhoda (Bukti P-13)
artinya meskipun 4 manhole hilang
dicuri kapal tidak akan miring bilamana tidak ada cuaca buruk karena manhole termasuk penyebab yang jauh (remote causa) dan hal ini sesuai dengan second opinion dari Michael Hervey dari
Harvey Ashby Limited yang disampaikan melalui email kepada Pialang Asuransi PT
Jaya Proteksindo Sakti.
19)
Menimbang
bahwa terdapat perbedaan penafsiran atau pendapat antara PEMOHON dengan
TERMOHON khususnya yang menyangkut polis Marine
Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan coverage Institute Coal Clause 1/10/82
khususnya terhadap butir 1.2.2 dan butir 1.2.3. yang telah disepakati oleh Para
Pihak maka Majelis Arbitrase Ad-Hoc
haruslah mempunyai pendapat sendiri atas perbedaan penafsiran atau pendapat
terhadap coverage Institute Coal Clause
1/10/82 khususnya terhadap butir 1.2.2 dan butir 1.2.3. tersebut.
20)
Menimbang
bahwa penolakan TERMOHON terhadap tuntutan ganti rugi yang diajukan PEMOHON
atas tumpahnya sebagian muatan batu bara ke laut pada tanggal 2 Juli 2012 yang
mengakibatkan PEMOHON mengalami kerugian sebesar Rp 1.759.359.971,- (satu
milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu
sembilan ratus tujuh puluh satu Rupiah) tidak dijamin oleh polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan
perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82
untuk periode pertanggungan mulai 28 Mei 2012 sampai dengan 28 Mei 2013, karena
tidak termasuk jaminan butir 1.2. Institute
Coal Clauses 1/10/82.
21)
(1) Menimbang bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta
dan Arbiter
Kornelius
Simanjuntak berpendapat bahwa setelah mendengarkan keterangan saksi dari Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama CaPT Sutrisno Jayadi Putro sebagai technical adviser dalam persidangan
arbitrase yang melakukan facts finding
di lokasi tempat terjadinya kerugian dan pada kapal Barge SSA 308 yang
mengangkut batu bara bahwa masuknya air dengan cara apapun tidak berpengaruh
sedangkan kalau dicuri itu tidak di sengaja. Dalam polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat
No. 00001 dengan perluasan Institute Coal
Clauses 1/10/82 tidak di jelaskan masuknya air karena apa, kalau disapu
ombak termasuk washing overboard
sedangkan Kalau kapal miring dan muatan bergeser yang kemudian pintunya jebol
itu bukan termasuk washing overboard.
Menimbang bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter
Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa setelah mendengarkan keterangan saksi
dari Loss Adjuster PT Dharma
Nilaitama CaPT Sutrisno Jayadi Putro yang diperkuat lagi dengan keterangan
saksi Ahli Alam Darma dalam
persidangan arbitrase bahwa:
(a)
Clausul
1.2.3 dalam Institute Coal Clauses tidak
akan kena, yang pertama tidak masuk entry
of see like or rever water into vesel hold tidak masuk ke ruang kargo, yang
kedua loss pada kejadian ini adalah
kargonya sendiri dan kargo bukan rusak karena air melainkan tumpah dan yang
terakhir tongkang ini tidak ada ruang cargonya;
(b)
Proxyme cause dalam kasus ini bukan karena cuaca jelek, melainkan kapal Barge SSA 308
yang mengangkut batu bara ini tidak ada vesel
hold karenanya tidak termasuk
dalam jaminan Clausul 1.2.3 “entry of see
water into vesel hold” artinya jaminan ini tidak perlu ada karena kalaupun
ada juga tidak dijamin oleh karena itu tidak applicable untuk kasus ini. Sehingga jaminan yang diberikan oleh
asuransi kepada tertanggung sesuai clausul
1,2,3 tidak applicable karena
tongkang tidak punya vessel.
(2) Arbiter Arizal, ER tidak sependapat dengan
alasan: bahwa menurut keterangan saksi-saksi Sdr Muhammad Eko Prayitno (Mualim
1) dan Sdr Yoso Subagio (Nakhoda) dalam persidangan arbitrase bahwa sebelum
tumpahnya muatan batu bara ke laut pada saat itu keadaan ombak sedang besar
yang disertai angin kencang menyebabkan air laut masuk kedalam vessel atau tongkang melalui manhole menyebabkan vessel
atau tongkang miring dan muatan batu bara tumpah ke
laut. Jadi penyebab utamanya tetap air laut yang masuk kedalam vessel
tongkang melalui manhole karena kalau keadaan ombak sedang baik dan
tidak disertai angin kencang maka tidak akan menyebabkan air laut masuk ke
dalam manhole mengingat jarak antara permukaan air laut dengan manhole
deck tingginya sekitar 50cm.
22)
Menimbang
bahwa kerugian yang utama dalam sengketa ini adalah tumpahnya batu bara ke laut
akibat terdorong pada saat melakukan perjalanan dari Pelabuhan Hasnur Jaya
Utama di daerah Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan menuju ke
Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuan, Banten yang diangkut dengan
kapal Barge SSA 308 yang mengalami
kemiringan akibat masuknya air ke dalam lambung kapal yang seharusnya kosong
karena berfungsi sebagai daya apung dan karenanya kemungkinan akibat keadaan
ombak yang sedang besar disertai angin kencang harus diabaikan.
23)
Menimbang
bahwa Para Pihak telah sepakat untuk memakai polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001
dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82
walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan penafsiran di antara PEMOHON dan
TERMOHON baik dari segi penulisan tanda baca ataupun pada saat proses
pencetakkan polis tersebut khususnya atas dasar jaminan “1.2.3. entry of sea
lake or river water into vessel hold container or place of storage” walaupun
demikian prinsip-prinsip polis yang dianut tetap mengacu kepada named perils system.
24)
(1) Menimbang
bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter
Kornelius Simanjuntak
berpendapat bahwa polis Marine Cargo
Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 mengacu
kepada named perils system maka
apabila ada perbedaan penafsiran antara PEMOHON dan TERMOHON disebabkan karena
penggunaan atau penghilangan tanda baca koma khususnya dalam Institute Coal
Clause maka yang dipakai adalah sebagaimana yang tercatat, tercetak dan
terlekat dalam polis Marine Cargo
Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dan bukanlah penafsiran
ataupun opini-opini yang kemudian disampaikan oleh PEMOHON dan TERMOHON dalam
persidangan.
Lebih lanjut Arbiter
Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa Para
Pihak seharusnya mengetahui dan menyadari dengan diterbitkannya polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001
atau sertifikat No. 00001 dengan
perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 oleh
TERMOHON dan dibayarkan premi asuransi oleh PEMOHON maka sudah terjadi
perjanjian di antara Para Pihak karenanya semua persyaratan dan ketentuan yang
berlaku di dalam polis akan berlaku sebagai undang-undang sesuai Pasal 1338
KUHPerdata yang berbunyi “Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan
dalam undang-undang. Persetujuan
harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
(2)Arbiter Arizal, ER
berpendapat bahwa beberapa bagian naskah polis terdapat penulisan sederetan
kata tanpa dipisahkan koma dan masing-masing kata tetap diartikan secara sendiri-sendiri.
Misalnya dalam naskah 1.1.2. tertulis “vessel being stranded
grounded sunk or capsized”. Di sini terlihat bahwa 3(tiga) kata “stranded
grounded sunk” tidak dipisahkan oleh tanda baca koma tetapi ketiga kata
tersebut tetap diartikan secara sendiri-sendiri. Contoh lain, dalam naskah
1.1.5. tertulis “earthquake volcanic eruption or lightning”. Dalam hal
ini terdapat 3 (tiga) kata “earthquake volcanic eruption” yang tidak
dipisahkan oleh koma. Berbeda dengan contoh pertama, ketiga kata ini terdiri
dari 2 (dua) kata yaitu earthquake dan volcanic eruption,
alasannya adalah karena kata volcanic adalah kata sifat yang mana
menurut tata bahasa Inggris menerangkan kata yang terletak sesudahnya.
Arbiter Arizal, ER selanjutnya berpendapat bahwa
berkaitan dengan penulisan naskah 1.2.3 terdapat 2 (dua) frasa dengan penulisan
tanpa koma, yang pertama “entry of sea lake or river water”. Antara
kata-kata sea dan lake tidak terdapat koma namun semua orang
pasti akan sepakat bahwa kedua kata tersebut mempunyai arti sendiri-sendiri.
Yang kedua, bagian yang menjadi pokok perselisahan yaitu “vessel hold
container or place of storage”. Untuk memastikan apakah kata-kata vessel
dan hold adalah dua kata terpisah atau satu kata majemuk, perlu dipahami
arti dari masing-masingnya dalam kaitan dengan alat angkut atau transportasi laut atau air.
Arbiter Arizal, ER berpendapat bahwa menurut Wikipedia
arti dari kata vessel adalah “a nautical term for all kinds of craft designed for
transportation on water, such as ships, boats or submarines”, sedangkan arti dari kata ship adalah “large vessel that floats on water” dan juga dapat diartikan
sebagai “full rigged ship, a sailing vessel with three or
more square rigged masts, as opposed to smaller or fore-and-aft rigged vessels”.
Arbiter Arizal, ER berpendapat
bahwa dalam Institutute Coal Clause dipergunakan kata vessel yang
mempunyai pengertian luas, sebagai alat angkut bukan ship yang mempunyai
pengertian lebih sempit sehingga Clause ini bisa berlaku untuk semua
jenis alat angkut atau transportasi di laut atau air di mana tongkang atau barge
termasuk dalam pengertian tersebut.
Arbiter Arizal, ER berpendapat
bahwa menurut Wikipedia arti dari kata hold hanya dikaitkan dengan ship
yaitu ship’s hold karena dapat dipastikan bahwa semua kapal atau ship
mempunyai palka atau hold dan tidak ditemukan referensi atas penggunaan
kata hold dilekatkan pada vessel
atau vessel hold karena tidak semua vessel mempunyai hold
misalnya tongkang atau barge.
25)
Menimbang
bahwa polis Marine Cargo Open Cover
nomor: OCPB02031200001 atau sertifikat
No. 00001 dengan perluasan Institute Coal
Clauses 1/10/82 mengacu kepada named
perils system dan Para Pihak sudah mengikatkan diri di dalam suatu
perjanjian karenanya semua persyaratan dan ketentuan yang berlaku di dalam
polis akan berlaku sebagai undang-undang sesuai Pasal 1338 KUHPerdata dengan
demikian adanya pendapat, penafsiran
ataupun opini-opini yang oleh PEMOHON dalam kasus ini tidaklah tepat.
26)
Menimbang
bahwa sengeketa asuransi ini mengenai persyaratan dan ketentuan yang terlekat
di dalam polis Marine Cargo Open
Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 khususnya
yang menyangkut luas jaminan yang termasuk dalam butir 1.2.3 entry of sea lake or
river water into vessel hold container or place of storage maka
doktrin-doktrin yang dapat dijadikan bukti pendukung oleh Para Pihak adalah
doktrin-doktrin yang di dapat dari yang membuat dan menerbitkan original polis
dimaksud.
27)
(1) Menimbang
bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter
Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa dalam hal adanya
perbedaan atas doktrin-doktrin yang berlaku dalam praktek perasuransian atas
sengketa ini oleh Para Pihak terhadap polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001 atau sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 maka yang
akan menjadi pertimbangan oleh Majelis adalah doktrin-doktrin yang dikeluarkan
oleh institusi-institusi yang berwenang dalam hal ini oleh institusi di mana
polis dibuat dan diterbitkan bukan oleh perusahaan perasuransian.
(2) Arbiter Arizal berpendapat bahwa opini dari Michael
Harvey (Harvey-Ashby Average Adjuster
& Claims Consultant) mengenai masuknya air laut ke dalam kapal melalui manhole yang dicuri disebabkan oleh
cuaca yang buruk dan ombak. Namun apapun penyebab air laut masuk ke dalam vessel
atau kapal tidak perlu dipermasalahkan sebagaimana dijelaskan di dalam email
Michael Harvey: “it is not necessary to
investigate the couse of the entry of sea water other than to ensure that
exclusions do not apply, as it is a peril in itself”. Jadi tidak perlu
melakukan investigasi penyebab masuknya air ke dalam kapal, selain memastikan
bahwa pengecualian tidak berlaku karena masuknya air laut adalah peril yang
dijamin
28) Menimbang bahwa doktrin-doktrin yang disampaikan oleh
PEMOHON dalam persidangan arbitrase tidak disertai dengan contoh-contoh
sengketa asuransi yang sama dengan sengketa asuransi Para Pihak dan juga belum
berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewisde) serta tidak dikeluarkan oleh institusi di negara mana polis dibuat
dan diterbitkan maka doktrin-doktrin tersebut haruslah dikesampingkan.
29) Menimbang bahwa terdapat adanya perbedaan pendapat atau penafsiran
antara para Arbiter di dalam Majelis Arbitrase Ad-Hoc untuk memutuskan sengketa ini maka sesuai huruf e surat
Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Majelis Arbitrase Ad-Hoc yang ditanda-tangani Para Pihak
maka dalam hal musyawarah dan mufakat tidak dapat dilakukan atau tidak tercapai
maka putusan diambil dengan pemungutan suara dan putusan tersebut dinyatakan
sah apabila diambil dengan suara terbanyak.
30) Menimbang bahwa setelah Majelis Arbitrase Ad-Hoc melakukan pertemuan ternyata
musyawarah dan mufakat tidak dapat dilakukan atau tidak tercapai maka dalam
menentukan pertimbangan hukum harus dilakukan dengan cara pengambilan suara
terbanyak dengan perbandingan Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter Kornelius
Simanjuntak berpendapat bahwa klaim yang diajukan oleh PEMOHON dinyatakan
ditolak sedangkan Arbiter Arizal, ER menyatakan dijamin.
31) Menimbang bahwa Biaya Arbtrase telah disepakati bersama
antara PEMOHON dan TERMOHON sesuai Akta
Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Ad-Hoc tertanggal 1 April 2014 dan Surat
Penetapan Biaya Arbitrase Ad-Hoc
Nomor : 03 atau ARB-AD-HOC atau IV
atau 2014 tanggal 15 April 2014, bahwa PEMOHON dan TERMOHON masing-masing
menanggung 50%, maka tuntutan PEMOHON agar TERMOHON membayar semua biaya yang
timbul dalam perkara ini harus dinyatakan ditolak.
32) Menimbang bahwa sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa khususnya Pasal 60 dan juga sesuai dengan Pernyataan dan
Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Nomor : 02 atau Mjs.Arb atau
IV atau 2013 tanggal 12 April 2013 huruf d yang ditandatangani oleh PEMOHON dan
TERMOHON maka putusan dalam sengketa ini haruslah dinyatakan bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak dan tidak dapat
dimintakan upaya hukum apapun tanpa kecuali, baik upaya hukum banding atau
upaya hukum lainnya kepada Pengadilan.
33) Menimbang bahwa Pasal 54 ayat 4 UU No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan tegas mengatakan
dalam putusan harus ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus
dilaksanakan maka Majelis menetapkan bahwa waktu untuk melaksanakan putusan ini
adalah 30 hari sejak putusan ini diucapkan.
34) Mengingat ketentuan Pasal 54 dan Pasal 56 Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta
ketentuan hukum lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, maka Majelis
Arbitrase Ad-Hoc setelah memeriksa
dan mengadili persengketaan ini
menetapkan putusan sebagai berikut :
4.
Isi Putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
a.
Mengabulkan
permohonan TERMOHON untuk seluruhnya.
b.
Menolak
permohonan PEMOHON untuk seluruhnya.
c.
Menghukum
PEMOHON dan TERMOHON untuk membayar Biaya Arbitrase masing-masing sebesar 50%
(limapuluh perseratus)
d.
Menyatakan
putusan dalam perkara ini bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan mengikat Para Pihak dan tidak dapat dimintakan upaya hukum banding
ataupun Kasasi ke Pengadilan.
e.
Menyatakan
putusan dalam perkara ini harus dilaksanakan oleh para pihak dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini dibacakan.
Putusan ini ditetapkan dan dibacakan dalam sidang tertutup Majelis Arbitrase Ad-Hoc pada hari Selasa tanggal 2
September 2014 yang dipimpin oleh Kornelius Simanjuntak, SH, MH, AAIK, QIP Ketua merangkap anggota
Majelis Arbitrase Ad-Hoc, Drs. Arizal, ER., AAINZ, AAIK, QIP, AAIK sebagai Anggota Majelis
Arbitrase Ad-Hoc dan AA. Ngr. Adnyana Dipta, SH, MH, AAIK sebagai Anggota Majelis
Arbitrase Ad-Hoc yang disaksikan oleh Heri Wibowo, SH sebagai sekretaris Majelis dan
dihadiri oleh Para Pihak.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka dapat disampaikan
kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Pengaturan mengenai penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didasarkan pada ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 1342 s.d. 1351 KUH Perdata. Ketentuan mengenai
penafsiran perjanjian tersebut merupakan dasar hukum yang dapat digunakan bagi
para penegak hukum dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara para pihak
yang mencari keadilan baik di dalam lembaga peradilan umum maupun lembaga
arbitrase, selain dari ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata juga
terdapat prinsip-prinsip atau doktrin-doktrin yang berlaku umum yang juga dapat
digunakan sebagai dasar bagi hakim dalam memutus perkara. Penerapan penafsiran
perjanjian dalam polis Marine Cargo
Insurance di Indonesia dapat diterapkan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
yang berlaku yang didasarkan pada ketentuan penafsiran perjanjian sebagaimana
yang terdapat di dalam Pasal 1342 s.d. 1351 KUH Perdata.
2.
Penafsiran
perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam pekara klaim Marine Cargo Insurance antara PT Prima Multi Artha selaku Tertanggung kepada
PT Asuransi Bina Dana Artha Tbk selaku
Penanggung terdapat beberapa kelemahan, yaitu hakim Arbitrase Ad-Hoc telah mengeyampingkan hukum
materil dengan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan ketentuan penafsiran
perjanjian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya
Pasal 1343, 1344 dan 1349 KUH Perdata dan juga tidak menggunakan prinsip-prinsip
penafsiran perjanjian yang berlaku dalam hukum kontrak di Indonesia khususnya
prinsip contra proferentem, serta
putusan Arbitrase Ad-Hoc yang menolak
permohonan tertanggung dan mengabulkan permohonan penanggung atau perusahaan asuransi
menurut penulis sepatutnya tidak dapat dibenarkan. Penulis berpendapat asas itikad baik terhadap penafsiran perjanjian memegang
peranan penting dalam penafsiran perjanjian khususnya bagi para penegak
keadilan, peranan itikad baik dalam penafsiran perjanjian dibangun oleh
pengadilan maupun lembaga penegakan hukum lainnya seperti arbitrase, jika perjanjian
harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi perjanjian harus
ditafsirkan secara fair dan patut.
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan yang telah ada, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1.
Kepada
Hakim Arbitrase Ad-Hoc yang memutus
perkara ini, seharusnya melihat ketentuan yang terdapat di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan prinsip ataupun doktrin-doktrin
umum yang berlaku yang dapat dipergunakan dalam hal terjadi perbedaan
penafsiran, karena dalam hal terjadi perbedaan penafsiran atas isi dari perjanjian antara para pihak maka Hakim Arbitrase Ad-Hoc sebagai penegak keadilan harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan penafsiran perjanjian yang berlaku sebagai
hukum positif di Indonesia.
2.
Kepada
pihak TERMOHON (Perusahaan Asuransi) dalam perkara ini seharusnya dalam membuat
suatu perjanjian atau polis asuransi yang mana para pihak dalam perkara ini keduanya
adalah perusahaan swasta nasional maka seharusnya perjanjian atau polis
asuransi tersebut wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia, hal ini dinyatakan
secara tegas di dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, atau apabila
diperlukan menggunakan bahasa asing maka dapat dibuat dalam dua bahasa (bilingual) yaitu dalam hal ini dibuat
dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, karena jika terjadi perbedaan
penafsiran terhadap isi dari polis dalam Bahasa Inggris seperti yang terjadi
dalam kasus ini maka para pihak dapat merujuk kepada Bahasa Indonesia yang
terdapat di dalam Polis. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi risiko
terjadinya perbedaan penafsiran antara para pihak.
3.
Perlu
juga dilakukan sosialisasi kepada para penegak hukum di Indonesia tentang
ketentuan mengenai penafsiran perjanjian serta prinsip-prinsip
atau doktrin-doktrin umum yang dapat digunakan bagi hakim dalam memutus perkara
dalam hal adanya perbedaan penafsiran atas isi dari perjanjian antara para
pihak, diperlukannya sosialisasi tersebut karena masih kurangnya pengetahuan
bagi para penegak keadilan di Indonesia tentang tata cara penafiran perjanjian
yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia. Hal ini terbukti dengan tidak
digunakannya prinsip penafsiran perjanjian yang terdapat di dalam KUH Perdata dalam
putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
dalam perkara klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi
Bina Dana Arta Tbk, sosialisi ketentuan
mengenai penafsiran perjanjian ini bertujuan untuk menghindari
kekeliruan bagi hakim dalam memutus perkara khususnya dalam hal terjadi
perbedaan pendapat atas isi dari perjanjian, sehingga hakim dalam memutus suatu
perkara mempunyai dasar hukum atas penafsiran terhadap suatu perjanjian.
[1] Satjipto Rahardjo,
Penafsiran Hukum yang Progresif,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 2
[7]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, (Jakarta: Penerbit UI-Press, 2008), 5.
[11]
Soerjono Soekanto, Op Cit.,
5.
[12] Paul
Scholten, Mr. C. Asser Handleiding Tot De
Beofening van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemen Deel, Terjemahan Siti
Soemitri Hartono, (Yogyakarta: Cet II, Gadjah Mada University Press, 1993),
3.
[13] Ibid
[14] Ibid.
[15] Ibid., 4-5.
[16] Ibid., 49
[17] Ibid., 52.
[18] Ibid., 53.
[19]
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum
Perdata Jilid I, (Jakarta: Cet. II, Rajawali, 1992), 15.
[20]
H.F.A. Vollmar, Hukum Benda Menurut KUH
Perdata, terjemahan Chidir Ali,
(Bandung: Tarsito, 1990), 17.
[21] Ibid.
[24] A.
Plito, Het Systeem van Het Nederlandse
Privaatrecht, (terjemahan D. Saragih), (Bandung: Alumni), 1973, 32-49.
[25]
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita1992), 286-287.
[27]Achmad
Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), 156.
[28] Ibid.,
171.
[29] Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu
Hukum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 157.
[30] Peter
De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum
(Common Law, Civil Law, dan Socialist Law), (Bandung: Nusa Media, 2010),
381.
[31]
Hasanuddin AF, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
PT Pustaka Al Husna Baru, 2004), 166.
[32] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 157.
[33] Pipin
Syarifin, Op.Cit., 157.
[34] Ibid., 158.
[35] Ibid., 158.
[36] Ibid., 159.
[37]
Hasanuddin AF, Op.Cit., 166.
[38] Pipin
Syarifin, Op.Cit., 160.
[39] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1984), 63-64.
[40]
Sefriani, Hukum International Suatu
Pengantar, Rajawali Pers, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persaja, 2012), 28.
[41]
Suharnoko, Hukum Perjanjian – Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2004), 19.
[42]
Ibid., 320.
[43] Munir
Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang
Hukum Bisnis (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), 58-60.
[44] Ibid., 61.
[45]
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam
Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), 218.
[47] Yudha
Bhakti Ardhiwisata, Penafsiran dan
Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), 55.
[48] Ibid., 56.
[49] Ibid., 59.
[50]
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., 79.
[52] P.L.
Wery: Hoofzaken van het verzekeringsrecht (defeter: kluwer B. V., 1984),
7.
[53] Ibid., 8.
[54] Agus
Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan
Perusahaan Asuransi, (Yogyakarta: BPFE, 1995), 43.
[55] Ibid., 44.
[56] Ibid., 45.
[57]
Abdulkadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum
Pertanggungan, cetakan kedua, (Bandung: Alumni, 1983), 49.
[58]
Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit.,
49.
[59]
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., 50.
[60] Ibid., 51.
[61] Ibid., 52.
[62] Ibid., 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar