Selasa, 15 Oktober 2019

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KLAIM ASURANSI KEBAKARAN PADA PT. ASURANSI WAHANA TATA DI LUAR MASA PERTANGGUNGAN (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1455 K/PDT/2007)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam era pembangunan sekarang, asuransi mempunyai peranan yang penting. Disamping memberikan jaminan kepada individu serta pengembangan bidang usaha, asuransi merupakan alat penghimpunan dana bagi pembangunan serta menjaga kontinuitas pembangunan itu sendiri.
Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, Bangsa Indonesia terus berupaya melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan bersama oleh rakyat dan pemerintah itu telah membawa kemajuan di hampir semua segi kehidupan, seperti yang dapat kita lihat dan rasakan sekarang ini.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.[1] Salah satunya adalah pembangunan di bidang ekonomi, yang mempunyai kedudukan amat penting bahkan bidang ekonomi dijadikan titik berat pembangunan jangka panjang kedua.
Perbaikan jalan-jalan baik di kota maupun di desa, masuknya listrik sampai ke pelosok daerah, dibangunnya fasilitas dan sarana seperti sekolah, rumah-rumah ibadah dan lain sebagainya merupakan bukti nyata keberhasilan pembangunan.
Secara garis besar, asuransi dibedakan menjadi 2 yaitu asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Salah satu golongan dari asuransi kerugian adalah asuransi kebakaran, yang merupakan bidang asuransi tertua setelah asuransi pengangkutan laut.
Besarnya kerugian tersebut apabila diukur dengan uang mencapai miliaran rupiah pertahun. Dilihat dari angka-angka klaim kebakaran atas kerugian kebakaran dari pada objek-objek yang diasuransikan, telah tercatat paling tidak 92 miliar pada tahun 1988.[2] Angka tersebut hanyalah sebagian dari kerugian-kerugian kebakaran yang sebenarnya timbul, oleh karena itu tidak semua harta benda yang ada di Indonesia ini di asuransikan.
Dari berbagai jenis asuransi kerugian di Indonesia, penulis memilih asuransi kebakaran sebagai bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini, untuk mengkaji lebih jauh mengenai bagaimana pengaturan klaim asuransi kebakaran di Indonesia. Penulis memilih PT. WIRYA PERCA sebagai objek penelitian karena sesuai dengan pembahasan dalam skripsi ini, yaitu mengenai klaim asuransi kebakaran yang diajukan oleh PT. WIRYA PERCA kepada PT. ASURANSI WAHANA TATA di luar masa pertanggungan (analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007).
Peristiwa kebakaran dari tahun ke tahun bukannya menurun tetapi terus meningkat, bahkan di kota-kota besar sering kali terdengar adanya berita kebakaran yang menimpa perumahan, pabrik, pasar, shopping center, gudang dan gedung bertingkat. Oleh karenanya masalah kebakaran beserta segala aspeknya dewasa ini telah merupakan masalah nasional dilihat dari telah meningkatnya jumlah kejadian kebakaran dan nilai kerugian yang ditimbulkannya.
Kejadian kebakaran bersumber dari manusia, alat/bahan dan alam. Namun faktor manusia berupa kesalahan manusia (human error), terutama yang disebabkan oleh kelalaian, kecerobohan, keamanan, sikap mental dan kulltur merupakan penyebab kebakaran yang paling dominan. Pada beberapa kasus kebakaran terdapat juga unsur kesengajaan (pembakaran/arson) yang mempunyai motifasi persaingan, dendam pribadi, asuransi menghilangkan jejak kejahatan antara lain korupsi, manipulasi, pembunuhan dan subservasi.
Memang tidak semua usaha yang dilakukan akan mencapai keberhasilan pada puncaknya, adakalanya pembangunan itu memperoleh hasil yang kurang baik atau bahkan yang harus dihadapi adalah kegagalan. Kegagalan itu dapat disebabkan beberapa faktor, misalnya faktor alam yaitu gempa bumi, banjir dan lain sebagainya yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan manusia, atau faktor-faktor seperti faktor ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Kegagalan itu tentu saja akan menimbulkan kerugian material yang jumlahnya tidak sedikit.
Setiap orang pasti menginginkan berbagai usaha yang dilakukannya berhasil, dan tentu ia akan berusaha sedapat mungkin menghindari atau memperkecil risiko kerugian. Kemungkinan timbulnya kerugian itu membuat orang berfikir untuk mengalihkan risiko kerugian kepada pihak lain, sehingga kerugian itu tidak ditanggung oleh satu pihak saja tetapi kalau bisa ditanggung bersama-sama dengan pihak lain. Risiko itulah yang menjadi pertimbangan utama bagi suatu pihak untuk mengalihkan risiko dengan benda-benda miliknya. Peralihan risiko itu tidak terjadi begitu saja tetapi tentu saja harus diperjanjikan terlebih dahulu. Asuransi kebakaran adalah asuransi yang paling baik perkembanganya dan paling luas yang telah diterima masyarakat dan telah memiliki polis standar sebagai kontrak dasar.[3]


Di Indonesia sendiri persyaratan mengenai asuransi kebakaran dijelaskan dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia atau disingkat PSKI dan telah dibakukan  sejak tahun 1982. Selain diatur oleh KUHD pada Bab ke 9 tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya,[4] masalah perasuransian juga diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Asuransi kebakaran merupakan salah satu jenis asuransi kerugian, telah menyediakan perlindungan ganti kerugian yang cukup luas, beberapa objek tanggungan seperti rumah, gedung bertingkat, pabrik dan lain-lainnya. Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia telah menetapkan berbagai risiko yang dikecualikan, yaitu:
1.    Cacat sendiri;
2.    Perang;
3.    Kerusuhan;
4.    Gempa bumi;
5.    Banjir;
6.    Biaya pembersihan reruntuhan dan puing;
7.    Gangguan usaha;
8.    Nuklir.
Polis  asuransi merupakan perwujudan dari adanya suatu perjanjian asuransi. Pada umumnya polis ini mengatur secara umum ketentuan-ketentuan dari perjanjian asuransi tersebut, antara lain:
1.    Pihak-pihak yang mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut;
2.    Objeknya yang dipertanggungkan;
3.    Jenis-jenis musibah yang dipertanggungkan;
4.    Jenis-jenis musibah yang dikecualikan;
5.    Hal-hal yang dapat menyebabkan hilangnya hak ganti rugi tertanggung ataupun batalnya perjanjian;
6.    Hal mengenai ganti rugi.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Klaim Asuransi Kebakaran Pada PT. Asuransi Wahana Tata Di Luar Masa Pertanggungan (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007)”    

B.    Permasalahan
Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan dalam latar belakang, maka dapat dikemukakan pokok permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata?
2.    Bagaimana putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka tujuan khusus yang ingin dicapai dalam hal ini adalah untuk menggambarkan:
1.    Pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata.
2.    Putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan.

D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1.    Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kalangan akademis, mahasiswa hukum pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang ingin menambah pengetahuan dibidang hukum yang bersifat teori, khususnya di bidang asuransi kebakaran.
2.    Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran yang lebih jelas kepada pihak tertanggung atau calon tertanggung yang akan mengasuransikan objek tertentu kepada perusahaan asuransi, khususnya asuransi kebakaran mengenai pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia.
3.    Manfaat Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat pada umumnya yang ingin mengetahui bagaimana pengaturan klaim asuransi kebakaran di Indonesia.

E.     Metode Penelitian
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:[5]
1.    Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitan dan penilaian;
2.    Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
3.    Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Agar skripsi ini mempunyai nilai ilmiah, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai syarat-syarat penelitian metode ilmiah. Mengingat penelitian sebagai salah satu sarana dalam pengembangan ilmu yang digunakan untuk mengungkap kebenaran secara sitematis, metodologis serta konsisten, maka proses selama penelitian perlu dianalisis dan kemudian dikonstruksikan dengan masalah  terkait yang ada, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara obyektif.
Adapun metode yang digunakan dalam dalam penulisan skripsi sebagai berikut:
1.    Tipe Penelitian
Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap Klaim Asuransi Kebakaran Pada PT. Asuransi Wahana Tata Di Luar Masa Pertanggungan (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007)” merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mencakup: penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.[6] Sesuai dengan judul skripsi yang dibuat oleh penulis  maka penelitian dilakukan terhadap azas-azas hukum, baik hukum dalam peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang berupa putusan pengadilan.        

2.    Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini jika dilihat dari sifatnya merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian.[7] Sesuai dengan skripsi ini yaitu menggambarkan  bentuk pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia Pada PT. Asuransi Wahana Tata dan putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan.



3.    Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan buku-buku yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh peneliti.[8] Data sekunder terdiri dari:
a.    Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas undang-undang, yaitu :
1)    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2)    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3)    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
b.    Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang berfungsi menjelaskan bahan-bahan hukum primer, antara lain terdiri dari:
1)    Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007;
2)    Polis Asuransi Kebakaran PT. Asuransi Wahana Tata yang mengacu pada Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia (PSKI);
3)    Makalah dan tulisan lain yang relevan dengan pengaturan klaim asuransi kebakaran di Indonesia.
c.    Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap dua jenis bahan hukum yang telah disebutkan, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan internet.




4.    Cara Memperoleh Data
Metode yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh data dalam usaha mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu melakukan pengumpulan data yang bersifat teoritis dengan cara membaca buku-buku, makalah-makalah, ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, maupun mengakses data melalui internet.

5.    Analisis Data
      Seluruh data sekunder dari hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, menyeluruh, dan merupakan satu kesatuan bulat mengenai masalah yang terkait.[9] Dalam hal ini yang dianalisis  adalah mengenai dua masalah yang terkait, yaitu mengenai pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia Pada PT. Asuransi Wahana Tata dan Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan, sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

6.    Metode Pengambilan Kesimpulan
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya adalah metode dengan menarik kesimpulan  yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.[10] Metode ini  dilakukan dengan cara menganalisis pengertian atau konsep-konsep umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus mengenai pengaturan klaim asuransi kebakaran maupun hasil Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007.

F.     Kerangka Konsepsional
     Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep dan pengertian mengenai istilah saat penulisan, untuk memudahkan dalam memahami dan mencegah terjadinya salah paham, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa istilah yang dipergunakan:
1.      Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan;[11]
2.      Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih;[12]
3.      Wanprestasi adalah kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian;[13]
4.      Tertanggung atau terjamin adalah orang atau badan yang mengalihkan resiko kepada pihak lain berdasarkan polis dengan membayar premi;[14]
5.      Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dam tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti terjadi;[15]
6.      Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya;[16]
7.      Premi asuransi (insurance premium) adalah jumlah uang yang dibayarkan di muka oleh pihak yang diasuransikan kepada pihak yang mengasuransikan dalam jangka tahunan, setengah tahunan, kwartalan, bulanan atau mingguan;[17]
8.      Polis adalah suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis;[18]

G.    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu sebagai berikut:

BAB I             PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan, kerangka konsepsional, dan sistematika penulisan.

BAB II            TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI KEBAKARAN
Pada bab ini diuraikan tentang dasar hukum asuransi, definisi asuransi, risiko-risiko dalam asuransi kebakaran, premi, polis dalam asuransi kebakaran, isi Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, jenis-jenis asuransi kebakaran, berakhirnya asuransi kebakaran, pasal-pasal khusus tentang asuransi kebakaran di dalam KUHD, prinsip-prinsip asuransi, perluasan risiko asuransi kebakaran, prosedur mengajukan ganti rugi asuransi kebakaran.

BAB III            URAIAN KASUS DAN ISI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1455 K/Pdt/2007
Pada bab ini diuraikan kasus dan isi dari putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007.

BAB IV           TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KLAIM ASURANSI KEBAKARAN PT. ASURANSI WAHANA TATA DI LUAR MASA PERTANGGUNGAN
Bab ini merupakan analisis terhadap pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata dan analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan.

BAB V            PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang berisi kesimpulan dari pokok permasalahan yang telah dibahas, serta saran yang dapat diberikan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi.








BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI KEBAKARAN

A.    Dasar Hukum Asuransi
Asuransi didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan didasarkan pada perjanjian. Apabila asuransi tersebut didasarkan pada undang-undang maka asuransi tersebut bersifat memaksa. Tetapi sebenarnya asuransi didasarkan pada perjanjian, yaitu perjanjian antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan nasabah asuransi sebagai tertanggung.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi antara lain:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Karena asuransi didasarkan pada suatu perjanjian, maka pasal-pasal yang berkaitan dengan asuransi adalah:
a.    Pasal 1320 KUHPdt
Yaitu suatu perjanjian asuransi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPdt, yaitu:[19]
1)    Kesepakatan Para Pihak (Consensus)
Artinya, setiap orang yang mengadakan suatu perjanjian harus ada kata sepakat diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, apa yang disepakati pihak pertama juga harus disepakati oleh pihak yang lainnya, kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:

a.    Benda yang menjadi obyek asuransi;
b.    Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
c.    Evenemen dan ganti kerugian;
d.    Syarat-syarat khusus asuransi;
e.    Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
2)    Kecapakan Para Pihak
Artinya, orang-orang yang melakukan perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu setiap orang yang sudah dewasa. Menurut KUHPdt adalah sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah dan tidak berada dibawah pengampuan.[20]
3)    Kewenangan (Authority)
Kedua belah pihak, tertanggung dan penanggung mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang, kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subyektif dan ada yang bersifat obyektif. Kewenangan subyektif artinya kedua belah pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian, atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan obyektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan obyek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.[21]
4)    Obyek Tertentu (Fixed Object)
Artinya, obyek asuransi yang diasuransikan harus jelas, paling sedikit harus ditentukan obyeknya. Obyek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah obyek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, obyek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada perjanjian asuransi kerugian. Pengertian obyek tertentu adalah bahwa identitas obyek asuransi tersebut harus jelas dan pasti, apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya, dimana letaknya, berapa nilainya dan sebagainya. Karena yang mengasuransikan obyek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan obyek asuransi tersebut, dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, dan dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas obyek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah benar sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan atas obyek asuransi.[22]
5)    Kausa yang Halal
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertbian umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal tersebut, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas obyek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas obyek asuransi. Jika premi dibayar maka risiko beralih, jika premi tidak dibayar maka risiko tidak beralih.[23]


6)    Pemberitahuan (Notification)
Salah satu teori hukum yang dikenal dalam hukum asuransi adalah teori obyektivitas. Setiap asuransi harus mempunyai obyek tertentu, artinya jenis, identitas, dan sifat obyek asuransi wajib diberitahukan oleh tertanggung kepada penanggung, tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat obyek asuransi mungkin dapat menjadi sebab timbulnya kerugian. Berdasarkan pemberitahuan itu penanggung dapat mempertimbangkan apakah dia akan menerima pengalihan risiko dari tertanggung atau tidak. Keunggulan teori ini adalah penanggung dilindungi dari perbuatan tertanggung yang tidak jujur. Teori obyektivitas bertujuan untuk mengarahkan tertanggung dan penanggung agar mengadakan perjanjian asuransi dilandasi asas kebebasan berkontrak yang adil.[24]
b.    Pasal 1338 KUHPdt
Dalam pasal 1338 KUHPdt dinyatakan bahwa kesepakatan antara penanggung dan tertanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada dibawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan pasal ini, yaitu mengenai kebebasan berkontrak.[25]

Ayat (1), “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.[26]

Ayat (2), “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.[27]
Ayat (3), “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.[28]


c.    Pasal 1774 KUHPdt
“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sebagian pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu”.
d.    Pasal 1266 KUHPdt
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Dalam KUHD pengaturan asuransi dibagi dua, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan khusus.
a.    Pengaturan yang bersifat umum terdapat di dalam Buku I Bab 9. Pasal 246 - Pasal 286 KUHD. Yang berlaku bagi semua jenis asuransi.
b.    Pengaturan yang bersifat khusus terdapat di dalam Buku I Bab 10, bagian kesatu tentang pertanggungan bahaya kebakaran. Pasal 287 – Pasal 298 KUHD.
3.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Jika Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdatan maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 mengatur tentang Usaha Perasuransian. Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1991 tanggal 11 Februari 1992 mengutamakan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan publik administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan peraturan hukum perasuransian yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan dengan Negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar maka, pelanggaran tersebut diancam dengan sanksi pidana dan administratif sesuai dengan undang-undang perasuransian. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992.[29]
4.    Polis yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Wahana Tata Tahun 1998 yang mengacu pada PSKI (Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia) yang dikeluarkan oleh Dewan Asuransi Indonesia.

B.    Definisi Asuransi
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.[30]
Asuransi kebakaran sendiri merupakan salah satu jenis asuransi yang termasuk ke dalam jenis asuransi kerugian. Asuransi kebakaran adalah asuransi yang menjamin kerugian atau kerusakkan atas harta benda (harta tetap dan harta bergerak) yang disebabkan oleh kebakaran, yang terjadi karena api sendiri atau api dari luar, karena udara jelek, kurang hati-hati, kesalahan atau perbuatan tidak pantas dari pelayan tertanggung, tetangga, musuh, perampok dan apa saja dan dengan cara bagaimanapun sebab timbulnya kebakaran.[31]
Pertanggungan dalam praktek sering disebut dengan asuransi. Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang sama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 1 butir (1), mendefinisikan Asuransi sebagai suatu:

“Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan dirinya kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang mungkin akan diderita pihak tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau yang memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”


Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan adanya unsur-unsur asuransi sebagai berikut:
1.    Adanya Pihak Penanggung dan Tertanggung
Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban, dengan demikian perjanjian antara penanggung dan tertanggung merupakan perjanjian timbal balik dan konsensual.
2.    Adanya Peralihan Risiko dari Tertanggung kepada Penanggung
Mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risikonya yang mengancam harta kekayaan. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.


3.    Adanya Peristiwa Tidak Tertentu (Evenemen)
Evenemen adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan kerugian.
4.    Adanya Pembayaran Premi dari Tertanggung kepada Penanggung
Dengan membayar premi sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung.
5.    Adanya Ganti Kerugian
Jika pada suatu ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Apabila kerugian yang timbul itu bersifat sebagian (partial loss) maka kepada tertanggung diberi penggantian kerugian sebesar kerugian yang diderita tertanggung saja, meskipun tertanggung membayar penuh premi sebesar nilai benda yang diasuransikan, dan apabila kerugian tersebut (total loss) dengan demikian barulah penanggung akan memberikan ganti rugi seluruhnya kepada tertanggung.
6.    Tanggung Jawab Hukum terhadap Pihak Ketiga
Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga, adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Asuransi merupakan suatu perjanjian yang bersifat timbal balik, maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Salah satu syarat agar pertanggungan dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan sengketa, adalah pelaksanaan hak dan kewajiban secara baik oleh kedua belah pihak, baik tertanggung maupun penanggung, antara lain:
1.  Hak dan Kewajiban Penanggung:
a.  Hak penanggung, antara lain:
1)     Hak atas pembayaran premi;
2)     Hak untuk mengetahui segala sesuatu tentang obyek tertanggung, pada waktu pertanggungan ditutup sampai berakhirnya perjanjian asuransi, lebih-lebih jika terdapat tuntutan ganti rugi.
b.  Kewajiban Penanggung, antara lain:
1)     Menandatangani dan menyerahkan polis;
2)     Menyerahkan uang petanggungan atau ganti rugi kepada tertanggung, jika terjadi tuntutan ganti rugi.
2.  Hak dan Kewajiban Tertanggung:
a.  Hak Tertanggung, antara lain:
1)     Hak untuk menerima polis, Pasal 257 ayat (2) KUHD menyatakan bahwa penanggung berkewajiban menandatangani polis dan menyerahkan kepada tertanggung dalam jangka waktu tertentu;
2)     Hak untuk menerima ganti rugi atau uang pertanggungan pada waktu terjadi kerugian atau pada saat berakhirnya pertanggungan.
b.  Kewajiban Tertanggung, antara lain:
1)     Menyerahkan premi;
2)     Memberitahukan keadaan-keadaan yang penting, yang berhubungan dengan obyek yang  dipertanggungkan kepada penanggung;
3)     Segera memberitahukan kepada penanggung jika terjadi evenemen;
4)     Tertanggung harus mengirimkan laporan terperinci tentang peristiwa kerugian karena kebakaran.
Hubungan hukum antara tertanggung dan penanggung adalah hubungan antara para pihak dalam perjanjian. Sedangkan hubungan hukum antara orang yang berkepentingan dengan penanggung adalah hubungan bukan pihak, tetapi orang yang berkepentingan menanggung semua akibat hukum dari perjanjian pertanggungan yang dibuat oleh tertanggung.[32]
Dalam bentuk yang paling sederhana, asuransi kebakaran merupakan pertanggungan atau asuransi yang memberikan ganti rugi atas kerusakan atau kerugian yang timbul yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa kebakaran.
Kebakaran itu sendiri yaitu, akibat terbakarnya benda-benda yang tidak diperuntukkan untuk dibakar.
Obyek pertanggungan kebakaran pada prakteknya adalah obyek bahaya yang terdiri dari bangunan dan/ atau barang. Untuk menunjuk suatu obyek yang disebut bangunannya, misalnya rumah tinggal, gedung perkantoran, dan bangunan lainnya.
Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya adalah perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada satu sisi tidak berjanji untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syarat.
Dalam suatu perjanjian asuransi terdapat subyek asuransi yaitu pihak-pihak yang berkepentingan, dan yang dimaksud dengan pihak-pihak tersebut adalah penanggung dan tertanggung sebagai pendukung kewajiban dan hak, penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung berhak memperoleh penggangtian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.
Risiko dalam asuransi dimaksudkan sebagai suatu ancaman bahaya yang menjadi beban penanggung merupakan peristiwa penyebab timbulnya kerugian atas obyek asuransi, selama belum terjadi peristiwa penyebab timbulnya kerugian, selama itu pula bahaya yang mengancam obyek asuransi disebut risiko.

C.    Risiko-Risiko Dalam Asuransi Kebakaran
Dalam hukum asuransi, ancaman bahaya yang menjadi beban penanggung merupakan peristiwa penyebab timbulnya kerugian. Selama belum terjadi peristiwa penyebab timbulnya kerugian, selama itu pula bahaya yang mengancam obyek asuransi disebut risiko. Risiko ini mungkin berasal dari faktor ekonomi, faktor alam, atau faktor manusia. Risiko tersebut tertuju pada pribadi, kekayaan, atau bertanggung jawab atas finansial seseorang. Selama tidak terjadi peristiwa, selama itu pula risiko menjadi beban ancaman penanggung sampai asuransi berakhir. Jadi dapat dipahami kriteria atau ciri risiko dalam asuransi kebakaran sebagai berikut:
1.    Bahaya yang mengancam benda atau obyek asuransi;
2.    Berasal dari faktor ekonomi, alam atau manusia;
3.    Diklasifikasikan menjadi risiko pribadi, kekayaan, tanggung jawab;
4.    Hanya berpeluang menimbulkan kerugian.
Risiko yang dapat diasuransikan, harus memenuhi kriteria sebagai berikut:[33]
1.    Dapat dinilai dengan uang;
2.    Harus risiko murni, artinya hanya berpeluang menimbulkan kerugian;
3.    Kerugian timbul akibat bahaya atau peristiwa tidak pasti;
4.    Tertanggung harus memiliki insurable interest;
5.    Tidak dilarang undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum.


Ada beberapa macam risiko yang harus kita pertimbangkan, antara lain:
1.    Risiko Murni atau Pure Risk, risiko murni yang merupakan suatu konsepsi yang sangat sederhana diartikan sebagai ketidakpastian bahwa kerugian itu akan timbul, kalau ketidakpastian itu terjadi maka yang ada hanya kerugian;
2.    Risiko Spekulasi, terdapat dua kemungkinan, yaitu kemungkinan untuk memperoleh keuntungan atau kerugian. Misalnya dalam hal membeli saham, di bursa efek, disatu sisi mungkin seseorang akan mendapatkan kerugian apabila harga saham itu turun.[34]
Dalam praktek asuransi kebakaran, risiko yang dijamin ditentukan dengan tegas dalam polis. Dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, risiko yang ditanggung yaitu risiko terhadap kerugian atau kerusakan pada harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh:[35]
1.    Kebakaran, yang terjadi karena kekurang hati-hatian atau kesalahan pelayanan atau karyawan tertanggung, tetangga, perampok atau pun karena sebab kebakaran lain sepanjang tidak dikecualikan dalam polis, termasuk akibat dari:
a.    Menjalarnya api yang timbul sendiri, hubungan arus pendek, atau karena sifat barang itu sendiri;
b.    Kebakaran yang terjadi karena kerusakan benda lain yang berdekatan, yaitu kerusakan atau berkurangnya harta benda dan atau alat-alat lain yang dipergunakan untuk menahan atau memadamkan kebakaran, demikian juga kerugian yang disebabkan oleh musnah seluruh atau sebagian harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan atas perintah yang berwenang dalam upaya pencegahan menjalarnya kebakaran itu;
2.    Petir, kerusakan yang secara langung disebabkan oleh petir, khusus untuk mesin-mesin, peralatan listrik, atau elektronik dan instalasi listrik oleh polis ini apabila petir tersebut menimbulkan kebakaran pada benda-benda dimaksud;
3.    Ledakan, pengertian ledakan dalam polis ini adalah setiap perlepasan tenaga secara tiba-tiba yang disebabkan oleh mengembanya gas atau uap. Meledaknya suatu bejana (ketel,  uap, pipa dan sebagainya) dapat danggap ledakan jika dinding bejana itu robek terbuka sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan tekanan secara tiba-tiba di dalam maupun di luar bejana;
4.    Kejatuhan Pesawat Terbang, yaitu benturan fisik antara pesawat terbang atau segala sesuatu yang jatuh dari pesawat terbang dengan harta dan atau kepentingan yang dipertanggugnkan atau dengan bangunan yang berisikan harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan;
5.    Asap, yaitu asap yang timbul dari kebakaran harta benda yang dipertanggungkan pada polis ini;
      Dipandang dari sudut benda pertanggungan asuransi kebakaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu asuransi kebakaran terhadap:
1.    Gedung atau bangunan;
2.    Barang dagangan yang ada didalamnya;
3.    Gedung atau bangunan dan barang dagangan yang ada didalamnya.

D.    Premi
Dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 terdapat rumusan: dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa premi adalah salah satu unsur penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang wajib dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Dalam hubungan asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung karena tertanggunglah pihak yang berkepentingan.[36] Sebagai perjanjian timbal balik, asuransi bersifat konsensual, artinya sejak terjadi kesepakatan timbullah kewajiban tertanggung membayar premi telah dipenuhi, dengan kata lain risiko atas benda beralih kepada pihak lain sejak premi dibayar oleh tertanggung. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ada tidaknya asuransi ditentukan oleh pembayaran premi, premi merupakan kunci perjanjian asuransi.
Premi asuransi meruapakan syarat mutlak untuk menentukan perjanjian asuransi dilaksanakan atau tidak. Kriteria premi asuransi sebagai berikut:[37]
1.    Dalam bentuk sejumlah uang;
2.    Dibayar lebih dahulu dari pada tertanggung;
3.    Sebagai imbalan pengalihan risiko;
4.    Dihitung berdasarkan persentase terhadap nilai risiko yang dialihkan.
Besarnya premi yang barus dibayar oleh tertanggung ditentukan dengan suatu persentase dari jumlah yang dipertanggungkan berdasarkan penilaian risiko yang dipikul oleh penanggung. Dalam prakteknya penetapan besarnya jumlah premi itu diperjanjikan oleh pihak-pihak secara layak dan dicantumkan di dalam polis, besarnya premi itu diperhitungkan sedemikian rupa sehingga dengan penerimaan premi dari beberapa tertanggung penanggung mempunyai kemampuan membayar ganti kerugian kepada tertanggung yang terkena peristiwa yang menimbulkan kerugian.[38]
Untuk mencegah pembatalan asuransi karena premi asuransi tidak dibayar biasanya pihak-pihak mencantumkan klausula dalam polis yang menyatakan “premi harus dibayar dimuka (pada waktu yang telah ditentukan)”. Jika premi tidak dibayar pada waktu yang telah ditentukan, asuransi tidak berjalan. Jika terjadi peristiwa yang menyebabkan kerugian, penanggung tidak berkewajiban membayar klaim tertanggung.[39]
Menurut Pasal 1266 KUHPdt, jika premi tidak dibayar pada waktunya, maka penanggung dapat memutuskan perjanjian. Tetapi dalam praktek tidak perlu sejauh itu, sebab sudah menjadi kebiasaan orang menambah satu kalusul dalam polis, yang isinya “pertanggungan tidak berjalan bila premi tidak dibayar pada waktunya”.[40]
Premi ini biasanya dinyatakan dengan persentase dari jumlah pertanggungan, yang menggambarkan penilaian penanggungan terhadap risiko yang ditanggung. Biasanya premi itu dibayar dimuka secara tunai. Tetapi apabila asuransi itu akan berlaku lama, maka pembayaran premi itu dapat diperjanjikan secara angsuran.[41]

E.     Polis Dalam Asuransi Kebakaran
Menurut Pasal 255 KUHD, perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis.
Fungsi dari polis itu sendiri berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interprestasi, sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi. Dan polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi.
Macam-macam polis kebakaran dapat diuraikan sebagai berikut:[42]
1.      Polis Dasar Kebakaran
Polis dasar menjamin risiko-risiko pokok yang terdiri dari kebakaran, peledakan, sambaran petir, dan kejatuhan pesawat udara (lihat risiko yang ditanggung). Berdasarkan obyek pertanggungan, polis dipisah kedalam polis kebakaran industri dan polis kebakaran non-industri. Polis lainnya antara lain polis perhitungan kembali, polis mengambang, polis penilaian, polis tanpa penilaian dan polis pemulihan nilai. 
2.      Polis Kebakaran Industri
Polis ini menanggung kerugian/kerusakan yang diakibatkan oleh risiko-risiko pokok atas bangunan-bangunan industri, perlengkapan dan peralatan, bahan-bahan baku, bahan-bahan pembantu, dan sebagainya. Risiko-risiko yang ditanggung dalam Machinery Breakdown Insurance (asuransi atas kerugian/kerusakan mesin-mesin yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak terduga selama masa pertanggungan) adalah kerugian/kerusakan yang diakibatkan oleh:
a.    Benturan, kemasukan benda ke dalam mesin atau kejatuhan;
b.    Kurang hati-hati, kelalaian, tidak ada/kekurangan tenaga ahli;
c.    Arus pendek atau sebab-sebab sistem listrik;
d.    Peledakan fisik. Bedakan dengan peledakan dalam asuransi kebakaran;
e.    Perancangan yang salah atau kesalahan waktu memasang;
f.     Perbuatan jahat orang lain.
3.      Polis Kebakaran Non-Industri
Polis ini menanggung kerugian/kerusakan yang diakibatkan oleh risiko-risiko pokok atas berbagai kepentingan, yang terdiri dari harta tetap (harta yang tidak bisa dipindah-pindahkan) dan harta bergerak (harta yang bisa dipindah-pindahkan).
4.      Polis Perhitungan Kembali
Polis ini merupakan polis deklarasi, yang digunakan untuk menanggung risiko-risiko dalam perkebunan, pabrik gula, gudang umum dan gudang swasta, toko, shopping centre, dsb, dimana nilai obyek pertanggungan selalu berubah-ubah nilainya, yang berarti pula berubah-ubah risiko yang ditanggung. Menurut ketentuan polis ini, premi dibayar lebih dulu sebagai uang muka, biasanya 75 % dari premi satu tahun yang diperkirakan. Kemudian setiap bulan tertanggung memberitahukan secara tertulis kepada penanggung atas besarnya risiko yang ditanggung selambat-lambatnya 30 hari setelah berakhir bulan yang bersangkutan. Berdasarkan deklarasi, premi yang sebenarnya dihitung setiap bulan. Setelah satu tahun berlalu, jumlah premi yang sebenarnya diperhitungkan kepada uang muka premi, yang bila lebih akan dikembalikan.
5.      Polis Mengambang
Polis yang menutup suatu jumlah pertanggungan dari obyek pertanggungan yang berada di dalam lebih dari satu bangunan, misalnya barang-barang yang ditanggung berada di dalam lebih dari satu gudang yang berda di dalam satu kota.
Polis mengambang biasanya tidak digunakan untuk menanggung risiko yang tersebar atau berada di dalam lebih dari satu kota. Namun asalkan dibayar premi tambahan, dapat digunakan untuk menanggung risiko yang tersebar.
6.      Polis Penilaian
Polis penilaian merupakan polis yang harga pertanggungannya ditentukan berdasarkan penilaian yang disetujui oleh penanggung dan tertanggung, yang dinilai dengan berpedoman kepada harga jual atau harga pasar obyek pertanggungan itu.
7.      Polis Tanpa Penilaian
Polis tanpa penilaian adalah polis yang harga pertanggungannya ditentukan berdasarkan harga pembelian atau biaya pembangunan dikurangi dengan penyusutan yang wajar.
8.      Polis Pemulihan Nilai
Polis ini menanggung gedung atau bangunan bersama isinya. Yang dimaksud dengan isinya adalah perlengkapan dan peralatan gedung atau bangunannya itu.
9.      Isi Polis Menurut Ketentuan Pasal 256 KUHD
Dalam setiap polis, kecuali pertanggungan jiwa, harus memuat hal-hal berikut:[43]
a.     Hari dibuatnya Perjanjian Pertanggungan
Yaitu untuk menentukan pertanggungan yang terjadi lebih dulu dalam hal ada lebih dari satu pertanggungan (pertanggungan rangkap), seperti yang diatur dalam Pasal 277, 278, 279 KUHD. Hal ini penting jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, yaitu penanggung mana yang berkewajiban membayar ganti kerugian.
b.     Nama Orang yang Mengadakan Pertanggungan Untuk Diri Sendiri atau Untuk Orang Ketiga
Hal ini mempunyai arti penting sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 264 dan 267 KUHD. Jika pertanggungan diadakan untuk dirinya sendiri, harus dinyatakan di dalam polis, demikian juga jika untuk kepentingan pihak ketiga, harus dinyatakan di dalam polis. Apabila tidak disebutkan, pertanggungan dianggap untuk diri sendiri. Jika tidak berkepentingan, pertanggungan tidak mempunyai kekuatan, penanggung tidak berkewajiban membayar ganti kerugian (Pasal 250 KUHD).
c.      Uraian Mengenai Benda Pertanggugan
Dalam hal ini harus dijelaskan bahwa yang dipertanggungkan itu benda apa, jumlahnya berapa, ukurannya, bagaimana, sifat letak dan keadaanya bagaimana, pokoknya uraian yang sedemikian rupa sehingga kekeliriuan atau salah pengertian dapat dihindarkan.
d.     Jumlah yang Dipertanggungkan
Jumlah yang dipertanggungakan menunjuk kepada sejumlah uang tertentu. Dalam perhitungan jumlah uang tersebut, erat sekali dengan nilai benda sesungguhnya dalam tiap-tiap pertanggungan. Dari jumlah pertanggungan itu dapat diketahui apakah pertanggungan itu dibawah nilai benda sesungguhnya. Jumlah pertanggungan merupakan jumlah maksimum ganti kerugian yang harus dibayar penanggung apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian.
e.     Bahaya-Bahaya yang Ditanggung
Bahaya-bahaya atau peristiwa-peristiwa yang menjadi tanggungan penanggung harus disebutkan dengan suatu klausula, harus tegas dengan klausula apa, sehingga jelas sampai dimana batas-batas tanggung jawab terhadap bahaya atau peristiwa yang telah dinyatakan dalam Polis.
f.       Saat Bahaya Mulai Berjalan dan Berakhir
Jangka waktu ini dapat berupa dari waktu dan jam tertentu sampai pada waktu jam tertentu pula. Atau dapat juga ditentukan dari tempat ketempat. Yang demikian ini penting sekali untuk mengetahui apakah peristiwa yang terjadi itu masih dalam tanggungan penanggung atau tidak.
g.     Premi Pertanggungan
Berapa premi yang harus dibayar oleh tertanggung. Biasanya ditentukan dengan suatu persentase dari jumlah yang dipertanggungakan, dan ditambah juga dengan biaya-biaya lainnya. Demikian juga cara pembayarannya, biasanya dibayar lebih dulu, dengan cara cicilan atau sekaligus.
h.     Pada umumnya semua keadaan yang penting untuk diketahui penanggung, dan segala syarat yang diperjanjikan.
Termasuk dalam ketentuan ini misalnya tentang benda pertanggungan apakah ada dibebani hipotik, gadai, sehingga apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, penanggung bisa berhadapan dengan siapa, pemilik atau pemegang hipotik atau gadai. Demikian juga dengan syarat-syarat tertentu, misalnya tentang premi dibayar lunas, pertanggungan berjalan. Apabila premi tidak dilunasi (tidak dibayar), pertanggungan berhenti, dan lain-lain lagi.
Isi polis yang terdapat di dalam Pasal 256 KUHD ini, merupakan isi polis yang sifatnya umum untuk semua jenis asuransi kerugian, sedangkan isi polis khusus untuk asuransi kebakaran terdapat dalam Pasal 287 KUHD, yaitu:
Selainnya syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 256 KUHD, maka suatu polis kebakaran harus menyebutkan:
a.      Letaknya barang-barang tetap yang dipertanggungkan beserta batas-batasnya;
b.      Pemakaiannya;
c.      Sifat dan pemakaiaan gedung-gedung yang berbatasan, sekedar itu ada pengaruhnya terhadap pertanggungan yang bersangkutan;
d.      Harga dari pada barang-barang yang dipertanggungkan;
e.      Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat di mana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada, disimpan atau ditumpuk.

F.    Isi Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia
      Isi Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia selain memuat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 256 dan 287 KUHD tentang isi polis, juga secara khusus memuat:
1.    Bab I, tentang risiko yang dijamin, meliputi:
a.    Kebakaran;
b.    Petir;
c.    Ledakan;
d.    Kejatuhan pesawat terbang;
e.    Asap.
2.    Bab II, tentang pengecualian, meliputi:
a.    Risiko yang dikecualikan;
b.    Harta benda dan kepentingan yang dikecualikan.
3.    Bab III, tentang definisi, meliputi:
Definisi mengenai kerusuhan, pemogokan, penghalangan bekerja, perbuatan jahat, pencegahan, huru-hara, pembangkitan rakyat, pengambilalihan kekuasaan, revolusi, pemberontakan, kekuatan militer, invasi, perang saudara, perang dan permusuhan, makar, terorisme, sabotase dan penjarahan.
4.    Bab IV, tentang syarat umum, memuat 25 Pasal yang berisi mengenai:
a.    Kewajiban untuk mengungkapkan fakta (Pasal 1);
b.    Pembayaran premi (Pasal 2);
c.    Perubahan risiko (Pasal 3);
d.    Pindah tempat dan pindah tangan (Pasal 4);
e.    Kewajiban tertanggung dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan (Pasal 5);
f.     Sisa barang (Pasal 6);
g.    Tuntutan ganti rugi (Pasal 7);
h.    Laporan tidak benar (Pasal 8);
i.      Kerugian atas barang yang dapat dipindahkan (Pasal 9);
j.      Penentuan harga dalam hal kerugian (Pasal 10);
k.    Cara penyelesaian dan penetapan ganti rugi (Pasal 11);
l.      Pertanggungan di bawah harga (Pasal 12);
m.  Biaya yang diganti (Pasal 13);
n.    Pertanggungan lain (Pasal 14);
o.    Ganti rugi pertanggugan rangkap (Pasal 15);
p.    Subrogasi (Pasal 16);
q.    Risiko sendiri (Pasal 17);
r.     Pembayaran ganti rugi (Pasal 18);
s.    Pemulihan harga pertanggungan (Pasal 19);
t.     Hilangnya hak ganti rugi (Pasal 20);
u.    Mata uang (Pasal 21);
v.    Penghentian pertanggungan (Pasal 22);
w.   Pengembalian premi (Pasal 23);
x.    Perselisihan (Pasal 24);
y.    Penutup (Pasal 25).

G.    Jenis-Jenis Asuransi Kebakaran
Berdasarkan benda pertanggungan, asuransi kebakaran itu dapat dibedakan dalam beberapa jenis:[44]
1.    Asuransi kebakaran mengenai gedung-gedung dengan isinya yang meliputi mulai dari rumah tinggal yang kecil sampai bangunan-bangunan pabrik yang besar:
a.    Asuransi pembangunan kembali gedung dengan isinya (reinstatements insurance);
b.    Asuransi kebakaran dengan polis deklarasi, jenis asuransi ini hanya digunakan untuk menimbulkan stok (barang-barang persediaan). Premi yang dibayar dimuka adalah 75%, pernyataan penutupan asuransi dilakukan setiap permulaan masa pertanggungan, misalnya: tiap bulan atau pada tanggal tertentu;
c.    Asuransi kebakaran dengan polis keseluruhan (blanket polices), dalam asuransi jenis ini, yang mengenai satu kompleks gedung-gedung tidak diperinci jumlah pertanggungan setiap gedung, tetapi hanya terjadi atas satu jumlah uang untuk semua isi gedung;
d.    Asuransi kebakaran mengenai gedung dalam pembangunan, asuransi jenis ini dikenal sebagai insurance of contract works atau contractors all risks;
e.    Asuransi uang sewa, asuransi uang sewa ini menjamin pemilik rumah terhadap wanprestasi si penyewa yang lalai membayar uang sewa rumah/gedung.
2.    Asuransi Terhadap Bahaya Tambahan (Aditional Perils Insurance)
Jaminan asuransi kebakaran dapat diperluas dengan jaminan terhadap risiko-risiko peledakan, pemanasan atau fermentasi, kerusuhan, pemogokan, banjir, angin puyuh, dan sebagainya.
3.    Pertanggungan Perkakas Rumah Tangga
Asuransi perkakas rumah tangga ini menjamin terhadap kebakaran, pencurian dan tanggung gugat berdasarkan hukum.
4.    Asuransi Kebocoran Pada Alat Pemadam Kebakaran (Sprinkles Lekage Insurance)
Pertanggungan ini menjamin kerusakan barang-barang akibat kebocoran pada alat pemadam kebakaran yang disebut spinkler.
5.    Asuransi Kerugian Akibat Kebakaran (Consequential Loss Insurance)
Asuransi kerugian akibat kebakaran ini menjamin kerugian akibat berhentinya perusahaan karena kebakaran. Yang dijamin antara lain, kehilangan keuntungan, biaya-biaya untuk menyelamatkan perusahaan, pada waktu kebakaran dan lain-lainnya.
     Dari berbagai jenis asuransi kebakaran tersebut, maka skripsi ini membahas jenis asuransi kebakaran nomor 1 butir a mengenai asuransi kebakaran gedung-gedung dengan isinya yang meliputi mulai dari rumah tinggal yang kecil sampai bangunan-bangunan parbik yang besar dengan pertanggungan pembangunan kembali gedung dengan isinya.

H.    Berakhirnya Asuransi Kebakaran
Perjanjian asuransi kebakaran berakhir karena hal yang berikut ini:
1.    Tenggang Waktu Berlakunya Telah Habis
Pertanggungan biasanya diadakan untuk suatu jangka waktu tertentu, misalnya satu bulan, tiga bulan, enam bulan, satu tahun atau untuk jangka waktu lebih lama. Jangka waktu ini ditentukan di dalam polis. KUHD tidak mengatur secara tegas tentang tenggang waktu pertanggungan.[45]
2.    Terjadinya Peristiwa yang Menimbulkan Kerugian
Di dalam polis disebutkan terhadap peristiwa atau bahaya apa pertanggungan itu diadakan. Apabila sementara pertanggungan berjalan menjadi peristiwa yang ditanggung itu dan menimbulkan kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah tertanggung betul-betul mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu. Disamping itu, apakah terjadinya peristiwa itu betul-betul karena bukan kesalahan tertanggung dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam polis. Apabila tertanggung memang mempunyai kepentingan atas benda pertanggungan dan terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu sesuai dengan ketentuan di dalam polis, dan bukan karena kesalahan tertanggung, maka pertanggungan berakhir dan diikuti dengan pemberesan pembayaran ganti kerugian berdasarkan tuntutan dari tertanggung. Pembayaran ganti kerugian diperhitungkan sedemikian rupa sesuai dengan isi perjanjian asuransi yang disebutkan di dalam polis dan sesuai asas perseimbangan. Apabila tertanggung tidak mempunyai kepentingan atas benda pertanggungan, atau terjadinya peristiwa karena kesalahan dari tertanggung sendiri, maka penanggung tidak mempunyai kewajiban membayar ganti kerugian (Pasal 250 dan Pasal 276 KUHD).[46]
3.    Asuransi Berhenti atau Dibatalkan
Asuransi dapat berakhir apabila asuransi itu berhenti. Berhentinya asuransi dapat terjadi karena kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, misalnya karena premi tidak dibayar dan ini biasanya diperjanjikan dalam polis. Berhentinya asuransi juga dapat terjadi karena faktor di luar kemauan tertanggung dan penanggung, misalnya risiko setelah asuransi berjalan (Pasal 293 dan Pasal 638 KUHD). Dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan, seandainya penanggung mengetahui hal yang demikian itu, dia tidak akan membuat asuransi dengan syarat-syarat dan janji-janji khusus demikian itu. Karena dirasakan kurang adil, maka undang-undang menentukan, jika terjadi pemberatan risiko, asuransi menjadi berhenti. Pengertian berhenti juga meliputi pengertian dibatalkan.[47]
4.    Terjadi Evenemen Diikuti Klaim
Dalam polis dinyatakan terhadap evenemen apa saja asuransi itu diadakan. Apabila sementara asuransi berjalan terjadi evenemen yang ditanggung dan menimbulkan kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah benar tertanggung mempunyai kepentingan atas benda yang diasuransikan. Disampiing itu, apakah evenemen yang terjadi itu benar bukan karena kesalahan tertanggung dan sesuai dengan evenemen yang telah ditetapkan dalam polis. Jika jawabannya benar, maka dilakukan pemberesan klaim tertanggung. Pembayaran ganti kerugian dipenuhi oleh penanggung ganti kerugian berdasarkan asas keseimbangan. Dengan demikian pemenuhan ganti kerugian berdasarkan klaim tertanggung, maka asuransi berakhir.[48]

I.       Pasal-Pasal Khusus tentang Asuransi Kebakaran Dalam KUHD
Pengaturan khusus asuransi kebakaran diatur dalam Pasal 287 – 298 KUHD, dibawah ini penulis menguraikan satu persatu isi dari pasal-pasal tersebut:
1.      Pasal 287 KUHD
      Mengatur mengenai isi polis, sebagaimana telah diuraikan pada halaman 33.
2.      Pasal 288 KUHD
Dalam halnya pertanggungan milik-milik bangunan harus diperjanjikan, bahwa kerugian yang menimpa persil yang bersangkutan itu akan diganti, atau bahwa persil yang bersangkutan akan dibangun kembali maupun diperbaiki hingga paling banyak seharga jumlah uang yang dipertanggungkan.
       Dalam hal yang pertama kerugian itu akan dihitung dengan membandingkan harga persil sebelum terjadinya malapetaka dengan harga daripada sisa-sisa seketika sesudah terjadinya kebakaran, dan kerugian itu akan dibayar dengan uang tunai.
Dalam hal kedua, maka wajiblah si tertanggung membangun kembali atau memperbaiki persilnya. Si penanggung berhak mengawasi supaya uang yang dibayarnya itu, di dalam suatu waktu yang, jika perlu akan ditetapkan oleh Hakim, sungguh-sungguh dipergunakan untuk keperluan itu; dan bahkan dapatlah hakim, atas tuntutan si penanggung apabila ada alasan untuk itu, memerintahkan kepada si tertanggung untuk memberikan jaminan secukupnya.
3.      Pasal 289 KUHD
Suatu pertanggungan dapat diadakan untuk harga penuh dari barang-barang yang dipertanggungkan.
Apabila diperjanjikan pembangunan kembali maka oleh si tertanggung diperjanjikan bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk membangun kembali barang yang dipertanggungkan harus diganti oleh si penanggung.
Dalam hal diadakannya janji itu maka pertanggungan tidak boleh melebihi tiga perempat dari biaya-biaya tersebut.
4.      Pasal 290 KUHD
Atas tanggungan si penanggung adalah segala kerugian dan kerusakan yang menimpa benda yang dipertanggungkan karena kebakaran, yang disebabkan karena pertir atau lain kecelakaan, api sendiri, kurang hati-hati, kesalahan atau itikad jahat dari pelayan-pelayan sendiri, tetangga, musuh, perampok dan lain dengan nama apa saja, dengan cara bagaimanapun kebakaran itu terjadi, disengaja atau tidak, biasa atau luar biasa, dengan tiada kecualinya.
5.      Pasal 291 KUHD
Dengan kerugian yang disebabkan karena kebakaran dipersamakan segala kerugian yang dianggap sebagai akibat suatu kebakaran, pun apabila kerugian itu terjadi dari suatu kebakaran digedung-gedung yang berdekatan, misalnya barang yang dipertanggungkan manjadi busuk atau berkurang karena air dan lain-lain alat yang dipakai guna membasahi kebakaran tersebut, ataupun barang itu hilang karena pencurian atau sesuatu sebab lain selama dilakukan pembasmian kebakaran atau penolongan; begitu pula kerugian yang disebabkan karena dirusaknya seluruhnya atau sebagian barang yang dipertanggungkan, atas perintah dari pihak atasan dengan maksud untk menghentikan kebakaran yang timbul itu.
6.      Pasal 292 KUHD
Dengan kerugian yang disebabkan karena kebakaran dipersamakan pula kerugian yang ditimbulkan karena peletusan mesiu, karena peledakan ketel uap, karena penyamberan petir atau lain sebagainya, biarpun peletusan, penyamberan atau peledakan tersebut tidak mengakibatkan kebakaran.
7.      Pasal 293 KUHD
Apabila sebuah gedung yang dipertanggungkan, diperuntukkan untuk suatu keperluan lain dan karena itu memikul bahaya kebakaran yang lebih besar, sehingga si penanggung, seandainya itu sudah terjadi sebelum diadakannya pertanggungan, tidak akan menanggung gedung tersebut ataupun tidak akan menanggungnya atas syarat-syarat yang sama, maka berhentilah kewajiban si penanggung tadi.
8.      Pasal 294 KUHD
Si penanggung dibebaskan dari kewajibannya untuk membayar kerugian, apabila ia membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan karena kesalahan atau kelalaian si tertanggung yang sangat melampaui batas.
9.      Pasal 295 KUHD
Dalam halnya pertanggungan atas barang-barang bergerak dan barang-barang dagangan yang disimpan dalam seluruh rumah, gedung atau lain tempat penyimpanan, maka, apabila alat-alat pembuktian yang disebutkan dalam pasal-pasal 273, 274 dan 275 tidak ada atau kurang sempurna, dapatlah Hakim memerintahkan sumpah kepada si tertanggung.
Kerugian harus dihitung menurut harga barang-barang yang dipertanggungkan pada saat terjadinya kebakaran.

10.   Pasal 296 KUHD
Apabila dalam polis telah diadakan ketetapan-ketetapan khusus tentang itu, maka istilah-istilah barang-barang bergerak, perkakas rumah, mebel atau perabot rumah-tangga dan perhiasan rumah tangga diartikan sedemikian sebagaimana perkataan-perkataan itu dijelaskan dalam bagian ke-empat BAB I buku kedua dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
11.   Pasal 297 KUHD
Apabila dalam suatu hipotik antara si berhutang dan si berpiutang telah diperjanjikan bahwa jika timbul suatu kerugian yang menimpa persil yang dipertanggungkan atau yang akan dipertanggungkan, uang-uang asuransi, sampai jumlah piutangnya ditambah dengan bunga yang terutang, akan menjadi gantinya hipotik tersebut, maka wajiblah si penanggung, kepada siapa janji tersebut telah diberitahukan, memperhitungkan ganti rugi yang harus dibayar itu dengan si berpiutang hipotik.
12.   Pasal 298 KUHD
Janji yang disebutkan dalam pasal yang lalu, tidak mempunyai akibat,  selainnya  apabila  dan  sekadar  piutang  hipotik tersebut sedianya akan ditetapkan bermanfaat, seandainya kerugian itu tidak telah timbul.

J.     Prinsip-Prinsip Asuransi
Berdasarkan pada definisi-definisi tentang asuransi, maka terdapat prinsip-prinsip pokok yang berlaku pada perjanjian asuransi, seperti:
1.    Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest)
Dalam perjanjian asuransi, kepentingan atas benda yang dipertanggungkan merupakan syarat yang harus ada pada pihak tertanggung. Berdasarkan prinsip ini, pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan barang yang akan diasuransikan. Dan agar kepentingan itu harus dapat dinilai dengan uang.[49] Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa, apabila seorang yang mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.[50] Dengan demikian berdasarkan Pasal 250 KUHD tersebut, kepentingan ini harus ada pada saat perjanjian asuransi diadakan. Pelanggaran pasal ini dapat menyebabkan penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi. Namun dalam prakteknya dewasa ini, ketentuan ini banyak dilanggar, karena berdasarkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat ternyata berpendapat lain.
2.    Prinsip Keseimbangan (Indemnity)
Perjanjian asuransi itu memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung, yang disebabkan oleh bahaya sebagaimana ditentukan di dalam polis. Berdasarkan nilai ganti rugi adalah sama dengan besarnya kerugian yang diderita oleh tertanggung, tidak lebih. Kecuali ditentukan lain di dalam undang-undang, maka suatu obyek yang telah dipertanggungkan secara penuh dalam jangka waktu yang sama, tidak dapat dipertanggungakan lagi. Bila hal ini dilakukan, maka perjanjian yang kedua itu terancam batal (Pasal 252 KUHD).[51] Isi Pasal 252 KUHD ini melarang pertanggungan atas benda yang sama dengan nilai penuh untuk kedua kalinya dalam waktu yang bersamaan dengan tujuan untuk mencegah adanya ganti rugi yang melebihi kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya. Tujuan adanya prinsip indemnitas ini pada pertanggungan ini adalah untuk mencegah   perbuatan   orang-orang   yang  mempertanggungkan harta bendanya hanya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.
3.    Prinsip Itikad Baik dan Kejujuran yang Sempurna (Utmost Good Faith)
Di dalam perjanjian asuransi, tertanggung diwajibkan untuk memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya, mengenai obyek atau barang yang dipertanggungkan secara benar. Keterangan yang tidak benar atau informasi yang tidak diberikan kepada penanggung walaupun dengan itikad baik sekalipun dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi, prinsip ini diatur di dalam Pasal 251 KUHD. Pasal 251 KUHD, berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada pihak tertanggung. Karena ketentuan tersebut mewajibkan tertanggung memberikan keterangan sedemikian rupa sehingga keterangan tersebut dapat diandalkan oleh penanggung untuk menutup asuransi. Pembentukan undang-undang membebani tertanggung dengan kewajiban memberikan keterangan tersebut, karena tertanggung dianggap sebagai orang yang paling tahu tentang risiko yang akan dipertanggungkannya. Oleh karena itu jika tertanggung tidak memberikan keterangan yang jujur, maka penanggung dapat membebaskan dirinya dari risiko yang secara tidak adil telah diperalihkan kepadanya.
4.    Prinsip Subrogasi
Prinsip ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari prinsip indemnity, yaitu yang hanya memberikan ganti rugi kepada tertanggung sebesar kerugian yang dideritanya. Apabila tertanggung setelah menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanmya, dan hak itu beralih kepada penanggung. Prinsip ini diatur secara tegas  dalam  Pasal  284  KUHD  yang  berbunyi:
seorang penanggung yang membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.[52] Dari Pasal 284 KUHD juga dapat disimpulkan bahwa untuk terjadinya subrogasi diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
a.    Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga;
b.    Adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Disamping itu, dapat juga disimpulkan bahwa subrogasi hanya berlaku jika penanggung telah membayar ganti rugi yang diwajibkan. Subrogasi terjadi secara otomatis atau dengan sendirinya karena undang-undang, penanggung yang telah membayar uang ganti rugi kepada tertanggung, berdasarkan undang-undang dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang sebenarnya dapat dituntut pertanggung jawabannya atas kerugian itu oleh tertanggung, dan tertanggung telah melepaskan tuntutan itu terhadap pihak tersebut, karena tertanggung sudah menuntut kepada penanggung. Subrogasi berlaku pada pertanggungan kerugian.
5.    Prinsip Sebab Langsung
Dalam prinsip ini risiko yang tercantum dalam polis itulah yang diganti kerugiannya, karena dalam polis telah tercantum hal-hal yang telah disepakati mengenai risiko-risiko apa saja yang dijamin, yang akan diganti kerugiannya oleh perusahaan asuransi ketika terjadi peristiwa yang menyebabkan kerugian, kecuali yang tercantum dalam Pasal 249[53] dan Pasal 276 KUHD,[54] serta risiko-risiko yang tidak dijamin dalam Polis.

K.    Perluasan Risiko Asuransi Kebakaran
Dalam praktek, risiko yang dapat ditutup dengan pertanggungan kebakaran mengalami perluasan, jika tidak hanya terbatas pada hal-hal yang disebutkan dalam KUHD saja. Dengan adanya perluasan risiko tersebut, maka terdapat jenis-jenis pertanggungan yang pada dasarnya dapat merupakan bagian dari pertanggungan kebakaran.
Adapun jenis-jenis perluasan risiko asuransi tersebut, antara lain:
1.    Pertanggungan Gangguan Usaha atau Hilangya Keuntungan.
Dalam polis standar kebakaran Indonesia, risiko yang dikecualikan dalam polis, dengan demikian asuransi kebakaran tidak secara otomatis menutup pertanggugan gangguan usaha.
2.    Pertanggungan Sewa Bangunan.
Untuk menyesuaikan dengan jenis-jenis kebutuhan dalam masyarakat, maka risiko yang dapat ditutup dengan asuransi gangguan perluasan dengan menutup asuransi sewa.
3.    Pertanggungan, banjir, angin topan, badai dan kerusakan akibat air.
Risiko banjir, angin topan, badai, dan kerusakan akibat air dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia termasuk kelompok risiko yang dikecualikan dari pertanggugnan. Untuk menutup risiko tersebut dalam polis asuransi kebakaran tersebut harus diletakkan lampiran khusus yang disebut endorsemen.
Dengan adanya endorsemen pada polis, jaminan penanggung selain terhadap risiko pokok polis menjamin juga risiko-risiko yang ditentukan dalam endorsemen banjir, angin topan, badai, dan keruskan akibat air. Penutupan asuransi terhadap pihak tertanggung untuk mengambil tindakan-tindakan selayaknya untuk memelihara gedung, atap, talang tangki-tangki air, dan peralatan air lainnya dengan ancaman batalnya asuransi terhadap risiko tersebut.
4.    Pertanggungan Gempa Bumi dan Letusan Gunung Merapi.
Risiko-risiko yang dikecualikan dari penutupan asuransi atas risiko gempa bumi dan letusan gunung merapi adalah:
a.    Kerugian yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh banjir atau badai, meskipun disebabkan oleh gempa bumi atau bahaya lain;
b.    Kerugian akibat reaksi nuklir atau radiasi nuklir, atau pencemaran radio aktif, meskipun dipengaruhi, diakibatkan atau diperbesar oleh adanya gempa bumi.
5.    Pertanggungan Biaya Pembersihan.
Asuransi terhadap biaya pembersihan, sebagaimana diatur dalam buku tarip pertanggungan kebakaran sifatnya sebagai pertanggungan tambahan. Dengan demikian klaim yang dibayar adalah tambahan dari klaim utamanya yaitu klaim pertanggungan kebakaran, tanpa dibatasi batas kumulatif sebesar harga pertanggungan.
Asuransi terhadap risiko banjir, gempa bumi, perbuatan jahat, pemogokan sebagaimana diuraikan diatas tersebut, menurut HMN Purwosujipto, SH digolongkan dalam jenis additional perils insurance atau asuransi terhadap bahaya tambahan.[55]

L.     Prosedur Mengajukan Ganti Rugi Asuransi Kebakaran[56]
Berdasarkan asas Indemnity, asuransi hanya dapat menempatkan kembali Tertanggung yang telah mengalami musibah kepada keadaan finansial sesaat sebelum terjadinya musibah tersebut. Jadi Tertanggung tidak dibenarkan mencari atau mendapat keuntungan dari klaim asuransi.
Adapun prosedurnya apabila terjadi kerugian, Tertanggung harus segera memberitahukan kepada pihak Penanggung tentang kejadian musibah yang dialami dan selanjutnya memberi keterangan tertulis tentang hal ihwal yang diketahui mengenai kejadian kerugian.
Dokumen yang harus dilakukan dan dilengkapi untuk pengajuan suatu tuntutan/klaim asuransi kebakaran antara lain:
1.      Pemberitahuan
Tertanggung harus segera melaporkan kejadian kepada Penanggung (pihak asuransi). Laporan pendahuluan ini bisa disampaikan secara lisan atau surat, teleks, faksimili, dan lain-lain.
2.      Laporan Kerugian
Selanjutnya tertanggung harus mengisi laporan/keterangan tertulis yang memuat hal-ikhwal yang  diketahuinya mengenai kerugian/kerusakan yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut, dan blanko tersebut disiapkan oleh Penanggung (Perusahaan Asuransi).
a.    Tempat, tanggal, dan waktu terjadinya kebakaran/kerusakan;
b.    Sebab-sebab kebakaran/kerusakan;
c.    Besarnya kerugian menurut taksiran tertanggung yang dilengkapi dengan segala sesuatu yang terbakar, musnah, hilang, rusak dan terselamatkan;

d.    Informasi lainnya yang menurut tertanggung perlu disampaikan kepada pihak asuransi.
3.      Dokumen Pendukung Klaim
Tertanggung harus menyerahkan dokumen pendukung klaim kepada penanggung, misalnya buku-buku catatan, foto-foto kerugian, surat keterangan dari kepolisian, laporan dari BMG, dan sebagainya.
4.      Penelitian Polis
Setelah menerima pemberitahuan adanya kerugian, penanggung akan melakukan penelitian mengenai keabsahan (validitas) polis, yaitu:
a.    Apakah tertanggung memiliki kepentingan atas obyek yang mengalami kebakaran/kerusakan;
b.    Apakah kebakaran/kerusakan terjadi dalam masa waktu pertanggungan;
c.    Apakah premi telah dilunasi/dibayar.
5.      Penelitian Klaim
Apabila validitas polis telah terkonfirmasi, selanjutnya penanggung akan melakukan pemeriksaan/penelitian di lapangan untuk mengetahui:
a.   Penyebab terjadinya kebakaran/kerusakan;
b.    Tempat terjadinya kebakaran/kerusakan;
c.    Jumlah kerugian yang dialami (taksiran);
d.    Jumlah harga sisa dari bangunan/barang/mesin yang tidak terbakar/rusak (taksiran);
e.    Jika tertanggung kebetulan berada di tempat pada saat terjadinya peristiwa, maka tertanggung wajib menyelamatkan dan menjaga harta benda yang dipertanggungkan dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, serta mengijinkan orang

lain menyelamatkan dan menjaga harta benda dan atau kepentingan tersebut;
f.     Memberikan bantuan sepenuhnya kepada pihak asuransi atau wakilnya atau pihak lain yang ditunjuknya untuk melakukan penelitian atas kerugian dan kerusakan yang terjadi;
g.    Menjaga keselamatan harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang masih bernilai.
6.      Penunjukan Loss   Adjuster
Dari hasil survei akan diketahui apakah klaim merupakan kasus sederhana atau rumit. Bila sederhana, maka klaim akan ditangani sendiri oleh perusahaan, tetapi jika rumit atau jumlahnya cukup besar atau penanganan klaim akan memakan waktu lama, maka claim assessment diserahkan kepada Loss Adjuster yang ditunjuk oleh penanggung dengan pemberitahuan kepada tertanggung. Baik untuk kasus klaim yang ditangani sendiri maupun oleh Loss Adjuster, tertanggung harus tetap menyediakan dokumen-dokumen pendukung klaim. Tahap selanjutnya adalah penanggung mempelajari laporan dari Loss Adjuster.
7.      Penyampaian
Dari proses penanganan klaim baik oleh penanggung sendiri maupun oleh Loss Adjuster, akan diketahui validitas klaim. Dalam hal klaim dianggap valid, penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung jumlah ganti rugi yang dibayar atau yang menjadi tanggung jawab penanggung. Tetapi bila klaim dinyatakan invalid, maka penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung bahwa klaim ditolak disertai alasannya. Jika jumlah ganti rugi yang dibayarkan tidak disepakati oleh tertanggung, maka tertanggung berhak menunjuk Loss Accessor untuk menilai ulang kerugian tersebut.

8.      Penyelesaian
Setelah dicapai kesepakatan mengenai jumlah ganti rugi, pihak penanggung akan mempersiapkan pembayaran klaim. Penanggung akan melaksanakan pembayaran ganti rugi selambat-lambatnya sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan.











BAB III
URAIAN KASUS DAN ISI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1455 K/Pdt/2007

Dalam Bab ini, penulis menguraikan kasus mengenai pengajuan klaim asuransi kebakaran oleh PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata di luar masa pertanggungan dan isi putusan Mahkamah Agung Nomor. 1455/K/Pdt/2007.
A.    Uraian Kasus
Pada kasus ini PT. Wirya Perca mengajukan klaim asuransi kebakaran kepada PT. Asuransi Wahana Tata. Dimana PT. Wirya Perca telah mengikatkan pertanggungan asuransi kebakaran dan perluasan jaminan kepada PT. Asuransi Wahana Tata yang berlaku terhitung sejak bulan Desember 1998 s/d bulan Desember 1999 untuk Polis Asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 21.228.608.665,00 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah) dan Polis Asuransi Stok Barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) yang berlaku terhitung sejak bulan Januari 1999 s/d bulan Januari 2000 dengan nilai pertanggungannya sebesar Rp. 1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta rupiah). Bahwa setelah pertanggungan asuransi tersebut berakhir masa berlakunya, PT. Wirya Perca dan PT. Asuransi Wahana Tata telah memperpanjang kembali kedua Polis asuransi tersebut, yaitu untuk Polis Asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 21.228.608.665,00 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah) yang diperpanjang masa berlakunya terhitung sejak tanggal 30 Desember 1999 s/d 30 Desember 2000 dan Polis Asuransi Stok Barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) dengan nilai pertanggungannya sebesar Rp. 1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta rupiah) diperpanjang masa berlakunya terhitung sejak tanggal 13 Januari 2000 s/d 13 Januari 2001. Dimana dalam kasus ini evenemen terjadi pada tanggal 11, 24, 26 Desember 2000, dan klaim asuransi baru diajukan oleh Direksi PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata pada tanggal 19 Februari 2001, artinya klaim asuransi tersebut diajukan oleh PT. Wirya Perca di luar dari masa pertanggungan dan diluar dari jangka waktu yang ditetapkan di dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia. Untuk polis asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya diajukan setelah lewat 51 (lima puluh satu) hari dari masa pertanggungannya dan untuk polis asuransi stok barang berupa stok Minyak Kelapa Sawit (CPO) diajukan setelah lewat 37 (tiga puluh tujuh) hari dari masa pertanggungannya. Klaim yang diajukan oleh PT. Wirya Perca tersebut ditolak oleh PT. Asuransi Wahana Tata, dan akhirnya PT. Wirya Perca mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan, dan berlanjut sampai ke Mahkamah Agung.

B.    Isi Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K/Pdt/2007
1.      Para Pihak
PT. WIRYA PERCA berkedudukan di Jl. May. Jend. D.I. Panjaitan No.14 dalam hal ini memberi kuasa kepada Eddy Anwar Nasution, SH, Advokat, berkantor di Jl. Sei Lepan No.13 Medan, selanjutnya disebut “Pemohon Kasasi dahulu Penggugat /Pembanding”.
PT. ASURANSI WAHANA TATA berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di Medan, di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 3 F-G, selanjutnya disebut “Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding”.

2.      Duduk Perkara
PT. WIRYA PERCA (Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat) telah menggugat PT. ASURANSI WAHANA TATA (sekarang Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat) di muka persidangan Pengadilan Negeri Medan pada pokoknya atas dalil-dalil:
Pada tahun 1998, Penggugat telah mengikat pertanggungan Asuransi Kebakaran dan Perluasan Jaminan dengan Tergugat, dan adapun yang dipertanggungkan dalam pertanggungan ini adalah:
a.     Bangunan Pabrik Kelapa sawit (PKS), mesin-mesinnya dan segala perlengkapan penunjangnya, setempat terletak di desa Angkob, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 21.228.608.665.00 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah);
b.     Stok barang berupa minyak kelapa Sawit (CPO) yang terdapat dalam kompleks Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tersebut, yaitu dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 1.100.000.000.00 (Satu miliar seratus juta rupiah).
Adapun perluasan jaminan berdasarkan klausula yang terdapat pada kode 4.1.A, yang menyatakan bahwa pertanggungan ini diperluas terhadap:
a.  Kerusakan pada harta benda dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh:
1)    Kerusuhan;
2)    Pemogokan;
3)    Penghalangan kerja;
4)    Perbuatan jahat;
5)    Pencegahan sehubungan dengan risiko-risiko angka           1 s/d 5.
b.    Penjarahan yang terjadi selama kerusuhan.
Adapun masa berlaku pertanggungan asuransi tersebut adalah terhitung sejak Bulan Desember 1998 s/d Bulan Desember 1999 untuk Polis Asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya, dan Bulan Januari 1999 s/d Januari 2000 untuk pertanggungan Polis Asuransi Stok Minyak Kelapa Sawit (CPO).
Setelah pertanggungan asuransi tersebut berakhir masa berlakunya, Penggugat selaku pihak tertanggung dengan Tergugat selaku pihak penanggung telah memperpanjang kembali kedua Polis Asuransi tersebut yaitu berdasarkan:
a.     Polis Asuransi No. 02-19-06007129 tertanggal 29 Desember 1999 yang berlaku sejak tanggal 30 Desember 1999 s/d 30 Desember 2000 dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 21.228.608.665 (dua puluh satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah), yaitu berupa Polis Asuransi Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta perlengkapan penunjangnya;
b.     Polis Asuransi No. 02-20-06000110 tertanggal 17 Januari 2000 yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Januari 2000 s/d 13 Januari 2001 dengan nilai pertanggungan sebesar Rp. 1.100.000.000.00 (satu miliar seratus juta rupiah), yaitu polis asuransi stok barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO).
Pada tanggal 11, 24 dan 26 Desember 2000, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) beserta mesin-mesin serta perlengkapan penunjangnya maupun Stok Minyak Kelapa Sawit (CPO) yang dipertanggungkan (diasuransikan) oleh Penggugat kepada Tergugat tersebut, telah dijarah (dicuri) serta dibakar oleh Orang Tak Dikenal (OTK), yaitu dengan menggunakan senjata api laras panjang, berpakaian hitam dan memakai topeng, dan selain melakukan penjarahan serta pembakaran atas objek yang dipertanggungkan tersebut, Orang Tak Dikenal (OTK) tersebut juga menyandera dan mengancam para petugas Satuan Pengamanan (satpam) pabrik kelapa sawit milik Penggugat tersebut. Sebagai akibat dari peristiwa tersebut diatas bangunan pabrik, mesin-mesin serta perlengkapan penunjangnya dan juga stok minyak kelapa sawit tersebut menjadi musnah terbakar seluruhnya (total loose) dan sementara 3 (tiga) orang karyawan bagian pabrik meninggal dunia serta 2 (dua) orang karyawan lainnya disandera oleh orang-orang tak dikenal (OTK) tersebut.
Adapun jumlah kerugian yang diderita Penggugat tersebut seluruhnya berjumlah Rp.40.000.000.000.00 (empat puluh miliar rupiah). Berhubung karena situasi yang terjadi pada waktu itu sangat sulit, sehingga Direksi Penggugat demi rasa kemanusiaan yang tinggi lebih memfokuskan diri kepada mengurus kepentingan atas musibah yang menimpa 3 (tiga) orang karyawan yang meninggal dunia serta menyelesaikan pengurusan 2 (dua) orang karyawan yang disandera tersebut, sehingga klaim asuransi kepada Tergugat baru dapat diajukan pada tanggal 19 Februari 2001.
Terhadap klaim asuransi yang yang diajukan oleh Penggugat tersebut, Tergugat telah melakukan penolakan, yaitu dengan alasan-alasan:
a.     Penggugat terlambat mengajukan klaim asuransi, karena berdasarkan ketentuan Polis Asuransi, klaim harus diajukan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak terjadinya peristiwa yang menimpa objek asuransi;
b.     Polis-polis atas nama Penggugat tersebut telah jatuh tempo pada tanggal 30 Desember 2000 dan tanggal 13 Januari 2001, sudah tidak diperpanjang lagi.
Adapun alasan-alasan yang disampaikan oleh Tergugat tersebut, menurut hemat dari pihak Penggugat hanyalah merupakan alasan-alasan yang sengaja dicari-cari demi untuk membebaskan/mengelakkan diri dari kewajibannya membayar Uang Pertanggungan Asuransi sejumlah seluruhnya sebesar Rp. 22.328.608.665,00,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah) kepada Penggugat.
Berdasarkan bukti, fakta maupun kenyataannya, peristiwa penjarahan dan pembakaran atas objek pertanggungan tersebut terjadi masih dalam tenggang waktu berlakunya Polis Asuransi yaitu pada tanggal 11, 24 dan 26 Desember 2000 dan keterlambatan penyampaian laporan klaim asuransi bukanlah semata-mata atas kesalahan maupun kelalaian Penggugat, akan tetapi hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena adanya hal-hal yang paling urgent (penting) untuk lebih diutamakan, yaitu menyangkut nyawa manusia serta kewajiban hukum yang dibebankan negara, seperti mengajukan laporan atas terjadinya peristiwa tersebut kepada pihak kepolisian, dan sama-sama diketahui bahwa proses penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian memakan waktu yang cukup lama, sedangkan hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut adalah merupakan dasar hukum bagi pengajuan klaim asuransi.
Adapun peristiwa yang terjadi atas objek pertanggungan tersebut, telah cukup terbukti berdasarkan Surat Keterangan No.Pol.SKET/ 18/IX/2001 tertanggal 29 September 2001 yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nanggroe Aceh Darussalam tentang pencurian dengan kekerasan dan pembakaran di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik PT. WIRYA PERCA (Penggugat) di Desa Bukit Angkob, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.
Selanjutnya alasan-alasan penolakan klaim asuransi yang dikemukakan oleh Tergugat yaitu: Polis Asuransi Penggugat yang telah jatuh tempo pada tanggal 30 Desember 2000 dan tanggal 13 Januari 2001 sudah tidak diperpanjang lagi, jelas merupakan alasan yang tidak logis, karena tidak mungkin polis asuransi tersebut diperpanjang sementara objek pertanggungan itu sendiri telah musnah seluruhnya (total lose). Oleh karena Tergugat selaku penanggung tidak bersedia melaksanakan kewajibannya membayar klaim asuransi, maka perbuatan Tergugat tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan wanprestasi. Sebagai akibat perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat tersebut, Penggugat telah menderita kerugian materi sejumlah Rp. 22.328.608.665,00,- (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah), dimana kerugian yang diderita Penggugat tersebut wajib ditanggung dan dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat dengan tunai dan sekaligus.
Terhadap gugatan yang diajukan Penggugat tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
a.     Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena tenggang waktu untuk mengajukan klaim telah melampui ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 Polis Asuransi terperkara:
Dari uraian-uraian posita gugatan Penggugat, bertanggal 21 September 2004, halaman 2 angka 4 jo angka 7, Penggugat mengemukakan bahwa pada tanggal 11, 24 dan 26 Desember 2000 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) beserta mesin-mesin serta penunjang maupun stok Minyak Kelapa Sawit (CPO) yang dipertanggungkan kepada Tergugat telah dijarah (dicuri) serta dibakar oleh orang-orang tidak dikenal, tetapi klaim asuransi baru dapat diajukan kepada Tergugat, pada tanggal 19 Februari 2001 dengan alasan terjadi musibah yang menimpa karyawan Penggugat. Dari pengakuan Penggugat sebagaimana diuraikan surat gugatan Penggugat, bertanggal 21 September 2004, halaman 2 angka 4 jo angka 7 menunjukkan suatu fakta hukum bahwa klaim asuransi baru diajukan Penggugat kepada Tergugat lebih kurang 2 (dua) bulan setelah kejadian.
Dalam Pasal 5 Polis Asuransi terperkara telah ditentukan secara tegas tentang kewajiban tertanggung dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan:
1)     Tertanggung sesudah mengetahui atau pada waktu ia dianggap seharusnya sudah mengetahui adanya kerugian, atas kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan dalam polis ini harus:
b)    Segera memberitahukan hal itu kepada Penanggung;
c)    Dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender memberikan keterangan tertulis yang memuat hal ikhwal diketahuinya tentang kerugian atau kerusakan itu dan jika keadaan memungkinkan, hendaknya surat keterangan itu disertai dengan pemberitahuan tentang segala sesuatu yang terbakar, musnah, hilang, rusak dan terselamatkan serta tentang sebab kerugian atau kerusakan sepanjang yang diketahuinya atau menurut dugaannya;
2)     Pada waktu terjadi kerugian atau kerusakan, tertanggung wajib:
a)     Sedapat mungkin menyelamatkan dan menjaga harta benda atau kepentingan yang dipertanggungkan serta mengijinkan orang lain menyelamatkan dan menjaga harta benda dan atau kepentingan tersebut;
b)     Memberikan bantuan untuk melakukan penelitian atas kerugian atau pihak lain yang ditunjuknya untuk melakukan penelitian atas kerugian atau kerusakan yang terjadi;
c)      Menjaga keselamatan harta benda dan atau kepentingan yang dipertangggungkan yang masih bernilai;
Segala hak atas ganti rugi menjadi hilang apabila ketentuan dalam pasal ini tidak dipenuhi oleh Tertanggung.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam polis asuransi terperkara telah disepakati/disetujui oleh Penggugat sebagai tertanggung dan Tergugat sebagai penanggung, dengan demikian secara hukum ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 tersebut, mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang dan harus dilaksanakan sebagaimana mestinya (vide pasal 1338 KUHPerdata jo putusan Mahkamah Agung R.I. bertanggal 26 Februari 1973 Nomor 791 K/Sip/1972).
Ternyata Penggugat tidak melaksanakan atau memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 dari Polis Asuransi terperkara, oleh karena itu hak untuk menuntut ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 5 dimaksud hilang atau gugur dengan sendirinya. Dari fakta-fakta hukum tersebut di atas, jelas menunjukkan bahwa klaim asuransi polis terperkara diajukan Penggugat setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari kalender dari kejadian, setidak-tidaknya Penggugat tidak melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 dari Polis Asuransi terperkara, oleh sebab itu gugatan Penggugat dalam perkara ini harus dinyatakan tidak dapat diterima. Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Medan telah mengambil putusan, yaitu putusan No.382/Pdt.G/2004/PN.Mdn tanggal 16 November 2005 yang amarnya sebagai berikut:
I.   Dalam Eksepsi:
1.   Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.
II. Dalam Pokok Perkara:
1.   Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.   Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp.234.000,00 (dua ratus tiga puluh empat ribu rupiah);
Menimbang dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan No. 131/Pdt/2006/PT.MDN tanggal 6 Oktober 2006.
Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat/Pembanding pada tanggal 6 Maret 2007 kemudian oleh Penggugat/Pembanding dengan perantara kuasanya, mengajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 7 Maret 2007. Bahwa setelah itu oleh Tergugat/Terbanding pada tanggal 12 April 2007, telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat/Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 17 Maret 2007. Permohonan kasasi aquo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima.
Adapun alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya adalah, bahwa Yudex Factie telah salah menterapkan hukum tentang peristiwa yang menimpa objek pertanggungan. Di dalam pertimbangan hukum Putusannya Yudex Factie tidak secara jelas menguraikan tentang peristiwa kebakaran yang menimpa Objek Pertanggungan yaitu Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS) milik Tertanggung (Ic. Pemohon Kasasi), sedangkan masalah kebakaran adalah permasalahan utama dalam pengikatan pertanggungan asuransi antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi, sedangkan yang menjadi pokok permasalahan yang dipertimbangkan Yudex Factie dalam pertimbangan hukum putusannya, hanyalah mengenai penjarahan atau pencurian atas objek pertanggungan yaitu mengenai perluasan jaminan endorsement kode 4.1.A-01/12/1998 yang juga merupakan bagian dari polis asuransi kebakaran.
Berdasarkan bukti, fakta maupun kenyataan, objek pertanggungan tersebut telah musnah dibakar oleh Orang Tidak Dikenal dan seharusnya Yudex Factie di dalam pertimbangan hukum putusannya, lebih dahulu menguraikan tentang peristiwa kebakaran tersebut yang merupakan jaminan pertanggungan yang utama dalam polis asuransi.
Oleh karena masalah kebakaran yang mengakibatkan musnahnya objek pertanggungan tersebut tidak dipertimbangkan oleh Yudex Factie, maka sudah sepatutnya Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya mengadili sendiri permasalahan tersebut.


3.      Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Memutus Perkara
      Bahwa judex facti dalam pertimbangan dan putusannya telah menyimpulkan yang terjadi dalam kasus aquo, hanyalah perbuatan orang-orang yang tidak dikenal (OTK) melakukan penjarahan terhadap objek milik si tertanggung. Padahal sesuai fakta di dalam persidangan dan yang terjadi sebenarnya adalah diawali dengan datangnya gerombolan orang-orang tak dikenal dengan bersenjata laras panjang dan memakai topeng serta melakukan pembakaran objek milik si tertanggung dan melakukan penjarahan yang ada di dalam objek tersebut. Bahkan dalam peristiwa tersebut telah menimbulkan 3 (tiga) orang karyawan pabrik milik tertanggung tewas dan 2 (dua) orang telah disandera oleh gerombolan orang-orang tersebut;
      Dari uraian fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi daripada gerombolan orang-orang yang tidak dikenal tersebut tidak hanya sekedar melakukan penjarahan saja, tetapi yang lebih serius dari pada itu adalah melakukan pembakaran, perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerusuhan, dan gangguan keamanan disertai dengan penjarahan barang-barang yang ada di tempat tersebut. Peristiwa dan kejadian seperti diuraikan di atas menurut pendapat Mahkamah Agung sudah termasuk resiko yang telah disepakati.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. WIRYA PERCA dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 6 Oktober 2006 No. 131/Pdt/2006/ PT.MDN yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 16 November 2005 No.382/Pdt.G/2004/PN.Mdn serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini.

4.      Isi Putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007
a.     Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 6 Oktober 2006 No. 131/Pdt/2006/PT.MDN yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan No.382/Pdt.G/2004/ PN.Mdn tanggal 16 November 2005;
b.     Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
c.      Menyatakan klaim asuransi yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat sebagaimana tersebut diatas adalah sah dan berkekuatan hukum;
d.     Menyatakan perbuatan Tergugat yang tidak bersedia membayar klaim asuransi yang diajukan oleh Penggugat adalah merupakan perbuatan wanprestasi;
e.     Menghukum Tergugat untuk membayar klaim asuransi kepada Penggugat sejumlah Rp. 22.328.608.665,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah);
f.       Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
g.     Menghukum Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp .500.000,- (lima ratus ribu rupiah).




BAB V
PENUTUP

Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A.  Kesimpulan
1.    Pengaturan klaim asuransi dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia pada PT. Asuransi Wahana Tata, didasarkan pada pengaturan klaim yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (5.1.2). Permohonan klaim asuransi yang diajukan oleh PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata ditolak, karena tidak sesuai dengan pasal tersebut, yaitu mengenai kewajiban tertanggung dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan, untuk segera memberikan keterangan tertulis kepada penanggung dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah terjadinya kebakaran, dimana klaim tersebut diajukan oleh PT. Wirya Perca setelah lewat 51 (lima puluh satu) hari dari masa pertanggungannya untuk polis asuransi Bangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PKS), mesin-mesin serta peralatan penunjangnya, dan untuk polis asuransi stok barang berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) diajukan setelah lewat 37 (tiga puluh tujuh) hari dari masa pertanggungannya.
2.    Putusan Mahkamah Agung No. 1455/K/Pdt/2007 tentang klaim asuransi kebakaran di luar masa pertanggungan yang diajukan oleh PT. Wirya Perca kepada PT. Asuransi Wahana Tata, mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
a.      Hakim dalam memutus perkara tidak melihat ketentuan yang terdapat di dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, khususnya Bab IV Pasal 5 ayat (5.1.2) mengenai kewajiban tertanggung dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan, untuk segera memberikan keterangan tertulis kepada penanggung dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah terjadinya kebakaran;
b.      Hakim dalam memutus perkara menyatakan bahwa, PT. Asuransi Wahana Tata yang tidak bersedia membayar klaim asuransi yang diajukan oleh PT. Wirya Perca merupakan suatu perbuatan wanprestasi, dimana hakim dalam pertimbangannya hanya melihat peristiwa dan kerugian yang timbul merupakan suatu peristiwa yang telah disepakati dalam perluasan jaminan endorsement, tetapi hakim tidak melihat adanya kewajiban tertanggung yang tidak dipenuhi, yaitu tidak dipenuhinya kewajiban tertanggung sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (5.1.2) Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia.
Artinya Mahkamah Agung dalam memutus perkara telah mengenyampingkan hukum materil, yaitu tidak memperhatikan adanya ketentuan yang terdapat di dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia dan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa PT. Asuransi Wahana Tata yang tidak bersedia membayar klaim yang diajukan PT. Wirya Perca merupakan perbuatan wanprestasi, karena peristiwa dan kerugian yang terjadi merupakan suatu peristiwa yang telah disepakati dalam perluasan jaminan endorsement, sehingga  menghukum PT. Asuransi Wahana Tata untuk membayar klaim tersebut sebesar Rp. Rp. 22.328.608.665,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus dua puluh delapan juta enam ratus delapan ribu enam ratus enam puluh lima rupiah). Menurut penulis, memang peristiwa tersebut termasuk peristiwa yang ditutup dalam polis, dan kerugian yang diderita tertanggung adalah sebagai suatu peristiwa yang ditutup dalam polis, akan tetapi dalam kasus ini ada unsur yang dapat membebaskan penanggung dari kewajibannya untuk membayar klaim yang diajukan oleh tertanggung, yaitu bahwa klaim yang diajukan oleh tertanggung tersebut melewati jangka waktu pengajuan klaim sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (5.1.2) Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia.
      Dengan demikian, pengajuan klaim asuransi kebakaran yang diajukan oleh tertanggung di luar masa pertanggungan dan di luar dari jangka waktu pengajuan klaim yang ditetapkan dalam polis, sebagaimana yang terjadi pada kasus tersebut, sepatutnya tidak dapat diterima, mesikpun evenemen terjadi di dalam masa pertanggungan. Penanggung tidak dapat dianggap sebagai suatu wanprestasi karena tidak membayar ganti rugi kepada tertanggung, apabila klaim yang diajukan tertanggung diluar dari masa pertanggungan dan di luar dari jangka waktu pengajuan klaim yang ditetapkan dalam polis. Penanggung baru dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila klaim yang diajukan tertanggung masih dalam masa pertanggungan, dan penanggung tidak bersedia untuk membayar ganti rugi.    

A.   Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah ada, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
Kepada hakim Mahkamah Agung yang memutus perkara ini, seharusnya melihat ketentuan yang terdapat di dalam Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia, karena dalam perjanjian asuransi polis merupakan peraturan yang utama, dan merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.




[1] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pasal 4.
[2] (Online) tersedia di http://www.indoskripsi.com.
[3] Ali, A.Hasyim, Bidang Usaha Asuransi, Cet 1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal.65.
[4] Subekti,R, Tjitrosudibio,R, Undang-Undang Hukum Dagang & Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta; Pradnya Paramita, 1993).
[5] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit UI-Press, 2008), hal. 5.
[6] Ibid., hal. 52.
[7] Ibid., hal. 50.
[8] Ibid., hal. 12.
[9] Pedoman Penulisan Skipsi Fakultas Hukum, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), hal. 56.
[10] Soerjono Soekanto, op cit., hal. 5.
[11] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992,  tentang Usaha Perasuransian, Pasal 1 butir (1).
[12] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313.

[13] Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Cet. XII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal. 110.
[14] Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 1138.
[15] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992,  tentang Usaha Perasuransian, Pasal 1 butir (1).
[16] Ibid., Pasal 1 butir (1).
[17] Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Cet. I, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997).
[18] Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, diterjemahkan oleh R. Subekti, Cet. 16., (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), Pasal 255.
[19] Abdulkadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, cetakan kedua, (Bandung: Alumni, 1983), hal 49.
[20] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: 1991), hal. 7.
[21] Ibid.
[22] Ibid., hal 51.
[23] Ibid., hal 52.
[24] Ibid., hal 53.
[25] Ibid., hal 50.
[26] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1338 ayat (1).
[27] Ibid., Pasal 1338 ayat (2).
[28] Ibid., Pasal 1338 ayat (3).
[29] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: 2001), hal 19.
[30] Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 246.
[31] (Online) tersedia di: http://arkafi.webatu.com/2_1_fire.html. Diakses pada hari Senin, 2 Mei 2011 pukul 19.00 WIB.
[32] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, buku 6, (Jakarta: Djambatan, 1990), hal 35.
[33] Abdulkadir Muhammad, op cit., hal 119.
[34] Ibid., hal 13.
[35] Abdulkadir Muhammad, op cit., hal 164.
[36] Abdulkadir Muhammad, op cit,, hal 103.
[37] Ibid., hal 104.
[38] Abdulkadir Muhammad, op cit., hal 75.
[39] Ibid.
[40] H.M.N Purwosutjipto, op cit., hal 59.
[41] Ibid., hal 51.
[42] (Online) tersedia di: http://www.konsultan-asuransi.com/index.php/news/detail/19. Diakses pada hari Senin, 2 Mei 2011 pukul 20.00 WIB.
[43] Abdulkadir Muhammad, op cit., hal 59.
[44] Ibid., hal 191.
[45] Abdulkadir Muhammad, op cit., hal 123.
[46] Ibid., hal 124.
[47] Abdulkadir Muhammad, op cit., hal 134.
[48] Ibid.
[49] Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hal. 43.
[50] Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, op cit., Pasal 250.
[51] Agus Prawoto, op cit., hal 42.
[52] Ibid., hal 44.
[53] Pasal 249 KUHD “Penanggung sama sekali tidak wajib menanggung untuk kerusakan atau kerugian yang langsung timbul karena cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan kodrat dari yang dipertanggungkan sendiri, kecuali jika dipertanggungkan untuk itu dengan tegas”.
[54] Pasal 276 KUHD “Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul bahaya”.
[55] H.M.N Purwosutjipto, S.H, loc cit.
[56] (Online) tersedia di: http://mediaasuransi.wordpress.com/2010/01/13/prosedur-mengajukan-ganti-rugi-asuransi-kebakaran/.  Diakses pada hari Senin, 2 Mei 2011 pukul 20.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENAFSIRAN PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)

Oleh : FARHAN SYATHIR, S.H. UNIVERSITAS TARUMANEGARA 2014 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sejak hukum memb...