BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
era pembangunan sekarang, asuransi mempunyai peranan yang penting. Disamping
memberikan jaminan kepada individu serta pengembangan bidang usaha, asuransi
merupakan alat penghimpunan dana bagi pembangunan serta menjaga kontinuitas
pembangunan itu sendiri.
Sejak
kemerdekaan pada tahun 1945, Bangsa Indonesia terus berupaya melakukan
pembangunan di segala bidang. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan bersama
oleh rakyat dan pemerintah itu telah membawa kemajuan di hampir semua segi
kehidupan, seperti yang dapat kita lihat dan rasakan sekarang ini.
Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.[1] Salah
satunya adalah pembangunan di bidang ekonomi, yang mempunyai kedudukan amat
penting bahkan bidang ekonomi dijadikan titik berat pembangunan jangka panjang
kedua.
Perbaikan
jalan-jalan baik di kota maupun di desa, masuknya listrik sampai ke pelosok
daerah, dibangunnya fasilitas dan sarana seperti sekolah, rumah-rumah ibadah
dan lain sebagainya merupakan bukti nyata keberhasilan pembangunan.
Secara
garis besar, asuransi dibedakan menjadi 2 yaitu asuransi kerugian dan asuransi
jiwa. Salah satu golongan dari asuransi kerugian adalah asuransi kebakaran,
yang merupakan bidang asuransi tertua setelah asuransi pengangkutan laut.
Besarnya
kerugian tersebut apabila diukur dengan uang mencapai miliaran rupiah pertahun.
Dilihat dari angka-angka klaim kebakaran atas kerugian kebakaran dari pada objek-objek
yang diasuransikan, telah tercatat paling tidak 92 miliar pada tahun 1988.[2] Angka tersebut hanyalah
sebagian dari kerugian-kerugian kebakaran yang sebenarnya timbul, oleh karena
itu tidak semua harta benda yang ada di Indonesia ini di asuransikan.
Dari
berbagai jenis asuransi kerugian di Indonesia, penulis memilih asuransi
kebakaran sebagai bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini, untuk mengkaji
lebih jauh mengenai bagaimana pengaturan klaim asuransi kebakaran di Indonesia.
Penulis memilih PT. WIRYA PERCA sebagai objek penelitian karena sesuai dengan
pembahasan dalam skripsi ini, yaitu mengenai klaim asuransi kebakaran yang
diajukan oleh PT. WIRYA PERCA kepada PT. ASURANSI WAHANA TATA di luar masa
pertanggungan (analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007).
Peristiwa
kebakaran dari tahun ke tahun bukannya menurun tetapi terus meningkat, bahkan
di kota-kota besar sering kali terdengar adanya berita kebakaran yang menimpa
perumahan, pabrik, pasar, shopping center,
gudang dan gedung bertingkat. Oleh karenanya masalah kebakaran beserta segala
aspeknya dewasa ini telah merupakan masalah nasional dilihat dari telah
meningkatnya jumlah kejadian kebakaran dan nilai kerugian yang ditimbulkannya.
Kejadian
kebakaran bersumber dari manusia, alat/bahan dan alam. Namun faktor manusia
berupa kesalahan manusia (human error), terutama
yang disebabkan oleh kelalaian, kecerobohan, keamanan, sikap mental dan kulltur
merupakan penyebab kebakaran yang paling dominan. Pada beberapa kasus kebakaran
terdapat juga unsur kesengajaan (pembakaran/arson)
yang mempunyai motifasi persaingan, dendam pribadi, asuransi menghilangkan
jejak kejahatan antara lain korupsi, manipulasi, pembunuhan dan subservasi.
Memang
tidak semua usaha yang dilakukan akan mencapai keberhasilan pada puncaknya,
adakalanya pembangunan itu memperoleh hasil yang kurang baik atau bahkan yang
harus dihadapi adalah kegagalan. Kegagalan itu dapat disebabkan beberapa
faktor, misalnya faktor alam yaitu gempa bumi, banjir dan lain sebagainya yang
tidak dapat dihindari karena keterbatasan manusia, atau faktor-faktor seperti
faktor ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Kegagalan itu tentu saja akan
menimbulkan kerugian material yang jumlahnya tidak sedikit.
Setiap
orang pasti menginginkan berbagai usaha yang dilakukannya berhasil, dan tentu
ia akan berusaha sedapat mungkin menghindari atau memperkecil risiko kerugian.
Kemungkinan timbulnya kerugian itu membuat orang berfikir untuk mengalihkan risiko
kerugian kepada pihak lain, sehingga kerugian itu tidak ditanggung oleh satu
pihak saja tetapi kalau bisa ditanggung bersama-sama dengan pihak lain. Risiko
itulah yang menjadi pertimbangan utama bagi suatu pihak untuk mengalihkan
risiko dengan benda-benda miliknya. Peralihan risiko itu tidak terjadi begitu
saja tetapi tentu saja harus diperjanjikan terlebih dahulu. Asuransi kebakaran
adalah asuransi yang paling baik perkembanganya dan paling luas yang telah
diterima masyarakat dan telah memiliki polis standar sebagai kontrak dasar.[3]
Di
Indonesia sendiri persyaratan mengenai asuransi kebakaran dijelaskan dalam
Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia atau disingkat PSKI dan telah
dibakukan sejak tahun 1982. Selain
diatur oleh KUHD pada Bab ke 9 tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya,[4] masalah perasuransian juga
diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Asuransi
kebakaran merupakan salah satu jenis asuransi kerugian, telah menyediakan
perlindungan ganti kerugian yang cukup luas, beberapa objek tanggungan seperti
rumah, gedung bertingkat, pabrik dan lain-lainnya. Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia telah menetapkan berbagai risiko yang dikecualikan, yaitu:
1.
Cacat sendiri;
2.
Perang;
3.
Kerusuhan;
4.
Gempa bumi;
5.
Banjir;
6.
Biaya pembersihan reruntuhan
dan puing;
7.
Gangguan usaha;
8.
Nuklir.
Polis asuransi merupakan perwujudan dari adanya
suatu perjanjian asuransi. Pada umumnya polis ini mengatur secara umum
ketentuan-ketentuan dari perjanjian asuransi tersebut, antara lain:
1. Pihak-pihak
yang mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut;
2. Objeknya
yang dipertanggungkan;
3. Jenis-jenis
musibah yang dipertanggungkan;
4. Jenis-jenis
musibah yang dikecualikan;
5. Hal-hal
yang dapat menyebabkan hilangnya hak ganti rugi tertanggung ataupun batalnya perjanjian;
6. Hal
mengenai ganti rugi.
Berdasarkan alasan-alasan
tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat skripsi dengan
judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Klaim Asuransi Kebakaran Pada PT. Asuransi Wahana Tata Di Luar Masa Pertanggungan (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1455
K/Pdt/2007)”
B.
Permasalahan
Berdasarkan
alasan-alasan yang dikemukakan dalam latar belakang, maka dapat dikemukakan
pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia pada
PT. Asuransi Wahana Tata?
2. Bagaimana putusan
Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar
masa pertanggungan?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka tujuan
khusus yang ingin dicapai dalam hal ini adalah untuk menggambarkan:
1.
Pengaturan klaim asuransi
dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata.
2.
Putusan Mahkamah Agung No.
1455/K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan.
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun
manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara
Teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kalangan akademis, mahasiswa
hukum pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang ingin menambah
pengetahuan dibidang hukum yang bersifat teori, khususnya di bidang asuransi
kebakaran.
2. Secara
Praktis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran yang lebih jelas kepada
pihak tertanggung atau calon tertanggung yang akan mengasuransikan objek
tertentu kepada perusahaan asuransi, khususnya asuransi kebakaran mengenai pengaturan klaim
asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia.
3. Manfaat
Bagi Masyarakat
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat pada
umumnya yang ingin mengetahui bagaimana pengaturan klaim
asuransi kebakaran di Indonesia.
E.
Metode
Penelitian
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti
“jalan ke”, namun menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:[5]
1.
Suatu tipe
pemikiran yang dipergunakan dalam penelitan dan penilaian;
2.
Suatu teknik
yang umum bagi ilmu pengetahuan;
3.
Cara tertentu untuk
melaksanakan suatu prosedur.
Agar skripsi ini mempunyai nilai ilmiah, maka perlu
diperhatikan beberapa hal sebagai syarat-syarat penelitian metode ilmiah.
Mengingat penelitian sebagai salah satu sarana dalam pengembangan ilmu yang
digunakan untuk mengungkap kebenaran secara sitematis, metodologis serta
konsisten, maka proses selama penelitian perlu dianalisis dan kemudian
dikonstruksikan dengan masalah terkait yang
ada, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya
secara obyektif.
Adapun metode yang digunakan dalam dalam penulisan skripsi
sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap Klaim Asuransi Kebakaran Pada PT. Asuransi Wahana Tata Di Luar
Masa Pertanggungan (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007)” merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang
mencakup: penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.[6] Sesuai dengan judul skripsi yang
dibuat oleh penulis maka penelitian
dilakukan terhadap azas-azas hukum, baik hukum
dalam peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang berupa putusan pengadilan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini jika dilihat
dari sifatnya merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu
penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan objek penelitian.[7] Sesuai
dengan skripsi ini yaitu menggambarkan
bentuk pengaturan
klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia Pada PT.
Asuransi Wahana Tata dan putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007 tentang
klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan.
3. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan buku-buku yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh peneliti.[8] Data sekunder terdiri
dari:
a.
Bahan-bahan
hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas undang-undang, yaitu :
1)
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
2)
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang;
3)
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
b.
Bahan-bahan
hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer yang berfungsi menjelaskan bahan-bahan hukum primer, antara lain terdiri
dari:
1)
Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007;
2)
Polis
Asuransi Kebakaran PT. Asuransi Wahana Tata yang mengacu pada Polis Standar
Asuransi Kebakaran Indonesia (PSKI);
3)
Makalah dan
tulisan lain yang relevan dengan pengaturan klaim asuransi kebakaran di
Indonesia.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
atau penjelasan terhadap dua jenis bahan hukum yang telah disebutkan, yaitu
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dan internet.
4. Cara Memperoleh Data
Metode yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh data dalam usaha
mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan,
yaitu melakukan pengumpulan data yang
bersifat teoritis dengan cara membaca buku-buku, makalah-makalah,
ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yang dilakukan pada perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, maupun mengakses data melalui
internet.
5. Analisis Data
Seluruh data sekunder dari hasil
penelitian ini dianalisis secara kualitatif, artinya data kepustakaan
dianalisis secara mendalam, menyeluruh, dan merupakan satu kesatuan bulat mengenai masalah yang terkait.[9] Dalam
hal ini yang dianalisis adalah mengenai
dua masalah yang terkait, yaitu mengenai pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi
Kebakaran Indonesia Pada PT. Asuransi Wahana Tata dan Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran
di luar masa pertanggungan, sehingga hasilnya dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
6. Metode Pengambilan Kesimpulan
Pengambilan
kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya adalah metode
dengan menarik kesimpulan yang bersifat
khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.[10] Metode
ini dilakukan dengan cara menganalisis
pengertian atau konsep-konsep umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian dan Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia
yang kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus mengenai pengaturan klaim asuransi kebakaran maupun hasil Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007.
F.
Kerangka
Konsepsional
Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep dan pengertian
mengenai istilah saat penulisan, untuk memudahkan dalam memahami dan mencegah
terjadinya salah paham, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa istilah yang
dipergunakan:
1. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan;[11]
2. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih;[12]
3. Wanprestasi adalah kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam
perjanjian;[13]
4. Tertanggung atau terjamin adalah orang atau badan yang mengalihkan
resiko kepada pihak lain berdasarkan polis dengan membayar premi;[14]
5. Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dam tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang
tidak pasti terjadi;[15]
6. Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga kesehatan
manusia, tanggung jawab hukum, serta semua
kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya;[16]
7. Premi asuransi (insurance
premium) adalah jumlah uang yang dibayarkan di muka oleh pihak yang
diasuransikan kepada pihak yang mengasuransikan dalam jangka tahunan, setengah
tahunan, kwartalan, bulanan atau mingguan;[17]
8. Polis adalah suatu pertanggungan
harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis;[18]
G.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam
bab ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan, kerangka konsepsional,
dan sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI
KEBAKARAN
Pada
bab ini diuraikan tentang dasar hukum asuransi, definisi asuransi,
risiko-risiko dalam asuransi kebakaran, premi, polis dalam asuransi kebakaran,
isi Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, jenis-jenis asuransi kebakaran,
berakhirnya asuransi kebakaran, pasal-pasal khusus tentang asuransi kebakaran
di dalam KUHD, prinsip-prinsip asuransi, perluasan risiko asuransi kebakaran, prosedur
mengajukan ganti rugi asuransi kebakaran.
BAB
III URAIAN KASUS DAN ISI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1455 K/Pdt/2007
Pada
bab ini diuraikan kasus dan isi dari putusan
Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007.
BAB
IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
KLAIM ASURANSI KEBAKARAN PT. ASURANSI WAHANA TATA DI LUAR MASA PERTANGGUNGAN
Bab
ini merupakan analisis terhadap pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar
Asuransi Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata dan analisis
terhadap putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007 tentang
klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan.
BAB V PENUTUP
Bab
ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang berisi
kesimpulan dari pokok permasalahan yang telah dibahas, serta saran yang dapat
diberikan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi.
BAB
II
TINJAUAN
UMUM TENTANG ASURANSI KEBAKARAN
A.
Dasar
Hukum Asuransi
Asuransi
didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan didasarkan pada perjanjian.
Apabila asuransi tersebut didasarkan pada undang-undang maka asuransi tersebut
bersifat memaksa. Tetapi sebenarnya asuransi didasarkan pada perjanjian, yaitu perjanjian
antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan nasabah asuransi sebagai tertanggung.
Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi antara lain:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Karena
asuransi didasarkan pada suatu perjanjian, maka pasal-pasal yang berkaitan
dengan asuransi adalah:
a. Pasal
1320 KUHPdt
Yaitu
suatu perjanjian asuransi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPdt, yaitu:[19]
1)
Kesepakatan Para Pihak (Consensus)
Artinya,
setiap orang yang mengadakan suatu perjanjian harus ada kata sepakat diantara
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, apa yang disepakati
pihak pertama juga harus disepakati oleh pihak yang lainnya, kesepakatan
tersebut pada pokoknya meliputi:
a.
Benda yang menjadi obyek
asuransi;
b.
Pengalihan risiko dan
pembayaran premi;
c.
Evenemen
dan ganti kerugian;
d.
Syarat-syarat khusus asuransi;
e.
Dibuat secara tertulis yang disebut
polis.
2)
Kecapakan Para Pihak
Artinya,
orang-orang yang melakukan perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu setiap
orang yang sudah dewasa. Menurut KUHPdt adalah sudah berumur 21 tahun atau
sudah menikah dan tidak berada dibawah pengampuan.[20]
3)
Kewenangan (Authority)
Kedua belah
pihak, tertanggung dan penanggung mempunyai kewenangan melakukan perbuatan
hukum yang diakui oleh undang-undang, kewenangan berbuat tersebut ada yang
bersifat subyektif dan ada yang bersifat obyektif. Kewenangan subyektif artinya
kedua belah pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian,
atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan obyektif artinya tertanggung mempunyai
hubungan yang sah dengan obyek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan
miliknya sendiri.[21]
4)
Obyek Tertentu (Fixed Object)
Artinya,
obyek asuransi yang diasuransikan harus jelas, paling sedikit harus ditentukan
obyeknya. Obyek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah obyek yang
diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada
harta kekayaan, obyek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang
melekat pada harta kekayaan terdapat pada perjanjian asuransi kerugian. Pengertian
obyek tertentu adalah bahwa identitas obyek asuransi tersebut harus jelas dan
pasti, apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan
ukurannya, dimana letaknya, berapa nilainya dan sebagainya. Karena yang
mengasuransikan obyek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan
langsung atau tidak langsung dengan obyek asuransi tersebut, dikatakan ada
hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, dan dikatakan
ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan
atas obyek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah benar
sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan atas obyek asuransi.[22]
5)
Kausa yang Halal
Kausa
yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertbian umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal tersebut, tujuan
yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko
atas obyek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah
pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan
risiko atas obyek asuransi. Jika premi dibayar maka risiko beralih, jika premi
tidak dibayar maka risiko tidak beralih.[23]
6)
Pemberitahuan (Notification)
Salah
satu teori hukum yang dikenal dalam hukum asuransi adalah teori obyektivitas.
Setiap asuransi harus mempunyai obyek tertentu, artinya jenis, identitas, dan
sifat obyek asuransi wajib diberitahukan oleh tertanggung kepada penanggung,
tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat obyek asuransi mungkin dapat menjadi
sebab timbulnya kerugian. Berdasarkan pemberitahuan itu penanggung dapat
mempertimbangkan apakah dia akan menerima pengalihan risiko dari tertanggung
atau tidak. Keunggulan teori ini adalah penanggung dilindungi dari perbuatan
tertanggung yang tidak jujur. Teori obyektivitas bertujuan untuk mengarahkan
tertanggung dan penanggung agar mengadakan perjanjian asuransi dilandasi asas
kebebasan berkontrak yang adil.[24]
b. Pasal
1338 KUHPdt
Dalam pasal 1338 KUHPdt
dinyatakan bahwa kesepakatan antara penanggung dan tertanggung dibuat secara
bebas, artinya tidak berada dibawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak
tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi
sesuai dengan ketentuan pasal ini, yaitu mengenai kebebasan berkontrak.[25]
Ayat (1), “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.[26]
Ayat (2), “Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.[27]
Ayat (3), “Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.[28]
c. Pasal
1774 KUHPdt
“Suatu perjanjian
untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak, maupun bagi sebagian pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu”.
d. Pasal
1266 KUHPdt
“Syarat
batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.
2. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang
Dalam KUHD pengaturan asuransi
dibagi dua, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan khusus.
a. Pengaturan
yang bersifat umum terdapat di dalam Buku I Bab 9. Pasal 246 - Pasal 286 KUHD.
Yang berlaku bagi semua jenis asuransi.
b. Pengaturan
yang bersifat khusus terdapat di dalam Buku I Bab 10, bagian kesatu tentang
pertanggungan bahaya kebakaran. Pasal 287 – Pasal 298 KUHD.
3. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Jika Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdatan maka Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 mengatur tentang Usaha Perasuransian. Lembaran Negara Nomor
13 Tahun 1991 tanggal 11 Februari 1992 mengutamakan pengaturan asuransi dari
segi bisnis dan publik administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya
menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan peraturan hukum
perasuransian yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan
masyarakat dan dengan Negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar
maka, pelanggaran tersebut diancam dengan sanksi pidana dan administratif
sesuai dengan undang-undang perasuransian. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992.[29]
4. Polis
yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Wahana
Tata Tahun 1998 yang mengacu pada PSKI (Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia) yang dikeluarkan oleh Dewan Asuransi Indonesia.
B.
Definisi
Asuransi
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu
perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.[30]
Asuransi kebakaran sendiri merupakan salah satu
jenis asuransi yang termasuk ke dalam jenis asuransi kerugian. Asuransi
kebakaran adalah asuransi yang menjamin kerugian atau kerusakkan atas harta
benda (harta tetap dan harta bergerak) yang disebabkan oleh kebakaran, yang
terjadi karena api sendiri atau api dari luar, karena udara jelek, kurang
hati-hati, kesalahan atau perbuatan tidak pantas dari pelayan tertanggung,
tetangga, musuh, perampok dan apa saja dan dengan cara bagaimanapun sebab
timbulnya kebakaran.[31]
Pertanggungan dalam praktek sering disebut
dengan asuransi. Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian
yang sama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 1 butir (1),
mendefinisikan Asuransi sebagai suatu:
“Perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan dirinya
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga
yang mungkin akan diderita pihak tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau yang memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
disimpulkan adanya unsur-unsur asuransi sebagai berikut:
1. Adanya
Pihak Penanggung dan Tertanggung
Penanggung dan tertanggung
adalah pendukung hak dan kewajiban, dengan demikian perjanjian antara
penanggung dan tertanggung merupakan perjanjian timbal balik dan konsensual.
2. Adanya
Peralihan Risiko dari Tertanggung kepada Penanggung
Mengadakan asuransi dengan
tujuan mengalihkan risikonya yang mengancam harta kekayaan. Penanggung wajib
memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi,
sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian
jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.
3. Adanya
Peristiwa Tidak Tertentu (Evenemen)
Evenemen
adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan
terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat
ditentukan dan juga tidak diharapkan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan
kerugian.
4. Adanya
Pembayaran Premi dari Tertanggung kepada Penanggung
Dengan membayar premi sejumlah
premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada
penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi
peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi
yang telah diterimanya dari tertanggung.
5. Adanya
Ganti Kerugian
Jika pada suatu ketika terjadi
peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka
kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang
dengan jumlah asuransinya. Apabila kerugian yang timbul itu bersifat sebagian (partial loss) maka kepada tertanggung
diberi penggantian kerugian sebesar kerugian yang diderita tertanggung saja, meskipun
tertanggung membayar penuh premi sebesar nilai benda yang diasuransikan, dan
apabila kerugian tersebut (total loss) dengan
demikian barulah penanggung akan memberikan ganti rugi seluruhnya kepada
tertanggung.
6. Tanggung
Jawab Hukum terhadap Pihak Ketiga
Tertanggung mempunyai hak
terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga, adanya hak tersebut karena
timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Asuransi merupakan suatu perjanjian yang
bersifat timbal balik, maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.
Salah satu syarat agar pertanggungan dapat berjalan dengan baik tanpa
menimbulkan sengketa, adalah pelaksanaan hak dan kewajiban secara baik oleh
kedua belah pihak, baik tertanggung maupun penanggung, antara lain:
1. Hak
dan Kewajiban Penanggung:
a. Hak
penanggung, antara lain:
1) Hak
atas pembayaran premi;
2) Hak
untuk mengetahui segala sesuatu tentang obyek tertanggung, pada waktu
pertanggungan ditutup sampai berakhirnya perjanjian asuransi, lebih-lebih jika
terdapat tuntutan ganti rugi.
b. Kewajiban
Penanggung, antara lain:
1) Menandatangani
dan menyerahkan polis;
2) Menyerahkan
uang petanggungan atau ganti rugi kepada tertanggung, jika terjadi tuntutan
ganti rugi.
2. Hak
dan Kewajiban Tertanggung:
a. Hak
Tertanggung, antara lain:
1) Hak
untuk menerima polis, Pasal 257 ayat (2) KUHD menyatakan bahwa penanggung
berkewajiban menandatangani polis dan menyerahkan kepada tertanggung dalam
jangka waktu tertentu;
2) Hak
untuk menerima ganti rugi atau uang pertanggungan pada waktu terjadi kerugian
atau pada saat berakhirnya pertanggungan.
b. Kewajiban
Tertanggung, antara lain:
1) Menyerahkan
premi;
2) Memberitahukan
keadaan-keadaan yang penting, yang berhubungan dengan obyek yang dipertanggungkan kepada penanggung;
3) Segera
memberitahukan kepada penanggung jika terjadi evenemen;
4) Tertanggung
harus mengirimkan laporan terperinci tentang peristiwa kerugian karena
kebakaran.
Hubungan hukum antara tertanggung dan
penanggung adalah hubungan antara para pihak dalam perjanjian. Sedangkan
hubungan hukum antara orang yang berkepentingan dengan penanggung adalah
hubungan bukan pihak, tetapi orang yang berkepentingan menanggung semua akibat
hukum dari perjanjian pertanggungan yang dibuat oleh tertanggung.[32]
Dalam bentuk yang paling sederhana, asuransi
kebakaran merupakan pertanggungan atau asuransi yang memberikan ganti rugi atas
kerusakan atau kerugian yang timbul yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa
kebakaran.
Kebakaran itu sendiri yaitu, akibat terbakarnya
benda-benda yang tidak diperuntukkan untuk dibakar.
Obyek pertanggungan kebakaran pada prakteknya
adalah obyek bahaya yang terdiri dari bangunan dan/ atau barang. Untuk menunjuk
suatu obyek yang disebut bangunannya, misalnya rumah tinggal, gedung
perkantoran, dan bangunan lainnya.
Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat
(conditional), maksudnya adalah
perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan
terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi.
Pihak tertanggung pada satu sisi tidak berjanji untuk memenuhi syarat, tetapi
ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syarat.
Dalam suatu perjanjian asuransi terdapat subyek
asuransi yaitu pihak-pihak yang berkepentingan, dan yang dimaksud dengan
pihak-pihak tersebut adalah penanggung dan tertanggung sebagai pendukung
kewajiban dan hak, penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan
berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung berhak memperoleh
penggangtian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.
Risiko dalam asuransi dimaksudkan sebagai suatu
ancaman bahaya yang menjadi beban penanggung merupakan peristiwa penyebab
timbulnya kerugian atas obyek asuransi, selama belum terjadi peristiwa penyebab
timbulnya kerugian, selama itu pula bahaya yang mengancam obyek asuransi
disebut risiko.
C.
Risiko-Risiko
Dalam Asuransi Kebakaran
Dalam hukum asuransi, ancaman bahaya yang
menjadi beban penanggung merupakan peristiwa penyebab timbulnya kerugian.
Selama belum terjadi peristiwa penyebab timbulnya kerugian, selama itu pula
bahaya yang mengancam obyek asuransi disebut risiko. Risiko ini mungkin berasal
dari faktor ekonomi, faktor alam, atau faktor manusia. Risiko tersebut tertuju
pada pribadi, kekayaan, atau bertanggung jawab atas finansial seseorang. Selama
tidak terjadi peristiwa, selama itu pula risiko menjadi beban ancaman
penanggung sampai asuransi berakhir. Jadi dapat dipahami kriteria atau ciri risiko
dalam asuransi kebakaran sebagai berikut:
1. Bahaya
yang mengancam benda atau obyek asuransi;
2. Berasal
dari faktor ekonomi, alam atau manusia;
3. Diklasifikasikan
menjadi risiko pribadi, kekayaan, tanggung jawab;
4. Hanya
berpeluang menimbulkan kerugian.
Risiko yang dapat diasuransikan, harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:[33]
1. Dapat
dinilai dengan uang;
2. Harus
risiko murni, artinya hanya berpeluang menimbulkan kerugian;
3. Kerugian
timbul akibat bahaya atau peristiwa tidak pasti;
4. Tertanggung
harus memiliki insurable interest;
5. Tidak
dilarang undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum.
Ada beberapa macam risiko yang harus kita pertimbangkan,
antara lain:
1. Risiko
Murni atau Pure Risk, risiko murni
yang merupakan suatu konsepsi yang sangat sederhana diartikan sebagai
ketidakpastian bahwa kerugian itu akan timbul, kalau ketidakpastian itu terjadi
maka yang ada hanya kerugian;
2. Risiko
Spekulasi, terdapat dua kemungkinan, yaitu kemungkinan untuk memperoleh
keuntungan atau kerugian. Misalnya dalam hal membeli saham, di bursa efek,
disatu sisi mungkin seseorang akan mendapatkan kerugian apabila harga saham itu
turun.[34]
Dalam praktek asuransi kebakaran, risiko yang
dijamin ditentukan dengan tegas dalam polis. Dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia, risiko yang ditanggung yaitu risiko terhadap kerugian atau kerusakan
pada harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara
langsung disebabkan oleh:[35]
1. Kebakaran,
yang terjadi karena kekurang hati-hatian atau kesalahan pelayanan atau karyawan
tertanggung, tetangga, perampok atau pun karena sebab kebakaran lain sepanjang
tidak dikecualikan dalam polis, termasuk akibat dari:
a. Menjalarnya
api yang timbul sendiri, hubungan arus pendek, atau karena sifat barang itu
sendiri;
b. Kebakaran
yang terjadi karena kerusakan benda lain yang berdekatan, yaitu kerusakan atau
berkurangnya harta benda dan atau alat-alat lain yang dipergunakan untuk
menahan atau memadamkan kebakaran, demikian juga kerugian yang disebabkan oleh
musnah seluruh atau sebagian harta benda dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan atas perintah yang berwenang dalam upaya pencegahan
menjalarnya kebakaran itu;
2. Petir,
kerusakan yang secara langung disebabkan oleh petir, khusus untuk mesin-mesin,
peralatan listrik, atau elektronik dan instalasi listrik oleh polis ini apabila
petir tersebut menimbulkan kebakaran pada benda-benda dimaksud;
3. Ledakan,
pengertian ledakan dalam polis ini adalah setiap perlepasan tenaga secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh mengembanya gas atau uap. Meledaknya suatu
bejana (ketel, uap, pipa dan sebagainya)
dapat danggap ledakan jika dinding bejana itu robek terbuka sedemikian rupa
sehingga terjadi keseimbangan tekanan secara tiba-tiba di dalam maupun di luar
bejana;
4. Kejatuhan
Pesawat Terbang, yaitu benturan fisik antara pesawat terbang atau segala
sesuatu yang jatuh dari pesawat terbang dengan harta dan atau kepentingan yang
dipertanggugnkan atau dengan bangunan yang berisikan harta benda dan atau
kepentingan yang dipertanggungkan;
5. Asap,
yaitu asap yang timbul dari kebakaran harta benda yang dipertanggungkan pada
polis ini;
Dipandang dari sudut benda pertanggungan
asuransi kebakaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu asuransi kebakaran
terhadap:
1. Gedung
atau bangunan;
2. Barang
dagangan yang ada didalamnya;
3. Gedung
atau bangunan dan barang dagangan yang ada didalamnya.
D. Premi
Dalam Pasal
1 butir (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 terdapat rumusan: dengan mana
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi.
Berdasarkan
rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa premi adalah salah satu unsur penting
dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang wajib dipenuhi oleh
tertanggung kepada penanggung. Dalam hubungan asuransi, penanggung menerima
pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi
sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau
setidak-tidaknya asuransi tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh
tertanggung karena tertanggunglah pihak yang berkepentingan.[36] Sebagai perjanjian timbal
balik, asuransi bersifat konsensual, artinya sejak terjadi kesepakatan
timbullah kewajiban tertanggung membayar premi telah dipenuhi, dengan kata lain
risiko atas benda beralih kepada pihak lain sejak premi dibayar oleh
tertanggung. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ada tidaknya asuransi
ditentukan oleh pembayaran premi, premi merupakan kunci perjanjian asuransi.
Premi
asuransi meruapakan syarat mutlak untuk menentukan perjanjian asuransi
dilaksanakan atau tidak. Kriteria premi asuransi sebagai berikut:[37]
1. Dalam
bentuk sejumlah uang;
2. Dibayar
lebih dahulu dari pada tertanggung;
3. Sebagai
imbalan pengalihan risiko;
4. Dihitung
berdasarkan persentase terhadap nilai risiko yang dialihkan.
Besarnya premi yang barus dibayar oleh
tertanggung ditentukan dengan suatu persentase dari jumlah yang
dipertanggungkan berdasarkan penilaian risiko yang dipikul oleh penanggung.
Dalam prakteknya penetapan besarnya jumlah premi itu diperjanjikan oleh
pihak-pihak secara layak dan dicantumkan di dalam polis, besarnya premi itu
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga dengan penerimaan premi dari beberapa
tertanggung penanggung mempunyai kemampuan membayar ganti kerugian kepada
tertanggung yang terkena peristiwa yang menimbulkan kerugian.[38]
Untuk mencegah pembatalan asuransi karena premi
asuransi tidak dibayar biasanya pihak-pihak mencantumkan klausula dalam polis
yang menyatakan “premi harus dibayar dimuka (pada waktu yang telah
ditentukan)”. Jika premi tidak dibayar pada waktu yang telah ditentukan,
asuransi tidak berjalan. Jika terjadi peristiwa yang menyebabkan kerugian,
penanggung tidak berkewajiban membayar klaim tertanggung.[39]
Menurut Pasal 1266 KUHPdt, jika premi tidak
dibayar pada waktunya, maka penanggung dapat memutuskan perjanjian. Tetapi
dalam praktek tidak perlu sejauh itu, sebab sudah menjadi kebiasaan orang
menambah satu kalusul dalam polis, yang isinya “pertanggungan tidak berjalan
bila premi tidak dibayar pada waktunya”.[40]
Premi ini biasanya dinyatakan dengan persentase
dari jumlah pertanggungan, yang menggambarkan penilaian penanggungan terhadap
risiko yang ditanggung. Biasanya premi itu dibayar dimuka secara tunai. Tetapi
apabila asuransi itu akan berlaku lama, maka pembayaran premi itu dapat
diperjanjikan secara angsuran.[41]
E.
Polis
Dalam Asuransi Kebakaran
Menurut Pasal 255 KUHD, perjanjian asuransi
harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis.
Fungsi dari polis itu sendiri berfungsi sebagai
alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi
antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang
tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat
yang memungkinkan perbedaan interprestasi, sehingga mempersulit tertanggung dan
penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi.
Dan polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji
khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan
asuransi.
Macam-macam
polis kebakaran dapat diuraikan sebagai berikut:[42]
1. Polis Dasar Kebakaran
Polis dasar menjamin risiko-risiko pokok
yang terdiri dari kebakaran, peledakan, sambaran petir, dan kejatuhan pesawat
udara (lihat risiko yang ditanggung). Berdasarkan obyek pertanggungan, polis
dipisah kedalam polis kebakaran industri dan polis kebakaran non-industri.
Polis lainnya antara lain polis perhitungan kembali, polis mengambang, polis
penilaian, polis tanpa penilaian dan polis pemulihan nilai.
2. Polis Kebakaran Industri
Polis ini menanggung kerugian/kerusakan yang
diakibatkan oleh risiko-risiko pokok atas bangunan-bangunan industri,
perlengkapan dan peralatan, bahan-bahan baku, bahan-bahan pembantu, dan
sebagainya. Risiko-risiko yang ditanggung dalam Machinery Breakdown Insurance (asuransi atas kerugian/kerusakan
mesin-mesin yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak terduga selama masa
pertanggungan) adalah kerugian/kerusakan yang diakibatkan oleh:
a. Benturan, kemasukan benda ke
dalam mesin atau kejatuhan;
b. Kurang hati-hati, kelalaian,
tidak ada/kekurangan tenaga ahli;
c. Arus pendek atau sebab-sebab
sistem listrik;
d. Peledakan fisik. Bedakan dengan
peledakan dalam asuransi kebakaran;
e. Perancangan yang salah atau
kesalahan waktu memasang;
f. Perbuatan jahat orang lain.
3. Polis Kebakaran Non-Industri
Polis ini menanggung kerugian/kerusakan
yang diakibatkan oleh risiko-risiko pokok atas berbagai kepentingan, yang
terdiri dari harta tetap (harta yang tidak bisa dipindah-pindahkan) dan harta
bergerak (harta yang bisa dipindah-pindahkan).
4. Polis Perhitungan Kembali
Polis ini merupakan polis deklarasi,
yang digunakan untuk menanggung risiko-risiko dalam perkebunan, pabrik gula,
gudang umum dan gudang swasta, toko, shopping
centre, dsb, dimana nilai obyek pertanggungan selalu berubah-ubah nilainya,
yang berarti pula berubah-ubah risiko yang ditanggung. Menurut ketentuan polis
ini, premi dibayar lebih dulu sebagai uang muka, biasanya 75 % dari premi satu
tahun yang diperkirakan. Kemudian setiap bulan tertanggung memberitahukan
secara tertulis kepada penanggung atas besarnya risiko yang ditanggung
selambat-lambatnya 30 hari setelah berakhir bulan yang bersangkutan.
Berdasarkan deklarasi, premi yang sebenarnya dihitung setiap bulan. Setelah
satu tahun berlalu, jumlah premi yang sebenarnya diperhitungkan kepada uang
muka premi, yang bila lebih akan dikembalikan.
5. Polis Mengambang
Polis yang menutup suatu jumlah
pertanggungan dari obyek pertanggungan yang berada di dalam lebih dari satu
bangunan, misalnya barang-barang yang ditanggung berada di dalam lebih dari
satu gudang yang berda di dalam satu kota.
Polis mengambang biasanya tidak
digunakan untuk menanggung risiko yang tersebar atau berada di dalam lebih dari
satu kota. Namun asalkan dibayar premi tambahan, dapat digunakan untuk
menanggung risiko yang tersebar.
6. Polis Penilaian
Polis penilaian merupakan polis yang
harga pertanggungannya ditentukan berdasarkan penilaian yang disetujui oleh
penanggung dan tertanggung, yang dinilai dengan berpedoman kepada harga jual
atau harga pasar obyek pertanggungan itu.
7. Polis Tanpa Penilaian
Polis tanpa penilaian adalah polis yang
harga pertanggungannya ditentukan berdasarkan harga pembelian atau biaya
pembangunan dikurangi dengan penyusutan yang wajar.
8. Polis Pemulihan Nilai
Polis ini menanggung gedung atau
bangunan bersama isinya. Yang dimaksud dengan isinya adalah perlengkapan dan
peralatan gedung atau bangunannya itu.
9. Isi
Polis Menurut Ketentuan Pasal 256 KUHD
Dalam setiap polis, kecuali
pertanggungan jiwa, harus memuat hal-hal berikut:[43]
a. Hari
dibuatnya Perjanjian Pertanggungan
Yaitu untuk menentukan
pertanggungan yang terjadi lebih dulu dalam hal ada lebih dari satu
pertanggungan (pertanggungan rangkap), seperti yang diatur dalam Pasal 277,
278, 279 KUHD. Hal ini penting jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
yaitu penanggung mana yang berkewajiban membayar ganti kerugian.
b. Nama
Orang yang Mengadakan Pertanggungan Untuk Diri Sendiri atau Untuk Orang Ketiga
Hal ini mempunyai arti penting
sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 264 dan 267 KUHD. Jika pertanggungan
diadakan untuk dirinya sendiri, harus dinyatakan di dalam polis, demikian juga
jika untuk kepentingan pihak ketiga, harus dinyatakan di dalam polis. Apabila
tidak disebutkan, pertanggungan dianggap untuk diri sendiri. Jika tidak
berkepentingan, pertanggungan tidak mempunyai kekuatan, penanggung tidak
berkewajiban membayar ganti kerugian (Pasal 250 KUHD).
c. Uraian
Mengenai Benda Pertanggugan
Dalam hal ini harus dijelaskan
bahwa yang dipertanggungkan itu benda apa, jumlahnya berapa, ukurannya, bagaimana,
sifat letak dan keadaanya bagaimana, pokoknya uraian yang sedemikian rupa
sehingga kekeliriuan atau salah pengertian dapat dihindarkan.
d. Jumlah
yang Dipertanggungkan
Jumlah yang dipertanggungakan
menunjuk kepada sejumlah uang tertentu. Dalam perhitungan jumlah uang tersebut,
erat sekali dengan nilai benda sesungguhnya dalam tiap-tiap pertanggungan. Dari
jumlah pertanggungan itu dapat diketahui apakah pertanggungan itu dibawah nilai
benda sesungguhnya. Jumlah pertanggungan merupakan jumlah maksimum ganti
kerugian yang harus dibayar penanggung apabila terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian.
e. Bahaya-Bahaya
yang Ditanggung
Bahaya-bahaya atau
peristiwa-peristiwa yang menjadi tanggungan penanggung harus disebutkan dengan
suatu klausula, harus tegas dengan klausula apa, sehingga jelas sampai dimana
batas-batas tanggung jawab terhadap bahaya atau peristiwa yang telah dinyatakan
dalam Polis.
f. Saat
Bahaya Mulai Berjalan dan Berakhir
Jangka waktu ini dapat berupa
dari waktu dan jam tertentu sampai pada waktu jam tertentu pula. Atau dapat
juga ditentukan dari tempat ketempat. Yang demikian ini penting sekali untuk
mengetahui apakah peristiwa yang terjadi itu masih dalam tanggungan penanggung
atau tidak.
g. Premi
Pertanggungan
Berapa premi yang harus
dibayar oleh tertanggung. Biasanya ditentukan dengan suatu persentase dari
jumlah yang dipertanggungakan, dan ditambah juga dengan biaya-biaya lainnya.
Demikian juga cara pembayarannya, biasanya dibayar lebih dulu, dengan cara
cicilan atau sekaligus.
h. Pada
umumnya semua keadaan yang penting untuk diketahui penanggung, dan segala
syarat yang diperjanjikan.
Termasuk dalam ketentuan ini
misalnya tentang benda pertanggungan apakah ada dibebani hipotik, gadai,
sehingga apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, penanggung bisa
berhadapan dengan siapa, pemilik atau pemegang hipotik atau gadai. Demikian
juga dengan syarat-syarat tertentu, misalnya tentang premi dibayar lunas,
pertanggungan berjalan. Apabila premi tidak dilunasi (tidak dibayar),
pertanggungan berhenti, dan lain-lain lagi.
Isi polis yang terdapat di dalam Pasal 256 KUHD
ini, merupakan isi polis yang sifatnya umum untuk semua jenis asuransi
kerugian, sedangkan isi polis khusus untuk asuransi kebakaran terdapat dalam
Pasal 287 KUHD, yaitu:
Selainnya syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal
256 KUHD, maka suatu polis kebakaran harus menyebutkan:
a. Letaknya
barang-barang tetap yang dipertanggungkan beserta batas-batasnya;
b. Pemakaiannya;
c. Sifat
dan pemakaiaan gedung-gedung yang berbatasan, sekedar itu ada pengaruhnya
terhadap pertanggungan yang bersangkutan;
d. Harga
dari pada barang-barang yang dipertanggungkan;
e. Letak
dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat di mana barang-barang bergerak
yang dipertanggungkan itu berada, disimpan atau ditumpuk.
F.
Isi
Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia
Isi Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia selain memuat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 256 dan 287 KUHD
tentang isi polis, juga secara khusus memuat:
1. Bab
I, tentang risiko yang dijamin, meliputi:
a. Kebakaran;
b. Petir;
c. Ledakan;
d. Kejatuhan
pesawat terbang;
e. Asap.
2. Bab
II, tentang pengecualian, meliputi:
a. Risiko
yang dikecualikan;
b. Harta
benda dan kepentingan yang dikecualikan.
3. Bab
III, tentang definisi, meliputi:
Definisi mengenai kerusuhan,
pemogokan, penghalangan bekerja, perbuatan jahat, pencegahan, huru-hara,
pembangkitan rakyat, pengambilalihan kekuasaan, revolusi, pemberontakan,
kekuatan militer, invasi, perang saudara, perang dan permusuhan, makar,
terorisme, sabotase dan penjarahan.
4. Bab
IV, tentang syarat umum, memuat 25 Pasal yang berisi mengenai:
a. Kewajiban
untuk mengungkapkan fakta (Pasal 1);
b. Pembayaran
premi (Pasal 2);
c. Perubahan
risiko (Pasal 3);
d. Pindah
tempat dan pindah tangan (Pasal 4);
e. Kewajiban
tertanggung dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan (Pasal 5);
f. Sisa
barang (Pasal 6);
g. Tuntutan
ganti rugi (Pasal 7);
h. Laporan
tidak benar (Pasal 8);
i. Kerugian
atas barang yang dapat dipindahkan (Pasal 9);
j. Penentuan
harga dalam hal kerugian (Pasal 10);
k. Cara
penyelesaian dan penetapan ganti rugi (Pasal 11);
l. Pertanggungan
di bawah harga (Pasal 12);
m. Biaya
yang diganti (Pasal 13);
n. Pertanggungan
lain (Pasal 14);
o. Ganti
rugi pertanggugan rangkap (Pasal 15);
p. Subrogasi
(Pasal 16);
q. Risiko
sendiri (Pasal 17);
r. Pembayaran
ganti rugi (Pasal 18);
s. Pemulihan
harga pertanggungan (Pasal 19);
t. Hilangnya
hak ganti rugi (Pasal 20);
u. Mata
uang (Pasal 21);
v. Penghentian
pertanggungan (Pasal 22);
w. Pengembalian
premi (Pasal 23);
x. Perselisihan
(Pasal 24);
y. Penutup
(Pasal 25).
G.
Jenis-Jenis
Asuransi Kebakaran
Berdasarkan benda
pertanggungan, asuransi kebakaran itu dapat dibedakan dalam beberapa jenis:[44]
1. Asuransi
kebakaran mengenai gedung-gedung dengan isinya yang meliputi mulai dari rumah
tinggal yang kecil sampai bangunan-bangunan pabrik yang besar:
a. Asuransi
pembangunan kembali gedung dengan isinya (reinstatements
insurance);
b. Asuransi
kebakaran dengan polis deklarasi, jenis asuransi ini hanya digunakan untuk
menimbulkan stok (barang-barang persediaan). Premi yang dibayar dimuka adalah
75%, pernyataan penutupan asuransi dilakukan setiap permulaan masa pertanggungan,
misalnya: tiap bulan atau pada tanggal tertentu;
c. Asuransi
kebakaran dengan polis keseluruhan (blanket
polices), dalam asuransi jenis ini, yang mengenai satu kompleks
gedung-gedung tidak diperinci jumlah pertanggungan setiap gedung, tetapi hanya
terjadi atas satu jumlah uang untuk semua isi gedung;
d. Asuransi
kebakaran mengenai gedung dalam pembangunan, asuransi jenis ini dikenal sebagai
insurance of contract works atau contractors all risks;
e. Asuransi
uang sewa, asuransi uang sewa ini menjamin pemilik rumah terhadap wanprestasi
si penyewa yang lalai membayar uang sewa rumah/gedung.
2. Asuransi
Terhadap Bahaya Tambahan (Aditional
Perils Insurance)
Jaminan asuransi kebakaran
dapat diperluas dengan jaminan terhadap risiko-risiko peledakan, pemanasan atau
fermentasi, kerusuhan, pemogokan, banjir, angin puyuh, dan sebagainya.
3. Pertanggungan
Perkakas Rumah Tangga
Asuransi perkakas rumah tangga
ini menjamin terhadap kebakaran, pencurian dan tanggung gugat berdasarkan
hukum.
4. Asuransi
Kebocoran Pada Alat Pemadam Kebakaran (Sprinkles
Lekage Insurance)
Pertanggungan ini menjamin
kerusakan barang-barang akibat kebocoran pada alat pemadam kebakaran yang
disebut spinkler.
5. Asuransi
Kerugian Akibat Kebakaran (Consequential
Loss Insurance)
Asuransi kerugian akibat
kebakaran ini menjamin kerugian akibat berhentinya perusahaan karena kebakaran.
Yang dijamin antara lain, kehilangan keuntungan, biaya-biaya untuk
menyelamatkan perusahaan, pada waktu kebakaran dan lain-lainnya.
Dari berbagai jenis asuransi kebakaran tersebut,
maka skripsi ini membahas jenis asuransi kebakaran nomor 1 butir a mengenai
asuransi kebakaran gedung-gedung dengan isinya yang meliputi mulai dari rumah
tinggal yang kecil sampai bangunan-bangunan parbik yang besar dengan pertanggungan
pembangunan kembali gedung dengan isinya.
H.
Berakhirnya
Asuransi Kebakaran
Perjanjian
asuransi kebakaran berakhir karena hal yang berikut ini:
1. Tenggang
Waktu Berlakunya Telah Habis
Pertanggungan
biasanya diadakan untuk suatu jangka waktu tertentu, misalnya satu bulan, tiga
bulan, enam bulan, satu tahun atau untuk jangka waktu lebih lama. Jangka waktu
ini ditentukan di dalam polis. KUHD tidak mengatur secara tegas tentang
tenggang waktu pertanggungan.[45]
2. Terjadinya
Peristiwa yang Menimbulkan Kerugian
Di
dalam polis disebutkan terhadap peristiwa atau bahaya apa pertanggungan itu
diadakan. Apabila sementara pertanggungan berjalan menjadi peristiwa yang
ditanggung itu dan menimbulkan kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah
tertanggung betul-betul mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan
itu. Disamping itu, apakah terjadinya peristiwa itu betul-betul karena bukan
kesalahan tertanggung dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam
polis. Apabila tertanggung memang mempunyai kepentingan atas benda
pertanggungan dan terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu sesuai
dengan ketentuan di dalam polis, dan bukan karena kesalahan tertanggung, maka
pertanggungan berakhir dan diikuti dengan pemberesan pembayaran ganti kerugian
berdasarkan tuntutan dari tertanggung. Pembayaran ganti kerugian diperhitungkan
sedemikian rupa sesuai dengan isi perjanjian asuransi yang disebutkan di dalam
polis dan sesuai asas perseimbangan. Apabila tertanggung tidak mempunyai
kepentingan atas benda pertanggungan, atau terjadinya peristiwa karena
kesalahan dari tertanggung sendiri, maka penanggung tidak mempunyai kewajiban
membayar ganti kerugian (Pasal 250 dan Pasal 276 KUHD).[46]
3. Asuransi
Berhenti atau Dibatalkan
Asuransi
dapat berakhir apabila asuransi itu berhenti. Berhentinya asuransi dapat
terjadi karena kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, misalnya karena
premi tidak dibayar dan ini biasanya diperjanjikan dalam polis. Berhentinya
asuransi juga dapat terjadi karena faktor di luar kemauan tertanggung dan
penanggung, misalnya risiko setelah asuransi berjalan (Pasal 293 dan Pasal 638
KUHD). Dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan, seandainya
penanggung mengetahui hal yang demikian itu, dia tidak akan membuat asuransi
dengan syarat-syarat dan janji-janji khusus demikian itu. Karena dirasakan
kurang adil, maka undang-undang menentukan, jika terjadi pemberatan risiko,
asuransi menjadi berhenti. Pengertian berhenti juga meliputi pengertian
dibatalkan.[47]
4. Terjadi
Evenemen Diikuti Klaim
Dalam
polis dinyatakan terhadap evenemen
apa saja asuransi itu diadakan. Apabila sementara asuransi berjalan terjadi evenemen yang ditanggung dan menimbulkan
kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah benar tertanggung mempunyai
kepentingan atas benda yang diasuransikan. Disampiing itu, apakah evenemen yang terjadi itu benar bukan
karena kesalahan tertanggung dan sesuai dengan evenemen yang telah ditetapkan dalam polis. Jika jawabannya benar,
maka dilakukan pemberesan klaim tertanggung. Pembayaran ganti kerugian dipenuhi
oleh penanggung ganti kerugian berdasarkan asas keseimbangan. Dengan demikian
pemenuhan ganti kerugian berdasarkan klaim tertanggung, maka asuransi berakhir.[48]
I.
Pasal-Pasal
Khusus tentang Asuransi Kebakaran Dalam KUHD
Pengaturan khusus asuransi kebakaran diatur
dalam Pasal 287 – 298 KUHD, dibawah ini penulis menguraikan satu persatu isi dari
pasal-pasal tersebut:
1.
Pasal
287 KUHD
Mengatur mengenai isi polis, sebagaimana
telah diuraikan pada halaman 33.
2.
Pasal
288 KUHD
Dalam
halnya pertanggungan milik-milik bangunan harus diperjanjikan, bahwa kerugian
yang menimpa persil yang bersangkutan itu akan diganti, atau bahwa persil yang
bersangkutan akan dibangun kembali maupun diperbaiki hingga paling banyak
seharga jumlah uang yang dipertanggungkan.
Dalam hal yang pertama kerugian itu akan
dihitung dengan membandingkan harga persil sebelum terjadinya malapetaka dengan
harga daripada sisa-sisa seketika sesudah terjadinya kebakaran, dan kerugian
itu akan dibayar dengan uang tunai.
Dalam
hal kedua, maka wajiblah si tertanggung membangun kembali atau memperbaiki
persilnya. Si penanggung berhak mengawasi supaya uang yang dibayarnya itu, di dalam
suatu waktu yang, jika perlu akan ditetapkan oleh Hakim, sungguh-sungguh dipergunakan
untuk keperluan itu; dan bahkan dapatlah hakim, atas tuntutan si penanggung
apabila ada alasan untuk itu, memerintahkan kepada si tertanggung untuk memberikan
jaminan secukupnya.
3.
Pasal
289 KUHD
Suatu pertanggungan dapat diadakan untuk harga penuh dari barang-barang
yang dipertanggungkan.
Apabila diperjanjikan pembangunan kembali maka oleh si tertanggung
diperjanjikan bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk membangun kembali barang
yang dipertanggungkan harus diganti oleh si penanggung.
Dalam hal diadakannya janji itu maka pertanggungan tidak boleh melebihi
tiga perempat dari biaya-biaya tersebut.
4.
Pasal
290 KUHD
Atas
tanggungan si penanggung adalah segala kerugian dan kerusakan yang menimpa
benda yang dipertanggungkan karena kebakaran, yang disebabkan karena pertir
atau lain kecelakaan, api sendiri, kurang hati-hati, kesalahan atau itikad jahat dari pelayan-pelayan sendiri,
tetangga, musuh, perampok dan lain dengan nama apa saja, dengan cara
bagaimanapun kebakaran itu terjadi, disengaja atau tidak, biasa atau luar
biasa, dengan tiada kecualinya.
5.
Pasal
291 KUHD
Dengan
kerugian yang disebabkan karena kebakaran dipersamakan segala kerugian yang
dianggap sebagai akibat suatu kebakaran, pun apabila kerugian itu terjadi dari
suatu kebakaran digedung-gedung yang berdekatan, misalnya barang yang
dipertanggungkan manjadi busuk atau berkurang karena air dan lain-lain alat
yang dipakai guna membasahi kebakaran tersebut, ataupun barang itu hilang
karena pencurian atau sesuatu sebab lain selama dilakukan pembasmian kebakaran
atau penolongan; begitu pula kerugian yang disebabkan karena dirusaknya
seluruhnya atau sebagian barang yang dipertanggungkan, atas perintah dari pihak
atasan dengan maksud untk menghentikan kebakaran yang timbul itu.
6.
Pasal
292 KUHD
Dengan
kerugian yang disebabkan karena kebakaran dipersamakan pula kerugian yang
ditimbulkan karena peletusan mesiu, karena peledakan ketel uap, karena
penyamberan petir atau lain sebagainya, biarpun peletusan, penyamberan atau
peledakan tersebut tidak mengakibatkan kebakaran.
7.
Pasal
293 KUHD
Apabila
sebuah gedung yang dipertanggungkan, diperuntukkan untuk suatu keperluan lain
dan karena itu memikul bahaya kebakaran yang lebih besar, sehingga si
penanggung, seandainya itu sudah terjadi sebelum diadakannya pertanggungan,
tidak akan menanggung gedung tersebut ataupun tidak akan menanggungnya atas
syarat-syarat yang sama, maka berhentilah kewajiban si penanggung tadi.
8.
Pasal
294 KUHD
Si
penanggung dibebaskan dari kewajibannya untuk membayar kerugian, apabila ia membuktikan
bahwa kebakaran itu disebabkan karena kesalahan atau kelalaian si tertanggung
yang sangat melampaui batas.
9.
Pasal
295 KUHD
Dalam
halnya pertanggungan atas barang-barang bergerak dan barang-barang dagangan
yang disimpan dalam seluruh rumah, gedung atau lain tempat penyimpanan, maka,
apabila alat-alat pembuktian yang disebutkan dalam pasal-pasal 273, 274 dan 275
tidak ada atau kurang sempurna, dapatlah Hakim memerintahkan sumpah kepada si
tertanggung.
Kerugian
harus dihitung menurut harga barang-barang yang dipertanggungkan pada saat
terjadinya kebakaran.
10.
Pasal
296 KUHD
Apabila
dalam polis telah diadakan ketetapan-ketetapan khusus tentang itu, maka
istilah-istilah barang-barang bergerak, perkakas rumah, mebel atau perabot
rumah-tangga dan perhiasan rumah tangga diartikan sedemikian sebagaimana
perkataan-perkataan itu dijelaskan dalam bagian ke-empat BAB I buku kedua dari
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
11.
Pasal
297 KUHD
Apabila
dalam suatu hipotik antara si berhutang dan si berpiutang telah diperjanjikan
bahwa jika timbul suatu kerugian yang menimpa persil yang dipertanggungkan atau
yang akan dipertanggungkan, uang-uang asuransi, sampai jumlah piutangnya
ditambah dengan bunga yang terutang, akan menjadi gantinya hipotik tersebut,
maka wajiblah si penanggung, kepada siapa janji tersebut telah diberitahukan,
memperhitungkan ganti rugi yang harus dibayar itu dengan si berpiutang hipotik.
12.
Pasal
298 KUHD
Janji
yang disebutkan dalam pasal yang lalu, tidak mempunyai akibat, selainnya apabila dan sekadar
piutang hipotik tersebut sedianya akan ditetapkan
bermanfaat, seandainya kerugian itu tidak telah timbul.
J.
Prinsip-Prinsip
Asuransi
Berdasarkan
pada definisi-definisi tentang asuransi, maka terdapat prinsip-prinsip pokok
yang berlaku pada perjanjian asuransi, seperti:
1. Prinsip
Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable
Interest)
Dalam
perjanjian asuransi, kepentingan atas benda yang dipertanggungkan merupakan
syarat yang harus ada pada pihak tertanggung. Berdasarkan prinsip ini, pihak
yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan
barang yang akan diasuransikan. Dan agar kepentingan itu harus dapat dinilai
dengan uang.[49]
Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa, apabila seorang yang mengadakan suatu
pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah
diadakan suatu pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap
barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan
memberikan ganti rugi.[50] Dengan demikian
berdasarkan Pasal 250 KUHD tersebut, kepentingan ini harus ada pada saat
perjanjian asuransi diadakan. Pelanggaran pasal ini dapat menyebabkan
penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi. Namun dalam prakteknya
dewasa ini, ketentuan ini banyak dilanggar, karena berdasarkan rasa keadilan
yang hidup di masyarakat ternyata berpendapat lain.
2. Prinsip
Keseimbangan (Indemnity)
Perjanjian
asuransi itu memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh
tertanggung, yang disebabkan oleh bahaya sebagaimana ditentukan di dalam polis.
Berdasarkan nilai ganti rugi adalah sama dengan besarnya kerugian yang diderita
oleh tertanggung, tidak lebih. Kecuali ditentukan lain di dalam undang-undang,
maka suatu obyek yang telah dipertanggungkan secara penuh dalam jangka waktu
yang sama, tidak dapat dipertanggungakan lagi. Bila hal ini dilakukan, maka
perjanjian yang kedua itu terancam batal (Pasal 252 KUHD).[51] Isi Pasal 252 KUHD ini
melarang pertanggungan atas benda yang sama dengan nilai penuh untuk kedua
kalinya dalam waktu yang bersamaan dengan tujuan untuk mencegah adanya ganti
rugi yang melebihi kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya. Tujuan adanya
prinsip indemnitas ini pada pertanggungan ini adalah untuk mencegah perbuatan
orang-orang yang
mempertanggungkan
harta bendanya hanya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara melawan
hukum.
3. Prinsip
Itikad Baik dan Kejujuran yang Sempurna (Utmost
Good Faith)
Di
dalam perjanjian asuransi, tertanggung diwajibkan untuk memberitahukan segala
sesuatu yang diketahuinya, mengenai obyek atau barang yang dipertanggungkan
secara benar. Keterangan yang tidak benar atau informasi yang tidak diberikan
kepada penanggung walaupun dengan itikad baik sekalipun dapat mengakibatkan
batalnya perjanjian asuransi, prinsip ini diatur di dalam Pasal 251 KUHD. Pasal
251 KUHD, berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada pihak tertanggung.
Karena ketentuan tersebut mewajibkan tertanggung memberikan keterangan
sedemikian rupa sehingga keterangan tersebut dapat diandalkan oleh penanggung
untuk menutup asuransi. Pembentukan undang-undang membebani tertanggung dengan
kewajiban memberikan keterangan tersebut, karena tertanggung dianggap sebagai
orang yang paling tahu tentang risiko yang akan dipertanggungkannya. Oleh
karena itu jika tertanggung tidak memberikan keterangan yang jujur, maka
penanggung dapat membebaskan dirinya dari risiko yang secara tidak adil telah
diperalihkan kepadanya.
4. Prinsip
Subrogasi
Prinsip
ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari prinsip indemnity, yaitu yang hanya memberikan ganti rugi kepada
tertanggung sebesar kerugian yang dideritanya. Apabila tertanggung setelah
menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka
tertanggung tidak berhak menerimanmya, dan hak itu beralih kepada penanggung. Prinsip
ini diatur secara tegas dalam Pasal
284
KUHD
yang
berbunyi:
seorang
penanggung yang membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan,
menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap
orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan si
tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat
merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.[52] Dari Pasal 284 KUHD juga dapat
disimpulkan bahwa untuk terjadinya subrogasi diperlukan syarat-syarat tertentu,
yaitu:
a. Tertanggung
mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga;
b. Adanya
hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak
ketiga.
Disamping itu, dapat juga
disimpulkan bahwa subrogasi hanya berlaku jika penanggung telah membayar ganti
rugi yang diwajibkan. Subrogasi terjadi secara otomatis atau dengan sendirinya
karena undang-undang, penanggung yang telah membayar uang ganti rugi kepada
tertanggung, berdasarkan undang-undang dapat menuntut ganti rugi kepada pihak
lain yang sebenarnya dapat dituntut pertanggung jawabannya atas kerugian itu
oleh tertanggung, dan tertanggung telah melepaskan tuntutan itu terhadap pihak
tersebut, karena tertanggung sudah menuntut kepada penanggung. Subrogasi
berlaku pada pertanggungan kerugian.
5. Prinsip
Sebab Langsung
Dalam
prinsip ini risiko yang tercantum dalam polis itulah yang diganti kerugiannya,
karena dalam polis telah tercantum hal-hal yang telah disepakati mengenai
risiko-risiko apa saja yang dijamin, yang akan diganti kerugiannya oleh
perusahaan asuransi ketika terjadi peristiwa yang menyebabkan kerugian, kecuali
yang tercantum dalam Pasal 249[53] dan Pasal 276 KUHD,[54] serta risiko-risiko yang
tidak dijamin dalam Polis.
K.
Perluasan
Risiko Asuransi Kebakaran
Dalam
praktek, risiko yang dapat ditutup dengan pertanggungan kebakaran mengalami perluasan,
jika tidak hanya terbatas pada hal-hal yang disebutkan dalam KUHD saja. Dengan
adanya perluasan risiko tersebut, maka terdapat jenis-jenis pertanggungan yang
pada dasarnya dapat merupakan bagian dari pertanggungan kebakaran.
Adapun
jenis-jenis perluasan risiko asuransi tersebut, antara lain:
1. Pertanggungan
Gangguan Usaha atau Hilangya Keuntungan.
Dalam polis standar kebakaran
Indonesia, risiko yang dikecualikan dalam polis, dengan demikian asuransi
kebakaran tidak secara otomatis menutup pertanggugan gangguan usaha.
2. Pertanggungan
Sewa Bangunan.
Untuk menyesuaikan dengan
jenis-jenis kebutuhan dalam masyarakat, maka risiko yang dapat ditutup dengan
asuransi gangguan perluasan dengan menutup asuransi sewa.
3. Pertanggungan,
banjir, angin topan, badai dan kerusakan akibat air.
Risiko banjir, angin topan,
badai, dan kerusakan akibat air dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran
Indonesia termasuk kelompok risiko yang dikecualikan dari pertanggugnan. Untuk
menutup risiko tersebut dalam polis asuransi kebakaran tersebut harus
diletakkan lampiran khusus yang disebut endorsemen.
Dengan adanya endorsemen pada polis, jaminan
penanggung selain terhadap risiko pokok polis menjamin juga risiko-risiko yang
ditentukan dalam endorsemen banjir,
angin topan, badai, dan keruskan akibat air. Penutupan asuransi terhadap pihak
tertanggung untuk mengambil tindakan-tindakan selayaknya untuk memelihara
gedung, atap, talang tangki-tangki air, dan peralatan air lainnya dengan
ancaman batalnya asuransi terhadap risiko tersebut.
4. Pertanggungan
Gempa Bumi dan Letusan Gunung Merapi.
Risiko-risiko yang
dikecualikan dari penutupan asuransi atas risiko gempa bumi dan letusan gunung
merapi adalah:
a. Kerugian
yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh banjir atau badai,
meskipun disebabkan oleh gempa bumi atau bahaya lain;
b. Kerugian
akibat reaksi nuklir atau radiasi nuklir, atau pencemaran radio aktif, meskipun
dipengaruhi, diakibatkan atau diperbesar oleh adanya gempa bumi.
5. Pertanggungan
Biaya Pembersihan.
Asuransi terhadap biaya
pembersihan, sebagaimana diatur dalam buku tarip pertanggungan kebakaran
sifatnya sebagai pertanggungan tambahan. Dengan demikian klaim yang dibayar
adalah tambahan dari klaim utamanya yaitu klaim pertanggungan kebakaran, tanpa
dibatasi batas kumulatif sebesar harga pertanggungan.
Asuransi terhadap risiko
banjir, gempa bumi, perbuatan jahat, pemogokan sebagaimana diuraikan diatas
tersebut, menurut HMN Purwosujipto, SH digolongkan dalam jenis additional perils insurance atau
asuransi terhadap bahaya tambahan.[55]
L.
Prosedur
Mengajukan Ganti Rugi Asuransi Kebakaran[56]
Berdasarkan asas Indemnity,
asuransi hanya dapat menempatkan kembali Tertanggung yang telah mengalami
musibah kepada keadaan finansial sesaat sebelum terjadinya musibah tersebut. Jadi
Tertanggung tidak dibenarkan mencari atau mendapat keuntungan dari klaim
asuransi.
Adapun prosedurnya apabila terjadi kerugian,
Tertanggung harus segera memberitahukan kepada pihak Penanggung tentang
kejadian musibah yang dialami dan selanjutnya memberi keterangan tertulis
tentang hal ihwal yang diketahui mengenai kejadian kerugian.
Dokumen yang harus dilakukan dan dilengkapi untuk
pengajuan suatu tuntutan/klaim asuransi kebakaran antara lain:
1.
Pemberitahuan
Tertanggung harus segera melaporkan kejadian kepada Penanggung (pihak asuransi). Laporan pendahuluan ini bisa disampaikan secara lisan atau surat, teleks, faksimili, dan lain-lain.
Tertanggung harus segera melaporkan kejadian kepada Penanggung (pihak asuransi). Laporan pendahuluan ini bisa disampaikan secara lisan atau surat, teleks, faksimili, dan lain-lain.
2.
Laporan Kerugian
Selanjutnya tertanggung harus mengisi laporan/keterangan
tertulis yang memuat hal-ikhwal yang diketahuinya
mengenai kerugian/kerusakan yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut, dan
blanko tersebut disiapkan oleh Penanggung (Perusahaan Asuransi).
a. Tempat,
tanggal, dan waktu terjadinya kebakaran/kerusakan;
b. Sebab-sebab
kebakaran/kerusakan;
c. Besarnya
kerugian menurut taksiran tertanggung yang dilengkapi dengan segala sesuatu
yang terbakar, musnah, hilang, rusak dan terselamatkan;
d. Informasi
lainnya yang menurut tertanggung perlu disampaikan kepada pihak asuransi.
3.
Dokumen Pendukung Klaim
Tertanggung harus menyerahkan dokumen pendukung klaim
kepada penanggung, misalnya buku-buku catatan, foto-foto kerugian, surat
keterangan dari kepolisian, laporan dari BMG, dan sebagainya.
4.
Penelitian Polis
Setelah menerima pemberitahuan adanya kerugian,
penanggung akan melakukan penelitian mengenai keabsahan (validitas) polis, yaitu:
a. Apakah
tertanggung memiliki kepentingan atas obyek yang mengalami kebakaran/kerusakan;
b. Apakah
kebakaran/kerusakan terjadi dalam masa waktu pertanggungan;
c. Apakah premi
telah dilunasi/dibayar.
5.
Penelitian Klaim
Apabila validitas
polis telah terkonfirmasi, selanjutnya penanggung akan melakukan pemeriksaan/penelitian
di lapangan untuk mengetahui:
a. Penyebab terjadinya kebakaran/kerusakan;
b. Tempat
terjadinya kebakaran/kerusakan;
c. Jumlah
kerugian yang dialami (taksiran);
d. Jumlah harga
sisa dari bangunan/barang/mesin yang tidak terbakar/rusak (taksiran);
e. Jika
tertanggung kebetulan berada di tempat pada saat terjadinya peristiwa, maka
tertanggung wajib menyelamatkan dan menjaga harta benda yang dipertanggungkan
dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, serta mengijinkan orang
lain
menyelamatkan dan menjaga harta benda dan atau kepentingan tersebut;
f. Memberikan
bantuan sepenuhnya kepada pihak asuransi atau wakilnya atau pihak lain yang
ditunjuknya untuk melakukan penelitian atas kerugian dan kerusakan yang
terjadi;
g. Menjaga
keselamatan harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang masih
bernilai.
6.
Penunjukan Loss Adjuster
Dari hasil survei akan diketahui apakah klaim merupakan kasus sederhana atau rumit. Bila sederhana, maka klaim akan ditangani sendiri oleh perusahaan, tetapi jika rumit atau jumlahnya cukup besar atau penanganan klaim akan memakan waktu lama, maka claim assessment diserahkan kepada Loss Adjuster yang ditunjuk oleh penanggung dengan pemberitahuan kepada tertanggung. Baik untuk kasus klaim yang ditangani sendiri maupun oleh Loss Adjuster, tertanggung harus tetap menyediakan dokumen-dokumen pendukung klaim. Tahap selanjutnya adalah penanggung mempelajari laporan dari Loss Adjuster.
Dari hasil survei akan diketahui apakah klaim merupakan kasus sederhana atau rumit. Bila sederhana, maka klaim akan ditangani sendiri oleh perusahaan, tetapi jika rumit atau jumlahnya cukup besar atau penanganan klaim akan memakan waktu lama, maka claim assessment diserahkan kepada Loss Adjuster yang ditunjuk oleh penanggung dengan pemberitahuan kepada tertanggung. Baik untuk kasus klaim yang ditangani sendiri maupun oleh Loss Adjuster, tertanggung harus tetap menyediakan dokumen-dokumen pendukung klaim. Tahap selanjutnya adalah penanggung mempelajari laporan dari Loss Adjuster.
7.
Penyampaian
Dari proses penanganan klaim baik oleh penanggung sendiri maupun oleh Loss Adjuster, akan diketahui validitas klaim. Dalam hal klaim dianggap valid, penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung jumlah ganti rugi yang dibayar atau yang menjadi tanggung jawab penanggung. Tetapi bila klaim dinyatakan invalid, maka penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung bahwa klaim ditolak disertai alasannya. Jika jumlah ganti rugi yang dibayarkan tidak disepakati oleh tertanggung, maka tertanggung berhak menunjuk Loss Accessor untuk menilai ulang kerugian tersebut.
Dari proses penanganan klaim baik oleh penanggung sendiri maupun oleh Loss Adjuster, akan diketahui validitas klaim. Dalam hal klaim dianggap valid, penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung jumlah ganti rugi yang dibayar atau yang menjadi tanggung jawab penanggung. Tetapi bila klaim dinyatakan invalid, maka penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung bahwa klaim ditolak disertai alasannya. Jika jumlah ganti rugi yang dibayarkan tidak disepakati oleh tertanggung, maka tertanggung berhak menunjuk Loss Accessor untuk menilai ulang kerugian tersebut.
8.
Penyelesaian
Setelah dicapai kesepakatan mengenai jumlah ganti rugi, pihak penanggung akan mempersiapkan pembayaran klaim. Penanggung akan melaksanakan pembayaran ganti rugi selambat-lambatnya sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan.
Setelah dicapai kesepakatan mengenai jumlah ganti rugi, pihak penanggung akan mempersiapkan pembayaran klaim. Penanggung akan melaksanakan pembayaran ganti rugi selambat-lambatnya sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan.
BAB III
URAIAN KASUS DAN ISI PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG
NOMOR 1455
K/Pdt/2007
Dalam Bab ini, penulis menguraikan kasus mengenai pengajuan klaim
asuransi kebakaran oleh PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata di luar
masa pertanggungan dan isi putusan Mahkamah Agung Nomor. 1455/K/Pdt/2007.
A. Uraian Kasus
Pada kasus ini PT. Wirya Perca mengajukan klaim asuransi kebakaran kepada
PT. Asuransi Wahana Tata. Dimana PT. Wirya Perca telah mengikatkan
pertanggungan asuransi kebakaran dan perluasan jaminan kepada PT. Asuransi
Wahana Tata yang berlaku terhitung sejak bulan Desember 1998 s/d bulan Desember
1999 untuk Polis Asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS),
mesin-mesin serta peralatan penunjangnya dengan nilai pertanggungan sebesar Rp.
21.228.608.665,00 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam
ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah) dan Polis Asuransi Stok
Barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) yang berlaku terhitung sejak bulan
Januari 1999 s/d bulan Januari 2000 dengan nilai pertanggungannya sebesar Rp.
1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta rupiah). Bahwa setelah pertanggungan
asuransi tersebut berakhir masa berlakunya, PT. Wirya Perca dan PT. Asuransi
Wahana Tata telah memperpanjang kembali kedua Polis asuransi tersebut, yaitu
untuk Polis Asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin
serta peralatan penunjangnya dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 21.228.608.665,00
(dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu
enam ratus enam puluh lima rupiah) yang diperpanjang masa berlakunya terhitung sejak
tanggal 30 Desember 1999 s/d 30 Desember 2000 dan Polis Asuransi Stok Barang
berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) dengan nilai pertanggungannya sebesar Rp.
1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta rupiah) diperpanjang masa berlakunya
terhitung sejak tanggal 13 Januari 2000 s/d 13 Januari 2001. Dimana dalam kasus
ini evenemen terjadi pada tanggal 11,
24, 26 Desember 2000, dan klaim asuransi baru diajukan oleh Direksi PT. Wirya
Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata pada tanggal 19 Februari 2001, artinya
klaim asuransi tersebut diajukan oleh PT. Wirya Perca di luar dari masa
pertanggungan dan diluar dari jangka waktu yang ditetapkan di dalam Polis
Standar Asuransi Kebakaran Indonesia. Untuk polis asuransi Bangunan Pabrik
Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya diajukan
setelah lewat 51 (lima puluh satu) hari dari masa pertanggungannya dan untuk
polis asuransi stok barang berupa stok Minyak Kelapa Sawit (CPO) diajukan
setelah lewat 37 (tiga puluh tujuh) hari dari masa pertanggungannya. Klaim yang
diajukan oleh PT. Wirya Perca tersebut ditolak oleh PT. Asuransi Wahana Tata,
dan akhirnya PT. Wirya Perca mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan, dan
berlanjut sampai ke Mahkamah Agung.
B. Isi Putusan
Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007
1.
Para
Pihak
PT.
WIRYA PERCA berkedudukan di Jl. May. Jend. D.I. Panjaitan
No.14 dalam hal ini memberi kuasa kepada Eddy Anwar Nasution, SH, Advokat,
berkantor di Jl. Sei Lepan No.13 Medan, selanjutnya disebut “Pemohon Kasasi
dahulu Penggugat /Pembanding”.
PT.
ASURANSI WAHANA TATA berkedudukan dan berkantor
pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di Medan, di Jl. Perintis Kemerdekaan
No. 3 F-G, selanjutnya disebut “Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding”.
2.
Duduk
Perkara
PT. WIRYA PERCA
(Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat) telah menggugat PT. ASURANSI WAHANA TATA (sekarang
Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat) di muka persidangan Pengadilan Negeri
Medan pada pokoknya atas dalil-dalil:
Pada
tahun 1998, Penggugat telah
mengikat pertanggungan Asuransi Kebakaran dan Perluasan Jaminan dengan Tergugat, dan adapun yang
dipertanggungkan dalam pertanggungan ini adalah:
a. Bangunan
Pabrik Kelapa sawit (PKS), mesin-mesinnya dan segala perlengkapan penunjangnya,
setempat terletak di desa Angkob, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur,
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu dengan nilai pertanggungan sebesar Rp.
21.228.608.665.00 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam
ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah);
b. Stok
barang berupa minyak kelapa Sawit (CPO) yang terdapat dalam kompleks Pabrik
Kelapa Sawit (PKS) tersebut, yaitu dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 1.100.000.000.00
(Satu miliar seratus juta rupiah).
Adapun
perluasan jaminan berdasarkan klausula yang terdapat pada kode 4.1.A, yang
menyatakan bahwa pertanggungan ini diperluas terhadap:
a. Kerusakan
pada harta benda dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara
langsung disebabkan oleh:
1) Kerusuhan;
2) Pemogokan;
3) Penghalangan
kerja;
4) Perbuatan
jahat;
5) Pencegahan
sehubungan dengan risiko-risiko angka 1 s/d 5.
b. Penjarahan
yang terjadi selama kerusuhan.
Adapun
masa berlaku pertanggungan asuransi tersebut adalah terhitung sejak Bulan
Desember 1998 s/d Bulan Desember 1999 untuk Polis Asuransi Bangunan Pabrik
Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya, dan Bulan
Januari 1999 s/d Januari 2000 untuk pertanggungan Polis Asuransi Stok Minyak
Kelapa Sawit (CPO).
Setelah
pertanggungan asuransi tersebut berakhir masa berlakunya, Penggugat selaku pihak tertanggung
dengan Tergugat selaku pihak
penanggung telah memperpanjang kembali kedua Polis Asuransi tersebut yaitu
berdasarkan:
a. Polis
Asuransi No. 02-19-06007129 tertanggal 29 Desember 1999 yang berlaku sejak
tanggal 30 Desember 1999 s/d 30 Desember 2000 dengan nilai pertanggungan
sebesar Rp. 21.228.608.665 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan
juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah), yaitu berupa
Polis Asuransi Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta perlengkapan
penunjangnya;
b. Polis
Asuransi No. 02-20-06000110 tertanggal 17 Januari 2000 yang mulai berlaku sejak
tanggal 13 Januari 2000 s/d 13 Januari 2001 dengan nilai pertanggungan sebesar
Rp. 1.100.000.000.00 (satu miliar seratus juta rupiah), yaitu polis asuransi
stok barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO).
Pada
tanggal 11, 24 dan 26 Desember 2000, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) beserta
mesin-mesin serta perlengkapan penunjangnya maupun Stok Minyak Kelapa Sawit
(CPO) yang dipertanggungkan (diasuransikan) oleh Penggugat kepada Tergugat tersebut, telah dijarah (dicuri) serta
dibakar oleh Orang Tak Dikenal (OTK), yaitu dengan menggunakan senjata api
laras panjang, berpakaian hitam dan memakai topeng, dan selain melakukan
penjarahan serta pembakaran atas objek yang dipertanggungkan tersebut, Orang
Tak Dikenal (OTK) tersebut juga menyandera dan mengancam para petugas Satuan
Pengamanan (satpam) pabrik kelapa sawit milik Penggugat tersebut. Sebagai akibat dari peristiwa tersebut diatas
bangunan pabrik, mesin-mesin serta perlengkapan penunjangnya dan juga stok minyak
kelapa sawit tersebut menjadi musnah terbakar seluruhnya (total loose) dan sementara 3 (tiga) orang karyawan bagian pabrik meninggal
dunia serta 2 (dua) orang karyawan lainnya disandera oleh orang-orang tak
dikenal (OTK) tersebut.
Adapun
jumlah kerugian yang diderita Penggugat
tersebut seluruhnya berjumlah Rp.40.000.000.000.00 (empat puluh miliar rupiah).
Berhubung karena situasi yang terjadi pada waktu itu sangat sulit, sehingga
Direksi Penggugat demi rasa
kemanusiaan yang tinggi lebih memfokuskan diri kepada mengurus kepentingan atas
musibah yang menimpa 3 (tiga) orang karyawan yang meninggal dunia serta
menyelesaikan pengurusan 2 (dua) orang karyawan yang disandera tersebut,
sehingga klaim asuransi kepada Tergugat baru dapat diajukan pada tanggal 19
Februari 2001.
Terhadap
klaim asuransi yang yang diajukan oleh Penggugat
tersebut, Tergugat telah
melakukan penolakan, yaitu dengan alasan-alasan:
a. Penggugat terlambat mengajukan klaim asuransi,
karena berdasarkan ketentuan Polis Asuransi, klaim harus diajukan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak terjadinya peristiwa yang menimpa
objek asuransi;
b. Polis-polis
atas nama Penggugat tersebut
telah jatuh tempo pada tanggal 30 Desember 2000 dan tanggal 13 Januari 2001,
sudah tidak diperpanjang lagi.
Adapun
alasan-alasan yang disampaikan oleh Tergugat tersebut, menurut hemat dari pihak
Penggugat hanyalah merupakan
alasan-alasan yang sengaja dicari-cari demi untuk membebaskan/mengelakkan diri
dari kewajibannya membayar Uang Pertanggungan Asuransi sejumlah seluruhnya
sebesar Rp. 22.328.608.665,00,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh
delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah) kepada Penggugat.
Berdasarkan
bukti, fakta maupun kenyataannya, peristiwa penjarahan dan pembakaran atas
objek pertanggungan tersebut terjadi masih dalam tenggang waktu berlakunya
Polis Asuransi yaitu pada tanggal 11, 24 dan 26 Desember 2000 dan keterlambatan
penyampaian laporan klaim asuransi bukanlah semata-mata atas kesalahan maupun
kelalaian Penggugat, akan tetapi hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena
adanya hal-hal yang paling urgent
(penting) untuk lebih diutamakan, yaitu menyangkut nyawa manusia serta kewajiban
hukum yang dibebankan negara, seperti mengajukan laporan atas terjadinya peristiwa
tersebut kepada pihak kepolisian, dan sama-sama diketahui bahwa proses
penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian memakan waktu yang cukup
lama, sedangkan hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut adalah merupakan
dasar hukum bagi pengajuan klaim asuransi.
Adapun
peristiwa yang terjadi atas objek pertanggungan tersebut, telah cukup terbukti
berdasarkan Surat Keterangan No.Pol.SKET/ 18/IX/2001 tertanggal 29 September
2001 yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nanggroe Aceh
Darussalam tentang pencurian dengan kekerasan dan pembakaran di Pabrik Kelapa
Sawit (PKS) milik PT. WIRYA PERCA (Penggugat) di Desa Bukit Angkob, Kecamatan Peureulak,
Kabupaten Aceh Timur.
Selanjutnya
alasan-alasan penolakan klaim asuransi yang dikemukakan oleh Tergugat yaitu: Polis Asuransi Penggugat
yang telah jatuh tempo pada tanggal 30 Desember 2000 dan tanggal 13 Januari
2001 sudah tidak diperpanjang lagi, jelas merupakan alasan yang tidak logis, karena
tidak mungkin polis asuransi tersebut diperpanjang sementara objek pertanggungan
itu sendiri telah musnah seluruhnya (total
lose). Oleh karena Tergugat
selaku penanggung tidak bersedia melaksanakan kewajibannya membayar klaim asuransi,
maka perbuatan Tergugat tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan wanprestasi. Sebagai
akibat perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat tersebut, Penggugat telah menderita kerugian materi
sejumlah Rp. 22.328.608.665,00,- (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh
delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah), dimana
kerugian yang diderita Penggugat tersebut wajib ditanggung dan dibayar oleh
Tergugat kepada Penggugat dengan tunai dan sekaligus.
Terhadap
gugatan yang diajukan Penggugat tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada
pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
a. Gugatan
Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena tenggang waktu untuk
mengajukan klaim telah melampui ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 Polis
Asuransi terperkara:
Dari
uraian-uraian posita gugatan Penggugat, bertanggal 21 September 2004, halaman 2
angka 4 jo angka 7, Penggugat mengemukakan bahwa pada tanggal 11, 24 dan 26
Desember 2000 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) beserta mesin-mesin serta penunjang
maupun stok Minyak Kelapa Sawit (CPO) yang dipertanggungkan kepada Tergugat
telah dijarah (dicuri) serta dibakar oleh orang-orang tidak dikenal, tetapi
klaim asuransi baru dapat diajukan kepada Tergugat, pada tanggal 19 Februari
2001 dengan alasan terjadi musibah yang menimpa karyawan Penggugat. Dari
pengakuan Penggugat sebagaimana diuraikan surat gugatan Penggugat, bertanggal
21 September 2004, halaman 2 angka 4 jo angka 7 menunjukkan suatu fakta hukum
bahwa klaim asuransi baru diajukan Penggugat kepada Tergugat lebih kurang 2
(dua) bulan setelah kejadian.
Dalam
Pasal 5 Polis Asuransi terperkara telah ditentukan secara tegas tentang
kewajiban tertanggung dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan:
1) Tertanggung
sesudah mengetahui atau pada waktu ia dianggap seharusnya sudah mengetahui
adanya kerugian, atas kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan dalam polis ini harus:
b) Segera
memberitahukan hal itu kepada Penanggung;
c) Dalam
waktu 7 (tujuh) hari kalender memberikan keterangan tertulis yang memuat hal
ikhwal diketahuinya tentang kerugian atau kerusakan itu dan jika keadaan
memungkinkan, hendaknya surat keterangan itu disertai dengan pemberitahuan
tentang segala sesuatu yang terbakar, musnah, hilang, rusak dan terselamatkan
serta tentang sebab kerugian atau kerusakan sepanjang yang diketahuinya atau
menurut dugaannya;
2) Pada
waktu terjadi kerugian atau kerusakan, tertanggung wajib:
a) Sedapat
mungkin menyelamatkan dan menjaga harta benda atau kepentingan yang
dipertanggungkan serta mengijinkan orang lain menyelamatkan dan menjaga harta
benda dan atau kepentingan tersebut;
b) Memberikan
bantuan untuk melakukan penelitian atas kerugian atau pihak lain yang
ditunjuknya untuk melakukan penelitian atas kerugian atau kerusakan yang
terjadi;
c) Menjaga
keselamatan harta benda dan atau kepentingan yang dipertangggungkan yang masih
bernilai;
Segala
hak atas ganti rugi menjadi hilang apabila ketentuan dalam pasal ini tidak
dipenuhi oleh Tertanggung.
Ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam polis asuransi terperkara telah disepakati/disetujui oleh
Penggugat sebagai tertanggung dan Tergugat sebagai penanggung, dengan demikian
secara hukum ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 tersebut, mengikat kedua
belah pihak sebagai undang-undang dan harus dilaksanakan sebagaimana mestinya
(vide pasal 1338 KUHPerdata jo putusan Mahkamah Agung R.I. bertanggal 26 Februari
1973 Nomor 791 K/Sip/1972).
Ternyata
Penggugat tidak melaksanakan atau memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 5 dari Polis Asuransi terperkara, oleh karena itu hak untuk
menuntut ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 5 dimaksud hilang atau gugur
dengan sendirinya. Dari fakta-fakta hukum tersebut di atas, jelas menunjukkan bahwa
klaim asuransi polis terperkara diajukan Penggugat setelah lewat waktu 7 (tujuh)
hari kalender dari kejadian, setidak-tidaknya Penggugat tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 dari Polis Asuransi
terperkara, oleh sebab itu gugatan Penggugat dalam perkara ini harus dinyatakan
tidak dapat diterima. Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Medan
telah mengambil putusan, yaitu putusan No.382/Pdt.G/2004/PN.Mdn tanggal 16
November 2005 yang amarnya sebagai berikut:
I. Dalam
Eksepsi:
1. Menolak eksepsi Tergugat untuk
seluruhnya.
II. Dalam
Pokok Perkara:
1.
Menolak
gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menghukum
Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp.234.000,00 (dua ratus
tiga puluh empat ribu rupiah);
Menimbang
dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan Pengadilan Negeri Medan
tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan No.
131/Pdt/2006/PT.MDN tanggal 6 Oktober 2006.
Sesudah
putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat/Pembanding pada tanggal 6
Maret 2007 kemudian oleh Penggugat/Pembanding dengan perantara kuasanya, mengajukan
permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 7 Maret 2007. Bahwa setelah itu
oleh Tergugat/Terbanding pada tanggal 12 April 2007, telah diberitahu tentang
memori kasasi dari Penggugat/Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 17 Maret 2007. Permohonan
kasasi aquo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan
dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal
dapat diterima.
Adapun
alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat dalam memori kasasinya
tersebut pada pokoknya adalah, bahwa Yudex Factie telah salah menterapkan hukum
tentang peristiwa yang menimpa objek pertanggungan. Di dalam pertimbangan hukum
Putusannya Yudex Factie tidak secara jelas menguraikan tentang peristiwa kebakaran
yang menimpa Objek Pertanggungan yaitu Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS) milik Tertanggung
(Ic. Pemohon Kasasi), sedangkan masalah kebakaran adalah permasalahan utama
dalam pengikatan pertanggungan asuransi antara Pemohon Kasasi dengan Termohon
Kasasi, sedangkan yang menjadi pokok permasalahan yang dipertimbangkan Yudex
Factie dalam pertimbangan hukum putusannya, hanyalah mengenai penjarahan atau pencurian
atas objek pertanggungan yaitu mengenai perluasan jaminan endorsement kode 4.1.A-01/12/1998 yang juga merupakan bagian dari polis
asuransi kebakaran.
Berdasarkan
bukti, fakta maupun kenyataan, objek pertanggungan tersebut telah musnah
dibakar oleh Orang Tidak Dikenal dan seharusnya Yudex Factie di dalam
pertimbangan hukum putusannya, lebih dahulu menguraikan tentang peristiwa kebakaran
tersebut yang merupakan jaminan pertanggungan yang utama dalam polis asuransi.
Oleh
karena masalah kebakaran yang mengakibatkan musnahnya objek pertanggungan
tersebut tidak dipertimbangkan oleh Yudex Factie, maka sudah sepatutnya Mahkamah
Agung R.I. dalam putusannya mengadili sendiri permasalahan tersebut.
3.
Pertimbangan
Hakim Mahkamah Agung Dalam
Memutus Perkara
Bahwa judex facti dalam pertimbangan dan
putusannya telah menyimpulkan yang terjadi dalam kasus aquo, hanyalah perbuatan
orang-orang yang tidak dikenal (OTK) melakukan penjarahan terhadap objek milik
si tertanggung. Padahal sesuai fakta di dalam persidangan dan yang terjadi
sebenarnya adalah diawali dengan datangnya gerombolan orang-orang tak dikenal
dengan bersenjata laras panjang dan memakai topeng serta melakukan pembakaran
objek milik si tertanggung dan melakukan penjarahan yang ada di dalam objek
tersebut. Bahkan dalam peristiwa tersebut telah menimbulkan 3 (tiga) orang
karyawan pabrik milik tertanggung tewas dan 2 (dua) orang telah disandera oleh
gerombolan orang-orang tersebut;
Dari uraian fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi
daripada gerombolan orang-orang yang tidak dikenal tersebut tidak hanya sekedar
melakukan penjarahan saja, tetapi yang lebih serius dari pada itu adalah
melakukan pembakaran, perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerusuhan, dan
gangguan keamanan disertai dengan penjarahan barang-barang yang ada di tempat tersebut.
Peristiwa dan kejadian seperti diuraikan di atas menurut pendapat Mahkamah
Agung sudah termasuk resiko yang telah disepakati.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi
lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. WIRYA PERCA dan
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 6 Oktober 2006 No.
131/Pdt/2006/ PT.MDN yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 16
November 2005 No.382/Pdt.G/2004/PN.Mdn serta Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini.
4.
Isi Putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007
a. Membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 6 Oktober 2006 No. 131/Pdt/2006/PT.MDN
yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan No.382/Pdt.G/2004/ PN.Mdn tanggal 16 November
2005;
b. Mengabulkan
gugatan penggugat untuk sebagian;
c. Menyatakan
klaim asuransi yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat sebagaimana
tersebut diatas adalah sah dan berkekuatan hukum;
d. Menyatakan
perbuatan Tergugat yang tidak bersedia membayar klaim asuransi yang diajukan
oleh Penggugat adalah merupakan perbuatan wanprestasi;
e. Menghukum
Tergugat untuk membayar klaim asuransi kepada Penggugat sejumlah Rp.
22.328.608.665,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh delapan juta enam
ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah);
f. Menolak
gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
g. Menghukum
Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang
dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp .500.000,- (lima ratus ribu
rupiah).
BAB
V
PENUTUP
Berdasarkan pokok
permasalahan yang diajukan, maka dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
A. Kesimpulan
1. Pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi
Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata, didasarkan pada
pengaturan klaim yang
terdapat di dalam
Pasal
5 ayat (5.1.2). Permohonan
klaim asuransi yang diajukan oleh PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana
Tata ditolak, karena tidak sesuai dengan pasal tersebut, yaitu mengenai kewajiban tertanggung dalam
hal terjadi kerugian atau kerusakan, untuk
segera memberikan
keterangan tertulis kepada penanggung dalam
waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah terjadinya kebakaran,
dimana klaim tersebut diajukan oleh PT. Wirya Perca setelah lewat 51 (lima
puluh satu) hari dari masa pertanggungannya untuk polis asuransi Bangunan
Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya, dan
untuk polis asuransi stok barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) diajukan
setelah lewat 37 (tiga puluh tujuh) hari dari masa pertanggungannya.
2. Putusan
Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007 tentang
klaim
asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan yang
diajukan oleh PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata, mempunyai
beberapa kelemahan, yaitu:
a. Hakim
dalam memutus perkara tidak melihat ketentuan yang terdapat di dalam Polis
Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, khususnya Bab IV Pasal 5 ayat (5.1.2) mengenai kewajiban tertanggung dalam
hal terjadi kerugian atau kerusakan, untuk
segera memberikan keterangan tertulis kepada
penanggung dalam waktu 7
(tujuh) hari kalender
setelah terjadinya kebakaran;
b. Hakim
dalam memutus perkara menyatakan bahwa, PT. Asuransi Wahana Tata yang tidak
bersedia membayar klaim asuransi yang diajukan oleh PT. Wirya Perca merupakan
suatu perbuatan wanprestasi, dimana hakim dalam pertimbangannya hanya melihat
peristiwa dan kerugian yang timbul merupakan suatu peristiwa yang telah disepakati
dalam perluasan jaminan endorsement, tetapi
hakim tidak melihat adanya kewajiban tertanggung yang tidak dipenuhi, yaitu
tidak dipenuhinya kewajiban tertanggung sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5
ayat (5.1.2) Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia.
Artinya Mahkamah Agung dalam memutus perkara
telah mengenyampingkan hukum materil, yaitu tidak memperhatikan adanya
ketentuan yang terdapat di dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia dan
Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa PT. Asuransi Wahana Tata yang tidak bersedia
membayar klaim yang diajukan PT. Wirya Perca merupakan perbuatan wanprestasi,
karena peristiwa dan kerugian yang terjadi merupakan suatu peristiwa yang telah
disepakati dalam perluasan jaminan endorsement,
sehingga menghukum PT. Asuransi Wahana
Tata untuk membayar klaim tersebut sebesar Rp. Rp. 22.328.608.665,00 (dua puluh
dua miliar tiga ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus
enam puluh lima rupiah). Menurut penulis, memang peristiwa tersebut termasuk
peristiwa yang ditutup dalam polis, dan kerugian yang diderita tertanggung adalah
sebagai suatu peristiwa yang ditutup dalam polis, akan tetapi dalam kasus ini
ada unsur yang dapat membebaskan penanggung dari kewajibannya untuk membayar
klaim yang diajukan oleh tertanggung, yaitu bahwa klaim yang diajukan oleh
tertanggung tersebut melewati jangka waktu pengajuan klaim sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 5 ayat (5.1.2) Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia.
Dengan demikian, pengajuan klaim asuransi
kebakaran yang diajukan oleh tertanggung di luar masa pertanggungan dan di luar
dari jangka waktu pengajuan klaim yang ditetapkan dalam polis, sebagaimana yang
terjadi pada kasus tersebut, sepatutnya tidak dapat diterima, mesikpun evenemen terjadi di dalam masa
pertanggungan. Penanggung tidak dapat dianggap sebagai suatu wanprestasi karena
tidak membayar ganti rugi kepada tertanggung, apabila klaim yang diajukan
tertanggung diluar dari masa pertanggungan dan di luar dari jangka waktu
pengajuan klaim yang ditetapkan dalam polis. Penanggung baru dapat dianggap
melakukan wanprestasi apabila klaim yang diajukan tertanggung masih dalam masa
pertanggungan, dan penanggung tidak bersedia untuk membayar ganti rugi.
A.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah ada, maka
penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
Kepada hakim Mahkamah Agung yang memutus
perkara ini, seharusnya melihat ketentuan
yang terdapat di dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, karena dalam
perjanjian
asuransi polis merupakan
peraturan yang utama, dan merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
[4] Subekti,R, Tjitrosudibio,R, Undang-Undang
Hukum Dagang & Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta; Pradnya Paramita,
1993).
[13] Subekti
dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Cet. XII, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1996), hal.
110.
[17] Save M. Dagun, Kamus Besar
Ilmu Pengetahuan, Cet. I, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan
Nusantara, 1997).
[18] Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, diterjemahkan oleh R. Subekti, Cet. 16., (Jakarta: Pradnya Paramita,
1985), Pasal
255.
[19] Abdulkadir Muhammad, Pokok-Pokok
Hukum Pertanggungan, cetakan kedua, (Bandung: Alumni, 1983), hal 49.
[31] (Online) tersedia
di: http://arkafi.webatu.com/2_1_fire.html. Diakses pada hari Senin, 2 Mei
2011 pukul 19.00 WIB.
[32] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, buku 6, (Jakarta: Djambatan, 1990), hal 35.
[38] Abdulkadir Muhammad, op cit.,
hal 75.
[42] (Online) tersedia
di: http://www.konsultan-asuransi.com/index.php/news/detail/19. Diakses pada hari Senin, 2 Mei
2011 pukul 20.00 WIB.
[43] Abdulkadir Muhammad, op cit.,
hal 59.
[49] Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan
Kesehatan Perusahaan Asuransi, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hal. 43.
[52] Ibid., hal 44.
[53] Pasal 249 KUHD “Penanggung sama sekali
tidak wajib menanggung untuk kerusakan atau kerugian yang langsung timbul
karena cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan kodrat dari yang
dipertanggungkan sendiri, kecuali jika dipertanggungkan untuk itu dengan
tegas”.
[54] Pasal 276 KUHD “Tiada kerugian
atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan
pada penanggung. Bahkan ia boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia
sudah mulai memikul bahaya”.
[56] (Online)
tersedia di: http://mediaasuransi.wordpress.com/2010/01/13/prosedur-mengajukan-ganti-rugi-asuransi-kebakaran/. Diakses pada hari Senin, 2 Mei 2011 pukul
20.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar