Senin, 09 September 2019

KEWENANGAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM






KEWENANGAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM


The Authority Of Notary In The Implementations Corporate Social Responsibility 
Of Limited Company Through The General Meeting Of Shareholders



Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn)


oleh:
WURIKA RETNO SAFITRI
2016010462075






PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2019







ABSTRAK

A.       Nama                             :  Wurika Retno Safitri NPM : 2016010462075
B.        Judul Tesis                     :  Kewenangan Notaris Dalam Pelaksanaan Corporate
   Social Responsibility Perseroan Terbatas Melalui Rapat
   Umum Pemegang Saham
C.        Jumlah halaman             :  xiii + 168 (seratus enam puluh delapan) halaman
D.       Kata Kunci                     :  Kewenangan, Notaris, Corporate Social Responsibility,
      Perseroan Terbatas, Rapat Umum Pemegang Saham      
E.        Isi Abstak                      
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur mengenai CSR yang merupakan Tanggungjawab sosial perusahaan yang meliputi komitmen perusahaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup perusahaan, masyarakat setempat, serta masyarakat pada umumnya. Notaris sebagai Pejabat Negara memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan pemerintah guna menerapkan kewajiban bagi Perseroan Terbatas untuk melaksanakan program CSR bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian yaitu bagaimana kewenangan Notaris dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham dan bagaimana hambatan dalam melaksanakan CSR.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian hukum normatif dan  empiris, yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Disamping itu digunakan data primer sebagai pendukung bahan hukum data sekunder. Untuk analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan cara membahas pokok permasalahan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun hasil penelitian di lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan adapun kewenangan Notaris dalam hal ini adalah berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN juncto Pasal 3 Perubahan Kode Etik Notaris Tahun 2015 dengan cara memberikan penyuluhan hukum dan/atau secara persuasif mengajak kepada perusahaan-perusahaan untuk melakukan penyesuaian terhadap anggaran dasar perusahaan melalui RUPS khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang belum mencantumkan kewajiban CSR di dalam anggaran dasar. Hambatan dalam melaksanakan CSR yaitu kurangnya pengetahuan bagi Notaris tentang kewajiban pelaksanaan CSR bagi perusahaan, tidak tegasnya sanksi yang diatur terhadap perusahaan yang tidak dan/atau belum melakukan kewajiban CSR, dan masih banyak perusahaan yang belum menyadari peranan penting untuk menjalankan program CSR.

F.      Daftar Acuan                     : 85 (delapan puluh lima), terdiri atas 46 (empat puluh
        enam) buku, 19 (sembilan belas) makalah, 3 (tiga)
        kamus, 5 (lima) tesis, dan 12 (dua belas) peraturan
        perundang-undangan.
G.     Pembimbing/Promotor       : ­­Dr. Erny Kencanawati, S.H., M.H.
Dr. Udin Narsudin, S.H., M.Hum., SpN.





DAFTAR ISI


Lembar Judul.................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ........................................................................................ ii
Lembar Judul ................................................................................................... iv
Pengesahan Pernyataan Keaslian .................................................................. v
Abstrak .............................................................................................................. vi
Abstract .............................................................................................................. vii
Kata Pengantar................................................................................................. viii
Daftar Isi............................................................................................................ x
Daftar Singkatan............................................................................................... xii
BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Penelitian......................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ..................................................................... 8
C.     Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D.    Kegunaan Penelitian................................................................. 8
1.    Kegunaan Teoritis................................................................ 8
2.    Kegunaan Praktis ................................................................ 9
E.     Kerangka Pemikiran.................................................................. 10
F.      Metode Penelitian .................................................................... 36
1.    Metode Pendekatan.............................................................. 36
2.    Spesifikasi Penelitian........................................................... 39
3.    Teknik Pengumpulan Data.................................................. 40
4.    Metode Analisa Data........................................................... 41
5.    Lokasi Penelitian.................................................................. 42
6.    Keaslian Penelitian............................................................... 42
BAB II       CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM PERSEROAN TERBATAS
A.    Corporate Social Responsibility................................................. 46
1.    Sejarah Corporate Social Responsibility.............................. 46
2.    Pengertian Corporate Social Responsibility......................... 51
3.    Unsur-UnsurCorporate Social Responsibility...................... 60
4.    Tujuan Corporate Social Responsibility............................... 63
5.    Manfaat Corporate Social Responsibility............................. 64
6.    Ruang Lingkup Corporate Social Responsibility................. 73
B.     Dasar Hukum Corporate Social Responsibility......................... 76
1.    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas     76
2.    Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas........................................... 78
C.     Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia.. 80
1.    Aktivitas Corporate Social Responsibility........................... 80
2.    Cara Pandang Perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility     82
BAB III     PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS
A.    Model Anggaran Dasar Bagi Perseroan Terbatas yang Dapat Mengakomodasikan Kewajiban Melakukan CSR Dalam Kegiatan Usahanya........... 85
1.    Anggaran Dasar Bagi Perseroan Terbatas yang Kegiatan Usahanya Mengelola Sumber Daya Alam .......................................................................... 85
2.    Anggaran Dasar Bagi Perseroan Terbatas yang Kegiatan Usahanya Berkaitan Dengan Sumber Daya Alam.............................................................. 97
B.       Pembahasan Khusus Perseroan Terbatas ................................. 105
1.    Kepemilikan ........................................................................ 107
2.    Pembatasan Tanggungjawab dan Doktrin Entitas Terpisah. 107
3.    Akibat Hukum Setelah Pengesahan PT .............................. 111
4.    Anggaran Dasar dan Perubahan .......................................... 112
5.    Tanggungjawab Pemegang Saham ..................................... 113
6.    Pengesahan Perseroan ......................................................... 114
7.    Perlindungan Modal dan Kekayaan Perusahaan ................. 114
8.    Organ Perseroan .................................................................. 115
C.       Penerapan Corporate Social Responsibility Dalam Lingkungan Perusahaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012                  ........................................................................ 124
1. Perusahaan Yang Melaksanakan CSR.................................. 126
2. Perusahaan Yang Tidak Melaksanakan CSR........................ 134
BAB IV.... KEWENANGAN NOTARIS DAN HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS
A. Kewenangan Notaris Dalam Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Perseroan Terbatas Melalui Rapat Umum Pemegang Saham................... 141
1. Perjanjian dan Wanprestasi................................................... 147
2. Kewenangan Notaris Dalam Pelaksanaan Corporate Social Responsibility        150
3.  Sanksi Bagi Notaris............................................................. 156
B. Hambatan Dalam Melaksanakan Corporate Social
Responsibility........................................................................... 157
1. Kurangnya Pemahaman CSR Bagi Aparat Dan Pejabat Berwenang                   157
2. Peraturan Tentang CSR Belum Diatur Secara Tegas............ 159
3. Lemahnya Kesadaran Perusahaan Terhadap Dampak Lingkungan                    162
BAB V       PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................ 166
B.     Saran.......................................................................................... 167
Daftar Pusataka :..............................................................................................
Lampiran :.........................................................................................................
Riwayat Hidup..................................................................................................



DAFTAR SINGKATAN

ACCC                                  Australian Competition and Consumer Commission
AMDAL                              Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBD                                  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ASIC                                    Australian Securities and Investment Commission
ATO                                     Australian Tax Office
AUSTRAC                          Australian Transaction Reports and Analysis Centre
BDMS                                  Bara Dinamika Muda Sukses
CSR                                     Corporate Social Responsibility
EQ                                        Emotional Quotient
GCS                                     Gold Coin Specialities
INI                                       Ikatan Notaris Indonesia
IQ                                         Intelligence Quotient
KUHPerdata                        Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LSM                                     Lembaga Sosial Masyarakat
MPR                                     Majelis Permusyawaratan Rakyat
Pemda                                  Pemerintah Daerah
PLN                                     Perusahaan Listrik Negara
PP                                         Peraturan Pemerintah
PT                                         Perseroan Terbatas
RUPS                                   Rapat Umum Pemegang Saham
SDA                                     Sumber Daya Alam
SQ                                        Spiritual Quotient
TUN                                     Tata Usaha Negara
UU                                       Undang-Undang
UUD                                    Undang-Undang Dasar 1945
UUJN                          Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-        Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 
UUPT                                  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
WBCSD                               World Business Council in Sustainable Development



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Penelitian
     Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan membuat akta-akta terkait tindakan, perjanjian dan keputusan-keputusan yang oleh perundang-undangan umum diwajibkan atau para yang bersangkutan supaya dinyatakan dalam surat yang bersifat otentik, menentukan tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, dan semuanya itu selama pembuatan akta-akta itu tidak juga diwajibkan kepada pejabat atau khusus menjadi kewajibannya.
Dalam kaitannya dengan pembuktian kepastian hukum termasuk di dalamnya adalah hak serta kewajiban subjek hukum baik orang pribadi maupun badan hukum yang sangat membutuhkan peran Notaris. Peran Notaris terkait bantuan memberi kepastian hukumnya dan perlindungan hukumnya bagi masyarakat sangatlah penting. Peran Notaris ini lebih bersifat pencegahan atau preventif akan terjadinya masalah hukum di masa datang dengan membuat akta otentik terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban subjek hukum orang pribadi maupun badan hukum di dalam hukum, dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan yaitu dalam hal terjadi sengketa hak dan kewajibannya.[1]
Notaris dalam melakukan tugasnya didasari oleh peraturan perundang-undangan yang sering disebut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 2 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Dalam ketentuan Peraturan Jabatan Notaris maupun Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) tersebut pada intinya menyatakan bahwa tugas utama seorang Notaris adalah membuat akta-akta otentik. Dalam Pasal 1870 KUHPerdata dikatakan bahwa akta otentik memberi perjanjian yang absolut kepada para pihak yang membuatnya. Dengan demikian maka pentingnya Jabatan Notaris adalah pada kewenangan Notaris yang diberikan oleh undang-undang untuk membuat perangkat atau alat pembuktian yang absolut dan karenanya akta otentik tersebut pada hakikatnya dinilai benar. Sehingga merupakan hal yang sangat penting khususnya pihak yang membutuhkan dalam urusan pribadi atau usaha.[2]
Tugas yang diemban oleh Notaris adalah tugas yang seharusnya merupakan tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan Notaris mempunyai akibat hukum, Notaris dibebani sebagian kekuasaan negara dan memberikan pada aktanya kekuatan otentik dan eksekutorial.[3]
Akta Notaris berperan penting dalam menciptakan kepastian hukum karena sifat otentiknya dan dapat digunakan sebagai alat pembuktian yang kuat dan penuh bila terjadi masalah yang berhubungan dengan akta tersebut. Dewasa ini kebutuhan terhadap akta otentik sebagai pembuktian semakin meningkat seiring dengan meningkatnya hubungan bisnis di berbagai bidang usaha baik dari skala lokal hingga internasional.[4]
Salah satu bentuk akta yang harus dibuat dihadapan Notaris adalah Akta Pendirian Perseroan Terbatas. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut dengan UUPT) Pasal 7 ayat (1) merumuskan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
Selanjutnya UUPT mengatur mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR), yang dirumuskan dalam Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) UUPT.
CSR sebagaimana ketentuan didalam UUPT tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Dalam Pasal 1 angka (3) UUPT menjelaskan yang dimaksud dengan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
CSR merupakan hal yang baru diatur dalam UUPT, karena dalam UUPT yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sendiri tidak mengatur mengenai CSR ini, karena dengan dikeluarkannya kewajiban melaksanakan CSR bagi perseroan menimbulkan reaksi yang pro dan kontra dalam masyarakat.
CSR menurut World Business Council in Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavior alethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai akuntabilitas publik.[5]
Selain tanggungjawab perusahaan kepada pemegang saham, tanggungjawab lainnya menyangkut tanggungjawab sosial perusahaan dan tanggungjawab kelestarian lingkungan hidup (sustainable environment responsibility). Seharusnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya semakin meningkat.
Paradigma baru perusahaan yang dianggap tumbuh dan berkelanjutan (growth and sustainable company) saat ini tidak hanya diukur dari pencapaian laba (profit) saja, namun juga diukur dari kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik dengan komunitas lokal, masyarakat luas maupun lingkungan hidup. Berkenaan dengan hal tersebut, muncul tripple bottom line model, yang terdiri dari profit, people, and planet (3P). Laporan suatu perusahaan yang menggunakan tripple bottom line, selain melaporkan aspek keuangan juga melaporkan aspek kepedulian sosial dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
Adanya kecenderungan tersebut dapat mendorong para investor terutama pihak asing untuk memilih menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menetapkan CSR dengan baik. Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi hukum dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Masyarakat sekitar perusahaan tentu menyambut baik peraturan mengenai kewajiban CSR karena tujuan dari CSR itu sendiri diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat sekitar perseroan terutama terhadap perseroan yang dalam melakukan usahanya dengan cara mengeksplorasi sumber daya alam. Namun dari pihak pengusaha banyak yang mengeluarkan reaksi kontra terhadap pemberlakuan UUPT mengenai CSR ini karena mereka menganggap perseroan telah dibebani dengan pajak sehingga menjadi tugas pemerintah untuk menyalurkan pajak tersebut agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Terdapatnya materi hukum yang mengatur tentang tanggungjawab sosial perusahaan dalam UUPT tentunya harus di apresiasikan sebagai langkah yang progresif dari pembentuk undang-undang dalam melihat eksistensi Perseroan Terbatas secara yuridis, mengingat hal ini akan merubah paradigma yuridis tentang eksistensi Perseroan Terbatas secara signifikan di Indonesia.[6]
Di Indonesia secara yuridis CSR adalah sebuah kewajiban yang dibebankan pada Perseroan Terbatas melalui UUPT Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) Juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dengan adanya undang-undang dan peraturan pemerintah ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakannya, namun kewajiban ini menurut penulis harus dipahami oleh pelaku usaha bukan merupakan suatu beban yang memberatkan, mengingat pembangunan suatu negara tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja, diperlukan kerja sama dengan seluruh masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat.[7]
Keberadaan CSR dalam pengaturan hukum perseroan terbatas di Indonesia merupakan realitas hukum yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, sangat diperlukan dan sudah seharusnya mendapatkan pengakuan dan tentunya apabila dilaksanakan dengan baik akan memberikan hasil positif dalam berbagai aspek. Namun demikian, terdapat suatu permasalahan pokok yang menarik bagi penulis untuk dibahas lebih lanjut, yaitu bagaimana kewenangan Notaris dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut dengan RUPS) dan bagaimana hambatan dalam melaksanakan CSR.
Berdasarkan konsep pemikiran di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang CSR, mengingat kewajiban perusahaan dalam hal ini Perseroan Terbatas untuk menyelenggarakan CSR tergolong baru, yaitu dengan diundangkannya UUPT Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) yang mengatur tentang kewajiban CSR serta ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012. Sampai saat ini, perkembangan tentang konsep dan implementasi CSR pun semakin meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini terbukti dari banyaknya perusahaan yang telah melakukan CSR. Pelaksanaannya pun semakin beranekaragam mulai dari bentuk kegiatan yang dilaksanakan, maupun dari sisi dana yang digulirkan untuk kegiatan tersebut.
Dari latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil judul KEWENANGAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM.”


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bagian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kewenangan Notaris dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility Perseroan Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham?
2.      Bagaimana hambatan dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility?

C.    Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Notaris dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility Perseroan Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
2.      Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility.

D.    Kegunaan Penelitian
Hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna baik dari segi teoritis maupun praktis, yaitu:
1.      Kegunaan Teoritis
Memberikan sumbangan bagi pengembangan Ilmu Hukum terkhususnya di bidang Kenotariatan dalam fokus Hukum Perusahaan tentang pelaksanaan CSR dalam sebuah perusahaan di Indonesia sesuai ketentuan yang telah diatur oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku.
2.      Kegunaan Praktis
Selain kegunaan teoritis, penelitian ini juga memiliki kegunaan praktis, yaitu penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada:
a.       Notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pandangan dan pemahaman mengenai standar dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui RUPS yang dituangkan di dalam anggaran dasar perusahaan;
b.      Kalangan akademis, diharapkan dengan hasil analisis penelitian ini dapat memberikan ide dan gagasan dalam memahami dan meneliti lebih lanjut tentang pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui RUPS dalam penerapannya terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012, sehingga suatu saat dapat menghasilkan suatu konsep dan pandangan terkait dengan pentingnya CSR bagi suatu perusahaan;
c.       Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam bidang hukum Kenotariatan khususnya tentang pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui RUPS dalam penerapannya terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.
d.      Bagi penulis, adalah sebagai salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Magister Kenotariatan di Pascasarjana Universitas Jayabaya.

E.     Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Kerangka pemikiran berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan pada suatu penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, menganalisis serta mengkonstruksi bahan-bahan hukum.
Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek, akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan (kerangka), baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang sangat penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah.[8] Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.[9]
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, maka landasan teori diarahkan secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami penerapan hukum terhadap dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas dalam suatu perusahaan melalui RUPS yang dimuat di dalam Akta Pendirian Perseroan sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.
Diperlukan landasan teoritis sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Adapun konsep dan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Tanggungjawab Hukum, Teori Kewenangan dan Teori Efektivitas Hukum.

1.      Teori Kepastian Hukum
Kepastian berasal dari kata “pasti”, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.[10] Seorang filsafat hukum Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[11] Pendapat lain mengemukakan bahwa Kepastian merupakan perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.[12]
Kepastian Hukum menurut Sudikno Mertokusumo; merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya  upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian hukum yang berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.[13]
Seorang filsafat lain yakni Utrech mengemukakan Kepastian Hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama; adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua; berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan Negara terhadap individu.[14]
Munculnya hukum modern membuka pintu bagi masuknya permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang sekarang kita kenal dengan nama kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan sesuatu yang baru, tetapi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada sebelum era hukum modern.
Menurut pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum adalah “Scherkeitdes Rechtsselbst” (kepastian hukum tentang hukum itu sendiri). Adapun 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, diantaranya:
a.       Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (Gesetzliches Recht).
b.      Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”.
c.       Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan.
d.      Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.[15]
Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum diungkapkan oleh Roscoe Pound, seperti yang dikutip di dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter Mahmud Marzuki dimana kepastian hukum mengandung dua pengertian, diantaranya: [16]
a.       Pertama, adanya aturan yang bersifat umum, membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
b.      Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.
Asas Kepastian Hukum ini merupakan penjabaran sifat perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi undang-undang maka sudah menjadi bentuk kepastian hukum bagi para pihak, sehingga memberikan beban kepada para pihak untuk memenuhi hal-hal yang tercantum di dalam perjanjian.[17]
Adanya kepastian hukum dalam suatu Negara menyebabkan adanya upaya pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.[18] Peraturan-peraturan yang tidak berdasarkan pada keputusan sesaat adalah sistem hukum yang berlaku. Sebuah konsep untuk memastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, hukum harus menjadi pedoman, mengayomi dan melindungi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada individu ataupun kelompok merupakan pengertian dari asas kepastian hukum di dalam penyelenggaraan Negara. Disini, hukum yang tidak boleh bertentangan serta harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh masyarakat umum di dalam asas ini. Dengan hal ini, pengertian asas kepastian hukum dan keadilan yaitu hukum berlaku tidak surut sehingga tidak merusak integritas sistem yang ada dan terkait dengan adanya peraturan dan pelaksanaannya.[19] Kepastian hukum diharapkan mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada hukum Negara yang telah ditentukan.[20]
Keberadaan teori kepastian hukum ini tentu sebagai jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Pandangannya tentang kepastian hukum yakni bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.[21]
Penerapan teori kepastian hukum dalam penulisan tesis ini adalah memberikan kepastian hukum terhadap peran Notaris dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui RUPS di dalam klausul Akta Perseroan Terbatas, oleh karena itu pengkajian dengan menggunakan teori kepastian hukum ini bertujuan untuk menguraikan bentuk nilai-nilai kepastian hukum dalam permasalahan ini bagi semua pihak yang berkepentingan.
2.      Teori Tanggungjawab Hukum
Tanggung jawab hukum merupakan suatu bentuk kewajiban yang timbul dari suatu perbuatan yang mana seorang harus menanggung segala sesuatunya bila terjadi sesuatu yang dapat dituntut, dipersalahkan atau diperkarakan. Tanggungjawab sendiri dalam bahasa hukum dikenal sebagai suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika dan moral dalam melakukan suatu perbuatan.[22] Titik Triwulan mengungkapkan bahwa pertanggungjawaban harus memiliki dasar yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum bagi orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.[23]
Secara umum pertanggungjawaban hukum dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung, memikul tanggungjawab, menanggung segala sesuatunya, (jika ada sesuatu hal, dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Tanggungjawab hukum merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.[24]
Bahwa suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang melawan hukum. Biasanya, dalam kasus, sanksi dikenakan terhadap delinquent (penjahat) karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek tanggungjawab hukum (responsibility) dan subjek kewajiban hukum adalah sama.
Terdapat dua macam bentuk pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility) dan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault):
a.       Pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility), yaitu sesuatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatannya dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.
b.      Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault), atau dikenal juga dalam bentuk lain dari kesalahan yaitu kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan atau kekhilafan (negligance).[25]
Tanggung jawab hukum sendiri menurut Abdulkadir Muhammad dibagi atas beberapa teori perbuatan melanggar hukum diantaranya:[26]
a.       Tanggungjawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intentional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui apa yang dilakukan tergugat mengakibatkan kerugian.
b.      Tanggungjawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort liability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (intermingled).
c.       Tanggungjawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
Teori Tanggungjawab Hukum merupakan teori yang menganalisis tentang tanggungjawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian atau cacat, atau matinya orang lain.[27] Tanggungjawab hukum sendiri dapat diklasifikasikan kepada tiga bidang tanggungjawab yakni:
a.       Perdata;
b.      Pidana; dan
c.       Administrasi.[28]
Munculnya tanggungjawab pada bidang perdata disebabkan karena adanya subjek hukum yang tidak melaksanakan suatu prestasi atau melakukan suatu perbuatan melawan hukum dari perjanjian yang terikat sebelumnya, adapun prestasi yang dimaksud dalam suatu perjanjian berupa melakukan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, maka dari itu atas prestasi yang tidak dilaksanakan oleh para pihak tersebut menimbulkan tanggungjawab yang mengikat pada para pihak tersebut.
Penerapan teori tanggungjawab hukum dalam penelitian ini adalah untuk menemukan adanya suatu tanggungjawab hukum yang lahir pada perusahaan atau badan hukum atas pelaksanaan CSR perusahaan terhadap lingkungan sekitar berdasarkan ketentuan mengenai  CSR yang terdapat di dalam Akta Perseroan Terbatas, serta pengkajian tanggungjawab hukum pada etika moral dari Notaris selaku pejabat dalam menjalankan wewenangnya dalam pembuatan akta tersebut, dan tentunya pengkajian tanggungjawab hukum ini nantinya akan melihat dampak bagi Notaris apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
3.      Teori Kewenangan
Istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.[29]
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.[30]  
Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggungjawab untuk melakukan tugas tertentu. Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah yaitu: menentukan tugas bawahan tersebut; penyerahan wewenang itu sendiri; dan timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.[31]
I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut: “Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.[32]
Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh: Pembentukan undang-undang (disebut penafsiran otentik); Hakim atau kekuasaan yudisial (disebut penafsiran Yurisprudensi) dan Ahli hukum (disebut penafsiran doktrinal).
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintah. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi dan mandat.[33] 
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.[34]
Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.[35]
Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.
Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis: pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.[36]
Atribusi (attributie), delegasi (delegatie) dan mandat (mandaat), oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut:
a.       Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan;
b.      Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander;
c.       Mandaat : een bestuursorgan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander.
Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut: “Bahwa hanya ada 2 (dua) cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”.[37]
Phipus M. Hadjon mengatakan bahwa, setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu abtribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”.[38]
Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standar wewenang yaitu standar hukum (semua jenis wewenang) serta standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).[39]
a.       Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi
Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu wewenang. Cara yang biasa dilakukan untuk melengkapi organ pemerintahan dengan penguasa pemerintah dan wewenang-wewenangnya adalah melalui atribusi. Dalam hal ini pembentuk undang-undang menentukan penguasa pemerintah yang baru dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.
Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang orisinil (pembentuk UUD, parlemen pembuat undang-undang dalam arti formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum), sedangkan pembentuk undang-undang yang diwakilkan (mahkota, menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang berwenang untuk itu dan ada hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan) dilakukan secara bersama.
Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu Pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut.
b.      Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi
Kata delegasi (delegatie) mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuasaan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya.
Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum karena bila pemberi delegasi ingin menarik kembali wewenang yang telah didelegasikannya, maka harus dengan peraturan perundang-undangan yang sama. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula di subdelegasikan kepada subdelegatoris. Untuk subdelegatoris ini berlaku sama dengan ketentuan delegasi. Wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat dimandatkan kepada orang atau pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.
Menurut Heinrich Triepel, pendelegasian dalam pengertian hukum publik dimaksudkan tindakan hukum pemangku sesuatu wewenang kenegaraan. Jadi, pendelegasian ini merupakan pergeseran kompetensi, pelepasan dan penerimaan sesuatu wewenang, yang keduanya berdasarkan atas kehendak pihak yang menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus mempunyai suatu wewenang, yang sekarang tidak digunakannya. Sedangkan yang menerima pendelegasian juga biasanya mempunyai suatu wewenang, sekarang akan memperluas apa yang telah diserahkan.[40]
c.       Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat
Kata Mandat (mandat) mengandung pengertian perintah (opdracht) yang di dalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht). Mandat mengenai kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian kuasa (biasanya bersamaan dengan perintah) oleh alat perlengkapan pemerintah yang memberi wewenang ini kepada yang lain, yang akan melaksanakannya atas nama tanggungjawab pemerintah yang pertama tersebut.
Pada mandat tidak ada pencitaan ataupun penyerahan wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat atas nama yang diwakili. Hanya saja mandat, tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi mandat juga bisa memberi segala petunjuk kepada mandataris yang dianggap perlu. Pemberi mandat bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambil berdasarkan mandat. Sehingga, secara yuridis formal bahwa mandataris pada dasarnya bukan orang lain dari pemberi mandat.  
4.      Teori Efektivitas Hukum
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan.[41]
Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk memantau.[42] Jika dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu Notaris. Kata efektivitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu.
Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaruan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.[43]
Faktor-faktor yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain:[44]
a.       Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.
b.      Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.
c.       Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d.      Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur).
e.       Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.
f.        Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g.      Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman).
h.      Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
i.        Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum tersebut.
j.        Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.
Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R.S. Mumnres yang berpendapat bahwa seyogyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap hukum pada umumnya, melainkan ketaatan terhadap aturan hukum tertentu saja. Achmad Ali sendiri berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya:[45]
a.       Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya;
b.      Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.
Jika yang akan dikaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan, banyak tergantung pada beberapa faktor, antara lain:[46]
a.       Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan
b.      Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut
c.       Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya.
d.      Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Jadi, Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam penjelasan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam penegakan perundang-undangan tersebut.[47]
Sedangkan Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur efektivitas dalam penegakan hukum pada 5 (lima) hal yaitu:[48]
1.      Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret bewujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.[49]
2.      Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.[50]
3.      Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, menurut Soerjono Soekanto bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.[51]
4.      Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5.      Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif.[52]
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegak hukum tersebut faktor penegakan hukum sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.[53]

F.     Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[54]
Menurut Sutrisno Hadi, penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.[55]
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1.      Metode Pendekatan
Metode penelitian yang dipakai ialah metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif yaitu suatu penelitian kepustakaan, penelitian terhadap data sekunder.[56] Menurut Soekanto dan Mamudji, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum kepustakaan (disamping adanya penelitian hukum sosiologi atau empiris yang terutama meneliti data primer).[57] Metode pendekatan ini dapat juga dilakukan dengan yuridis empiris dengan mencari dan menemukan data lapangan, namun hanya dijadikan sebagai pendukung/pelengkap data sekunder, yang dilakukan dengan wawancara. Penerapannya dihubungkan dengan objek penelitian.[58]
 Data sekunder merupakan data yang mendukung sumber data primer berupa data dari buku-buku literatur, peraturan-peraturan dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
Data sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi:[59]
a.       Bahan-bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Badan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini, yaitu:
1)      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; dan
2)      Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
(Bahan-bahan hukum tersebut di atas mempunyai kekuatan mengikat).
b.      Bahan-bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya “dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer”, yang penulis gunakan adalah:
1)      Corporate Social Responsibility Dalam Praktek di Indonesia, buku karya J. Ambadar;
2)      Corporate Social Responsibility, buku karya Hendrik Budi Untung; dan
3)      Corporate Social Reporting by UK Companies: A Cross Sectional and Longitudinal Study an Interim Report, buku karya R.H. Gray.
c.       Bahan-bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya:
1)      Blogspot; dan
2)      Wikipedia.
2.      Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini secara spesifik merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut masalah tersebut. Metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak.[60]
Penelitian yang bersifat deskriptif analitis adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu, sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, atau data tersier.[61]
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang didukung dengan penelitian hukum empiris karena penelitian ini hendak mengkaji mengenai bagaimana pelaksanaan kewenangan dan hambatan bagi Notaris dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas melalui RUPS dan tinjauan secara langsung kepada perusahaan yang melaksanakan dan tidak melaksanakan program CSR.
Secara spesifikasi penelitian ini akan menempuh langkah sebagai berikut: Pertama-tama dengan menganalisis definisi CSR dan peran Notaris sebagai pejabat umum, setelah itu akan diuji dan dikaitkan dengan pelaksanaan dan hambatan CSR pada Perseroan Terbatas.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Studi pustaka data yang diteliti dalam suatu penelitian dapat berwujud data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Dengan demikian, data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara mengumpulkan, menyeleksi, dan meneliti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, termasuk data yang diperoleh dari objek penelitian.
4.      Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data secara kualitatif, yaitu segala sesuatu yang dinyatakan responden, baik secara tertulis maupun lisan serta perilaku nyata yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.
Penggunaan metode analisis kualitatif dalam penelitian adalah dengan cara membahas pokok permasalahan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari hasil penelitian di lapangan yang kemudian dianalisis secara kualitatif untuk pemecahan. “Analisis ini dilakukan dengan bersamaan proses data. Adapun model analisis yang digunakan yaitu model analisis interaktif yang didukung proses triangulasi mencakup metode-metode, kajian ulang dan meliputi praktek-praktek yang biasanya diikuti untuk memperkirakan validitas dan reliabilitas temuan-temuan penelitian.[62] Sedangkan yang dimaksud dengan metode analisis interaktif, ialah model analisa yang terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu sebagai berikut:
a.       Reduksi Data, yaitu bentuk analisa yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal tidak penting yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
b.      Sajian Data, yaitu sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan.
c.       Kesimpulan, yaitu setelah memahami maksud berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pertanyaan-pertanyaan, alur sebab akibat akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan.
5.      Lokasi Penelitian
Untuk dapat menunjang pengumpulan data-data sekunder yang dihasilkan dari studi kepustakaan, maka dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data-data dari Perpustakaan Universitas Jayabaya; Perpustakaan Universitas Indonesia; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; Desa Loreh dan Desa Langap, Kecamatan Loreh, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara; Kelurahan Medan Satria, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, Jawa Barat; dan sumber lainnya yang dapat memberi sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
6.      Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran dan informasi yang dilakukan oleh penulis, bahwa didapat cukup banyak hasil penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian baik dalam bentuk laporan, tesis maupun disertasi. Namun khusus untuk penelitian hukum dalam penulisan tesis ini, dengan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka penulis dalam melakukan penulisan tesis ini juga melihat hasil penelitian-penelitian yang sejenis dengan penelitian yang dibuat oleh penulis yang bersumber dari beberapa penulis sebagai berikut:
a.       Roita Asma (2008) dari Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan penelitian yang berjudul “TANGGUNGJAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT PERSEROAN TERBATAS DI JAKARTA TIMUR”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kewenangan Notaris dalam pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, khususnya Pasal 15 yang intinya memberikan beberapa kewenangan kepada Notaris selaku pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya, yaitu: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
b.      Hasan Asyari (2009) dari Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dengan penelitian yang berjudul “IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) SEBAGAI MODAL SOSIAL PADA PT. NEWMONT”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa PT. Newmont telah melaksanakan CSR kepada masyarakat melalui pendidikan yang meliputi: 1) Pembangunan sarana pendidikan, 2) Pembangunan Infrastruktur, berupa sarana obyek wisata di Pantai Buyat, 3) Bidang kesehatan, telah melakukan pembangunan pusat kesehatan, pemberian suplai peralatan kesehatan dan penyediaan staf medis.
c.       Suciyati (2010) dari Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (STUDI KASUS PADA PT. APAC INTI CORPORATE)”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris dan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kewajiban pelaksanaan CSR merupakan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum.
d.      A.A. Ratih Permanasari (2011) dari Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang, dengan penelitian yang berjudul “MODEL ANGGARAN DASAR PERUSAHAAN BAGI PERSEROAN TERBATAS YANG DIDIRIKAN DI INDONESIA UNTUK MELAKSANAKAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa memberikan suatu model Anggaran Dasar perusahaan yang mencantumkan klausula mengenai Corporate Social Responsibility bagi Perseroan Terbatas yang kegiatan usahanya mengelola sumber daya alam dan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam.
e.       Nur Melia (2014) dari Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, dengan penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. ADARO INDONESIA SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa program CSR di PT. Adaro Indonesia adalah pemberdayaan perekonomian masyarakat, aktifitas sosial yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pengadaan fasilitas kesehatan, agama, pendidikan maupun bidang sosial kemasyarakatan lainnya, serta pelestarian lingkungan hidup melalui program reklamasi dan penghijauan melalui pola pembentukan hutan industri.
Selanjutnya penulis menjamin dan menyatakan bahwa segala yang tertuang dalam tesis ini, adalah betul-betul ide dan hasil pemikiran asli dari penulis. Bukan hasil Plagiat atau hasil meniru Ide, hasil pemikiran atau buah karya orang lain.



BAB II
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY 
DALAM PERSEROAN TERBATAS

A.    Corporate Social Responsibility
1.      Sejarah Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan di dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.[63]
Adanya Revolusi Industri telah menyebabkan masalah tanggungjawab perusahaan menjadi fokus yang tajam. Ini merefleksikan kekuatan industri baru untuk membentuk kembali hubungan yang sudah dianggap kuno, feodal, klan, rumpun, atau sistem otoritas yang berlandaskan kekeluargaan dan teknologi memberi kekuasaan yang besar dan kekayaan pada “perusahaan”. Tanah harus dibagi-bagikan kembali dan kota-kota dibangun. Kekuatan mesin yang melibihi manusia meningkatkan masalah tanggungjawab dan moralitas. Kesan yang kadang-kadang muncul adalah Revolusi Industri melakukan pelanggaran keras terhadap sistem, struktur dan perhatian pada masa lalu. Dampak industrialisasi terhadap lingkungan alam maupun lingkungan buatan menjadi sumber baru untuk diperhatikan dan diberi tanggapan. Kondisi di sekitar pabrik dan kota memperbesar kemarahan dan membuat orang lain memberi perhatian mendalam.[64]
Perkembangan CSR semakin terasa pada tahun 1960-an saat dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.[65]
Konsep hubungan antara perusahaan dengan masyarakat ini dapat juga ditelusuri dari zaman Yunani kuno, sebagaimana disarankan Nicholas Eberstadt. Beberapa pengamat menyatakan CSR berhutang sangat besar pada konsep etika perusahaan yang dikembangkan gereja Kristen maupun fiqih muamalah dalam Islam. Tetapi istilah CSR sendiri baru menjadi populer setelah Howard Bowen menerbitkan buku “Social Responsibility of Businessmen” pada 1953. Sejak itu perdebatan tentang tanggungjawab sosial perusahaan dimulai. Tetapi baru pada dekade 1980-an dunia barat menyetujui penuh adanya tanggungjawab sosial itu. Tentunya dengan perwujudan berbeda di masing-masing tempat, sesuai pemahaman perusahaan terhadap apa yang disebut tanggungjawab sosial.[66]
Buku karangan Howard Bowen yang berjudul “Social Responsibility of Businessmen” dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai berikut: “...obligation of businessman to pursue those policies, to make those decisions or to follow those line of action which are diserable in term of the objectives and values of our society.” Buku yang diterbitkan di Amerika Serikat itu menjadi buku terlaris di kalangan dunia usaha pada era 1950-1960. Pengakuan publik terhadap prinsip-prinsip tanggungjawab sosial yang ia kemukakan membuat dirinya dinobatkan secara aklamasi sebagai bapak CSR. Sejak saat itu sudah banyak referensi ilmiah lain yang diterbitkan di berbagai negara mengacu pada prinsip-prinsip tanggungjawab dunia usaha kepada masyarakat yang telah dijabarkan dalam buku Bowen. Ide dasar yang dikemukakan Bowen adalah mengenai “kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Ia menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu demi meyakinkan dunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui urusan kinerja finansial perusahaan.[67]
Pemikiran Bowen dikembangkan pada dekade 1960-an oleh berbagai ahli sosiologis bisnis lainnya seperti Keith Devis yang memperkenalkan konsep Iron law of Social Responsibility. Dalam konsepnya Davis berpendapat bahwa penekanan pada tanggungjawab sosial perusahaan memiliki korelasi positif dengan size atau besarnya perusahaan, studi ilmiah yang dilakukan Davis menemukan bahwa semakin besar perusahaan atau lebih tepat dikatakan, semakin besar dampak suatu perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, semakin besar pula bobot tanggungjawab yang harus dipertahankan perusahaan itu pada masyarakat. Dalam periode 1970-1980 definisi CSR lebih diperluas lagi oleh Archi Carrol yang sebelumnya telah merilis bukunya tentang perlunya dunia usaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi penunjang eksistensi perusahaan.[68]
Terbitnya buku “The Limits to Growth” pada dasawarsa 1970-an merupakan hasil pemikiran para cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome yang dimana buku tersebut terus diperbaharui sampai dengan saat ini. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementara di sisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.[69]
 Pada akhir abad ke 19, perusahaan mulai dipandang sebagai institusi yang hanya bertujuan memberi benefit kepada pemegang sahamnya. Jadi pencarian keuntungan sebesar-besarnya merupakan satu-satunya fungsi perusahaan. Perubahan sikap ini bertepatan dengan masa ekspansi industri utama dan pembangunan ekonomi yang dipelopori oleh perusahaan. Akibatnya, kepemilikan perusahaan-perusahaan yang ditujukan khusus untuk maksimalisasi keuntungan dipandang konsisten dengan kepentingan nasional.[70]
Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwa kegiatan perusahaan membawa dampak –for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.
2.      Pengertian Corporate Social Responsibility
Berdasarkan sejarah, perusahaan tidak selalu dikenal sebagai lembaga yang berorientasi mencari laba sebanyak-banyaknya.  Pada mulanya setiap perusahaan mendapatkan sertifikat (charter) dari lembaga pemerintah (executive-sovereign). Kemudian perusahaan mendapatkan sertifikat dari lembaga legislative yang sering mencakup hak-hak istimewa seperti pemberian monopoli dari pemerintah (government-guaranteed monopolies). Pemberian tersebut diberikan sesuai dengan teori bahwa perusahaan dirancang untuk melayani keperluan  masyarakat yang khusus, seperti pengoperasian Kanal atau jalan tol. Jadi, fungsi perusahaan adalah untuk memenuhi tugas yang berupa campuran antara kebutuhan publik dan privat.[71]
Perusahaan dianggap oleh banyak orang harus mempunyai tanggungjawab sosial. Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar. Banyak perusahaan sangat sadar akan tanggungjawab mereka kepada masyarakat dan kepada komponen perusahaan. Tanggungjawab sosial perusahaan dapat berupa sikap afirmatif dengan pemberian mereka untuk amal, pinjaman usaha kecil dan program pelatihan kerja dan bantuan kepada masyarakat setempat. Dan, tanggungjawab sosial dapat dilaksanakan oleh perusahaan dalam bentuk menghindari dari melakukan hal-hal yang membahayakan, seperti mencemari lingkungan atau terlibat dalam kegiatan yang mengakibatkan penghancuran hutan. Beberapa pihak menyatakan bahwa tanggungjawab perusahaan adalah untuk memaksimalkan pendapatan, dengan ketentuan bahwa perusahaan harus mematuhi hukum.[72]
Mereka berpendapat bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan dari pemegang saham yang memilikinya. Semua kegiatan nirlaba yang melibatkan korporasi dan semua kesempatan untuk keuntungan yang dilewati perusahaan mencerminkan pengurangan laba perusahaan yang seharusnya akan menjadi milik para pemegang saham. Dengan demikian, penggunaan sumber daya perusahaan untuk kegiatan selain maksimalisasi keuntungan dapat dipandang sebagian orang sebagai memaksa para pemegang saham untuk mensubsidi manajemen perusahaan.[73]
Dalam beberapa dekade terakhir banyak hubungan bisnis telah di dehumanisasi oleh perkembangan seperti otomatisasi, produksi massal, dan metode distribusi berskala besar. Sekarang banyak orang percaya bahwa perusahaan harus melayani tidak hanya kepentingan para pemegang saham, tetapi juga kesejahteraan karyawan, konsumen, pemasok, kreditor, dan masyarakat.[74]
Hukum telah berubah untuk mengakomodasi pandangan terhadap perubahan peran perusahaan dalam masyarakat. Pandangan modern saat ini adalah bahwa aktivitas nirlaba perusahaan dibenarkan sebagai dasar kebijakan publik. Banyak negara telah melakukan amandemen peraturan perusahaan untuk mensahkan kegiatan nirlaba. Di banyak negara, kegiatan-kegiatan manajemen tersebut dilindungi dari keberatan para pemegang saham kecuali kegiatan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau dengan itikad buruk.[75]
Apabila diteliti lebih dekat, maka terlihat bahwa keuntungan dan tanggungjawab sosial tidak selalu konflik. Keduanya mungkin saling melengkapi. Pertama, goodwill atau  citra dari sebuah perusahaan adalah penting untuk keuntungan jangka panjang. Perusahaan-perusahaan yang gagal untuk terlibat dalam kegiatan sosial yang ditujukan kepada masyarakat akhirnya dapat kehilangan pelanggan mereka. Kedua, industri yang mengabaikan tanggungjawab sosial menghadapi risiko peningkatan peraturan pemerintah pada industri tersebut. Ketiga, kerugian yang tidak berwujud akan terjadi apabila perusahaan mengabaikan keadaan sosial internal. Semangat kerja karyawan dan motivasi manajemen semua berkurang, dan akibatnya produktivitas dan profitabilitas akan berkurang.[76]
Seiring dengan perkembangan ide sustainability development, dunia usaha pun mulai menyerap ide tersebut ke dalam kebijakan bisnis mereka, terutama sebagai upaya keberlanjutan dari keuntungan yang bisa mereka dapatkan.[77]
Menurut Sukada, adopsi prinsip sustainability development kemudian menghasilkan gagasan bussines sustainability atau corporate sustainability yang merupakan pengakuan dan pengintegrasian tujuan dunia bisnis dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan tersebut melihat peran potensial perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah untuk perusahaan bisnis, pembangunan berkelanjutan berarti mengadopsi strategi bisnis dan kegiatan yang memenuhi kebutuhan perusahaan dan pemangku kepentingan saat ini sambil melindungi, mempertahankan dan meningkatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang akan dibutuhkan di masa depan. Jika pembangun berkelanjutan ingin mencapai potensinya, harus diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan dan pengukuran perusahaan bisnis.[78]
Ide tentang sustainable development inilah yang menjadi inspirasi bagi John Elkington pada bukunya “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business” menghasilkan prinsip utama Triple Bottom Line, yaitu hubungan yang seimbang antara profit, people, and planet dalam manajemen perusahaan. Perusahaan dituntut tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (Profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (Planet) dan kesejahteraan masyarakat (People) yang dapat dilihat pada lampiran Gambar 2.1.[79]
Prinsip Triple Bottom Line inilah yang kemudian menjadi landasan bagi konsep CSR yang modern. Konsep CSR yang modern dianggap sebagai pembumian gagasan besar “pembangunan berkelanjutan”. Sejarah panjang yang mempertemukan konsep dan praktik dari CSR dan sustainable development yang merupakan time-line yang disarika oleh Loew pada Jalal dalam Hubungan Sustainable Development dan CSR.[80]
Konsep pemikiran dari John Elkington tersebut menggeser tanggungjawab pengelolaan perusahaan yang semula hanya kepada stockholders (pemegang saham) bergeser pada stakeholders pemangku kepentingan (pemilik, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas). Menurut Elkington, terdapat dua jenis stakeholder yaitu traditional stakeholder dan emerging stakeholder. Pemegang saham, pemberi pinjaman dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan peraturan adalah pihak-pihak yang termasuk dalam traditional stakeholder. Sedangkan karyawan, konsumen, organisasi akademisi, asosiasi pedagang, masyarakat luas, generasi di masa depan dan planet bumi termasuk emerging stakeholder. Menurut konsep Triple Bottom Line, keuntungan jangka panjang (sustainability) dapat dicapai ketika perusahaan mempertimbangkan kepentingan kedua jenis stakeholder yang pada umumnya memiliki konflik kepentingan.
Kesimpulan dari teori Triple Bottom Line ini adalah perusahaan bergantung pada traditional stakeholder dan emerging stakeholder serta kondisi lingkungan dalam mencapai keuntungan ekonomis (economic profit). Proses peningkatan nilai perusahaan harus sesuai dengan hukum dan etika yang berlaku serta harus sejalan dengan kepentingan dan harapan dari kedua jenis stakeholder.
Beberapa pengertian CSR dilahirkan oleh sejumlah lembaga internasional sebagai upaya untuk mengakomodasi pemahaman dimensi konsep CSR dari John Elkington di atas yang dikenal dengan “3P”, diantaranya:
a.       World Business Council for Sustainable Development (WBCSD):
Corporate social responsibility as ‘business’ commitment to contribute to suistanable ecomonic development, working with employees, their families, the local community, and society at large to improve their quality of life.”

Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Dari WBCSD disepakati bahwa CSR harus dilakukan seluruh perusahaan di dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada pengentasan kemiskinan, penataan lingkungan hidup jadi lebih baik dan peningkatan perekonomian. Sebagai penerapan dari kesepakatan WBCSD, dibutuhkan threesector partnership yakni kemitraan antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat/LSM. Dengan CSR, perusahaan tidak lagi hanya berpijak pada Single Bottom Line, yaitu hanya fokus pada kondisi keuangan saja. Dengan CSR, perusahaan harus mengembangkan Triple Bottom Line dan tidak hanya fokus di keuangan, melainkan juga harus berperan serta pada kegiatan sosial dan penataan lingkungan. Laba dan ekonomi tidak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan harus berpikir dan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar industrinya juga.
b.      International Finance Corporation:
Komitmen dunia bisnis untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.
c.       Institute of Chartered Accountants, England and Wales:
Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan dan memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka.
d.      Canadian Government:
Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggungjawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.
e.       European Commission:
Sebuah konsep yang mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis perusahaan dan dalam interaksinya dengan para pemangku (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
f.        CSR Asia:
Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, sambil menyeimbangkan beragam kepentingan stakeholders.
International Organization for Standarization, sebuah lembaga sertifikasi internasional, mengembangkan standar internasional ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility dan memberikan definisi CSR. Menurut ISO 26000, CSR adalah: [81]
“Tanggungjawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh”.

Kotler dan Lee menyatakan “Corporate social responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources.”
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibilty pada Harvard Business Review telah melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggungjawab sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggungjawab sosial itu meski dilanda krisis kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara, pada kasus program tanggungjawab sosial pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program tanggungjawab sosial akan dipotong lebih dulu.[82]
Perubahan pandangan masyarakat akan keberadaan suatu perusahaan juga didapatkan dari hasil penelitian “Environics International” yang menyatakan sebagian besar dari masyarakat di 23 negara memberikan perhatian yang tinggi terhadap perilaku sosial perusahaan.[83]
Konsumen semakin banyak mencari produk dan jasa yang lebih memperhatikan masalah lingkungan, sehingga terhadap produk cenderung semakin subjektif. Perusahaan yang mengabaikan masalah lingkungan akan mengalami kesulitan untuk ikut bersaing. Bankers dan investors juga mulai memahami bahwa masalah lingkungan yang dapat menimbulkan risiko dan ini patut dipertimbangkan saat memutuskan untuk memberikan pinjaman atau berinvestasi.[84]
Perubahan pandangan masyarakat, investor dan pemerintah pada gilirannya mendorong perusahaan untuk menunjukkan bentuk tanggungjawab sosial perusahaan yang tidak  terbatas hanya pada aktivitas perbaikan komposisi, kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan, tetapi juga pada teknik dan proses produksi, serta penggunaan sumber daya manusia.
Dari penjelasan yang ditetapkan di atas, dapat disimpulkan definisi tanggungjawab sosial perusahaan (CSR):
“Tanggungjawab sosial perusahaan meliputi komitmen perusahaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup perusahaan, masyarakat setempat, serta masyarakat pada umumnya.”[85]


3.      Unsur-Unsur Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility mempunyai beberapa unsur yang saling terkait dalam pelaksanaannya, yaitu:[86]
a.      Kepedulian Bagi Seluruh Pemangku Kepentingan
Perusahaan harus menghormati kepentingan, dan responsif terhadap semua stakeholders, termasuk pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, orang-orang proyek terkait, masyarakat lain pada umumnya dan memberi nilai bagi mereka semua. Mereka harus merancang mekanisme untuk dapat secara aktif terlibat dengan semua pemangku kepentingan, memberitahu mereka tentang risiko yang ada dan mengurangi risiko yang akan terjadi.
b.      Fungsi Etika
Sistem pengelolaan perusahaan harus didukung oleh etik, transparansi dan akuntabilitas. Perusahaan seharusnya tidak terlibat dalam praktik-praktik bisnis yang kasar, tidak adil, korup atau anti-kompetisi.
c.       Menghormati Hak-Hak dan Kesejahteraan Pekerja
Perusahaan harus menyediakan lingkungan kerja yang aman, higienis, manusiawi dan yang menjunjung martabat karyawan. Perusahaan harus memberi semua karyawan akses ke pelatihan dan pengembangan keterampilan yang diperlukan untuk kemajuan karir, atas dasar yang sama dan non-diskriminatif. Perusahaan harus menegakkan kebebasan berserikat dan mengakui hak untuk tawar-menawar kerja kolektif, memiliki sistem penyelesaian keluhan yang efektif, harus tidak mempekerjakan anak atau kerja paksa dan menyediakan dan mempertahankan kesetaraan peluang tanpa diskriminasi golongan dalam perekrutan dan selama menjalankan pekerjaan.
d.      Menghormati Hak Asasi Manusia
Perusahaan harus menghormati hak asasi manusia untuk seluruhnya dan menghindari keterlibatan pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan atau oleh pihak ketiga.
e.       Memelihara Lingkungan Hidup
Perusahaan harus mengambil langkah-langkah untuk memeriksa dan mencegah polusi; mendaur ulang, mengelola dan mengurangi limbah, harus mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan memastikan menggunakan sumber daya seperti tanah dan air, harus secara proaktif menjawab tantangan perubahan iklim dengan mengadopsi metode produksi yang bersih, mempromosikan efisiensi penggunaan energi dan teknologi ramah lingkungan.
f.        Kegiatan Untuk Pengembangan Sosial dan Inklusif
Tergantung pada kompetensi inti dan kepentingan bisnis mereka, perusahaan harus melakukan kegiatan untuk pembangunan ekonomi, sosial masyarakat dan wilayah geografis, terutama di sekitar daerah operasi mereka. Hal ini dapat mencakup: pendidikan, membangun keterampilan untuk mata pencaharian masyarakat, kesehatan, budaya dan kesejahteraan sosial, dll, terutama ditujukan pada bagian masyarakat yang kurang beruntung.

4.      Tujuan Corporate Social Responsibility
Dalam bisnis apapun, yang diharapkan adalah keberlanjutan dan kestabilan usaha, karena keberlanjutan akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan dan perusahaan mempunyai tanggungjawab terhadap sosial dan lingkungan. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas bahwa, Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang.[87]
Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan penting untuk kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan, sebagaimana dikemukakan Wibisono, yaitu:[88]
a.       Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan ekploratif, disamping sebagai kompensasi sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat.
b.      Kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga dapat tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan.
c.       Kegiatan CSR adalah merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu biasa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan structural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
5.      Manfaat Corporate Social Responsibility
Dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada 3 (tiga) hal, yaitu: laba (profit), masyarakat (people) dan lingkungan (planet). Perusahaan harus memiliki tingkat profitabilitas yang memadai sebab laba merupakan dasar bagi perusahaan untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Dengan perolehan laba yang memadai, perusahaan dapat membagi dividen kepada pemegang saham, memberi imbalan yang layak kepada karyawan, mengalokasikan sebagian laba yang diperoleh untuk pertumbuhan dan pengembangan usaha di masa depan, membayar pajak kepada pemerintah, dan memberikan multiplier effect yang diharapkan kepada masyarakat. Performa CSR dari perusahaan dapat memberikan manfaat baik kepada perusahaan maupun pihak-pihak lain seperti masyarakat sebagai stakeholder yang memiliki peran signifikan maupun kepada lingkungan.[89]
a.      Manfaat Bagi Perusahaan
     CSR dapat dipandang sebagai aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis yang makin sarat kompetisi. CSR dapat memberi banyak keuntungan yaitu:
1.      Peningkatan profitabilitas bagi perusahaan dan kinerja finansial yang lebih baik. Banyak perusahaan-perusahaan besar yang mengimplementasikan program CSR menunjukkan keuntungan yang nyata terhadap peningkatan nilai saham. Pengungkapan informasi CSR ini diharapkan dapat mempengaruhi harga saham perusahaan di pasar modal. Pengungkapan CSR dipandang sebagai suatu indikasi adanya manajemen yang baik dan karenanya perusahaan tersebut merupakan target investasi yang baik.[90]
2.      Menurunkan risiko benturan dengan komunitas masyarakat sekitar, karena sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitar atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait.
3.      Corporate image building karena dengan pelaksanaan CSR yang baik, nama perusahaan akan memperoleh citra yang baik yang dapat mempengaruhi pandangan pihak luar terhadap suatu perusahaan. Perusahaan juga memperoleh pengakuan dari pihak-pihak lain atas performa CSR-nya sehingga akan membangun suatu citra sebagai perusahaan yang peduli bukan hanya keuntungan melainkan juga memperhatikan keadaan sosial dan lingkungan disekitarnya.
4.      Mampu meningkatkan reputasi perusahaan yang dapat dipandang sebagai social marketing bagi perusahaan tersebut yang juga merupakan bagian dari pembangunan citra perusahaan (corporate image building). Social Marketing akan dapat memberikan manfaat dalam pembentukan brand image suatu perusahaan dalam kaitannya dengan kemampuan perusahaan terhadap komitmen yang tinggi terhadap lingkungan selain memiliki produk yang berkualitas tinggi. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak positif terhadap volume unit produksi yang terserap pasar yang akhirnya akan mendatangkan keuntungan yang berpengaruh pada laba perusahaan.
     Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporasi inilah yang memungkinkan kesetaraan antara manfaat sosial dan bisnis yang muaranya untuk meraih keuntungan materi dan sosial dalam jangka panjang. Dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam) manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR sebagai berikut:[91]
1.      Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan CSR secara konsisten akan mendapat dukungan luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mengangkat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan.
2.      CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen consumer goods yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan CSR-nya maka masyarakat menyikapinya dengan tenang sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya.
3.      Keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan.
4.      CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholders. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.
5.      Meningkatnya penjualan. Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang secara konsisten menjalankan CSR sehingga memiliki reputasi yang baik.
6.      Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya.
    Wibisono menyatakan mengenai keuntungan melakukan program Corporate Social Responsibility bagi perusahaan:[92]
1.      Mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan image perusahaan. Perbuatan deskruktif pasti akan mendongkrak image dan reputasi positif perusahaan. Citra yang positif ini penting untuk menunjang keberhasilan perusahaan.
2.      Layak mendapatkan social licence to operate. Masyarakat sekitar adalah komunitas utama perusahaan. Ketika mereka mendapatkan keuntungan dari perusahaan, maka dengan sendirinya mereka akan merasa memiliki perusahaan. Sehingga imbalan yang diberikan kepada perusahaan adalah keleluasaan untuk menjalankan roda bisnisnya di kawasan tersebut.
3.      Mereduksi risiko bisnis perusahaan. Mengelola risiko di tengah kompleksnya permasalahan perusahaan merupakan hal yang esensial untuk suksesnya usaha. Disharmoni dengan stakeholders akan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan. Bila sudah terjadi permasalahan, maka biaya untuk recovery akan jauh lebih berlipat bila dibandingkan dengan anggaran untuk melakukan program CSR. Oleh karena itu, pelaksanaan CSR sebagai langkah preventif untuk mencegah memburuknya hubungan dengan stakeholders perlu mendapat perhatian.
4.      Melebarkan akses sumber daya. Track records yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu memuluskan jalan menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.
5.      Membentangkan akses menuju market. Investasi yang ditanamkan untuk program CSR ini dapat menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang yang lebih besar. Termasuk di dalamnya memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru.
6.      Mereduksi biaya. Banyak contoh penghematan biaya yang dapat dilakukan dengan melakukan CSR. Misalnya: dengan mendaur ulang limbah pabrik ke dalam proses produksi. Selain dapat menghemat biaya produksi, juga membantu agar limbah buangan ini menjadi lebih aman bagi lingkungan.
7.      Memperbaiki hubungan dengan stakeholder. Implementasi CSR akan membantu menambah frekuensi komunikasi dengan stakeholder sehingga komunikasi ini akan semakin menambah kepercayaan stakeholders kepada perusahaan.
8.      Memperbaiki hubungan dengan Regulator. Perusahaan yang melaksanakan CSR umumnya akan meringankan beban pemerintah sebagai regulator yang sebenarnya bertanggungjawab terhadap kesejahteraan lingkungan dan masyarakat.
9.      Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Image perusahaan yang baik di mata stakeholders dan kontribusi positif yang diberikan perusahaan kepada masyarakat serta lingkungan, akan menimbulkan kebanggan tersendiri bagi karyawan yang bekerja dalam perusahaan mereka sehingga meningkatkan motivasi kerja mereka.
10.  Peluang mendapatkan penghargaan. Banyaknya penghargaan atau reward yang diberikan kepada pelaku CSR sekarang, akan menambah peluang bagi perusahaan untuk mendapatkan award.
     Kotler dan Lee menyatakan bahwa partisipasi perusahaan dalam berbagai bentuk tanggungjawab sosial dapat memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, antara lain:[93]
1.      Meningkatkan penjualan dan market share;
2.      Memperkuat brand positioning;
3.      Meningkatkan image dan pengaruh perusahaan;
4.      Meningkatkan kemampuan untuk menarik hati, memotivasi, dan mempertahankan (retain) karyawan;
5.      Menurunkan biaya operasional, dan
6.      Meningkatkan hasrat bagi investor untuk berinvestasi.
     Satyo menyatakan penyajian laporan berkaitan aktivitas sosial dan lingkungan memberikan banyak manfaat bagi perusahaan antara lain meningkatkan citra perusahaan, disukai konsumen, dan diminati investor. Bukti-bukti tersebut menunjukkan beragam aktivitas tanggungjawab sosial perusahaan terhadap stakeholdersnya. Tanggungjawab sosial perusahaan tersebut memberikan keuntungan bersama bagi semua pihak, baik perusahaan sendiri, karyawan, masyarakat, pemerintah maupun lingkungan.[94]
b.      Manfaat Bagi Masyarakat Dan Lingkungan
     Dengan memperhatikan masyarakat, perusahaan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Perhatian terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan cara perusahaan melakukan aktivitas-aktivitas serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan kompetensi masyarakat di berbagai bidang.[95]
     Dengan memperhatikan lingkungan, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas hidup umat manusia dalam jangka panjang. Keterlibatan perusahaan dalam pemeliharaan dan pelestarian lingkungan berarti perusahaan berpartisipasi dalam usaha mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan dampak bencana yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Dengan menjalankan tanggungjawab sosial, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar laba jangka pendek, tetapi juga ikut berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan (terutama lingkungan sekitar) dalam jangka panjang.[96]


6.      Ruang Lingkup Corporate Social Responsibility
Pada dasarnya CSR bukanlah entitas departemen atau divisi yang sifatnya parsial, atau hanya berfungsi dalam pendongkrakan citra sebagai bagian dari jurus jitu marketing perusahaan, sehingga dalam perusahaan di mata stakeholders lain khususya masyarakat menjadi positif.[97]
Pada hakekatnya CSR adalah nilai atau jiwa yang melandasi aktifitas perusahaan secara umum, dikarenakan CSR menjadi pijakan komprehensif dalam aspek ekonomi, sosial, kesejahteraan dan lingkungan. Tidak etis jika nilai CSR hanya di implementasikan untuk memberdayakan masyarakat setempat, disisi lain kesejahteraaan karyawan yang ada di dalamnya tidak terjamin, atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak, suburnya praktik korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak dibawah umur.[98]
Dalam aspek lingkungan misalnya, terdapat perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam pencemaran terhadap alam, melakukan pemborosan energi, dan bermasalah dalam limbah. Bagaimanapun semua aspek dalam perusahaan, baik ekonomi, sosial kesejahteraan dan lingkungan tidak bisa lepas dari koridor tanggungjawab sosial perusahaan. Oleh karena itu dalam CSR tercakup di dalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan, diantaranya:[99]
a.      Landasan Pokok CSR Dalam Aktifitas Ekonomi, meliputi:
1)      Kinerja keuangan berjalan baik
2)      Investasi modal berjalan sehat
3)      Tidak terdapat praktek suap atau korupsi
4)      Tidak ada konflik kepentingan
5)      Tidak dalam keadaan mendukung rezim yang korup
6)      Menghargai hak atas kemampuan intelektual atau panen
7)      Tidak melakukan sumbangan politis/lobi
b.      Landasan Pokok CSR Dalam Isu Lingkungan Hidup, meliputi:
1)      Tidak melakukan pencemaran
2)      Tidak berkontribusi dalam perubahan iklim
3)      Tidak berkontribusi atas limbah
4)      Tidak melakukan pemborosan air
5)      Tidak melakukan praktik pemborosan energi
6)      Tidak melakukan penyerobotan lahan
7)      Tidak berkontribusi dalam kebisingan
8)      Menjaga keanekaragaman hayati
c.       Landasan Pokok CSR Dalam Isu Sosial, meliputi:
1)      Menjamin kesehatan karyawan atau masyarakat yang terkena dampak
2)      Tidak mempekerjakan anak
3)      Memberikan dampak positif terhadap masyarakat
4)      Melakukan proteksi konsumen
5)      Menjunjung keberanekaragaman
6)      Menjaga privasi
7)      Melakukan praktik derma sesuai dengan kebutuhan
8)      Bertanggungjawab dalam proses outsourcing dan off-shorig
9)      Akses untuk memperoleh barang-barang tertentu dalam harga wajar
d.      Landasan Pokok CSR Dalam Isu Kesejahteraan, meliputi:
1)      Memberikan kompensasi terhadap karyawan
2)      Memanfaatkan subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah
3)      Menjaga kesehatan karyawan
4)      Menjaga keamanan kondisi tempat kerja
5)      Menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
6)      Menjaga keseimbangan kerja/hidup
Landasan di atas memberikan sebuah gambaran bahwa CSR bukanlah hal yang parsial, melainkan suatu urusan yang komprehensif. Tidak tepat jika perusahaan hanya fokus pada aspek lingkungan hidup namun lalai dalam aspek kesejahteraan karyawan dan ketidak seimbangan antara aspek lainnya. Oleh karena itu poin-poin di atas bisa dijadikan indikator sejauh mana keseriusan perusahaan dalam melanjutkan CSR. [100]

B.     Dasar Hukum Corporate Social Responsibility
Melaksanakan tanggungjawab sosial, secara normative merupakan kewajiban moral bagi jenis perusahaan apapun. Ketika perusahaan menjadi komunitas baru melakukan interfensi terhadap masyarakat lokal, sudah menjadi keharusan untuk melakukan adaptasi dan memberikan kontribusi, dikarenakan keberadaannya telah memberikan dampak baik positif maupun negatif. [101]
Tidak hanya berkutat pada aspek normatif, saat ini CSR telah diatur dalam peraturan yang sifatnya mengikat agar “perusahaan tertentu” wajib melakukan tanggungjawab sosialnya.  Hal tersebut bisa dilihat dari aturan mengenai tanggungjawab sosial sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Saat ini Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya Alam (selanjutnya disingkat SDA) diwajibkan melaksanakan program CSR, karena diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Dalam Pasal 74 diatur bahwa:[102]
1.      Perseroan yang menjalankan usahanya dibidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
2.      Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3.      Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa perseroan diartikan sebagai PT yang menjalankan usaha dibidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib menjalankan tanggungjawab sosial, namun tidak dijelaskan apakah tanggungjawab yang sama juga diwajibkan bagi entitas usaha yang tidak berbentuk badan hukum PT, sehingga hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa entitas yang tidak berbentuk PT tidak diwajibkan untuk melaksanakan CSR.
Selain itu bunyi Pasal 74 ayat (1) tersebut menimbulkan pertanyaan lain, yaitu apakah Perseroan Terbatas yang tidak menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam dapat diartikan tidak diwajibkan melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Selain itu, UUPT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar, karena pada ayat (2), (3) dan (4) hanya disebutkan bahwa:[103]
Ayat (2)           : “Dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
    perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
    memperhatikan kepatuhan dan kewajaran.”
Ayat (3)           : “Perseroan Terbatas yang tidak melakukan CSR
dikenakan sanksi sesuai peraturan dan     perundang-undangan.”
Ayat (4)           : “Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru
    akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.”

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, maka diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

2.      Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, terdapat dalam:
Pasal 2, bahwa Setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Pasal 3, bahwa Kewajiban ini berlaku bagi perseroan yang menjalankan bidang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Secara garis besar Peraturan Pemerintah ini terkesan memberikan dukungan terhadap kegelisahan pelaku usaha maupun pelaku pembangunan dalam tatanan hukum dan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dalam hal ini, juga disebutkan bahwa tanggungjawab sosial merupakan biaya bagi perseroan seperti disebutkan pada Pasal 5.
Pada sisi lain beberapa hal yang perlu dan sangat perlu diperjelas adalah dalam alur dan tanggungjawab sosial tidak memperlihatkan upaya pelibatan stakeholder yang sesungguhnya menjadi fondasi dari maksimalisasi pembangunan yang diharapkan oleh pemerintah. Dan perencanaan tanggungjawab sosial terkesan diserahkan sepenuhnya pada otoritas perseroan yang secara prinsip menutup proses kerjasama partisipatif dan melibatkan para pelaku pembangunan sampai pada level akar rumput. Selain itu, belum adanya batasan-batasan penjelasan bagaimana tanggungjawab sosial itu di pertanggungjawabkan pada penerima manfaat maupun pemerintah.
Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas merupakan kewajiban perseroan sebagaimana telah diatur pada pasal-pasal sebagai berikut:
1.      Pasal 2 : Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan.
2.      Pasal 3 ayat (1) : Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang.
3.      Pasal 3 ayat (2) : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan Perseroan.
4.      Pasal 5 ayat (1) : Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
5.      Pasal 7 : Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C.    Perkembangan Corporate Sosial Responsibility di Indonesia
Corporate Sosial Responsibility merupakan isu yang berkembang baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, perkembangan CSR dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Aktivitas Corporate Sosial Responsibility
Ada berbagai pendapat mengenai aktivitas-aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai aktivitas sosial yang menunjukkan bentuk keterlibatan sosial perusahaan terhadap masyarakat. Kotler dan Lee merumuskan aktivitas yang berkaitan dengan tanggungjawab sosial dalam 6 (enam) kelompok kegiatan: promotion, marketing, corporate social marketing, corporate philantropy, community volunteering, dan social responsibility business practices.[104]
Promotion adalah aktivitas sosial yang dilakukan melalui persuasive communications dalam rangka meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu sosial yang sedang berkembang. Marketing, dilakukan melalui commitment perusahaan untuk menyumbangkan sebesar persentase tertentu hasil penjualannya untuk kegiatan sosial. Corporate Sosial Marketing, dilakukan dengan cara mendukung atau pengembangan dan/atau penerapan suatu behavior change dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Corporate Philantropy merujuk pada kegiatan yang diberikan langsung, Community volunteering merupakan bentuk aktivitas sosial yang diberikan perusahaan dalam rangka memberikan dukungan bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Dukungan tersebut dapat diberikan berupa keahlian, talenta, ide, dan atau fasilitas laboratorium. Social Responsibility Business Practices merupakan kegiatan penyesuaian dan pelaksanaan praktik-praktik operasional usaha dan investasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan melindungi atau menjaga lingkungan, misalnya membangun fasilitas pengolahan limbah, memilih pemasok dan atau kemasan yang ramah lingkungan, dan lain-lain.[105]
 Berbeda dengan Kotler dan Lee, menurut The Commitee on Accounting for Corporate Sosial Performance of Nation Association of Accountants bentuk kegiatan sosial perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:[106]
1.      Keterlibatan komunitas (Community Involvement), mencakup aktivitas berbentuk donasi atau bantuan untuk kegiatan rohani, olahraga, bantuan bagi pengusaha kecil, pelayanan kesehatan masyarakat, bantuan penelitian dan sebagainya.
2.      Sumber daya manusia (Human Resources), meliputi program pendidikan dan pelatihan karyawan, fasilitas keselamatan kerja, kesehatan, kerohanian, serta tunjangan karyawan.
3.      Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Fisik (Environmental and Physical Resources) yang terdiri dari antara lain keterlibatan perusahaan dalam pengolahan limbah, program penghijauan, pengendalian polusi, dan pelestarian lingkungan hidup.
4.      Kontribusi produk atau jasa (Product or Services Contribution) yang mencakup keamanan dan kualitas produk, kepuasan konsumen, dan sebagainya.
2.      Cara Pandang Perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility
Penerapan CSR sangat dipengaruhi oleh pandangan perusahaan mengenai CSR. Wibisono menjelaskan beberapa cara pandang perusahaan terhadap CSR, sebagai berikut:[107]
1.      Sekedar basa-basi atau keterpaksaan. Perusahaan mempraktikkan CSR karena external driven (faktor eksternal), environmental driven (karena terjadi masalah lingkungan dan reputation driven (karena ingin mendongkrak citra perusahaan);
2.      Sebagai upaya memenuhi kewajiban (compliance);
3.      CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven).
Saidi dalam Tanudjaja membagi CSR menjadi 4 model, yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan pihak lain, dan mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.[108] Sementara itu, Wibisono menjelaskan bahwa penerapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, implementasi, evaluasi dan pelaporan.
CSR yang diterapkan oleh perusahaan akan mendapatkan berbagai manfaat bagi perusahaan dan masyarakat yang terlibat dalam menjalankannya. Menurut Wibisono manfaat implementasi CSR bagi perusahaan, yaitu dapat mempertahankan atau mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan, layak mendapatkan social licence to operate, mereduksi risiko bisnis perusahaan, melebarkan akses sumber daya, memperluas akses menuju pasar, mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholders, memperbaiki hubungan dengan regulator, meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan serta berpeluang mendapatkan penghargaan. Sedangkan manfaat CSR bagi masyarakat menurut Ambadar yaitu dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kelembagaan, tabungan, konsumsi dan investasi dari rumah tangga warga masyarakat.[109]
Implementasi CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan akan berdampak pada perusahaan itu sendiri dan pada masyarakat yang tinggal di lokasi pelaksanaan CSR. Dampak yang dapat dirasakan oleh masyarakat di antaranya adalah peningkatan taraf hidup dan kelembagaan berkelanjutan, peningkatan taraf hidup masyarakat akan dilihat dari peningkatan pendapatan, rumah atau papan, kesehatan, pangan dan (sarana) komunikasi. Sedangkan dampak yang akan dirasakan oleh perusahaan adalah peningkatan citra perusahaan dimata masyarakat. Selain saling mempengaruhi dengan tingkat partisipasi masyarakat, strategi pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan tersebut mengenai CSR. Karena suatu perusahaan akan melaksanakan CSR apabila memiliki kebijakan atau peraturan mengenai implementasi CSR dalam menjalankan usahanya. Kebijakan perusahaan mengenai CSR juga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kebijakan pemerintah dan pandangan perusahaan mengenai CSR.



BAB V
PENUTUP

Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
1.      Kewenangan Notaris dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility Perseroan Terbatas melalui RUPS adalah sebagaimana Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juncto Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) UUPT, maka Notaris memiliki kewenangan penting dalam mendukung kebijakan pemerintah guna menerapkan kewajiban bagi Perseroan Terbatas untuk melaksanakan program CSR bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Adapun kewenangan Notaris adalah berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN juncto Pasal 3 Perubahan Kode Etik Notaris Tahun 2015, dalam hal ini dengan cara memberikan penyuluhan hukum dan/atau secara persuasif mengajak kepada perusahaan-perusahaan untuk melakukan penyesuaian terhadap anggaran dasar perusahaan melalui RUPS khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang belum mencantumkan kewajiban CSR di dalam akta pendirian perusahaan.
2.      Hambatan dalam melaksanakan CSR guna menjalankan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a.       Kurangnya pengetahuan bagi Notaris tentang kewajiban pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam;
b.      Tidak tegasnya sanksi yang di atur di dalam UUPT maupun sanksi yang diatur di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak dan/atau belum melakukan kewajiban CSR bagi Pereroan Terbatas.
c.       Masih banyak perusahaan yang belum menyadari peranan penting untuk menjalankan program CSR, namun ketika bisnis mereka menghadapi masalah dengan masyarakat setempat barulah mereka menyadari pentingnya program tersebut. Padahal program CSR itu harus dirancang sedemikian rupa dengan strategi yang matang dan berkelanjutan.



B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah ada, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1.      Bagi Perseroan Terbatas agar mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang mewajibkan pelaksanaan CSR bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Perseroan-perseroan yang diwajibkan untuk melaksanakan kegiatan CSR sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 dapat mencantumkan ketentuan mengenai CSR dalam anggaran dasarnya.
2.         Bagi Notaris diharapkan agar dilakukannya sosialisasi kepada anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) tentang hal-hal yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012, sehingga diharapkan pemahaman seperti apa yang dikehendaki oleh undang-undang agar dapat disampaikan oleh Notaris melalui penyuluhan hukum kepada perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Sosialisai bagi Notaris ini diperlukan agar apa yang dicita-citakan oleh negara mengenai kewajiban perusahaan-perusahaan untuk melakukan CSR dapat tercapai.
3.      Bagi pemerintah :
a.         Hendaknya dapat memberikan sanki yang tegas melalui undang-undang dan/atau peraturan-peraturan pelaksana agar dapat terwujudnya semangat pemerintah dalam membangun pemerataan sosial melalui pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas.
b.      Adanya payung hukum terhadap kewenangan Notaris untuk dapat terlibat dalam pengembangan/kemajuan CSR.





[1] Sjaifurahman & Habi Adjie, 2011, Aspek Pertanggung jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 7-8.
[2] Erina Permatasari dan Lathifah Hanim, Peran dan Tanggung jawab Notaris Terhadap Pelaksanaan Pendaftaran Badan Hukum Perseroan Terbatas Melalui Sistem Online, Jurnal Akta Vol. 4 No. 3, 2017.
[3] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 35.
[4] Sjaifurahman & Habi Adjie, Op. Cit, hlm. 8.
[5] Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG melalui CSR”,  http://muharieffendi.multiply.com/journal/item/implementasi_GCG_melalui_CSR, >, Tanggal 13 Desember 2018, Pukul 14.24 WIB.
[6]Ibid.
[7]Ibid, hlm. 5.
[8] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 7.
[9] Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 19.
[10] W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 847.
[11] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 288.
[12] Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
[13] Tesis Hukum, “Pengertian Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli”, http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para-ahli/>, Tanggal 13 Desember 2018, Pukul 14.25 WIB.
[14] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 23.
[15] Ibid, hlm. 292-293.
[16] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 137.
[17] Candra Hayatul Iman dan Wulansari,  Hukum Perikatan, Universitas Singaperbangsa Karawang, Karawang, 2013, hlm. 18.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 82-83.
[22]Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005.
[23] Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Prestasi Pusaka, Jakarta, 2010, hlm. 48.
[24] Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, 2010, hlm. 37.
[28] Ibid, hlm. 209.
[29] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 154.
[30] Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 170.
[31] Ibid, hlm. 172.
[32] Dewa Gede Atmadja, “Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1996, hlm. 2.
[33] Ibid.
[34] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 29.
[35] Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 90.
[36] Ibid.
[37] Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, 2003, hlm. 74-75.
[38] Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintah yang Bersih, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 7.
[39] Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1998, hlm. 2.
[40] Heinrich Triepel, “Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota”, Disertasi, Pascapol Fisip UI, Jakarta, 2002, hlm. 104.
[41] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm. 284.
[42] Ibid.
[43] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Penerbit Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 375.
[44] Ibid, hlm. 376.
[45] Ibid.
[46] Ibid, hlm. 378.
[47] Ibid, hlm. 379.
[48] Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 5.
[49] Ibid, hlm. 8.
[50] Ibid, hlm. 21.
[51] Ibid, hlm. 37.
[52] Iffa Rohmah, “Penegakkan Hukum”, http://pustakakaryaifa.blogspot.com/2013/05/makalah-penegakan-hukum.html, 2016, Tanggal 13 Desember 2018, Pukul 14.27 WIB.
[53] Ibid, hlm. 53.
[54] Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 6.
[55] Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, ANDI, Yogyakarta, 2004, hlm. 4.
[56] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 11.
[57] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, CV Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 15.
[58] Panduan Akademik dan Pedoman Penulisan Tesis, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, 2017, hlm. 45.
[59] Yamin dan Utji Sri Wulan Wuryandari, Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 2015, hlm. 28.

[60] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ke-11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 98.
[61] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118.
[62] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 125.
[63] Hangga Surya Prayoga, “CSR: Sekilas Sejarah dan Konsep”, http://www.dohangga.com/, 2019, Tanggal 9 Januari 2019, Pukul 14.30 WIB.
[64] Tom Cannon, Corporate Responsibility (Tanggungjawab Perusahaan), PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1995, hlm. 28.
[65] Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Surabaya, 2007, hlm. 4.
[66] Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 37.
[67] Ibid.
[68] Ibid, hlm. 38.
[69] Yusuf Wibisono, Op. Cit, hlm. 5.
[70] Asril Sitompul, Hukum Perusahaan, Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya, Jakarta, 2016, hlm. 80-81.
[71] Asril Sitompul, Op. Cit, hlm. 80.
[72]Ibid, hlm. 81.
[73]Ibid, hlm.  81-82.
[74]Ibid, hlm. 82.
[75]Ibid.
[76]Ibid, hlm. 82-83.
[77] Damien Kingsbury, Introduction in Kingsbury, Key Issues in Development, Palgrave Macmillan
 New York, 2004.
[78] Sukada, Sonny dan Jalal, Pelaporan Keberlanjutan: Alat Akuntabilitas dan Manajemen, makalah yang disajikan pada Seminar Dua Hari, Corporate Social Responsibility: Strategy, Management and Leadership, Intipesan, Hotel Aryaduta Jakarta 13-14 Februari, 2008.
[79] Edi Suharto, “Corporate Social Responsibility: Perspektif Ilmu Sosial”, Seminar Sehari Corporate Social Responsibility, Dinas Sosial Kota Surabaya di Hotel J.W. Marriot Surabaya, 2008.
[80] Jalal, “Sejarah dan Perkembangan CSR di Tingkat Global dan Nasional, Lingkar Studi CSR”,
Journalist Conference on CSR (2011).
[81] ISO 26000, Guidance on Social Responsibility, 2007.
[82] Michael Porter, Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate
Social Responsibility, Harvard Business Review, 2006.
[83] Ashok Gupta, Why Should Companies Care, Mid-American Journal of Business, Spring, 2003,
hlm. 3.
[84] Patrick Medley, Environmental Accounting – What Does It Mean to Professional Accountants?
Journal of Accounting Auditing & Accountability, Vol. 10 No. 4, 1997, hal. 594-600.
[85] Ibid, hlm. 83.
[86] Ibid, hlm. 83-85.
[87] Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas.
[88] Yusuf Wibisono, Op. Cit, hlm. 50.

[89] Dwi Endah Mira Manurung, “Analisis Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) Pada
PT. Perkebunan Nusantara IV-Medan”, Tesis, Magister Akuntansi Universitas Indonesia,
2012, hlm. 43.
[90] R.H. Gray, Corporate Social Reporting by UK Companies: A Cross Sectional and Longitudinal
Study an Interim Report, Draft/Working Paper, 1990.
[91] Susanto, A.B., Corporate Social Responsibility,  The Jakarta Consulting Group, hlm. 3.
[92] Yusuf Wibisono, Op. Cit, hlm. 70.
[93] Kotler, Philip dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing the good for your
company and your cuse, Jakarta Economic Business Review Edisi III September
Desember, Jakarta, 2005.
[94] Satyo, Media Akuntansi, Edisi 47/ Tahun XII/Juli, 2005.
[95] Dwi Endah Mira Manurung, Op. Cit, hlm. 48.
[96] Ibid.
[97] Nur Melia, “Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Adaro Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2014, hlm. 32.
[98]Ibid.
[99]Ibid, hlm. 32-34.
[100]Ibid, hlm. 35.
[101]Ibid.
[102]Ibid, hlm. 42.
[103]Ibid, hlm. 43.
[104] Kotler, Philip dan Nancy Lee, Op. Cit.
[105] Ibid.
[106] Gunawan Yuniati, Analisis Pengungkapan Informasi Laporan Tahunan pada Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Simposium Nasional Akuntansi III, 2002.
[107] Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Surabaya, 2007.
[108] Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia, NIRMANA, Vol. 8
No. 2, 2006, hlm. 92-98.
[109] J. Ambadar, Corporate Social Responsibility dalam praktek di Indonesia, Edisi I, Penerbit Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2008.

DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Penerbit Kencana, Jakarta, 2009

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010

Ambadar, J., Corporate Social Responsibility dalam praktek di Indonesia, Edisi I, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008

Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996


Bahsan, M., Pengantar Analisis Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, 2003

Candra Hayatul Iman dan Wulansari,  Hukum Perikatan, Universitas Singaperbangsa Karawang, Karawang, 2013

Cannon, Tom, Corporate Responsibility (Tanggungjawab Perusahaan), PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1995

Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010

Gray, R.H., Corporate Social Reporting by UK Companies: A Cross Sectional and Longitudinal Study an Interim Report, Draft/Working Paper, 1990

Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis : Buku Kedua, Rajawali Pers, Jakarta, 2015

Iman, Candra Hayatul dan Wulansari,  Hukum Perikatan, Universitas Singaperbangsa Karawang, Karawang, 2013

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, 1993

Jimmly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral  & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006

Kingsbury, Damien, Introduction in Kingsbury, Key Issues in Development, Palgrave Macmillan,  New York, 2004

Lee, Nancy, Kotler dan Philip, Corporate Social Responsibility: Doing the good for your company and your cuse, Jakarta Economic Business Review Edisi III September Desember, Jakarta, 2005

Marbun, SF., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997

Panduan Akademik dan Pedoman Penulisan Tesis, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, 2017

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Gramedia Digital Indonesia, Jakarta, 2008

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1998

Poerwadaminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2006

Porter, Michael, Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility, Harvard Business Review, Harvard, 2006

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, 2010

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, 2003

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Sjaifurahman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung jawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011

Soegondo R. Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cet. 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, CV Rajawali, Jakarta, 1986

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ke-11, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993

Susanto, A.B., Corporate Social Responsibility (A Strategic Management Approach), Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007

Susanto, A.B., Corporate Social Responsibility, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2011

Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, ANDI, Yogyakarta, 2004

Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Prestasi Pusaka, Jakarta, 2010

Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Surabaya, 2007

Yamin dan Utji Sri Wulan Wuryandari, Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 2015

Zainal Asikin dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004


B.     Makalah/Jurnal
Abdul Aziz Manurung, “Analisis Yuridis Penerapan PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas” Studi Pada PTPN IV Unit Pasir Mandoge, 2018

Ashok Gupta, “Why Should Companies Care, Mid-American Journal of Business”, Spring, 2003

Dewa Gede Atmadja, “Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1996

Edi Suharto, “Corporate Social Responsibility: Perspektif Ilmu Sosial”, Seminar Sehari Corporate Social Responsibility, Dinas Sosial Kota Surabaya di Hotel J.W. Marriot Surabaya, 2008

Erina Permatasari dan Lathifah Hanim, “Peran dan Tanggung jawab Notaris Terhadap Pelaksanaan Pendaftaran Badan Hukum Perseroan Terbatas Melalui Sistem Online”, Jurnal Akta Vol. 4 No. 3, 2017

Gunawan Yuniati, “Analisis Pengungkapan Informasi Laporan Tahunan pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi III, 2002

Jalal, “Sejarah dan Perkembangan CSR di Tingkat Global dan Nasional, Lingkar Studi CSR”, Journalist Conference on CSR, 2011

Marthin Marthen B. Salinding Inggit Akim, “Implementasi prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Journal of Private and Vommercial Law Vol. 1 No. 1 Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara, 2017

Medley, Patrick, “Environmental Accounting – What Does It Mean to Professional Accountants? Journal of Accounting Auditing & Accountability”, Vol. 10 No. 4, 1997
Nico, “Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, di Yogyakarta, 2003

Nurma Risa, Tuti Sulastri dan Joko Pramono, “Corporate Social Responsibility Perusahaan Kepada Masyarakat Studi Kasus Pada PT Gold Coin Specialities”, Fakultas Ekonomi UNISMA Bekasi, 2011

Paulus Edison Panauhe, “Penerapan Prinsip Tanggungjawab Sosial Dalam Lingkungan Perusahaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012”, Lex Et Societatis Vol. VI/No.2, 2018

Philipus M. Hadjon, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintah yang Bersih”, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994

Sarre, Rick, “Keeping an Eye on Fraud: Proactive and Reactive Options for Statutory Watchdogs”, 17 Adelaide Law Review, 1995 

Sarre, Rick, “Responsing to Corporate Collapses: Is There a Role for Corporate Social Responsibility”, 7 Deakin L. Rev. 1, 2002

Satyo, “Media Akuntansi”, Edisi 47/ Tahun XII/Juli, 2005

Sukada, Sonny dan Jalal, “Pelaporan Keberlanjutan: Alat Akuntabilitas dan Manajemen, makalah yang disajikan pada Seminar Dua Hari, Corporate Social Responsibility: Strategy, Management and Leadership”, Intipesan, Hotel Aryaduta Jakarta, tanggal 13-14 Februari 2008

Tanudjaja, “Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia”, NIRMANA, Vol. 8 No. 2, 2006

Trieza Actriani, “Perusahaan Yang Menerapkan CSR dan Perusahaan Yang Tidak Menerapkan CSR”, 2014


C.    Kamus
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

D.    Thesis & Disertasi
Asma, Roita, Tanggungjawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas di Jakarta Timur, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2008

Heinrich Triepel, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi, Pascapol Fisip Universitas Indonesia, Jakarta, 2002

Manurung, Dwi Endah Mira, Analisis Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) Pada PT. Perkebunan Nusantara IV-Medan, Tesis, Magister Akuntansi Universitas Indonesia, Depok, 2012

Melia, Nur, Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Adaro Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2014

Permanasari, A.A. Ratih, Model Anggaran Dasar Perusahaan Bagi Perseroan Terbatas Yang Didirikan di Indonesia Untuk Melaksanakan Corporate Social Responsibility, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya, Malang, 2011


E.     Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Kode Etik Notaris Tahun 2015 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENAFSIRAN PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)

Oleh : FARHAN SYATHIR, S.H. UNIVERSITAS TARUMANEGARA 2014 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sejak hukum memb...