KEWENANGAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
The Authority Of Notary In The Implementations Corporate Social Responsibility
Of Limited Company Through The General Meeting Of Shareholders
Tesis
Diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn)
oleh:
WURIKA RETNO
SAFITRI
2016010462075
PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2019
ABSTRAK
A. Nama : Wurika
Retno Safitri NPM : 2016010462075
B.
Judul Tesis : Kewenangan Notaris Dalam Pelaksanaan Corporate
Social Responsibility
Perseroan Terbatas Melalui Rapat
Umum Pemegang
Saham
C.
Jumlah halaman : xiii + 168 (seratus enam puluh delapan)
halaman
D. Kata
Kunci : Kewenangan, Notaris, Corporate Social Responsibility,
Perseroan Terbatas, Rapat Umum Pemegang
Saham
E.
Isi Abstak
Pasal 74 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur mengenai CSR yang merupakan Tanggungjawab sosial
perusahaan yang meliputi komitmen perusahaan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup
perusahaan, masyarakat setempat, serta masyarakat pada umumnya. Notaris sebagai
Pejabat Negara memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan pemerintah guna
menerapkan kewajiban bagi Perseroan Terbatas untuk melaksanakan program CSR bagi perusahaan yang menjalankan
kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang menjalankan
kegiatan usahanya yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal
yang menjadi permasalahan dalam penelitian yaitu bagaimana kewenangan Notaris
dalam pelaksanaan CSR Perseroan
Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham dan bagaimana hambatan dalam
melaksanakan CSR.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian
hukum normatif dan empiris, yang
dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan
dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Disamping itu
digunakan data primer sebagai pendukung bahan hukum data sekunder. Untuk
analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan
cara membahas pokok permasalahan berdasarkan data yang diperoleh baik dari
studi kepustakaan maupun hasil penelitian di lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan adapun kewenangan Notaris dalam hal ini adalah
berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN juncto Pasal 3 Perubahan Kode Etik
Notaris Tahun 2015 dengan cara
memberikan penyuluhan hukum dan/atau secara persuasif mengajak kepada
perusahaan-perusahaan untuk
melakukan penyesuaian terhadap anggaran dasar perusahaan melalui RUPS khususnya
bagi perusahaan-perusahaan yang
belum mencantumkan kewajiban CSR di
dalam anggaran dasar. Hambatan dalam melaksanakan CSR yaitu kurangnya pengetahuan bagi Notaris tentang kewajiban
pelaksanaan CSR bagi perusahaan,
tidak tegasnya sanksi yang diatur terhadap perusahaan yang tidak dan/atau belum
melakukan kewajiban CSR, dan masih
banyak perusahaan yang belum menyadari peranan penting untuk menjalankan
program CSR.
F. Daftar
Acuan : 85 (delapan puluh
lima), terdiri atas 46 (empat puluh
enam) buku, 19 (sembilan belas) makalah, 3 (tiga)
kamus,
5 (lima) tesis, dan 12 (dua belas) peraturan
perundang-undangan.
G. Pembimbing/Promotor
: Dr. Erny Kencanawati, S.H., M.H.
Dr. Udin Narsudin, S.H., M.Hum., SpN.
DAFTAR ISI
Lembar Judul.................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ........................................................................................ ii
Lembar Judul ................................................................................................... iv
Pengesahan Pernyataan Keaslian .................................................................. v
Abstrak .............................................................................................................. vi
Abstract .............................................................................................................. vii
Kata Pengantar................................................................................................. viii
Daftar Isi............................................................................................................
x
Daftar Singkatan............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian......................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ..................................................................... 8
C.
Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D.
Kegunaan Penelitian................................................................. 8
1.
Kegunaan Teoritis................................................................ 8
2.
Kegunaan Praktis ................................................................ 9
E.
Kerangka Pemikiran.................................................................. 10
F.
Metode Penelitian .................................................................... 36
1.
Metode Pendekatan.............................................................. 36
2.
Spesifikasi
Penelitian........................................................... 39
3.
Teknik Pengumpulan
Data.................................................. 40
4.
Metode Analisa Data........................................................... 41
5.
Lokasi Penelitian.................................................................. 42
6.
Keaslian Penelitian............................................................... 42
BAB II CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM
PERSEROAN TERBATAS
A.
Corporate
Social Responsibility................................................. 46
1.
Sejarah Corporate Social Responsibility.............................. 46
2.
Pengertian Corporate Social Responsibility......................... 51
3.
Unsur-UnsurCorporate Social Responsibility...................... 60
4.
Tujuan Corporate Social Responsibility............................... 63
5.
Manfaat Corporate Social Responsibility............................. 64
6.
Ruang Lingkup Corporate Social Responsibility................. 73
B.
Dasar Hukum Corporate Social Responsibility......................... 76
1.
Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 76
2.
Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas........................................... 78
C.
Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia.. 80
1.
Aktivitas Corporate Social Responsibility........................... 80
2.
Cara Pandang Perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility 82
BAB III PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS
A. Model Anggaran Dasar Bagi Perseroan Terbatas yang Dapat
Mengakomodasikan Kewajiban Melakukan CSR
Dalam Kegiatan Usahanya........... 85
1. Anggaran Dasar Bagi Perseroan Terbatas yang Kegiatan
Usahanya Mengelola Sumber Daya Alam .......................................................................... 85
2. Anggaran Dasar Bagi Perseroan Terbatas yang Kegiatan
Usahanya Berkaitan Dengan Sumber Daya Alam.............................................................. 97
B. Pembahasan Khusus Perseroan Terbatas ................................. 105
1. Kepemilikan ........................................................................ 107
2. Pembatasan Tanggungjawab dan Doktrin Entitas Terpisah. 107
3. Akibat Hukum Setelah Pengesahan PT .............................. 111
4. Anggaran Dasar dan Perubahan .......................................... 112
5. Tanggungjawab Pemegang Saham ..................................... 113
6. Pengesahan Perseroan ......................................................... 114
7. Perlindungan Modal dan Kekayaan Perusahaan ................. 114
8. Organ Perseroan .................................................................. 115
C.
Penerapan Corporate Social Responsibility Dalam Lingkungan Perusahaan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 ........................................................................ 124
1. Perusahaan
Yang Melaksanakan CSR.................................. 126
2. Perusahaan
Yang Tidak Melaksanakan CSR........................ 134
BAB IV.... KEWENANGAN NOTARIS DAN HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS
A. Kewenangan Notaris Dalam Pelaksanaan Corporate
Social Responsibility Perseroan Terbatas Melalui Rapat Umum Pemegang Saham................... 141
1. Perjanjian dan Wanprestasi................................................... 147
2. Kewenangan Notaris Dalam
Pelaksanaan Corporate Social Responsibility 150
3. Sanksi Bagi Notaris............................................................. 156
B.
Hambatan Dalam
Melaksanakan Corporate Social
Responsibility...........................................................................
157
1. Kurangnya
Pemahaman CSR Bagi Aparat Dan Pejabat
Berwenang 157
2. Peraturan
Tentang CSR Belum Diatur Secara Tegas............ 159
3. Lemahnya Kesadaran Perusahaan Terhadap Dampak Lingkungan 162
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................ 166
B.
Saran.......................................................................................... 167
Daftar Pusataka :..............................................................................................
Lampiran :.........................................................................................................
Riwayat Hidup..................................................................................................
DAFTAR
SINGKATAN
ACCC Australian Competition
and Consumer Commission
AMDAL Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
APBD Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
ASIC Australian Securities and
Investment Commission
ATO Australian Tax Office
AUSTRAC Australian Transaction
Reports and Analysis Centre
BDMS Bara
Dinamika Muda Sukses
CSR Corporate Social Responsibility
EQ Emotional Quotient
GCS Gold Coin Specialities
INI Ikatan
Notaris Indonesia
IQ Intelligence Quotient
KUHPerdata Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
LSM Lembaga
Sosial Masyarakat
MPR Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Pemda Pemerintah
Daerah
PLN Perusahaan
Listrik Negara
PP Peraturan
Pemerintah
PT Perseroan
Terbatas
RUPS Rapat Umum Pemegang Saham
SDA Sumber
Daya Alam
SQ Spiritual Quotient
TUN Tata
Usaha Negara
UU Undang-Undang
UUD Undang-Undang Dasar 1945
UUJN Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
UUPT Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
WBCSD World Business Council in
Sustainable Development
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Penelitian
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Jabatan Notaris, Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki
kewenangan membuat akta-akta terkait tindakan, perjanjian dan
keputusan-keputusan yang oleh perundang-undangan umum diwajibkan atau para yang
bersangkutan supaya dinyatakan dalam surat yang bersifat otentik, menentukan
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, dan semuanya itu
selama pembuatan akta-akta itu tidak juga diwajibkan kepada pejabat atau khusus
menjadi kewajibannya.
Dalam kaitannya dengan
pembuktian kepastian hukum termasuk di dalamnya adalah hak serta kewajiban subjek
hukum baik orang pribadi maupun badan hukum yang sangat membutuhkan peran
Notaris. Peran Notaris terkait bantuan memberi kepastian hukumnya dan perlindungan
hukumnya bagi masyarakat sangatlah penting. Peran Notaris ini lebih bersifat
pencegahan atau preventif akan terjadinya masalah hukum di masa datang dengan
membuat akta otentik terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban subjek
hukum orang pribadi maupun badan hukum di dalam hukum, dan lain sebagainya yang
berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan yaitu dalam hal
terjadi sengketa hak dan kewajibannya.[1]
Notaris dalam melakukan
tugasnya didasari oleh peraturan perundang-undangan yang sering disebut
Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 2 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Dalam ketentuan Peraturan
Jabatan Notaris maupun Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) tersebut pada
intinya menyatakan bahwa tugas utama seorang Notaris adalah membuat akta-akta
otentik. Dalam Pasal 1870 KUHPerdata dikatakan bahwa akta otentik memberi
perjanjian yang absolut kepada para pihak yang membuatnya. Dengan demikian maka
pentingnya Jabatan Notaris adalah pada kewenangan Notaris yang diberikan oleh
undang-undang untuk membuat perangkat atau alat pembuktian yang absolut dan
karenanya akta otentik tersebut pada hakikatnya dinilai benar. Sehingga
merupakan hal yang sangat penting khususnya pihak yang membutuhkan dalam urusan
pribadi atau usaha.[2]
Tugas yang diemban oleh
Notaris adalah tugas yang seharusnya merupakan tugas pemerintah, maka hasil
pekerjaan Notaris mempunyai akibat hukum, Notaris dibebani sebagian kekuasaan
negara dan memberikan pada aktanya kekuatan otentik dan eksekutorial.[3]
Akta Notaris berperan
penting dalam menciptakan kepastian hukum karena sifat otentiknya dan dapat
digunakan sebagai alat pembuktian yang kuat dan penuh bila terjadi masalah yang
berhubungan dengan akta tersebut. Dewasa ini kebutuhan terhadap akta otentik
sebagai pembuktian semakin meningkat seiring dengan meningkatnya hubungan
bisnis di berbagai bidang usaha baik dari skala lokal hingga internasional.[4]
Salah satu bentuk akta
yang harus dibuat dihadapan Notaris adalah Akta Pendirian Perseroan Terbatas.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut dengan UUPT) Pasal 7 ayat (1)
merumuskan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta
Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
Selanjutnya UUPT mengatur
mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (untuk
selanjutnya disebut CSR), yang
dirumuskan dalam Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) UUPT.
CSR
sebagaimana ketentuan didalam UUPT tersebut merupakan kewajiban perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Dalam Pasal 1 angka (3)
UUPT menjelaskan yang dimaksud dengan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat
pada umumnya.
CSR
merupakan hal yang baru diatur dalam UUPT, karena dalam UUPT yang
lama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sendiri tidak mengatur mengenai CSR ini, karena dengan dikeluarkannya
kewajiban melaksanakan CSR bagi
perseroan menimbulkan reaksi yang pro dan kontra dalam masyarakat.
CSR
menurut World Business Council in
Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk
berperilaku etis (behavior alethics)
dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development).
Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya,
komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat
sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap
penerapan CSR sebagai akuntabilitas
publik.[5]
Selain tanggungjawab
perusahaan kepada pemegang saham,
tanggungjawab lainnya menyangkut tanggungjawab sosial perusahaan dan
tanggungjawab kelestarian lingkungan hidup (sustainable
environment responsibility). Seharusnya kepedulian perusahaan terhadap
lingkungannya semakin meningkat.
Paradigma baru perusahaan
yang dianggap tumbuh dan berkelanjutan (growth
and sustainable company) saat ini tidak hanya diukur dari pencapaian laba (profit) saja, namun juga diukur dari
kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik dengan komunitas lokal,
masyarakat luas maupun lingkungan hidup. Berkenaan dengan hal tersebut, muncul tripple bottom line model, yang terdiri
dari profit, people, and planet (3P).
Laporan suatu perusahaan yang menggunakan tripple
bottom line, selain melaporkan aspek keuangan juga melaporkan aspek
kepedulian sosial dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
Adanya kecenderungan
tersebut dapat mendorong para investor terutama pihak asing untuk memilih
menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menetapkan CSR dengan baik. Terdapat dua hal yang
dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR,
yaitu bersifat dari luar perusahaan (external
drivers) dan dari dalam perusahaan (internal
drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi
hukum dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Masyarakat sekitar
perusahaan tentu menyambut baik peraturan mengenai kewajiban CSR karena tujuan dari CSR itu sendiri diharapkan dapat meningkatkan
taraf hidup bagi masyarakat sekitar perseroan terutama terhadap perseroan yang
dalam melakukan usahanya dengan cara mengeksplorasi sumber daya alam. Namun
dari pihak pengusaha banyak yang mengeluarkan reaksi kontra terhadap
pemberlakuan UUPT mengenai CSR ini
karena mereka menganggap perseroan telah dibebani dengan pajak sehingga menjadi
tugas pemerintah untuk menyalurkan pajak tersebut agar dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
Terdapatnya materi hukum
yang mengatur tentang tanggungjawab sosial perusahaan dalam UUPT tentunya harus di
apresiasikan sebagai langkah yang progresif dari pembentuk undang-undang dalam
melihat eksistensi Perseroan Terbatas secara yuridis, mengingat hal ini akan
merubah paradigma yuridis tentang eksistensi Perseroan Terbatas secara
signifikan di Indonesia.[6]
Di Indonesia secara
yuridis CSR adalah sebuah kewajiban
yang dibebankan pada Perseroan Terbatas melalui UUPT Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) Juncto
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dengan adanya
undang-undang dan
peraturan
pemerintah
ini,
industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakannya, namun kewajiban
ini menurut penulis harus dipahami oleh pelaku usaha bukan merupakan suatu
beban yang memberatkan, mengingat pembangunan suatu negara tidak hanya tanggungjawab
pemerintah saja, diperlukan
kerja sama dengan seluruh masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan
pengelolaan kualitas hidup masyarakat.[7]
Keberadaan CSR dalam pengaturan hukum perseroan
terbatas di Indonesia merupakan realitas hukum yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya, sangat diperlukan dan sudah seharusnya mendapatkan pengakuan dan
tentunya apabila dilaksanakan dengan baik akan memberikan hasil positif dalam
berbagai aspek. Namun demikian, terdapat suatu permasalahan pokok yang menarik
bagi penulis untuk dibahas lebih lanjut, yaitu bagaimana kewenangan Notaris
dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas
melalui Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut dengan RUPS) dan bagaimana hambatan dalam
melaksanakan CSR.
Berdasarkan konsep
pemikiran di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang CSR, mengingat kewajiban
perusahaan dalam hal ini Perseroan Terbatas untuk menyelenggarakan CSR tergolong baru, yaitu dengan
diundangkannya UUPT Pasal
74
ayat (1) s/d
ayat (4) yang mengatur
tentang
kewajiban
CSR serta ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012. Sampai saat ini, perkembangan tentang konsep
dan implementasi CSR pun semakin
meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini terbukti dari
banyaknya perusahaan yang telah melakukan CSR.
Pelaksanaannya pun semakin beranekaragam mulai dari bentuk kegiatan yang
dilaksanakan, maupun dari sisi dana yang digulirkan untuk kegiatan tersebut.
Dari latar belakang
masalah tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil judul “KEWENANGAN NOTARIS DALAM
PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM.”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan hal-hal yang
telah diuraikan di dalam bagian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
kewenangan Notaris dalam pelaksanaan Corporate
Social Responsibility Perseroan Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham?
2. Bagaimana
hambatan dalam melaksanakan Corporate Social
Responsibility?
C.
Tujuan
Penelitian
Mengacu pada judul dan
permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui
dan menganalisis kewenangan
Notaris dalam pelaksanaan Corporate Social
Responsibility Perseroan Terbatas melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
2. Untuk
mengetahui
dan menganalisis hambatan dalam melaksanakan Corporate Social Responsibility.
D.
Kegunaan
Penelitian
Hasil penulisan ini
diharapkan dapat berguna baik dari segi teoritis maupun praktis, yaitu:
1.
Kegunaan
Teoritis
Memberikan sumbangan bagi
pengembangan Ilmu Hukum terkhususnya di bidang
Kenotariatan dalam fokus Hukum Perusahaan tentang pelaksanaan CSR dalam sebuah perusahaan di Indonesia
sesuai ketentuan yang telah diatur oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku.
2.
Kegunaan
Praktis
Selain kegunaan teoritis,
penelitian ini juga memiliki kegunaan
praktis, yaitu
penelitian
ini dapat memberikan kontribusi kepada:
a. Notaris,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pandangan dan pemahaman
mengenai standar dalam pelaksanaan CSR
Perseroan Terbatas melalui RUPS yang dituangkan di dalam anggaran dasar perusahaan;
b. Kalangan
akademis,
diharapkan dengan hasil analisis penelitian ini dapat memberikan ide dan gagasan dalam memahami dan
meneliti lebih lanjut tentang
pelaksanaan
CSR Perseroan
Terbatas melalui RUPS dalam penerapannya terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012, sehingga
suatu saat dapat menghasilkan suatu konsep dan pandangan terkait dengan
pentingnya CSR
bagi
suatu
perusahaan;
c. Bagi
masyarakat,
diharapkan dapat memberikan
manfaat
dan
sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam bidang hukum Kenotariatan khususnya
tentang
pelaksanaan
CSR Perseroan
Terbatas melalui RUPS dalam penerapannya terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012.
d. Bagi penulis, adalah sebagai
salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Magister Kenotariatan di Pascasarjana
Universitas Jayabaya.
E.
Kerangka
Pemikiran
Kerangka pemikiran
merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang sering
diperlukan sebagai tuntunan
untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Kerangka
pemikiran berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan pada suatu
penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan
pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat
antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, menganalisis serta
mengkonstruksi bahan-bahan hukum.
Adanya perbedaan
pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek, akan melahirkan teori-teori
yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum,
pembatasan-pembatasan (kerangka), baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang
sangat penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah.[8] Teori merupakan
serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.[9]
Fungsi teori dalam
penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan
serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, maka landasan teori diarahkan
secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami
penerapan hukum terhadap dalam pelaksanaan CSR Perseroan
Terbatas dalam suatu perusahaan melalui RUPS yang dimuat di dalam Akta Pendirian Perseroan sejak ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.
Diperlukan landasan
teoritis sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya. Adapun konsep dan teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Teori
Kepastian
Hukum,
Teori
Tanggungjawab
Hukum,
Teori Kewenangan dan Teori Efektivitas Hukum.
1.
Teori
Kepastian Hukum
Kepastian berasal dari
kata “pasti”, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak boleh tidak; suatu hal
yang sudah tentu.[10] Seorang filsafat hukum
Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum,
yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikan
sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.[11] Pendapat lain
mengemukakan bahwa Kepastian merupakan perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan
atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman
kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan
yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti
hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang
hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.[12]
Kepastian Hukum menurut
Sudikno Mertokusumo; merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus
dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian hukum yang berfungsi
sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.[13]
Seorang filsafat lain
yakni Utrech mengemukakan Kepastian Hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama; adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua; berupa keamanan hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan Negara terhadap individu.[14]
Munculnya hukum modern
membuka pintu bagi masuknya permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang
sekarang kita kenal dengan nama kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan sesuatu yang baru, tetapi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara
tradisional sudah ada sebelum era hukum modern.
Menurut pendapat Gustav
Radbruch, kepastian hukum adalah “Scherkeitdes
Rechtsselbst” (kepastian hukum tentang hukum itu sendiri). Adapun 4 (empat)
hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, diantaranya:
a. Bahwa
hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (Gesetzliches Recht).
b. Bahwa
hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen),
bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim,
seperti “kemauan baik”, “kesopanan”.
c. Bahwa
fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah
dijalankan.
d. Hukum
positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.[15]
Pendapat lainnya mengenai
kepastian hukum diungkapkan oleh Roscoe Pound, seperti yang dikutip di dalam
buku yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter Mahmud Marzuki dimana
kepastian hukum mengandung dua pengertian, diantaranya: [16]
a. Pertama,
adanya aturan yang bersifat umum, membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
b. Kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim
yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.
Asas Kepastian Hukum ini
merupakan penjabaran sifat perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi
undang-undang maka sudah menjadi bentuk kepastian hukum bagi para pihak,
sehingga memberikan beban kepada para pihak untuk memenuhi hal-hal yang
tercantum di dalam perjanjian.[17]
Adanya kepastian hukum
dalam suatu Negara menyebabkan adanya upaya pengaturan hukum dalam suatu
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.[18] Peraturan-peraturan yang
tidak berdasarkan pada keputusan sesaat adalah sistem hukum yang berlaku.
Sebuah konsep untuk memastikan bahwa hukum dijalankan dengan baik sehingga
tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, hukum harus menjadi pedoman, mengayomi
dan melindungi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada
individu ataupun kelompok merupakan pengertian dari asas kepastian hukum di
dalam penyelenggaraan Negara. Disini, hukum yang tidak boleh bertentangan serta
harus dibuat dengan rumusan yang bisa dimengerti oleh masyarakat umum di dalam
asas ini. Dengan hal ini, pengertian asas kepastian hukum dan keadilan yaitu
hukum berlaku tidak surut sehingga tidak merusak integritas sistem yang ada dan
terkait dengan adanya peraturan dan pelaksanaannya.[19] Kepastian hukum
diharapkan mengarahkan masyarakat untuk bersikap positif pada hukum Negara yang
telah ditentukan.[20]
Keberadaan teori
kepastian hukum ini tentu sebagai jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan.
Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagai
peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum
merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Pandangannya tentang kepastian
hukum yakni bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian
hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum
positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang
ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.[21]
Penerapan teori kepastian
hukum dalam
penulisan
tesis ini adalah memberikan kepastian hukum terhadap peran
Notaris dalam pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas
melalui RUPS di dalam
klausul
Akta
Perseroan Terbatas, oleh karena itu pengkajian dengan menggunakan teori
kepastian hukum ini bertujuan
untuk
menguraikan bentuk nilai-nilai kepastian hukum dalam permasalahan ini bagi semua pihak yang
berkepentingan.
2.
Teori
Tanggungjawab Hukum
Tanggung jawab hukum merupakan
suatu bentuk kewajiban yang timbul dari suatu perbuatan yang mana seorang harus
menanggung segala sesuatunya bila terjadi sesuatu yang dapat dituntut,
dipersalahkan atau diperkarakan. Tanggungjawab sendiri dalam bahasa hukum dikenal
sebagai suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya
yang berkaitan dengan etika dan moral dalam melakukan suatu perbuatan.[22] Titik Triwulan mengungkapkan
bahwa pertanggungjawaban harus memiliki dasar yaitu hal yang menyebabkan
timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal
yang melahirkan kewajiban hukum bagi orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.[23]
Secara umum pertanggungjawaban
hukum dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung, memikul tanggungjawab,
menanggung segala sesuatunya, (jika ada sesuatu hal, dapat dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya) sesuai dengan peraturan hukum yang
berlaku.
Tanggungjawab hukum
merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja
maupun yang tidak disengaja.[24]
Bahwa suatu konsep yang
terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab (liability). Seseorang dikatakan secara
hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang melawan hukum. Biasanya,
dalam kasus, sanksi dikenakan terhadap delinquent
(penjahat) karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus
bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek tanggungjawab hukum (responsibility) dan subjek kewajiban
hukum adalah sama.
Terdapat dua macam bentuk
pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility) dan pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan (based on fault):
a. Pertanggungjawaban
mutlak (absolut responsibility),
yaitu sesuatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat
undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatannya dengan akibatnya.
Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.
b. Pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan (based on fault),
atau dikenal juga dalam bentuk lain dari kesalahan yaitu kesalahan yang
dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan atau kekhilafan (negligance).[25]
Tanggung jawab hukum
sendiri menurut Abdulkadir Muhammad dibagi atas beberapa teori perbuatan
melanggar hukum diantaranya:[26]
a. Tanggungjawab
akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intentional tort liability), tergugat
harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat
atau mengetahui apa yang dilakukan tergugat mengakibatkan kerugian.
b. Tanggungjawab
akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort liability), didasarkan
pada konsep kesalahan (concept of fault)
yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (intermingled).
c. Tanggungjawab
mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan pada
perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan
kesalahannya tetap bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat
perbuatannya.
Teori Tanggungjawab Hukum
merupakan teori yang menganalisis tentang tanggungjawab subjek hukum atau
pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana
sehingga menimbulkan kerugian atau cacat, atau matinya orang lain.[27] Tanggungjawab hukum
sendiri dapat diklasifikasikan kepada tiga bidang tanggungjawab yakni:
a. Perdata;
b. Pidana;
dan
c. Administrasi.[28]
Munculnya tanggungjawab
pada bidang perdata disebabkan karena adanya subjek hukum yang tidak
melaksanakan suatu prestasi atau melakukan suatu perbuatan melawan hukum dari
perjanjian yang terikat sebelumnya, adapun prestasi yang dimaksud dalam suatu
perjanjian berupa melakukan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu, maka dari itu atas prestasi yang tidak dilaksanakan oleh para pihak
tersebut menimbulkan tanggungjawab yang mengikat pada para pihak tersebut.
Penerapan teori tanggungjawab
hukum dalam penelitian ini adalah
untuk
menemukan adanya suatu tanggungjawab hukum yang lahir pada perusahaan atau
badan hukum atas pelaksanaan CSR
perusahaan terhadap lingkungan sekitar berdasarkan
ketentuan mengenai CSR yang terdapat di
dalam
Akta Perseroan Terbatas, serta pengkajian tanggungjawab hukum pada etika moral
dari Notaris selaku pejabat dalam menjalankan wewenangnya dalam pembuatan akta tersebut,
dan tentunya pengkajian tanggungjawab hukum ini nantinya akan melihat dampak
bagi Notaris apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
3.
Teori
Kewenangan
Istilah
wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau
berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan
diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan
legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya.
Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.[29]
Asas
legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum.
Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus
memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan
demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Pengertian
kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang,
yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan
wewenang (authority) sebagai hak atau
kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang
lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.[30]
Hassan
Shadhily memperjelas terjemahan authority
dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses
penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager)
kepada bawahannya (subordinates) yang
disertai timbulnya tanggungjawab untuk melakukan tugas tertentu. Proses delegation of authority dilaksanakan
melalui langkah-langkah yaitu: menentukan tugas bawahan tersebut; penyerahan
wewenang itu sendiri; dan timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah
ditentukan.[31]
I
Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut:
“Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif
dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional,
sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional
secara eksplisit”.[32]
Wewenang
otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR
merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran dari
segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh: Pembentukan
undang-undang (disebut penafsiran otentik);
Hakim atau kekuasaan yudisial (disebut penafsiran Yurisprudensi) dan Ahli hukum
(disebut penafsiran doktrinal).
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati
melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan
pemerintah. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi dan
mandat.[33]
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian
wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan. Kewenangan adalah apa yang disebut
kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh
Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindak hukum publik.[34]
Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi dan mandat, yang masing-masing dijelaskan
sebagai berikut: Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada
delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau
Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif
kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului
oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN
yang satu kepada yang lain.[35]
Hal
tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan
atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever)
yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang
dibentuk baru untuk itu.
Tanpa
membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto
berpendapat dalam arti yuridis: pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.[36]
Atribusi
(attributie), delegasi (delegatie) dan mandat (mandaat), oleh H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut:
a. Attributie : toekenning
van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan;
b. Delegatie : overdracht
van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander;
c. Mandaat : een
bestuursorgan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander.
Stroink
dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan yang
berbeda, sebagai berikut: “Bahwa hanya ada 2 (dua) cara untuk memperoleh
wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan
wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada
(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain;
jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat,
tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimpahan wewenang. Dalam
hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal),
yang ada hanyalah hubungan internal”.[37]
Phipus
M. Hadjon mengatakan bahwa, setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus
bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga
sumber, yaitu abtribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan
mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”.[38]
Wewenang
terdiri atas sekurang-kurangnya tiga
komponen yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh
ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek
hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar
hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standar wewenang
yaitu standar hukum (semua jenis wewenang) serta standar khusus (untuk jenis
wewenang tertentu).[39]
a.
Teori
Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi
Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan
suatu wewenang. Cara yang biasa dilakukan untuk melengkapi organ pemerintahan
dengan penguasa pemerintah dan wewenang-wewenangnya adalah melalui atribusi.
Dalam hal ini pembentuk undang-undang menentukan penguasa pemerintah yang baru
dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik
kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.
Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk
undang-undang orisinil (pembentuk UUD, parlemen pembuat undang-undang dalam
arti formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum),
sedangkan pembentuk undang-undang yang diwakilkan (mahkota, menteri-menteri,
organ-organ pemerintahan yang berwenang untuk itu dan ada hubungannya dengan
kekuasaan pemerintahan) dilakukan secara bersama.
Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian
kekuasaan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam
suatu peraturan pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu Pasal dalam undang-undang
untuk diatur lebih lanjut.
b.
Teori
Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi
Kata delegasi (delegatie)
mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain
dengan atau berdasarkan kekuasaan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan
wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau
pejabat pemerintahan lainnya.
Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum karena bila
pemberi delegasi ingin menarik kembali wewenang yang telah didelegasikannya,
maka harus dengan peraturan perundang-undangan yang sama. Wewenang yang
diperoleh dari delegasi itu dapat pula di subdelegasikan kepada subdelegatoris.
Untuk subdelegatoris ini berlaku sama dengan ketentuan delegasi. Wewenang yang
diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat dimandatkan kepada orang atau
pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau pejabat yang secara resmi
memperoleh wewenang itu tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.
Menurut Heinrich Triepel, pendelegasian dalam pengertian
hukum publik dimaksudkan tindakan hukum pemangku sesuatu wewenang kenegaraan.
Jadi, pendelegasian ini merupakan pergeseran kompetensi, pelepasan dan penerimaan
sesuatu wewenang, yang keduanya berdasarkan atas kehendak pihak yang
menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus mempunyai suatu
wewenang, yang sekarang tidak digunakannya. Sedangkan yang menerima
pendelegasian juga biasanya mempunyai suatu wewenang, sekarang akan memperluas
apa yang telah diserahkan.[40]
c.
Teori
Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat
Kata Mandat (mandat) mengandung pengertian perintah (opdracht) yang di dalam pergaulan hukum,
baik pemberian kuasa (lastgeving)
maupun kuasa penuh (volmacht). Mandat
mengenai kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian kuasa (biasanya
bersamaan dengan perintah) oleh alat perlengkapan pemerintah yang memberi
wewenang ini kepada yang lain, yang akan melaksanakannya atas nama
tanggungjawab pemerintah yang pertama tersebut.
Pada mandat tidak ada pencitaan ataupun penyerahan
wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat
atas nama yang diwakili. Hanya saja mandat, tetap berwenang untuk menangani
sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi mandat juga bisa memberi
segala petunjuk kepada mandataris yang dianggap perlu. Pemberi mandat
bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambil berdasarkan mandat.
Sehingga, secara yuridis formal bahwa mandataris pada dasarnya bukan orang lain
dari pemberi mandat.
4.
Teori
Efektivitas Hukum
Kata
efektif berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective
yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus
ilmiah populer mendefinisikan sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau
menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu
yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya
suatu Undang-Undang atau peraturan.[41]
Sedangkan
efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk memantau.[42] Jika dilihat dari sudut
hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu
Notaris. Kata efektivitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti
terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap
pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan
yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu.
Pada
dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan.
Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi
sebagai a tool of social control
yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang
bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan
di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering yang
maksudnya adalah sebagai sarana pembaruan dalam masyarakat. Hukum dapat
berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang
tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivitas
hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.
Ketika
kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama
harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target
yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang
bersangkutan adalah efektif, tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih
jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan
hukum tergantung pada kepentingannya.[43]
Faktor-faktor
yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain:[44]
a. Relevansi
aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi
target aturan hukum secara umum itu.
b. Kejelasan
rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target
diberlakukannya aturan hukum.
c. Sosialisasi
yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d. Jika
hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturannya
bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat
melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat
mengharuskan (mandatur).
e. Sanksi
yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum
yang dilanggar tersebut.
f.
Berat ringannya sanksi yang
diancam dalam aturan hukum harus proporsional dan memungkinkan untuk
dilaksanakan.
g. Kemungkinan
bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan
diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh
karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan penghukuman).
h. Aturan
hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih
efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut
oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
i.
Efektif atau tidak
efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan
profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum
tersebut.
j.
Efektif atau tidaknya
suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi
yang minimal di dalam masyarakat.
Berbeda
dengan pendapat dari C.G. Howard & R.S. Mumnres yang berpendapat bahwa
seyogyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap hukum pada umumnya, melainkan
ketaatan terhadap aturan hukum tertentu saja. Achmad Ali sendiri berpendapat
bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya:[45]
a. Bagaimana
ketaatan terhadap hukum secara umum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya;
b. Bagaimana
ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya.
Jika
yang akan dikaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka dapat dikatakan
bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan, banyak tergantung pada
beberapa faktor, antara lain:[46]
a. Pengetahuan
tentang substansi (isi) perundang-undangan
b. Cara-cara
untuk memperoleh pengetahuan tersebut
c. Institusi
yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya.
d. Bagaimana
proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara
tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar
Myrdall sebagai sweep legislation
(undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Jadi,
Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi
efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan
peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam penjelasan
tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam penegakan perundang-undangan
tersebut.[47]
Sedangkan
Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur efektivitas dalam penegakan hukum pada
5 (lima) hal yaitu:[48]
1. Faktor
Hukum
Hukum
berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik
penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret bewujud nyata,
sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan
suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai
keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai
hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata
dilihat dari sudut hukum tertulis saja.[49]
2. Faktor
Penegakan Hukum
Dalam
berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan
peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang
baik, ada masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya
hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum.
Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap
atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang
dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh
kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.[50]
3. Faktor
Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor
sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras,
menurut Soerjono Soekanto bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan
baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang
proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang
sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual.[51]
4. Faktor
Masyarakat
Penegak
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai
kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu
kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan
hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan.
5. Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai
mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang
berlaku. Disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang
dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum perundang-undangan
tersebut dapat berlaku secara aktif.[52]
Kelima
faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam
penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Dari lima faktor penegak hukum tersebut faktor penegakan hukum sendiri
merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya
disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum
dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.[53]
F.
Metode
Penelitian
Metode adalah proses,
prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian
adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala
untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan
sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitian.[54]
Menurut Sutrisno Hadi,
penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran
suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode
ilmiah.[55]
Dalam penelitian ini penulis
akan menggunakan
metode-metode sebagai berikut:
1.
Metode
Pendekatan
Metode penelitian yang
dipakai ialah metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis
normatif yaitu suatu penelitian kepustakaan, penelitian terhadap data sekunder.[56] Menurut Soekanto dan
Mamudji, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum kepustakaan
(disamping adanya penelitian hukum sosiologi atau empiris yang terutama
meneliti data primer).[57] Metode pendekatan ini
dapat juga dilakukan dengan yuridis empiris dengan mencari dan menemukan data
lapangan, namun hanya dijadikan sebagai pendukung/pelengkap data sekunder, yang
dilakukan dengan wawancara. Penerapannya dihubungkan dengan objek penelitian.[58]
Data sekunder merupakan data yang mendukung
sumber data primer berupa data dari buku-buku literatur, peraturan-peraturan
dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
Data sekunder di bidang
hukum (dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi:[59]
a. Bahan-bahan
Hukum Primer
Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum
seperti peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Badan hukum primer yang
penulis gunakan di dalam penulisan ini, yaitu:
1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; dan
2) Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas.
(Bahan-bahan hukum
tersebut di atas mempunyai kekuatan mengikat).
b. Bahan-bahan
Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu
diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai
bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar
atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan
memberikan petunjuk kemana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan
sekunder disini yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya “dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer”, yang
penulis gunakan adalah:
1) Corporate Social
Responsibility Dalam Praktek di Indonesia, buku
karya J. Ambadar;
2) Corporate Social
Responsibility, buku karya Hendrik Budi Untung; dan
3) Corporate Social
Reporting by UK Companies: A Cross Sectional and Longitudinal Study an Interim
Report, buku karya R.H. Gray.
c. Bahan-bahan
Hukum Tersier
Bahan hukum tersier
adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya:
1) Blogspot; dan
2) Wikipedia.
2.
Spesifikasi
Penelitian
Penelitian ini secara
spesifik merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yang
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut masalah
tersebut. Metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak.[60]
Penelitian yang bersifat
deskriptif analitis adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan
fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.
Metode penelitian ini
menggunakan metode penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis
ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books)
atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu, sebagai sumber
datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, atau data tersier.[61]
Penelitian ini
menggunakan penelitian hukum normatif yang didukung dengan penelitian hukum empiris
karena penelitian ini hendak mengkaji mengenai bagaimana pelaksanaan kewenangan
dan hambatan bagi Notaris dalam
pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas
melalui RUPS
dan tinjauan secara langsung kepada perusahaan yang melaksanakan dan tidak
melaksanakan program CSR.
Secara spesifikasi
penelitian ini akan menempuh langkah sebagai berikut: Pertama-tama dengan
menganalisis definisi CSR dan peran
Notaris sebagai pejabat umum, setelah
itu akan diuji dan dikaitkan dengan pelaksanaan dan hambatan CSR pada Perseroan Terbatas.
3.
Teknik
Pengumpulan Data
Studi pustaka data yang
diteliti dalam suatu penelitian dapat berwujud data yang diperoleh melalui
bahan-bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Dengan
demikian, data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder
yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dengan cara mengumpulkan, menyeleksi, dan meneliti peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dan sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti, termasuk data yang diperoleh dari objek penelitian.
4.
Metode
Analisis Data
Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data secara kualitatif, yaitu segala sesuatu yang
dinyatakan responden,
baik secara tertulis maupun lisan serta perilaku nyata yang dipelajari dan
diteliti sebagai sesuatu yang utuh.
Penggunaan metode
analisis kualitatif dalam penelitian adalah dengan cara membahas pokok
permasalahan berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun
dari hasil penelitian di lapangan yang kemudian dianalisis secara kualitatif
untuk pemecahan. “Analisis ini dilakukan dengan bersamaan proses data. Adapun
model analisis yang digunakan yaitu model analisis interaktif yang didukung
proses triangulasi mencakup metode-metode, kajian ulang dan meliputi
praktek-praktek yang biasanya diikuti untuk memperkirakan validitas dan
reliabilitas temuan-temuan penelitian.[62] Sedangkan yang dimaksud
dengan metode analisis interaktif, ialah model analisa yang terdiri dari tiga
komponen pokok, yaitu sebagai berikut:
a. Reduksi
Data, yaitu
bentuk analisa yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal
tidak penting yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
b. Sajian
Data, yaitu
sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan.
c. Kesimpulan, yaitu setelah memahami maksud
berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan,
pertanyaan-pertanyaan, alur sebab akibat akhirnya dapat ditarik sebuah
kesimpulan.
5.
Lokasi
Penelitian
Untuk dapat menunjang pengumpulan
data-data sekunder yang dihasilkan dari studi kepustakaan, maka
dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data-data dari Perpustakaan
Universitas Jayabaya; Perpustakaan Universitas Indonesia; Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia; Desa Loreh dan Desa Langap,
Kecamatan Loreh, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara; Kelurahan Medan
Satria, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, Jawa Barat; dan sumber lainnya yang dapat memberi sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
6.
Keaslian
Penelitian
Berdasarkan penelusuran
dan informasi yang dilakukan oleh penulis, bahwa didapat cukup
banyak hasil penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian baik dalam
bentuk laporan, tesis maupun disertasi. Namun khusus untuk penelitian hukum dalam penulisan tesis ini, dengan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka penulis
dalam melakukan penulisan tesis ini juga melihat hasil penelitian-penelitian yang sejenis dengan penelitian yang dibuat oleh penulis yang bersumber dari beberapa penulis sebagai
berikut:
a. Roita
Asma (2008) dari Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan
penelitian yang berjudul “TANGGUNGJAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN
KEPUTUSAN RAPAT PERSEROAN TERBATAS DI JAKARTA TIMUR”. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian,
bahwa kewenangan Notaris dalam pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham Perseroan Terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, khususnya Pasal 15 yang intinya memberikan beberapa
kewenangan kepada Notaris selaku pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya,
yaitu: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
b. Hasan
Asyari (2009) dari Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dengan
penelitian yang berjudul “IMPLEMENTASI CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) SEBAGAI MODAL SOSIAL PADA PT. NEWMONT”. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris. Berdasarkan hasil
penelitian, bahwa PT. Newmont telah melaksanakan CSR kepada masyarakat melalui
pendidikan yang meliputi: 1) Pembangunan sarana pendidikan, 2) Pembangunan
Infrastruktur, berupa sarana obyek wisata di Pantai Buyat, 3) Bidang kesehatan,
telah melakukan pembangunan pusat kesehatan, pemberian suplai peralatan
kesehatan dan penyediaan staf medis.
c. Suciyati
(2010) dari Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan
penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (STUDI KASUS PADA PT. APAC INTI
CORPORATE)”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris
dan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kewajiban pelaksanaan
CSR merupakan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum.
d. A.A.
Ratih Permanasari (2011) dari Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya
Malang, dengan penelitian yang berjudul “MODEL ANGGARAN DASAR PERUSAHAAN BAGI
PERSEROAN TERBATAS YANG DIDIRIKAN DI INDONESIA UNTUK MELAKSANAKAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY”. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil
penelitian, bahwa memberikan suatu model Anggaran Dasar perusahaan yang
mencantumkan klausula mengenai Corporate
Social Responsibility bagi Perseroan Terbatas yang kegiatan usahanya
mengelola sumber daya alam dan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber
daya alam.
e. Nur
Melia (2014) dari Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, dengan
penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. ADARO INDONESIA SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR
40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS”. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa program
CSR di PT. Adaro Indonesia adalah pemberdayaan perekonomian masyarakat,
aktifitas sosial yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui
pengadaan fasilitas kesehatan, agama, pendidikan maupun bidang sosial
kemasyarakatan lainnya, serta pelestarian lingkungan hidup melalui program
reklamasi dan penghijauan melalui pola pembentukan hutan industri.
Selanjutnya penulis menjamin dan menyatakan bahwa segala yang tertuang dalam tesis
ini, adalah betul-betul ide dan hasil pemikiran asli dari penulis. Bukan hasil
Plagiat atau hasil meniru Ide, hasil pemikiran atau buah karya orang lain.
BAB II
CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY
DALAM PERSEROAN TERBATAS
A.
Corporate Social
Responsibility
1.
Sejarah Corporate Social Responsibility
Corporate Social
Responsibility (CSR) atau tanggungjawab
sosial perusahaan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama.
Bahkan di dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat
sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau
menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa
hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan
minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar
sehingga menyebabkan kematian orang lain.[63]
Adanya
Revolusi Industri telah menyebabkan masalah tanggungjawab perusahaan menjadi
fokus yang tajam. Ini merefleksikan kekuatan industri baru untuk membentuk
kembali hubungan yang sudah dianggap kuno, feodal, klan, rumpun, atau sistem
otoritas yang berlandaskan kekeluargaan dan teknologi memberi kekuasaan yang
besar dan kekayaan pada “perusahaan”. Tanah harus dibagi-bagikan kembali dan
kota-kota dibangun. Kekuatan mesin yang melibihi manusia meningkatkan masalah
tanggungjawab dan moralitas. Kesan yang kadang-kadang muncul adalah Revolusi
Industri melakukan pelanggaran keras terhadap sistem, struktur dan perhatian
pada masa lalu. Dampak industrialisasi terhadap lingkungan alam maupun
lingkungan buatan menjadi sumber baru untuk diperhatikan dan diberi tanggapan.
Kondisi di sekitar pabrik dan kota memperbesar kemarahan dan membuat orang lain
memberi perhatian mendalam.[64]
Perkembangan
CSR semakin terasa pada tahun 1960-an
saat dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II,
dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan
kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan
perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong
berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan
keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari
masyarakat.[65]
Konsep
hubungan antara perusahaan dengan masyarakat ini dapat juga ditelusuri dari
zaman Yunani kuno, sebagaimana disarankan Nicholas Eberstadt. Beberapa pengamat
menyatakan CSR berhutang sangat besar
pada konsep etika perusahaan yang dikembangkan gereja Kristen maupun fiqih muamalah dalam Islam. Tetapi
istilah CSR sendiri baru menjadi
populer setelah Howard Bowen menerbitkan buku “Social Responsibility of Businessmen” pada 1953. Sejak itu
perdebatan tentang tanggungjawab sosial perusahaan dimulai. Tetapi baru pada
dekade 1980-an dunia barat menyetujui penuh adanya tanggungjawab sosial itu.
Tentunya dengan perwujudan berbeda di masing-masing tempat, sesuai pemahaman
perusahaan terhadap apa yang disebut tanggungjawab sosial.[66]
Buku
karangan Howard Bowen yang berjudul “Social
Responsibility of Businessmen” dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen
memberikan definisi awal dari CSR
sebagai berikut: “...obligation of
businessman to pursue those policies, to make those decisions or to follow
those line of action which are diserable in term of the objectives and values
of our society.” Buku yang diterbitkan di Amerika Serikat itu menjadi buku
terlaris di kalangan dunia usaha pada era 1950-1960. Pengakuan publik terhadap
prinsip-prinsip tanggungjawab sosial yang ia kemukakan membuat dirinya
dinobatkan secara aklamasi sebagai bapak CSR.
Sejak saat itu sudah banyak referensi ilmiah lain yang diterbitkan di berbagai
negara mengacu pada prinsip-prinsip tanggungjawab dunia usaha kepada masyarakat
yang telah dijabarkan dalam buku Bowen. Ide dasar yang dikemukakan Bowen adalah
mengenai “kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai
dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaan tersebut
beroperasi. Ia menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu demi meyakinkan
dunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui urusan kinerja
finansial perusahaan.[67]
Pemikiran
Bowen dikembangkan pada dekade 1960-an oleh berbagai ahli sosiologis bisnis
lainnya seperti Keith Devis yang memperkenalkan konsep Iron law of Social Responsibility. Dalam konsepnya Davis
berpendapat bahwa penekanan pada tanggungjawab sosial perusahaan memiliki
korelasi positif dengan size atau
besarnya perusahaan, studi ilmiah yang dilakukan Davis menemukan bahwa semakin
besar perusahaan atau lebih tepat dikatakan, semakin besar dampak suatu
perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, semakin besar pula bobot
tanggungjawab yang harus dipertahankan perusahaan itu pada masyarakat. Dalam
periode 1970-1980 definisi CSR lebih
diperluas lagi oleh Archi Carrol yang sebelumnya telah merilis bukunya tentang
perlunya dunia usaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi
penunjang eksistensi perusahaan.[68]
Terbitnya
buku “The Limits to Growth” pada
dasawarsa 1970-an merupakan hasil pemikiran para cendikiawan dunia yang
tergabung dalam Club of Rome yang
dimana buku tersebut terus diperbaharui sampai dengan saat ini. Buku ini
mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai
keterbatasan daya dukung. Sementara di sisi lain, manusia bertambah secara
eksponensial. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti dilakukan secara
hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.[69]
Pada akhir abad ke 19, perusahaan mulai
dipandang sebagai institusi yang hanya bertujuan memberi benefit kepada
pemegang sahamnya. Jadi pencarian keuntungan sebesar-besarnya merupakan
satu-satunya fungsi perusahaan. Perubahan sikap ini bertepatan dengan masa
ekspansi industri utama dan pembangunan ekonomi yang dipelopori oleh
perusahaan. Akibatnya, kepemilikan perusahaan-perusahaan yang ditujukan khusus
untuk maksimalisasi keuntungan dipandang konsisten dengan kepentingan nasional.[70]
Kepedulian
sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwa kegiatan perusahaan membawa
dampak –for better or worse, bagi
kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar
perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham.
Melainkan pula stakeholders dapat
mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar
perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah
selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders
relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang
bersangkutan.
2.
Pengertian
Corporate Social Responsibility
Berdasarkan sejarah,
perusahaan tidak selalu dikenal sebagai lembaga yang berorientasi mencari laba
sebanyak-banyaknya. Pada mulanya setiap
perusahaan mendapatkan sertifikat (charter)
dari lembaga pemerintah (executive-sovereign).
Kemudian perusahaan mendapatkan sertifikat dari lembaga legislative yang sering mencakup hak-hak istimewa seperti pemberian
monopoli dari pemerintah (government-guaranteed
monopolies). Pemberian tersebut diberikan sesuai dengan teori bahwa
perusahaan dirancang untuk melayani keperluan
masyarakat yang khusus, seperti pengoperasian Kanal atau jalan tol.
Jadi, fungsi perusahaan adalah untuk memenuhi tugas yang berupa campuran antara
kebutuhan publik dan privat.[71]
Perusahaan dianggap oleh
banyak orang harus mempunyai tanggungjawab sosial. Namun, hal itu tidak
sepenuhnya benar. Banyak perusahaan sangat sadar akan tanggungjawab mereka
kepada masyarakat dan kepada komponen perusahaan. Tanggungjawab sosial
perusahaan dapat berupa sikap afirmatif dengan pemberian mereka untuk amal,
pinjaman usaha kecil dan program pelatihan kerja dan bantuan kepada masyarakat
setempat. Dan, tanggungjawab sosial dapat dilaksanakan oleh perusahaan dalam bentuk
menghindari dari melakukan hal-hal yang membahayakan, seperti mencemari
lingkungan atau terlibat dalam kegiatan yang mengakibatkan penghancuran hutan.
Beberapa pihak menyatakan bahwa tanggungjawab perusahaan adalah untuk
memaksimalkan pendapatan, dengan ketentuan bahwa perusahaan harus mematuhi
hukum.[72]
Mereka berpendapat bahwa
perusahaan tidak dapat dipisahkan dari pemegang saham yang memilikinya. Semua
kegiatan nirlaba yang melibatkan korporasi dan semua kesempatan untuk
keuntungan yang dilewati perusahaan mencerminkan pengurangan laba perusahaan
yang seharusnya akan menjadi milik para pemegang saham. Dengan demikian,
penggunaan sumber daya perusahaan untuk kegiatan selain maksimalisasi
keuntungan dapat dipandang sebagian orang sebagai memaksa para pemegang saham
untuk mensubsidi manajemen perusahaan.[73]
Dalam beberapa dekade
terakhir banyak hubungan bisnis telah di dehumanisasi oleh perkembangan seperti
otomatisasi, produksi massal, dan metode distribusi berskala besar. Sekarang
banyak orang percaya bahwa perusahaan harus melayani tidak hanya kepentingan
para pemegang saham, tetapi juga kesejahteraan karyawan, konsumen, pemasok,
kreditor, dan masyarakat.[74]
Hukum telah berubah untuk
mengakomodasi pandangan terhadap perubahan peran perusahaan dalam masyarakat.
Pandangan modern saat ini adalah bahwa aktivitas nirlaba perusahaan dibenarkan
sebagai dasar kebijakan publik. Banyak negara telah melakukan amandemen
peraturan perusahaan untuk mensahkan kegiatan nirlaba. Di banyak negara,
kegiatan-kegiatan manajemen tersebut dilindungi dari keberatan para pemegang
saham kecuali kegiatan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau dengan itikad
buruk.[75]
Apabila diteliti lebih
dekat, maka terlihat bahwa keuntungan dan tanggungjawab sosial tidak selalu
konflik. Keduanya mungkin saling melengkapi. Pertama, goodwill
atau citra dari sebuah perusahaan adalah
penting untuk keuntungan jangka panjang. Perusahaan-perusahaan yang gagal untuk
terlibat dalam kegiatan sosial yang ditujukan kepada masyarakat akhirnya dapat
kehilangan pelanggan mereka. Kedua,
industri yang mengabaikan tanggungjawab sosial menghadapi risiko peningkatan
peraturan pemerintah pada industri tersebut. Ketiga, kerugian yang tidak berwujud akan terjadi apabila
perusahaan mengabaikan keadaan sosial internal. Semangat kerja karyawan dan
motivasi manajemen semua berkurang, dan akibatnya produktivitas dan
profitabilitas akan berkurang.[76]
Seiring dengan
perkembangan ide sustainability
development, dunia usaha pun mulai menyerap ide tersebut ke dalam kebijakan
bisnis mereka, terutama sebagai upaya keberlanjutan dari keuntungan yang bisa
mereka dapatkan.[77]
Menurut Sukada, adopsi prinsip sustainability development kemudian
menghasilkan gagasan bussines
sustainability atau corporate sustainability yang merupakan pengakuan
dan pengintegrasian tujuan dunia bisnis dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Kebijakan tersebut melihat peran potensial perusahaan dalam
pembangunan berkelanjutan adalah untuk perusahaan bisnis, pembangunan
berkelanjutan berarti mengadopsi strategi bisnis dan kegiatan yang memenuhi
kebutuhan perusahaan dan pemangku kepentingan saat ini sambil melindungi,
mempertahankan dan meningkatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang
akan dibutuhkan di masa depan. Jika pembangun berkelanjutan ingin mencapai
potensinya, harus diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan dan pengukuran
perusahaan bisnis.[78]
Ide tentang sustainable development inilah yang
menjadi inspirasi bagi John Elkington pada bukunya “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business” menghasilkan prinsip utama Triple
Bottom Line, yaitu hubungan yang seimbang antara profit, people, and planet dalam manajemen perusahaan. Perusahaan
dituntut tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (Profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan (Planet) dan kesejahteraan
masyarakat (People) yang dapat
dilihat pada lampiran Gambar 2.1.[79]
Prinsip Triple Bottom Line inilah yang kemudian
menjadi landasan bagi konsep CSR yang
modern. Konsep CSR yang modern
dianggap sebagai pembumian gagasan besar “pembangunan berkelanjutan”. Sejarah
panjang yang mempertemukan konsep dan praktik dari CSR dan sustainable
development yang merupakan time-line
yang disarika oleh Loew pada Jalal dalam Hubungan Sustainable Development dan CSR.[80]
Konsep pemikiran dari
John Elkington tersebut menggeser tanggungjawab pengelolaan perusahaan yang
semula hanya kepada stockholders
(pemegang saham) bergeser pada stakeholders
pemangku kepentingan (pemilik, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas).
Menurut Elkington, terdapat dua jenis stakeholder
yaitu traditional stakeholder dan
emerging stakeholder. Pemegang saham,
pemberi pinjaman dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan peraturan adalah
pihak-pihak yang termasuk dalam traditional
stakeholder. Sedangkan karyawan, konsumen, organisasi akademisi, asosiasi
pedagang, masyarakat luas, generasi di masa depan dan planet bumi termasuk emerging stakeholder. Menurut konsep Triple
Bottom Line, keuntungan jangka panjang (sustainability) dapat dicapai ketika perusahaan mempertimbangkan
kepentingan kedua jenis stakeholder
yang pada umumnya memiliki konflik kepentingan.
Kesimpulan dari teori Triple Bottom Line ini adalah perusahaan
bergantung pada traditional stakeholder
dan emerging stakeholder serta
kondisi lingkungan dalam mencapai keuntungan ekonomis (economic profit). Proses peningkatan nilai perusahaan harus sesuai
dengan hukum dan etika yang berlaku serta harus sejalan dengan kepentingan dan
harapan dari kedua jenis stakeholder.
Beberapa pengertian CSR dilahirkan oleh sejumlah lembaga
internasional sebagai upaya untuk mengakomodasi pemahaman dimensi konsep CSR dari John Elkington di atas yang dikenal dengan “3P”, diantaranya:
a. World Business Council
for Sustainable Development (WBCSD):
“Corporate social responsibility as
‘business’ commitment to contribute to suistanable ecomonic development,
working with employees, their
families, the local community, and society at large to improve their quality of
life.”
Komitmen berkesinambungan
dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan
ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta
komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Dari WBCSD disepakati bahwa CSR
harus dilakukan seluruh perusahaan di dunia dalam rangka terciptanya suatu
pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada pengentasan kemiskinan,
penataan lingkungan hidup jadi lebih baik dan peningkatan perekonomian. Sebagai
penerapan dari kesepakatan WBCSD,
dibutuhkan threesector partnership
yakni kemitraan antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat/LSM. Dengan CSR, perusahaan tidak lagi hanya
berpijak pada Single Bottom Line,
yaitu hanya fokus pada kondisi keuangan saja. Dengan CSR, perusahaan harus mengembangkan Triple Bottom Line dan tidak hanya fokus di keuangan, melainkan
juga harus berperan serta pada kegiatan sosial dan penataan lingkungan. Laba
dan ekonomi tidak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan harus
berpikir dan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar
industrinya juga.
b. International Finance
Corporation:
Komitmen dunia bisnis
untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui
kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas
untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis
maupun pembangunan.
c. Institute of Chartered
Accountants, England and Wales:
Jaminan bahwa
organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi
masyarakat dan lingkungan dan memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka.
d. Canadian Government:
Kegiatan usaha yang
mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam nilai, budaya,
pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara
transparan dan bertanggungjawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan
berkembang.
e. European Commission:
Sebuah konsep yang
mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis
perusahaan dan dalam interaksinya dengan para pemangku (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
f.
CSR
Asia:
Komitmen perusahaan untuk
beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan
lingkungan, sambil menyeimbangkan beragam kepentingan stakeholders.
International
Organization for Standarization, sebuah lembaga
sertifikasi internasional, mengembangkan standar internasional ISO 26000
mengenai Guidance on Social
Responsibility dan memberikan definisi CSR.
Menurut ISO 26000, CSR adalah: [81]
“Tanggungjawab
sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan
kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan
berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan para
pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma
perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh”.
Kotler dan Lee menyatakan
“Corporate social responsibility is a commitment
to improve community well-being through discretionary business practices and
contributions of corporate resources.”
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter,
dalam tulisannya yang berjudul Strategy
and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social
Responsibilty pada Harvard Business
Review telah melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus
menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat
dengan program tanggungjawab sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan
program tanggungjawab sosial itu meski dilanda krisis kecuali ingin mengubah
strateginya secara mendasar. Sementara, pada kasus program tanggungjawab sosial
pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program tanggungjawab sosial
akan dipotong lebih dulu.[82]
Perubahan pandangan
masyarakat akan keberadaan suatu perusahaan juga didapatkan dari hasil
penelitian “Environics International”
yang menyatakan sebagian besar dari masyarakat di 23 negara memberikan perhatian
yang tinggi terhadap perilaku sosial perusahaan.[83]
Konsumen semakin banyak
mencari produk dan jasa yang lebih memperhatikan masalah lingkungan, sehingga
terhadap produk cenderung semakin subjektif. Perusahaan yang mengabaikan
masalah lingkungan akan mengalami kesulitan untuk ikut bersaing. Bankers dan investors juga mulai memahami bahwa masalah lingkungan yang dapat
menimbulkan risiko dan ini patut dipertimbangkan saat memutuskan untuk
memberikan pinjaman atau berinvestasi.[84]
Perubahan pandangan masyarakat,
investor dan pemerintah pada gilirannya mendorong perusahaan untuk menunjukkan
bentuk tanggungjawab sosial perusahaan yang tidak terbatas hanya pada aktivitas perbaikan
komposisi, kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan, tetapi juga pada teknik
dan proses produksi, serta penggunaan sumber daya manusia.
Dari penjelasan yang
ditetapkan di atas, dapat disimpulkan definisi tanggungjawab sosial perusahaan (CSR):
“Tanggungjawab
sosial perusahaan meliputi komitmen perusahaan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup
perusahaan, masyarakat setempat, serta masyarakat pada umumnya.”[85]
3.
Unsur-Unsur
Corporate Social Responsibility
Corporate
Social Responsibility mempunyai beberapa unsur
yang saling terkait dalam pelaksanaannya, yaitu:[86]
a.
Kepedulian
Bagi Seluruh Pemangku Kepentingan
Perusahaan harus menghormati kepentingan,
dan responsif terhadap semua stakeholders,
termasuk pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, orang-orang proyek
terkait, masyarakat lain pada umumnya dan memberi nilai bagi mereka semua.
Mereka harus merancang mekanisme untuk dapat secara aktif terlibat dengan semua
pemangku kepentingan, memberitahu mereka tentang risiko yang ada dan mengurangi
risiko yang akan terjadi.
b.
Fungsi
Etika
Sistem pengelolaan perusahaan harus
didukung oleh etik, transparansi dan akuntabilitas. Perusahaan seharusnya tidak
terlibat dalam praktik-praktik bisnis yang kasar, tidak adil, korup atau
anti-kompetisi.
c.
Menghormati
Hak-Hak dan Kesejahteraan Pekerja
Perusahaan harus menyediakan lingkungan
kerja yang aman, higienis, manusiawi dan yang menjunjung martabat karyawan.
Perusahaan harus memberi semua karyawan akses ke pelatihan dan pengembangan
keterampilan yang diperlukan untuk kemajuan karir, atas dasar yang sama dan
non-diskriminatif. Perusahaan harus menegakkan kebebasan berserikat dan
mengakui hak untuk tawar-menawar kerja kolektif, memiliki sistem penyelesaian
keluhan yang efektif, harus tidak mempekerjakan anak atau kerja paksa dan
menyediakan dan mempertahankan kesetaraan peluang tanpa diskriminasi golongan
dalam perekrutan dan selama menjalankan pekerjaan.
d.
Menghormati
Hak Asasi Manusia
Perusahaan harus menghormati hak asasi
manusia untuk seluruhnya dan menghindari keterlibatan pelanggaran hak asasi
manusia oleh perusahaan atau oleh pihak ketiga.
e.
Memelihara
Lingkungan Hidup
Perusahaan harus mengambil langkah-langkah
untuk memeriksa dan mencegah polusi; mendaur ulang, mengelola dan mengurangi
limbah, harus mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan memastikan
menggunakan sumber daya seperti tanah dan air, harus secara proaktif menjawab
tantangan perubahan iklim dengan mengadopsi metode produksi yang bersih,
mempromosikan efisiensi penggunaan energi dan teknologi ramah lingkungan.
f.
Kegiatan
Untuk Pengembangan Sosial dan Inklusif
Tergantung pada
kompetensi inti dan kepentingan bisnis mereka, perusahaan harus melakukan
kegiatan untuk pembangunan ekonomi, sosial masyarakat dan wilayah geografis,
terutama di sekitar daerah operasi mereka. Hal ini dapat mencakup: pendidikan,
membangun keterampilan untuk mata pencaharian masyarakat, kesehatan, budaya dan
kesejahteraan sosial, dll, terutama ditujukan pada bagian masyarakat yang
kurang beruntung.
4.
Tujuan
Corporate Social Responsibility
Dalam bisnis apapun, yang diharapkan
adalah keberlanjutan dan kestabilan usaha, karena keberlanjutan akan
mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan dan perusahaan
mempunyai tanggungjawab terhadap sosial dan lingkungan. Sebagaimana telah
diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas bahwa,
Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban
bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan
dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang.[87]
Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan
penting untuk kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional
perusahaan, sebagaimana dikemukakan Wibisono, yaitu:[88]
a. Perusahaan
adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan
memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka
beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini
berfungsi sebagai kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumber
daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat
ekspansif dan ekploratif, disamping sebagai kompensasi sosial karena timbul
ketidaknyamanan (discomfort) pada
masyarakat.
b. Kalangan
bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Wajar bila perusahaan
dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga dapat
tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa
perusahaan.
c. Kegiatan
CSR adalah merupakan salah satu cara
untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu
biasa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan
structural dan ekonomis yang timbul
antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
5.
Manfaat
Corporate Social Responsibility
Dalam menjalankan
tanggungjawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada 3 (tiga)
hal, yaitu: laba (profit), masyarakat
(people) dan lingkungan (planet). Perusahaan harus memiliki
tingkat profitabilitas yang memadai sebab laba merupakan dasar bagi perusahaan
untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Dengan perolehan laba
yang memadai, perusahaan dapat membagi dividen kepada pemegang saham, memberi
imbalan yang layak kepada karyawan, mengalokasikan sebagian laba yang diperoleh
untuk pertumbuhan dan pengembangan usaha di masa depan, membayar pajak kepada
pemerintah, dan memberikan multiplier
effect yang diharapkan kepada masyarakat. Performa CSR dari perusahaan dapat memberikan manfaat baik kepada perusahaan
maupun pihak-pihak lain seperti masyarakat sebagai stakeholder yang memiliki peran signifikan maupun kepada
lingkungan.[89]
a.
Manfaat
Bagi Perusahaan
CSR
dapat dipandang sebagai aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah
iklim bisnis yang makin sarat kompetisi. CSR
dapat memberi banyak keuntungan yaitu:
1. Peningkatan
profitabilitas bagi perusahaan dan kinerja finansial yang lebih baik. Banyak perusahaan-perusahaan
besar yang mengimplementasikan program CSR
menunjukkan keuntungan yang nyata terhadap peningkatan nilai saham.
Pengungkapan informasi CSR ini
diharapkan dapat mempengaruhi harga saham perusahaan di pasar modal.
Pengungkapan CSR dipandang sebagai
suatu indikasi adanya manajemen yang baik dan karenanya perusahaan tersebut
merupakan target investasi yang baik.[90]
2. Menurunkan
risiko benturan dengan komunitas masyarakat sekitar, karena sesungguhnya
substansi keberadaan CSR adalah dalam
rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan dengan
jalan membangun kerjasama antar stakeholder
yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program
pengembangan masyarakat sekitar atau dalam pengertian kemampuan perusahaan
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait.
3. Corporate image building
karena dengan pelaksanaan CSR yang
baik, nama perusahaan akan memperoleh citra yang baik yang dapat mempengaruhi
pandangan pihak luar terhadap suatu perusahaan. Perusahaan juga memperoleh
pengakuan dari pihak-pihak lain atas performa CSR-nya sehingga akan membangun suatu citra sebagai perusahaan yang
peduli bukan hanya keuntungan melainkan juga memperhatikan keadaan sosial dan
lingkungan disekitarnya.
4. Mampu
meningkatkan reputasi perusahaan yang dapat dipandang sebagai social marketing bagi perusahaan
tersebut yang juga merupakan bagian dari pembangunan citra perusahaan (corporate image building). Social Marketing akan dapat memberikan
manfaat dalam pembentukan brand image
suatu perusahaan dalam kaitannya dengan kemampuan perusahaan terhadap komitmen
yang tinggi terhadap lingkungan selain memiliki produk yang berkualitas tinggi.
Hal ini tentu saja akan memberikan dampak positif terhadap volume unit produksi yang terserap pasar yang akhirnya akan
mendatangkan keuntungan yang berpengaruh pada laba perusahaan.
Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporasi inilah yang
memungkinkan kesetaraan antara manfaat sosial dan bisnis yang muaranya untuk
meraih keuntungan materi dan sosial dalam jangka panjang. Dari sisi perusahaan
terdapat 6 (enam) manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR sebagai berikut:[91]
1. Mengurangi
risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan.
Perusahaan yang menjalankan CSR
secara konsisten akan mendapat dukungan luas dari komunitas yang merasakan
manfaat dari aktivitas yang dijalankannya. CSR
akan mengangkat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang akan
meningkatkan reputasi perusahaan.
2. CSR
dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak
buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan
produsen consumer goods yang beberapa
waktu yang lalu dilanda isu adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya.
Namun karena perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan CSR-nya maka masyarakat menyikapinya
dengan tenang sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya.
3. Keterlibatan
dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan
yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Kebanggan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas
sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi
kemajuan perusahaan.
4. CSR
yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat
hubungan antara perusahaan dengan para stakeholders.
Pelaksanaan CSR secara konsisten
menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang
berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka
raih.
5. Meningkatnya
penjualan. Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan
yang secara konsisten menjalankan CSR
sehingga memiliki reputasi yang baik.
6. Insentif-insentif
lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya.
Wibisono
menyatakan mengenai keuntungan melakukan program Corporate Social Responsibility bagi perusahaan:[92]
1. Mempertahankan
dan mendongkrak reputasi dan image
perusahaan. Perbuatan deskruktif pasti akan mendongkrak image dan reputasi positif perusahaan. Citra yang positif ini
penting untuk menunjang keberhasilan perusahaan.
2. Layak
mendapatkan social licence to operate.
Masyarakat sekitar adalah komunitas utama perusahaan. Ketika mereka mendapatkan
keuntungan dari perusahaan, maka dengan sendirinya mereka akan merasa memiliki
perusahaan. Sehingga imbalan yang diberikan kepada perusahaan adalah
keleluasaan untuk menjalankan roda bisnisnya di kawasan tersebut.
3. Mereduksi
risiko bisnis perusahaan. Mengelola risiko di tengah kompleksnya permasalahan
perusahaan merupakan hal yang esensial untuk suksesnya usaha. Disharmoni dengan
stakeholders akan mengganggu
kelancaran bisnis perusahaan. Bila sudah terjadi permasalahan, maka biaya untuk
recovery akan jauh lebih berlipat
bila dibandingkan dengan anggaran untuk melakukan program CSR. Oleh karena itu, pelaksanaan CSR sebagai langkah preventif untuk mencegah memburuknya hubungan
dengan stakeholders perlu mendapat
perhatian.
4. Melebarkan
akses sumber daya. Track records yang
baik dalam pengelolaan CSR merupakan
keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu memuluskan jalan menuju
sumber daya yang diperlukan perusahaan.
5. Membentangkan
akses menuju market. Investasi yang
ditanamkan untuk program CSR ini
dapat menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang yang lebih besar. Termasuk
di dalamnya memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru.
6. Mereduksi
biaya. Banyak contoh penghematan biaya yang dapat dilakukan dengan melakukan CSR. Misalnya: dengan mendaur ulang
limbah pabrik ke dalam proses produksi. Selain dapat menghemat biaya produksi,
juga membantu agar limbah buangan ini menjadi lebih aman bagi lingkungan.
7. Memperbaiki
hubungan dengan stakeholder.
Implementasi CSR akan membantu
menambah frekuensi komunikasi dengan stakeholder
sehingga komunikasi ini akan semakin menambah kepercayaan stakeholders kepada perusahaan.
8. Memperbaiki
hubungan dengan Regulator. Perusahaan
yang melaksanakan CSR umumnya akan
meringankan beban pemerintah sebagai regulator
yang sebenarnya bertanggungjawab terhadap kesejahteraan lingkungan dan
masyarakat.
9. Meningkatkan
semangat dan produktivitas karyawan. Image
perusahaan yang baik di mata stakeholders
dan kontribusi positif yang diberikan perusahaan kepada masyarakat serta
lingkungan, akan menimbulkan kebanggan tersendiri bagi karyawan yang bekerja
dalam perusahaan mereka sehingga meningkatkan motivasi kerja mereka.
10. Peluang
mendapatkan penghargaan. Banyaknya penghargaan atau reward yang diberikan kepada pelaku CSR sekarang, akan menambah peluang bagi perusahaan untuk
mendapatkan award.
Kotler dan Lee menyatakan bahwa
partisipasi perusahaan dalam berbagai bentuk tanggungjawab sosial dapat
memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, antara lain:[93]
1. Meningkatkan
penjualan dan market share;
2. Memperkuat
brand positioning;
3. Meningkatkan
image dan pengaruh perusahaan;
4. Meningkatkan
kemampuan untuk menarik hati, memotivasi, dan mempertahankan (retain) karyawan;
5. Menurunkan
biaya operasional, dan
6. Meningkatkan
hasrat bagi investor untuk
berinvestasi.
Satyo menyatakan penyajian laporan
berkaitan aktivitas sosial dan lingkungan memberikan banyak manfaat bagi
perusahaan antara lain meningkatkan citra perusahaan, disukai konsumen, dan
diminati investor. Bukti-bukti tersebut menunjukkan beragam aktivitas
tanggungjawab sosial perusahaan terhadap stakeholdersnya.
Tanggungjawab sosial perusahaan tersebut memberikan keuntungan bersama bagi
semua pihak, baik perusahaan sendiri, karyawan, masyarakat, pemerintah maupun
lingkungan.[94]
b.
Manfaat
Bagi Masyarakat Dan Lingkungan
Dengan memperhatikan masyarakat,
perusahaan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Perhatian terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan cara perusahaan melakukan
aktivitas-aktivitas serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan, kualitas hidup dan kompetensi masyarakat di berbagai bidang.[95]
Dengan memperhatikan lingkungan,
perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha pelestarian lingkungan demi
terpeliharanya kualitas hidup umat manusia dalam jangka panjang. Keterlibatan
perusahaan dalam pemeliharaan dan pelestarian lingkungan berarti perusahaan
berpartisipasi dalam usaha mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan
dampak bencana yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Dengan menjalankan
tanggungjawab sosial, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar laba jangka
pendek, tetapi juga ikut berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup
masyarakat dan lingkungan (terutama lingkungan sekitar) dalam jangka panjang.[96]
6.
Ruang
Lingkup Corporate Social Responsibility
Pada dasarnya CSR bukanlah entitas
departemen atau divisi yang sifatnya parsial, atau hanya berfungsi dalam
pendongkrakan citra sebagai bagian dari jurus jitu marketing perusahaan, sehingga dalam perusahaan di mata stakeholders lain khususya masyarakat
menjadi positif.[97]
Pada hakekatnya CSR adalah nilai atau jiwa yang
melandasi aktifitas perusahaan secara umum, dikarenakan CSR menjadi pijakan komprehensif dalam aspek ekonomi, sosial,
kesejahteraan dan lingkungan. Tidak etis jika nilai CSR hanya di implementasikan untuk memberdayakan masyarakat
setempat, disisi lain kesejahteraaan karyawan yang ada di dalamnya tidak
terjamin, atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak, suburnya praktik
korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak dibawah umur.[98]
Dalam aspek lingkungan
misalnya, terdapat perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam pencemaran
terhadap alam, melakukan pemborosan energi, dan bermasalah dalam limbah.
Bagaimanapun semua aspek dalam perusahaan, baik ekonomi, sosial kesejahteraan
dan lingkungan tidak bisa lepas dari koridor tanggungjawab sosial perusahaan.
Oleh karena itu dalam CSR tercakup di
dalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang lainnya saling
berkaitan, diantaranya:[99]
a.
Landasan
Pokok CSR Dalam Aktifitas Ekonomi,
meliputi:
1) Kinerja
keuangan berjalan baik
2) Investasi
modal berjalan sehat
3) Tidak
terdapat praktek suap atau korupsi
4) Tidak
ada konflik kepentingan
5) Tidak
dalam keadaan mendukung rezim yang korup
6) Menghargai
hak atas kemampuan intelektual atau panen
7) Tidak
melakukan sumbangan politis/lobi
b.
Landasan
Pokok CSR Dalam Isu Lingkungan Hidup,
meliputi:
1) Tidak
melakukan pencemaran
2) Tidak
berkontribusi dalam perubahan iklim
3) Tidak
berkontribusi atas limbah
4) Tidak
melakukan pemborosan air
5) Tidak
melakukan praktik pemborosan energi
6) Tidak
melakukan penyerobotan lahan
7) Tidak
berkontribusi dalam kebisingan
8) Menjaga
keanekaragaman hayati
c.
Landasan
Pokok CSR Dalam Isu Sosial, meliputi:
1) Menjamin
kesehatan karyawan atau masyarakat yang terkena dampak
2) Tidak
mempekerjakan anak
3) Memberikan
dampak positif terhadap masyarakat
4) Melakukan
proteksi konsumen
5) Menjunjung
keberanekaragaman
6) Menjaga
privasi
7) Melakukan
praktik derma sesuai dengan kebutuhan
8) Bertanggungjawab
dalam proses outsourcing dan off-shorig
9) Akses
untuk memperoleh barang-barang tertentu dalam harga wajar
d.
Landasan
Pokok CSR Dalam Isu Kesejahteraan,
meliputi:
1) Memberikan
kompensasi terhadap karyawan
2) Memanfaatkan
subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah
3) Menjaga
kesehatan karyawan
4) Menjaga
keamanan kondisi tempat kerja
5) Menjaga
keselamatan dan kesehatan kerja
6) Menjaga
keseimbangan kerja/hidup
Landasan di atas memberikan sebuah
gambaran bahwa CSR bukanlah hal yang
parsial, melainkan suatu urusan yang komprehensif. Tidak tepat jika perusahaan hanya
fokus pada aspek lingkungan hidup namun lalai dalam aspek kesejahteraan
karyawan dan ketidak seimbangan antara aspek lainnya. Oleh karena itu poin-poin
di atas bisa dijadikan indikator sejauh mana keseriusan perusahaan dalam
melanjutkan CSR. [100]
B.
Dasar
Hukum Corporate Social Responsibility
Melaksanakan tanggungjawab sosial, secara normative merupakan kewajiban moral bagi
jenis perusahaan apapun. Ketika perusahaan menjadi komunitas baru melakukan
interfensi terhadap masyarakat lokal, sudah menjadi keharusan untuk melakukan
adaptasi dan memberikan kontribusi, dikarenakan keberadaannya telah memberikan
dampak baik positif maupun negatif. [101]
Tidak hanya berkutat pada aspek normatif,
saat ini CSR telah diatur dalam
peraturan yang sifatnya mengikat agar “perusahaan tertentu” wajib melakukan
tanggungjawab sosialnya. Hal tersebut
bisa dilihat dari aturan mengenai tanggungjawab sosial sebagai berikut:
1.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Saat ini Perseroan Terbatas (selanjutnya
disingkat PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya
Alam (selanjutnya disingkat SDA) diwajibkan melaksanakan program CSR, karena diatur dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Dalam Pasal 74 diatur bahwa:[102]
1.
Perseroan yang menjalankan usahanya
dibidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan
tanggungjawab sosial dan lingkungan.
2.
Tanggungjawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3.
Perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
4.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tanggungjawab sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 74 ayat (1)
disebutkan bahwa perseroan diartikan sebagai PT yang menjalankan usaha dibidang
atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib menjalankan tanggungjawab sosial,
namun tidak dijelaskan apakah tanggungjawab yang sama juga diwajibkan bagi
entitas usaha yang tidak berbentuk badan hukum PT, sehingga hal ini dapat
menimbulkan penafsiran bahwa entitas yang tidak berbentuk PT tidak diwajibkan
untuk melaksanakan CSR.
Selain itu bunyi Pasal 74
ayat (1) tersebut menimbulkan pertanyaan lain, yaitu apakah Perseroan Terbatas
yang tidak menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/ atau berkaitan dengan
sumber daya alam dapat diartikan tidak diwajibkan melaksanakan tanggungjawab
sosial dan lingkungan. Selain itu, UUPT tidak menyebutkan secara rinci berapa
besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar, karena pada ayat (2), (3) dan
(4) hanya disebutkan bahwa:[103]
Ayat (2) : “Dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya
perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatuhan dan kewajaran.”
Ayat
(3) : “Perseroan Terbatas yang
tidak melakukan CSR
dikenakan
sanksi sesuai peraturan dan
perundang-undangan.”
Ayat
(4) : “Ketentuan lebih lanjut
mengenai CSR ini baru
akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.”
Sebagai tindak lanjut
dari Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, maka diterbitkan
Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas.
2.
Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas
Yang
mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial
dan lingkungan, terdapat dalam:
Pasal 2, bahwa Setiap
perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Pasal 3, bahwa Kewajiban
ini berlaku bagi perseroan yang menjalankan bidang usahanya berkaitan dengan
sumber daya alam. Secara garis besar Peraturan Pemerintah ini terkesan
memberikan dukungan terhadap kegelisahan pelaku usaha maupun pelaku pembangunan
dalam tatanan hukum dan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dalam hal ini,
juga disebutkan bahwa tanggungjawab sosial merupakan biaya bagi perseroan
seperti disebutkan pada Pasal 5.
Pada sisi lain beberapa
hal yang perlu dan sangat perlu diperjelas adalah dalam alur dan tanggungjawab
sosial tidak memperlihatkan upaya pelibatan stakeholder
yang sesungguhnya menjadi fondasi dari maksimalisasi pembangunan yang diharapkan
oleh pemerintah. Dan perencanaan tanggungjawab sosial terkesan diserahkan
sepenuhnya pada otoritas perseroan yang secara prinsip menutup proses kerjasama
partisipatif dan melibatkan para pelaku pembangunan sampai pada level akar
rumput. Selain itu, belum adanya batasan-batasan penjelasan bagaimana
tanggungjawab sosial itu di pertanggungjawabkan pada penerima manfaat maupun
pemerintah.
Tanggungjawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas merupakan kewajiban perseroan sebagaimana telah
diatur pada pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal
2 : Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggungjawab sosial dan
lingkungan.
2. Pasal
3 ayat (1) : Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang.
3. Pasal
3 ayat (2) : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan baik di
dalam maupun di luar lingkungan Perseroan.
4. Pasal
5 ayat (1) : Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan rencana
kegiatan dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) harus
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
5. Pasal
7 : Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak melaksanakan
tanggungjawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
C.
Perkembangan
Corporate Sosial Responsibility di
Indonesia
Corporate
Sosial Responsibility merupakan isu yang
berkembang baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal yang sama juga
terjadi di Indonesia, perkembangan CSR dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Aktivitas
Corporate Sosial Responsibility
Ada berbagai pendapat
mengenai aktivitas-aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai aktivitas sosial
yang menunjukkan bentuk keterlibatan sosial perusahaan terhadap masyarakat.
Kotler dan Lee merumuskan aktivitas yang berkaitan dengan tanggungjawab sosial dalam
6 (enam) kelompok kegiatan: promotion,
marketing, corporate social marketing, corporate philantropy, community
volunteering, dan social
responsibility business practices.[104]
Promotion
adalah aktivitas sosial yang dilakukan melalui persuasive communications dalam rangka meningkatkan perhatian dan
kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu sosial yang sedang
berkembang. Marketing, dilakukan
melalui commitment perusahaan untuk
menyumbangkan sebesar persentase tertentu hasil penjualannya untuk kegiatan
sosial. Corporate Sosial Marketing,
dilakukan dengan cara mendukung atau pengembangan dan/atau penerapan suatu behavior change dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
masyarakat. Corporate Philantropy
merujuk pada kegiatan yang diberikan langsung, Community volunteering merupakan
bentuk aktivitas sosial yang diberikan perusahaan dalam rangka memberikan
dukungan bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Dukungan tersebut dapat
diberikan berupa keahlian, talenta, ide, dan atau fasilitas laboratorium. Social Responsibility Business Practices
merupakan kegiatan penyesuaian dan pelaksanaan praktik-praktik operasional
usaha dan investasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat
dan melindungi atau menjaga lingkungan, misalnya membangun fasilitas pengolahan
limbah, memilih pemasok dan atau kemasan yang ramah lingkungan, dan lain-lain.[105]
Berbeda dengan Kotler dan Lee, menurut The Commitee on Accounting for Corporate
Sosial Performance of Nation Association of Accountants bentuk kegiatan
sosial perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:[106]
1. Keterlibatan
komunitas (Community Involvement),
mencakup aktivitas berbentuk donasi atau bantuan untuk kegiatan rohani,
olahraga, bantuan bagi pengusaha kecil, pelayanan kesehatan masyarakat, bantuan
penelitian dan sebagainya.
2. Sumber
daya manusia (Human Resources),
meliputi program pendidikan dan pelatihan karyawan, fasilitas keselamatan
kerja, kesehatan, kerohanian, serta tunjangan karyawan.
3. Lingkungan
Hidup dan Sumber Daya Fisik (Environmental
and Physical Resources) yang terdiri dari antara lain keterlibatan
perusahaan dalam pengolahan limbah, program penghijauan, pengendalian polusi,
dan pelestarian lingkungan hidup.
4. Kontribusi
produk atau jasa (Product or Services
Contribution) yang mencakup keamanan dan kualitas produk, kepuasan
konsumen, dan sebagainya.
2.
Cara
Pandang Perusahaan terhadap Corporate
Social Responsibility
Penerapan CSR sangat dipengaruhi oleh pandangan
perusahaan mengenai CSR. Wibisono
menjelaskan beberapa cara pandang perusahaan terhadap CSR, sebagai berikut:[107]
1. Sekedar
basa-basi atau keterpaksaan. Perusahaan mempraktikkan CSR karena external driven
(faktor eksternal), environmental driven
(karena terjadi masalah lingkungan dan reputation
driven (karena ingin mendongkrak citra perusahaan);
2. Sebagai
upaya memenuhi kewajiban (compliance);
3. CSR
diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven).
Saidi
dalam Tanudjaja membagi CSR menjadi 4
model, yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial
perusahaan, bermitra dengan pihak lain, dan mendukung atau bergabung dalam
suatu konsorsium.[108] Sementara itu, Wibisono
menjelaskan bahwa penerapan CSR yang
dilakukan oleh perusahaan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap
perencanaan, implementasi, evaluasi dan pelaporan.
CSR
yang diterapkan oleh perusahaan akan mendapatkan berbagai manfaat bagi
perusahaan dan masyarakat yang terlibat dalam menjalankannya. Menurut Wibisono
manfaat implementasi CSR bagi
perusahaan, yaitu dapat mempertahankan atau mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan, layak
mendapatkan social licence to operate,
mereduksi risiko bisnis perusahaan, melebarkan akses sumber daya, memperluas
akses menuju pasar, mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholders, memperbaiki hubungan
dengan regulator, meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan serta
berpeluang mendapatkan penghargaan. Sedangkan manfaat CSR bagi masyarakat menurut Ambadar yaitu dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, kelembagaan, tabungan, konsumsi dan investasi
dari rumah tangga warga masyarakat.[109]
Implementasi
CSR yang dilakukan oleh suatu
perusahaan akan berdampak pada perusahaan itu sendiri dan pada masyarakat yang
tinggal di lokasi pelaksanaan CSR.
Dampak yang dapat dirasakan oleh masyarakat di antaranya adalah peningkatan
taraf hidup dan kelembagaan berkelanjutan, peningkatan taraf hidup masyarakat
akan dilihat dari peningkatan pendapatan, rumah atau papan, kesehatan, pangan
dan (sarana) komunikasi. Sedangkan dampak yang akan dirasakan oleh perusahaan
adalah peningkatan citra perusahaan dimata masyarakat. Selain saling
mempengaruhi dengan tingkat partisipasi masyarakat, strategi pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan
perusahaan tersebut mengenai CSR.
Karena suatu perusahaan akan melaksanakan CSR
apabila memiliki kebijakan atau peraturan mengenai implementasi CSR dalam menjalankan usahanya.
Kebijakan perusahaan mengenai CSR
juga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kebijakan pemerintah dan pandangan
perusahaan mengenai CSR.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan pokok permasalahan yang
diajukan, maka dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Kewenangan
Notaris dalam pelaksanaan Corporate
Social Responsibility Perseroan Terbatas melalui RUPS adalah sebagaimana Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas juncto
Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang merupakan peraturan
pelaksana dari ketentuan Pasal 74 ayat (1) s/d
ayat (4) UUPT, maka Notaris
memiliki kewenangan penting dalam mendukung kebijakan pemerintah guna menerapkan
kewajiban bagi Perseroan Terbatas untuk melaksanakan program CSR bagi perusahaan yang
menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang
menjalankan kegiatan usahanya
yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Adapun kewenangan Notaris adalah
berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN juncto
Pasal 3 Perubahan Kode Etik Notaris Tahun 2015, dalam hal ini dengan cara memberikan penyuluhan hukum dan/atau secara persuasif mengajak kepada
perusahaan-perusahaan untuk melakukan penyesuaian terhadap anggaran dasar
perusahaan melalui RUPS khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang belum
mencantumkan kewajiban CSR di dalam
akta pendirian perusahaan.
2. Hambatan
dalam
melaksanakan
CSR guna menjalankan amanat Peraturan
Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Kurangnya pengetahuan bagi Notaris tentang kewajiban
pelaksanaan CSR bagi
perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya
dibidang sumber daya alam
maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam;
b. Tidak tegasnya sanksi yang di atur di dalam UUPT
maupun sanksi yang diatur di dalam Pasal 7 Peraturan
Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 terhadap
perusahaan-perusahaan yang
tidak dan/atau belum melakukan kewajiban CSR bagi Pereroan Terbatas.
c. Masih banyak perusahaan
yang belum menyadari peranan penting untuk menjalankan program CSR, namun ketika bisnis mereka
menghadapi masalah dengan masyarakat setempat barulah mereka menyadari
pentingnya program tersebut. Padahal program CSR itu harus dirancang sedemikian rupa dengan strategi yang matang
dan berkelanjutan.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan
yang telah ada, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Perseroan Terbatas agar mematuhi ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas yang mewajibkan pelaksanaan CSR bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan
usahanya dibidang sumber daya
alam maupun perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam. Perseroan-perseroan yang diwajibkan untuk
melaksanakan kegiatan CSR sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012 dapat
mencantumkan ketentuan mengenai CSR
dalam anggaran dasarnya.
2.
Bagi
Notaris diharapkan agar dilakukannya sosialisasi
kepada anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) tentang hal-hal yang diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012, sehingga diharapkan
pemahaman seperti apa yang dikehendaki oleh undang-undang agar dapat disampaikan oleh
Notaris melalui penyuluhan
hukum kepada perusahaan-perusahaan
yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam maupun perusahaan yang
menjalankan kegiatan usahanya
yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Sosialisai bagi Notaris ini diperlukan agar apa yang
dicita-citakan oleh negara mengenai
kewajiban perusahaan-perusahaan untuk melakukan CSR dapat
tercapai.
3. Bagi pemerintah :
a.
Hendaknya dapat memberikan sanki yang tegas melalui
undang-undang dan/atau peraturan-peraturan pelaksana agar dapat terwujudnya
semangat pemerintah dalam membangun pemerataan sosial melalui pelaksanaan CSR Perseroan Terbatas.
b. Adanya payung hukum terhadap kewenangan Notaris untuk
dapat terlibat dalam pengembangan/kemajuan CSR.
[1] Sjaifurahman & Habi Adjie,
2011, Aspek Pertanggung jawaban Notaris
dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 7-8.
[2] Erina Permatasari dan Lathifah
Hanim, Peran dan Tanggung jawab Notaris
Terhadap Pelaksanaan Pendaftaran Badan Hukum Perseroan Terbatas Melalui Sistem
Online, Jurnal Akta Vol. 4 No. 3, 2017.
[3] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 1993, hlm. 35.
[4] Sjaifurahman & Habi Adjie, Op. Cit, hlm. 8.
[5] Muhammad Arief Effendi,
“Implementasi GCG melalui CSR”, http://muharieffendi.multiply.com/journal/item/implementasi_GCG_melalui_CSR, >, Tanggal 13 Desember 2018,
Pukul 14.24 WIB.
[8] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 7.
[9] Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta, 1996, hlm. 19.
[10] W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 847.
[11] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) &
Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence)
Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm.
288.
[12] Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan
Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
[13] Tesis Hukum, “Pengertian
Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli”, http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para-ahli/>, Tanggal 13 Desember 2018,
Pukul 14.25 WIB.
[14] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 23.
[15] Ibid, hlm. 292-293.
[16] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 137.
[17] Candra Hayatul Iman dan
Wulansari, Hukum Perikatan, Universitas Singaperbangsa Karawang, Karawang,
2013, hlm. 18.
[19]Ibid.
[21]Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 82-83.
[22]Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2005.
[23] Titik Triwulan dan Shinta
Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien,
Prestasi Pusaka, Jakarta, 2010, hlm. 48.
[24] Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya,
Bandung, 2010, hlm. 37.
[29] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya
Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 154.
[30] Tim Penyusun Kamus-Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 170.
[31] Ibid, hlm. 172.
[32] Dewa Gede Atmadja,
“Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD
1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang
Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1996, hlm. 2.
[33] Ibid.
[34] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 29.
[35] Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 90.
[36] Ibid.
[37] Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Pres,
Yogyakarta, 2003, hlm. 74-75.
[38] Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam
Mewujudkan Pemerintah yang Bersih, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994,
hlm. 7.
[39] Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Fakultas
Hukum Unair, Surabaya, 1998, hlm. 2.
[40] Heinrich Triepel, “Model
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota”,
Disertasi, Pascapol Fisip UI, Jakarta, 2002, hlm. 104.
[41] Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm. 284.
[42] Ibid.
[43] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Penerbit Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 375.
[44] Ibid, hlm. 376.
[45] Ibid.
[46] Ibid, hlm. 378.
[47] Ibid, hlm. 379.
[48] Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 5.
[49] Ibid, hlm. 8.
[50] Ibid, hlm. 21.
[51] Ibid, hlm. 37.
[52] Iffa Rohmah, “Penegakkan
Hukum”, http://pustakakaryaifa.blogspot.com/2013/05/makalah-penegakan-hukum.html, 2016, Tanggal 13 Desember
2018, Pukul 14.27 WIB.
[53] Ibid, hlm. 53.
[54] Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 6.
[55] Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, ANDI,
Yogyakarta, 2004, hlm. 4.
[56] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 11.
[57] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, CV Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 15.
[58] Panduan Akademik dan
Pedoman Penulisan Tesis, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas
Jayabaya, Jakarta, 2017, hlm. 45.
[59] Yamin dan Utji Sri Wulan
Wuryandari, Metode Penelitian Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 2015, hlm. 28.
[60] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. Ke-11, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 98.
[61] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118.
[62] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,
Jakarta, 1986, hlm. 125.
[63] Hangga Surya Prayoga,
“CSR: Sekilas Sejarah dan Konsep”, http://www.dohangga.com/, 2019, Tanggal 9 Januari 2019,
Pukul 14.30 WIB.
[64] Tom Cannon, Corporate Responsibility (Tanggungjawab
Perusahaan), PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1995, hlm. 28.
[65] Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho
Publishing, Surabaya, 2007, hlm. 4.
[66] Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 37.
[67] Ibid.
[68] Ibid, hlm. 38.
[69] Yusuf Wibisono, Op. Cit, hlm. 5.
[70] Asril Sitompul, Hukum Perusahaan, Magister Kenotariatan
Universitas Jayabaya, Jakarta, 2016, hlm. 80-81.
[71] Asril Sitompul, Op. Cit, hlm. 80.
[77] Damien Kingsbury, Introduction in Kingsbury, Key Issues in Development,
Palgrave Macmillan,
New York,
2004.
[78] Sukada, Sonny dan Jalal, Pelaporan Keberlanjutan: Alat Akuntabilitas
dan Manajemen, makalah yang disajikan pada Seminar Dua Hari, Corporate Social
Responsibility: Strategy, Management and Leadership, Intipesan, Hotel
Aryaduta Jakarta 13-14 Februari, 2008.
[79] Edi Suharto, “Corporate Social Responsibility:
Perspektif Ilmu Sosial”, Seminar Sehari Corporate
Social Responsibility, Dinas Sosial Kota Surabaya di Hotel J.W. Marriot
Surabaya, 2008.
[80] Jalal, “Sejarah dan Perkembangan CSR di Tingkat Global dan Nasional,
Lingkar Studi CSR”,
Journalist
Conference on CSR
(2011).
[81] ISO 26000, Guidance on Social Responsibility, 2007.
[82] Michael Porter, Strategy and Society: The Link Between
Competitive Advantage and Corporate
Social
Responsibility,
Harvard Business Review, 2006.
[83] Ashok Gupta, Why Should Companies Care, Mid-American Journal of Business, Spring,
2003,
hlm. 3.
[84] Patrick Medley, Environmental Accounting – What Does It Mean
to Professional Accountants?
Journal
of Accounting Auditing & Accountability, Vol. 10 No. 4, 1997, hal.
594-600.
[85] Ibid, hlm. 83.
[86] Ibid, hlm. 83-85.
[87] Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas.
[88] Yusuf Wibisono, Op. Cit, hlm. 50.
[89] Dwi Endah Mira Manurung, “Analisis
Penerapan Corporate Social Responsibility
(CSR) Pada
PT. Perkebunan Nusantara
IV-Medan”, Tesis, Magister Akuntansi Universitas Indonesia,
2012, hlm. 43.
[90] R.H. Gray, Corporate Social Reporting by UK Companies: A Cross Sectional and
Longitudinal
Study
an Interim Report, Draft/Working Paper, 1990.
[91] Susanto, A.B., Corporate Social Responsibility, The Jakarta Consulting Group, hlm. 3.
[92] Yusuf Wibisono, Op. Cit, hlm. 70.
[93] Kotler, Philip dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing the
good for your
company
and your cuse, Jakarta Economic Business Review Edisi III September
Desember, Jakarta, 2005.
[94] Satyo, Media Akuntansi,
Edisi 47/ Tahun XII/Juli, 2005.
[95] Dwi Endah Mira Manurung, Op. Cit, hlm. 48.
[96] Ibid.
[97] Nur Melia, “Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR)
PT. Adaro Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2014,
hlm. 32.
[104] Kotler, Philip dan Nancy
Lee, Op. Cit.
[105] Ibid.
[106] Gunawan Yuniati, Analisis Pengungkapan Informasi Laporan
Tahunan pada Perusahaan yang
Terdaftar
di Bursa Efek Jakarta,
Simposium Nasional Akuntansi III, 2002.
[107] Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho
Publishing, Surabaya, 2007.
[108] Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia, NIRMANA,
Vol. 8
No. 2, 2006, hlm. 92-98.
[109] J. Ambadar, Corporate Social Responsibility dalam praktek di Indonesia, Edisi
I, Penerbit Elex
Media Komputindo, Jakarta,
2008.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2010
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),
Penerbit Kencana, Jakarta, 2009
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
& Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Undang-Undang
(Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2010
Ambadar,
J., Corporate Social Responsibility
dalam praktek di Indonesia, Edisi I, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta,
2008
Ashofa
Burhan, Metode Penelitian Hukum,
Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Bahsan,
M., Pengantar Analisis Kredit Perbankan
Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, 2003
Candra
Hayatul Iman dan Wulansari, Hukum Perikatan, Universitas
Singaperbangsa Karawang, Karawang, 2013
Cannon,
Tom, Corporate Responsibility (Tanggungjawab
Perusahaan), PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1995
Dominikus
Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami
dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010
Gray,
R.H., Corporate Social Reporting by UK
Companies: A Cross Sectional and Longitudinal Study an Interim Report,
Draft/Working Paper, 1990
Hendrik
Budi Untung, Corporate Social
Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
HS, Salim
dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan
Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis : Buku Kedua, Rajawali
Pers, Jakarta, 2015
Iman,
Candra Hayatul dan Wulansari, Hukum Perikatan, Universitas
Singaperbangsa Karawang, Karawang, 2013
Indroharto,
Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, 1993
Jimmly
Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori
Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta, 2006
Kingsbury,
Damien, Introduction in Kingsbury, Key
Issues in Development, Palgrave Macmillan,
New York, 2004
Lee,
Nancy, Kotler dan Philip, Corporate
Social Responsibility: Doing the good for your company and your cuse, Jakarta
Economic Business Review Edisi III September Desember, Jakarta, 2005
Marbun,
SF., Peradilan Administrasi Negara dan
Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997
Panduan
Akademik dan Pedoman Penulisan Tesis, Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, 2017
Pengurus
Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri
Notaris Indonesia, Gramedia Digital Indonesia, Jakarta, 2008
Peter
Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Philipus
M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi,
Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1998
Poerwadaminta,
W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2006
Porter,
Michael, Strategy and Society: The Link
Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility, Harvard Business Review, Harvard, 2006
Prajudi
Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
Purbacaraka,
Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya,
Bandung, 2010
Riduan
Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Ridwan,
H.R., Hukum Administrasi Negara, UII
Pres, Yogyakarta, 2003
Ronny
Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Rudhi
Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan
Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Sjaifurahman
dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung
jawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2011
Soegondo
R. Notodisorjo, Hukum Notariat di
Indonesia (Suatu Penjelasan), Cet. 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993
Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, CV Rajawali, Jakarta, 1986
Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003
Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet.
Ke-11, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009
Soerjono
Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,
Jakarta, 1986
Suhrawardi
K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993
Susanto,
A.B., Corporate Social Responsibility (A
Strategic Management Approach), Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007
Susanto,
A.B., Corporate Social Responsibility, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 2011
Sutrisno
Hadi, Metodologi Research Jilid I,
ANDI, Yogyakarta, 2004
Titik
Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan
Hukum Bagi Pasien, Prestasi Pusaka, Jakarta, 2010
Yusuf
Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi
CSR, Fascho Publishing, Surabaya, 2007
Yamin dan
Utji Sri Wulan Wuryandari, Metode
Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 2015
Zainal
Asikin dan Amiruddin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
B.
Makalah/Jurnal
Abdul Aziz
Manurung, “Analisis Yuridis Penerapan PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang
Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas” Studi Pada PTPN IV Unit
Pasir Mandoge, 2018
Ashok
Gupta, “Why Should Companies Care,
Mid-American Journal of Business”, Spring, 2003
Dewa Gede
Atmadja, “Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi
Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Pidato Pengenalan Guru Besar
dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana,
1996
Edi
Suharto, “Corporate Social Responsibility:
Perspektif Ilmu Sosial”, Seminar Sehari Corporate
Social Responsibility, Dinas Sosial Kota Surabaya di Hotel J.W. Marriot
Surabaya, 2008
Erina
Permatasari dan Lathifah Hanim, “Peran dan Tanggung jawab Notaris Terhadap
Pelaksanaan Pendaftaran Badan Hukum Perseroan Terbatas Melalui Sistem Online”, Jurnal Akta Vol. 4 No. 3, 2017
Gunawan
Yuniati, “Analisis Pengungkapan Informasi Laporan Tahunan pada Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi III, 2002
Jalal,
“Sejarah dan Perkembangan CSR di
Tingkat Global dan Nasional, Lingkar Studi CSR”,
Journalist Conference on CSR, 2011
Marthin
Marthen B. Salinding Inggit Akim, “Implementasi prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Journal of Private and Vommercial Law Vol. 1 No. 1 Fakultas Hukum
Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara, 2017
Medley,
Patrick, “Environmental Accounting – What
Does It Mean to Professional Accountants? Journal of Accounting Auditing &
Accountability”, Vol. 10 No. 4, 1997
Nico,
“Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center
for Documentation and Studies of Business Law”, di Yogyakarta, 2003
Nurma
Risa, Tuti Sulastri dan Joko Pramono, “Corporate
Social Responsibility Perusahaan Kepada Masyarakat Studi Kasus Pada PT Gold Coin Specialities”, Fakultas
Ekonomi UNISMA Bekasi, 2011
Paulus
Edison Panauhe, “Penerapan Prinsip Tanggungjawab Sosial Dalam Lingkungan
Perusahaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012”, Lex Et Societatis Vol. VI/No.2, 2018
Philipus
M. Hadjon, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintah yang
Bersih”, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994
Sarre,
Rick, “Keeping an Eye on Fraud: Proactive
and Reactive Options for Statutory Watchdogs”, 17 Adelaide Law Review, 1995
Sarre,
Rick, “Responsing to Corporate Collapses:
Is There a Role for Corporate Social Responsibility”, 7 Deakin L. Rev. 1, 2002
Satyo, “Media
Akuntansi”, Edisi 47/ Tahun XII/Juli, 2005
Sukada,
Sonny dan Jalal, “Pelaporan Keberlanjutan: Alat Akuntabilitas dan Manajemen,
makalah yang disajikan pada Seminar Dua Hari, Corporate Social Responsibility: Strategy, Management and Leadership”,
Intipesan, Hotel Aryaduta Jakarta, tanggal 13-14 Februari 2008
Tanudjaja,
“Perkembangan Corporate Social
Responsibility di Indonesia”, NIRMANA, Vol. 8 No. 2, 2006
Trieza
Actriani, “Perusahaan Yang Menerapkan CSR
dan Perusahaan Yang Tidak Menerapkan CSR”,
2014
C.
Kamus
Andi
Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2005
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989
D.
Thesis
& Disertasi
Asma, Roita,
Tanggungjawab Notaris Dalam Pembuatan
Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas di Jakarta Timur, Tesis,
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2008
Heinrich
Triepel, Model Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi,
Pascapol Fisip Universitas Indonesia, Jakarta, 2002
Manurung,
Dwi Endah Mira, Analisis Penerapan
Corporate Social Responsibility (CSR) Pada PT. Perkebunan Nusantara IV-Medan,
Tesis, Magister Akuntansi Universitas Indonesia, Depok, 2012
Melia, Nur,
Pelaksanaan Corporate Social
Responsibility (CSR) PT. Adaro Indonesia Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, Semarang, 2014
Permanasari,
A.A. Ratih, Model Anggaran Dasar
Perusahaan Bagi Perseroan Terbatas Yang Didirikan di Indonesia Untuk
Melaksanakan Corporate Social Responsibility, Tesis, Magister Kenotariatan
Universitas Brawijaya, Malang, 2011
E.
Perundang-Undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air
Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas
Kode Etik Notaris
Tahun 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar