Selasa, 15 Oktober 2019

PENAFSIRAN PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)


Oleh :
FARHAN SYATHIR, S.H.
UNIVERSITAS TARUMANEGARA
2014





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejak hukum membuat tradisi untuk ditulis (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting sekali. Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan, bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis, mengatakan bahwa teks hukum sudah jelas adalah satu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberi penjelasan. Sejarah mencatat bahwa terdapat pertarungan sengit antara para ahli hukum tentang apakah penafsiran atau interpretasi atas hukum itu diperlukan ataukah tidak.[1]
Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasarkan pada kaitannya.[2] Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, dan dalam upaya penegakkan hukum itu hakim sebagai penegak hukum akan dihadapkan pada berbagai kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang dikodifikasikan umumnya bersifat statis. Ketidaksempurnaan  dan ketidaklengkapan senantiasa menjadi hukum tertulis, sekalipun kodifikasi telah diatur sedemikian rupa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpedoman kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum, dalam hal ini Indonesia menggunakan aliran rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penemuan hukum (rechtsverfijning) dan argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental di mana dalam sistem hukum ini sumber hukum yang utama adalah perundang-undangan, sehingga segala hal yang berhubungan dengan perundang-undangan lebih diutamakan eksistensi serta pelaksanaannya. Hal yang berhubungan dengan perundang-undangan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai penafsiran hukum, di mana hukum yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu sebagaimana menurut Bapak Bagir Manan adalah “ Kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia”, di mana hukum positif sudah seharusnya dapat diartikan dan dipahami secara jelas mempertimbangkan dasar filosofis, sosiologis dan juga yuridisnya.
Penafsiran pada hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak mungkin dirasakan masuk akal, khususnya terhadap istilah-istilah biasa dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai salah satu penegakan hukum, harus dilandasi dengan pertimbangan dari asas-asas penerapan hukum positif, yang dilakukan dalam rangka melaksanakan hukum sebagai suatu fungsi pelayanan atau pengawasan terhadap kegiatan masyarakat serta mempertahankan hukum akibat terjadi pelanggaran atas suatu aturan hukum seperti yang dilakukan oleh badan peradilan.[3] Dalam hal ini penafsiran hukum adalah tugas dari badan peradilan maupun lembaga penegakan hukum resmi lainnya seperti lembaga arbitrase yang pada hakekatnya merupakan tugas dan wewenang seorang hakim untuk dapat memutus suatu perkara dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Mengapa penafsiran diperlukan, fakta di lapangan memberikan pelajaran berharga, betapa banyak sengketa (i.c. sengketa komersial) justru muncul ketika pelaksanaan perjanjian. Sengketa ini berawal manakala para pihak mempunyai pengertian berbeda mengenai pernyataan yang mereka pergunakan dalam perjanjian. Memang pelaku bisnis sangat paham dengan proses bisnis yang mereka lakukan, namun pada saat proses bisnis tersebut dituangkan dalam bahasa perjanjian dan dirancang oleh mereka yang tidak paham aspek-aspek hukum perjanjian, dapat dipastikan perjanjian tersebut membuka peluang terjadinya sengketa.
Dalam dunia perasuransian, sering terjadi perdebatan antara penanggung dan tertanggung mengenai ganti kerugian yang dimintakan oleh tertanggung. Polis yang merupakan sumber perjanjian yang mengikat para pihak adalah sumber yang menjadi pedoman untuk menentukan apakah tertanggung berhak mendapatkan ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya atau tidak.
Perjanjian asuransi atau yang sering disebut dengan polis asuransi merupakan jenis perjanjian baku, di mana klausula-klausula perjanjian telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak penanggung. Dengan menggunakan perjanjian baku maka terdapat perbedaan posisi para pihak dalam perjanjian asuransi. Para pihak tidak memiliki posisi tawar yang sama kuat. Bila salah satu pihak memiliki posisi tawar yang lemah, maka besar kemungkinan pihak yang kuat akan menentukan isi kontrak untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan pihak yang lemah.
Salah satu permasalahan yang menjadi fokus dalam penulisan tesis ini adalah tentang penafsiran perjanjian terhadap polis asuransi yang menjadi dasar atau undang-undang bagi para pihak dalam suatu perikatan, khususnya penafsiran terhadap polis Marine Cargo Insurance yang menjadi perdebatan antara PT Prima Multi Artha sebagai tertanggung atau pemegang polis dan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sebagai penanggung atau perusahaan asuransi.
Di Indonesia perjanjian asuransi kapal pada polis asuransi Marine Cargo Insurance, masih menggunakan polis asuransi yang mengacu pada polis standar Marine Cargo Insurance yang diterbitkan oleh Harvey di Inggris, oleh sebab itu terdapat beberapa klausul dalam polis Marine Cargo Insurance yang multitafsir dan bahkan tidak applicable untuk kapal di Indonesia. Dalam hal terjadi dispute antara para pihak mengenai perbedaan pendapat terhadap isi dari polis asuransi yang merupakan perjanjian yang disepakati oleh para pihak, maka hakim sebagai pihak yang bertindak sebagai juri dapat menggunakan metode-metode penafsiran perjanjian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan doktrin-doktrin umum dalam penafsiran perjanjian.[4]
Selain pihak penanggung maupun pihak tertanggung dalam sengketa asuransi tersebut di atas, masalah penafsiran terhadap suatu perjanjian merupakan permasalahan yang juga selalu dihadapi dalam penegakan hukum di Indonesia dalam berbagai macam perjanjian khususnya perjanjian yang bersifat baku yang sering diperdebatkan dalam lembaga peradilan, lembaga arbitrase atau para pengacara, baik dalam kaitannya dengan hukum nasional maupun dengan hukum international.
Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan mengenai penafsiran perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tesis berjudul : PENAFSIRAN PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bagian latar belakang  di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana ketentuan mengenai penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan penerapannya dalam penafsiran polis Marine Cargo Insurance di Indonesia?
2.      Apakah implementasi penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sudah sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui ketentuan mengenai penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan penerapannya dalam penafsiran polis Marine Cargo Insurance di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui implementasi penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sudah sesuai atau tidak dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.



Sesuai dengan tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan tesis ini dapat membawa kegunaan sebagai berikut:
1.      Teoretis, bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada hukum perjanjian  dan hukum asuransi di Indonesia khususnya mengenai penafsiran terhadap Polis Marine Cargo Insurance di Indonesia dan penerapannya dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya.
2.      Praktis, bahwa hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi semua pihak dan para pembaca.

D.    Kerangka Konseptual
Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep dan pengertian mengenai istilah saat penulisan untuk memudahkan dalam memahami dan mencegah terjadinya salah paham, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa istilah yang dipergunakan:
1.         Interpretasi atau penafsiran adalah sebuah metode untuk mencari atau menemukan makna yang hakiki (sesungguhnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan lain-lain, suatu interpretasi yang jelas akan berfungsi sebagai rekonstruksi cita hukum yang tersembunyi.[5]
2.         Contra Proferentem adalah doktrin yang dapat digunakan dalam hal terjadi penafsiran terhadap suatu perjanjian, yang dimaksudkan adalah bahwa penafsiran perjanjian dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun perjanjian tersebut. Jika ada keragu-raguan, suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang  yang telah meminta diperjanjikan dan atas keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu (Pasal 1349 KUH Perdata).
3.         Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a.       Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.      Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
(Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
4.      Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata).
5.      Polis adalah suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis (Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
6.      Tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi (Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
7.      Penanggung adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dam tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti terjadi.[6]
8.      Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat (Pasal 1 ayat (29) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
9.      Objek Asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya (Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian).
10.  Marine Cargo Insurance adalah suatu asuransi atau pertanggungan yang memberikan jaminan atau proteksi terhadap kerugian atau kerusakan atas objek pertanggungan sebagai akibat adanya bahaya-bahaya laut (Maritime Perils) yang terjadi dalam masa pengangkutan melalui laut yang dilakukan (Institute Cargo Clauses (A) - ICC (C) l/l/82).
11.  Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
12.  Hakim Ad-Hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum).

E.     Metode Penelitian
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:[7]
1.      Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitan dan penilaian;
2.      Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
3.      Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Agar tesis ini mempunyai nilai ilmiah, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai syarat-syarat penelitian metode ilmiah. Mengingat penelitian sebagai salah satu sarana dalam pengembangan ilmu yang digunakan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis serta konsisten, maka proses selama penelitian perlu dianalisis dan kemudian dikonstruksikan dengan masalah  terkait yang ada, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara objektif.
Adapun metode yang digunakan dalam dalam penulisan tesis sebagai berikut:


1.      Pendekatan Masalah
Penelitian tentang “Penafsiran Terhadap Polis Marine Cargo Insurance di Indonesia (Studi Kasus Putusan Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)” merupakan suatu penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mencakup: penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.[8] Sesuai dengan judul tesis yang dibuat oleh penulis maka penelitian dilakukan terhadap azas-azas hukum, baik hukum dalam peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang berupa putusan pengadilan atau badan arbitrase.
2.      Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif analitis, yaitu mencari dan menemukan hubungan antara data yang diperoleh dari penelitian dengan landasan yang ada dan dipakai sehingga memberikan gambaran-gambaran konstruktif mengenai permasalahan yang diteliti[9].
Penelitian yang bersifat deskritif analitis ini bertujuan agar hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan gambaran mengenai penafsiran perjanjian khususnya penafsiran pada polis  Marine Cargo Insurance dalam kasus klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk dan menganalisisnya sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum.
3.      Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan buku-buku yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh penulis.[10] Data sekunder terdiri dari:
a.       Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas undang-undang, yaitu:
1)      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2)      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3)      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
b.      Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang berfungsi menjelaskan bahan-bahan hukum primer, antara lain terdiri dari:
1)      Putusan Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk ;
2)      Polis Marine Cargo Insurance PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk;
3)      Buku-buku yang memberikan penjelasan mengenai penafsiran suatu perjanjian dalam hukum perjanjian di Indonesia.
4)      Makalah dan tulisan lain yang relevan dan memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum yang memiliki keterkaitkan dengan perumusan masalah yang diteliti.
c.       Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap dua jenis bahan hukum yang telah disebutkan, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4.      Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh data dalam usaha mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dengan penelitian kepustakaan guna mendapat landasan teoretis berupa pendapat-pendapat, tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang, ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta.
5.      Teknik Analisis Data
Seluruh data sekunder dari hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, menyeluruh, dan merupakan satu kesatuan bulat mengenai masalah yang terkait. Dalam hal ini yang dianalisis  adalah mengenai dua masalah yang terkait, yaitu mengenai 1. ketentuan penafsiran perjanjian dalam hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam kasus klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk, sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
6.      Metode Pengambilan Kesimpulan
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya adalah metode dengan menarik kesimpulan  yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.[11] Metode ini  dilakukan dengan cara menganalisis pengertian atau konsep-konsep umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Polis Marine Cargo Insurance yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus mengenai penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam kasus klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk

F.     Sistematika Penulisan
Dalam rangka penyusunan karya ilmiah atau tesis memerlukan sistematika yang logis dan diperlukan kerangka dasar yang rapi serta teratur, sehingga akan memudahkan pembaca untuk mengikuti isinya dan juga memudahkan penyusunan bagi penulis, yang mulai dari awal sampai akhir tesis ini.
Guna mempermudah dalam penelitian dan penulisan tesis ini, maka penulis membuat dan menyusun suatu sistematika tesis yang terdiri dari 5 (lima) Bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I      PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan. Dalam latar belakang diuraikan mengenai hal-hal yang menjadi alasan dilakukannya penelitian dan penulisan tentang penafsiran perjanjian terhadap polis Marine Cargo Iinsurance di Indonesia dalam kasus klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. Menjaga agar penelitian tidak menyimpang dalam pembahasannya, maka penelitian dibatasi pada permasalahan yang diuraikan dalam perumusan permasalahan.
BAB II     TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang pandangan mengenai penafsiran terhadap suatu perjanjian, penafsiran perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, metode-metode dalam penafsiran perjanjian, penafsiran perjanjian dalam hukum international, prinsip atau doktrin-doktrin dalam penafsiran perjanjian, pengertian asuransi secara umum, prinsip-prinsip umum asuransi, asuransi pengangkutan barang (Marine Cargo Insurance), dasar hukum asuransi pengangkutan barang (Marine Cargo Insurance) dan isi polis Marine Cargo Insurance.
BAB III   HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai Penafsiran Perjanjian Polis Marine Cargo Insurance dalam sengketa klaim asuransi PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk dan isi putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara tersebut.
BAB IV   ANALISIS
Dalam bab ini diuraikan tentang analisis yang memuat hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi ketentuan mengenai penafsiran perjanjian dalam hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan analisis terhadap penafsiran perjanjian dalam sengketa klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk
BAB V     PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang berisi kesimpulan dari pokok permasalahan yang telah dibahas, serta saran yang dapat diberikan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tesis ini.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Penafsiran Perjanjian
1.      Pandangan Mengenai Penafsiran Terhadap Suatu Perjanjian
Dalam sejarah perkembangan KUH Perdata yang terlahir di Negara Eropa Continental (civil law system), di mana begitu mengagung-agungkan tanpa “reserve” sumber hukum kodifikasi sebagai sumber hukum yang dianggap mutlak kebenarannya dan mengakomodir setiap problema hukum masyarakat telah membawa ketidakadilan di masyarakat. Pada awal mulanya, interpretasi terhadap aturan hukum perjanjian (dalam hubunganya dengan subtansi perjanjian).
Sikap yang melarang atau mengesampingkan perlunya metode interpretasi ini dapat dirujuk dari pernyataan Kaisar Justinianus[12] yang mengancam dengan pidana kepada siapa yang memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang. Interpretasi adalah salah (preversio), sehingga hanya atas dasar persetujuan kaisar diberikan kewenangan untuk menafsirkan undang-undang. Juga Proberspiere[13] mengemukakan dalam jiwa yang sama: “Kata yurisprudensi seharusnya dihapuskan dari bahasa kita. Dalam suatu negara yang hanya mempunyai satu konstitusi, satu pembentuk undang-undang, yurisprudensi berarti tidak lain dari pada undang-undang. Bahkan interpretasi dianggap sebagai “cambuk perusak undang-undang”. Demikian pula Napoleon dalam karya besarnya “Code Napoleon” (i.c. Code Civil yang diberlakukan secara konkordansi menjadi KUH Perdata di Belanda) melarang interpretasi. Hal ini tercermin dalam pengaturan Pasal 1342 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan menyimpang daripadaya dengan jalan penafsiran”. Sesuatu yang sesungguhnya belum tentu jelas untuk “kata-kata suatu perjanjian yang dianggap jelas.
Menurut Paul Scholten[14] untuk memahami sebuah teks undang-undang, perjanjian maupun dokumen-dokumen bisnis kiranya perlu untuk melakukan interpretasi dengan baik. Menurutnya undang-undang tidak selalu jelas, tidak mungkin Undang-Undang memberikan penyelesaian bagi 1001 persoalan yang diajukan kepadanya dengan semudah itu. Dengan demikian adalah sebuah arogansi atau kekhilafan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menyatakan bahwa kodifikasi undang-undang telah mampu mengakomodir segala problema yang muncul di masyarakat, akibatnya mereka beranggapan bahwa interpretasi tidak perlu bahkan dilarang. Setiap undang-undang, juga yang paling baik dirumuskan sekalipun, membutuhkan penafsiran.[15]
Pada setiap penafsiran, keadilan itu harus selalu diperhatikan dan dalam setiap usaha untuk menemukan hukum yang konkrit, keadilan adalah awal dan akhirnya.[16] Ulpianus mengatakan, “Quamvis sit manifestissiumum Edictum Praetoris, attamen non est negligenda interpretatio ejus.” (juga meskipun peraturan dari preator jelas sekali, namun bagaimanapun penafsirannya tidak boleh diabaikan).[17] Menurut Celcus, “Sciere leges non hoc est verba corum tenere, sed vim nac potestatem.” (juga meskipun pada penglihatan pertama kata-katanya jelas, maka bagaimanapun harus ditafsirkan menurut maksud orang yang memberikan atau mengeluarkan peraturan itu).[18] Adalah sangat berbahaya apabila hanya menyandarkan pada kata-kata saja, karena orang dapat menyelundupi tujuan undang-undang dalam batas-batas sepenuhnya dari kata-kata undang-undang. Di sini terjadi “fraus legis” atau penyelundupan undang-undang. “qui salvis verbis legis sententiam ejus circumvenit.” Dengan demikian sekedar menghormati kata-kata undang-undang secara kaku, yang terjadi justru penyelundupan undang-undang. Kesimpulan boleh terletak di samping kata-katanya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan kata-katanya, jadi boleh “praeter legem, non contra legem.” Vollmar[19] mengingatkan pentingnya interpretasi, mengingat bahasa yang dipergunakan dalam undang-undang, termasuk perjanjian, sulit untuk mewujudkan pikiran-pikiran baik seluruhnya maupun sebagian yang tidak termasuk perumusannya. Melalui interpretasi, menurut Vollmar[20] kita mencari tujuan serta maskud dari kata-kata yang terdapat dalam undang-undang, sehingga interpretasi tidak lain adalah untuk menemukan hukum (rechtsvinding).
Isi perjanjian terutama ditentukan oleh apa yang saling diperjanjikan oleh para pihak. Dengan menafsirkan pernyataan-pernyataan tertentu, dalam hal ini untuk menentukan maknanya, akan jelas terhadap apa para pihak mengikatkan diri. Mengapa penafsiran diperlukan, fakta di lapangan memberikan pelajaran berharga, betapa banyak sengketa (i.c. sengketa komersial) justru muncul ketika pelaksanaan perjanjian. Sengketa ini berawal manakala para pihak mempunyai pengertian berbeda mengenai pernyataan yang mereka pergunakan dalam perjanjian. Memang pelaku bisnis sangat paham dengan proses bisnis yang mereka lakukan, namun pada saat proses bisnis tersebut dituangkan dalam bahasa perjanjian dan dirancang oleh mereka yang tidak paham aspek-aspek hukum perjanjian, dapat dipastikan perjanjian tersebut membuka peluang terjadinya sengketa.
Menyikapi kondisi tersebut di atas, perlu diperhatikan faktor-faktor apa saja yang menentukan makna pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dalam hubungan perjanjiantual para pihak. Ada dua kemungkinan yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan makna dan pernyataan-pernyataan tersebut, yaitu:
a.       Maksud yang melandasi pernyataan, dan
b.      Istilah-istilah yang digunakan dalam pernyataan.
Instrumen penting untuk menentukan makna pernyataan-pernyataan dalam hubungan perjanjiantual para pihak, khususnya perjanjian komersial, perlu pemahaman yang utuh terhadap pernyataan-pernyataan para pihak melalui “interpretasi”. Hal ini karena isi perjanjian yang memuat pernyataan-pernyataan tersebut umumnya dituangkan dalam bentuk bahasa (tertulis). Bahasa sebagai sarana bagi para pihak untuk saling berkomunikasi, terutama bahasa perjanjian, acapkali terkendala dengan keterbatasan kemampuan para pihak ketika menuangkan maksud maupun peristilahan yang dipergunakan ke dalam struktur bahasa perjanjian yang tepat. Kendala tersebut antara lain terkait kata atau istilah yang dipergunakan bermakna ganda, kabur bahkan kontradiksi satu dengan lainnya. Satu kata atau istilah dapat mempunyai satu atau seratus bahkan seribu arti yang harus secara tepat dikonstruksikan ke dalam bahasa hukum (perjanjian).
Interpretasi merupakan sebuah metode untuk mencari atau menemukan makna yang hakiki (sesungguhnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan dan lain-lain. Suatu interpretasi yang jelas akan berfungsi sebagai rekonstruksi cita hukum yang tersembunyi. Pendek kata interpretasi bertujuan “mencari yang tersirat dari yang tersurat”, namun upaya ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan setiap orang, terlebih mereka yang awam hukum. Menurut Gorbin, interpretasi perjanjian adalah proses di mana seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain (baik berupa oral, tullisan maupun perbuatan). Interpretasi perjanjian ini harus dibedakan dengan konstruksi perjanjian. Pada perjanjian yang senantiasa dimulai dengan interpretasi bahasa yang digunakan (gramatikal), proses interpretasi berhasil manakala sampai pada penentuan hubungan hukum di antara para pihak. Menurut A. Joanne Kellermann,[21] penafsiran perjanjian adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian dan akibat hukum yang timbul karenanya. Dengan demikian pemahaman komprehensif terhadap substansi perjanjian sangat tergantung pada kemampuan dan penguasaan oleh mereka yang memang profesional di bidangnya (i.c. para yuris).
Dalam Black’s Law Dictionary,[22] interpretasi diartikan sebagai “the art or process of discovering and ascertaining the meaning of a statute, will, contract, or other written document. The discovery anf representation of the true meaning of any signs used to convey ideas.” Interpretasi sebagai suatu metode untuk menemukan pemahaman yang utuh dan padu, bukanlah merupakan langkah mudah dan sederhana, namun lebih dari itu dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dan integratif terhadap konteks pernyataan, ketentuan atau aturan dimaksud. Dengan demikian proses menafsirkan bukanlah sekedar memaknai secara harfiah gramatikal, namun lebih dari itu pemahaman pada konteksnya dan berujung pada suatu konklusi yang tepat dan valid.
Prosedur sederhana yang dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan pernyataan-pernyataan para pihak, terkait “maksud” maupun “peristilahan” yang dipergunakan, adalah sebagai berikut.[23]
a.       Pertama, gambaran para pihak berkenaan dengan hak dan kewajiban, kata-kata dalam pernyataan tidak penting. Berarti interpretasi didasarkan pada “maksud” para pihak mengenai penggunaan istilah-istilah dalam perjanjian yang mereka buat. Tidak menjadi masalah, apakah istilah tersebut dimaknai sebagaimana lazimnya di masyarakat atau tidak. Di sini “maksud” para pihak merupakan manifestasi kebebasan berkontrak dalam menentukan makna berdasar istilah yang digunakan, dan karenanya mengikat mereka;
b.      Kedua, apabila gambaran yang berkenaan dengan hak dan kewajiban tidak dapat ditunjukkan, artinya para pihak tidak sama pemahaman dan pengertiannya terhadap “peristilahan” yang dipergunakan, maka pernyataan ditentukan oleh kepercayaan yang wajar dari pernyataan tersebut. Kepercayaan yang wajar di sini berarti menyerahkan penilaian makna “peristilahan” tersebut kepada praktik di masyarakat.
Di dunia hukum paling tidak dikenal beberapa metode interpretasi, antara lain: gramatikal, teologis atau sosiologis, otentik, sistematis, historis, restriktif, ekstentsif, analog dan a-contrario. Apa yang sementara ini dipahami oleh sebagian kalangan lebih mengarah pada  pola interpretasi yang gramatikal dan fatamorgana, sehingga hasil capaiannya menjadi semu dan tidak mendasar. Penguasaan terhadap metode interpretsi yang baik akan membuat seorang yuridis lebih arif dan bijaksana dalam memaknai segala sesuatunya sesuai konteksnya, tanpa meninggalkan atau sekedar menekankan pada suatu metode saja.
Pitlo menegaskan bahwa seorang yuridis yang bekerja sungguh-sungguh, berkat pemikiran-pemikirannya lambat laun akan menguasai cara kerja yang tepat dan mantap, tetapi harus membuka mata terhadap nilai metode-metode lain. Kesediaan untuk menggunakan semua cara, akan menghasilkan harapan yang terbesar untuk sampai pada hasil yang objektif dan benar. Sebuah hasil yang layak sesuai dengan tujuan hukum yang membawa keadilan dan ketentraman dalam saling berhubungan antara sesama manusia (dalam konteks telaah ini hubungan para pelaku bisnis).[24]

     2.      Penafsiran Perjanjian Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Beberapa pedoman dalam penafsiran perjanjian sudah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu di Buku Ketiga Bagian Keempat, yang terdiri dari 10 pasal, mulai dari Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.[25] pasal-pasal tersebut memuat sepuluh prinsip interpretasi perjanjian, yaitu:
a.       Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpanginya dengan jalan penafsiran atau interpretasi. Kata “jelas” berarti kata-kata yang sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang berbeda. Semacam doktrin pengertian jelas atau “plain meaning rules” (Pasal 1342 KUH Perdata);
b.      Jika kata-kata suatu perjanjian mengandung multi interpretasi, maka maksud para pihak lebih diutamakan daripada kata-kata dalam perjanjian (Pasal 1343 KUH Perdata);
c.       Jika suatu perjanjian mengandung macam-macam pengertian, maka dipilih makna yang memungkinkan untuk dilaksanakan (Pasal 1344 KUH Perdata);
d.      Jika kata dalam suatu perjanjian bermakna ganda, makna harus dipilih makna yang paling sesuai dengan sifat perjanjiannya (Pasal 1345 KUH Perdata);
e.       Jika ada perkataan yang meragukan, harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan dibuat (Pasal 1345 KUH Perdata);
f.        Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam perjanjian, walaupun tidak ditegaskan dalam perjanjian (Pasal 1347 KUH Perdata);
g.      Antara satu klausul dengan klausul lainnya dalam suatu perjanjian harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain (interpretasi komprehensif-menyeluruh) (Pasal 1348 KUH Perdata);
h.      Jika ada keragu-raguan, suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang  yang telah meminta diperjanjikan dan atas keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu, semacam doktrin “contra proferentem” (Pasal 1349 KUH Perdata);
i.        Jika kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu perjanjian mempunyai makna yang meluas, maka harus diinterpretasikan sebatas hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan para pihak pada saat membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata);
j.        Jika dalam suatu perjanjian terdapat penegasan tentang suatu hal, tidaklah mengurangi atau membatasi daya berlaku perjanjian terhadap hal-hal lain yang tidak ditegaskan dalam perjanjian tersebut (Pasal 1351 KUH Perdata).
Dengan demikian dalam memahami isi perjanjian secara komprehensif, tidak dapat sekedar menafsirkan kata demi kata, istilah per istilah, menurut pengertian gramatikalnya saja. Demikian halnya ketika memaknai rumusan Pasal 1342 KUH Perdata secara gramatikal, maka larangan untuk melakukan interpretasi terhadap kata-kata suatu perjanjian yang sudah jelas, kiranya patut direnungkan lebih mendalam. Pada umumnya kata-kata dalam suatu perjanjian pergramatikal jelas, tetapi makna yang terkandung di dalamnya tidak mudah untuk dipahami dan dijelaskan.
Salah satu contoh ketentuan pasal yang jelas bunyinya, namun tidak demikian pemaknaannya dapat dianalisis substansi di dalam Pasal 1446 KUH Perdata yang menyatakan, “Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa (minderjarig) atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatela), adalah batal demi hukum (nietig).” benarkah perikatan yang dibuat oleh mereka yang onbekwaam (minderjarig maupun curandus) adalah batal demi hukum? Pergramatikal maka bunyi Pasal 1446 KUH Perdata ini jelas, namun pemaknaanya justru tidak jelas dan kontradiksi dengan kenyataan di lapangan, di mana perikatan yang dibuat oleh minderjarig atau mereka yang dibawah pengampuan, hal ini terkait dengan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum justru tidak batal (nietig) tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hal ini sejalan dengan pemikiran doktrin terhadap Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, di mana tidak dipenuhinya syarat kesepakatan (toestemming) dan kecakapan (bekwaamheid), sebagai syarat subjektif, tidak mengakibatkan batalnya perjanjian. Melalui interpretasi historis pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa pada proses penyusuanan pasal ini sebenarnya yang dimaksud pembentuk undang-undang pada waktu itu bukan batal demi hukum (nietig) tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian kata “nietig” dalam Pasal 1446 KUH Perdata harus dibaca (diinterpretasi) “vernietigbaar.”
Perkembangan lain yang memperkuat asumsi perlunya metode interpretasi sebagai sarana yang mempersentasi adanya kepastian hukum dan keadilan, dapat dicermati putusan pengadilan yang menggunakan metode interpretasi terhadap penerapan Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1977 KUH Perdata. Sebelum putusan H.R. 31 Januari 1919, NJ 161 : dalam kasus Lidenbaum-Cohen, perbuatan melanggar hukum (onrechmatig daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata diinterpretasi secara sempit hanya sebatas perbuatan melanggar undang-undang (onwetmatige daad). Demikian pula dengan ketentuan Pasal 1977 (1) KUH Perdata, di mana penerapan pasal ini mengalami perkembangan melalui interpretasi bahkan penghalusan hukum (rechtsvervijning). Interpretasi gramatikal terhadap adagium Pasal 1977 (1) KUH Perdata, “bezit geldt als volkoman titel”, justru menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan Pasal 1977 (1) KUH Perdata ini menerobos prinsip dasar levering (penyerahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata, yang mensyaratkan adanya titel sah (geldige titel; peristiwa perdata) dan kewenangan berhak (beschikkings-bevoegd). Penerobosan oleh Pasal 1977 (1) KUH Perdata ini  khususnya terkait dengan kewenangan berhak (beschikkings-bevoegd) walaupun demikian menerapkannya tidak diperkenankan sekedar diinterpretasi secara gramatikal. Oleh karena itu Pasal 1977 (1) KUH Perdata justru harus diinterpretasi sedemikian rupa dengan melalui tahapan atau fase-fase yang harus dilalui sehingga adagium “bezit geldt als volkomen titel” dapat diberlakukan.[26] Hal ini sejalan dengan pendapat H.R. 5 Mei 1950, Nj 1951, damhot atau staat, di mana agar memperoleh perlindungan Pasal 1977 (1) KUH Perdata, maka pihak III harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a.       Memperoleh bezit karena pemindahan (feitelijke overgave),
b.      Perolehan karena suatu alas hak yang sah (geldige titel),
c.       Memperoleh sesuatu dengan itikad baik (ter goede trouw),
d.      Perolehan dengan imbalan (onder bezwarende titel atau om baat).
Berbeda dengan KUH Perdata lama, termasuk KUH Perdata Indonesia yang mengatur tentang interpretasi dalam bagian khusus (Bagian Keempat), tentang Penafsiran Perjanjian, Pasal 1342-1351 BW), maka NBW tidak lagi mengatur secara khusus. Penghapusan ketentuan interpretasi dalam NBW karena substansi pasal-pasal tentang interpretasi tersebut dianggap terlalu umum rumusannya, sehingga maknanya menjadi tidak tepat dan sulit untuk diterapkan.

3.      Metode-Metode Dalam Penafsiran Perjanjian
Menurut Achmad Ali, metode penemuan hukum oleh hakim dibedakan menjadi dua jenis, yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Pada metode interpretasi, penafsiran terhadap teks undang-undang dengan tetap berpegang pada bunyi teks. Sedangkan pada  metode konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.[27]
Achmad Ali berpendapat bahwa, interpretasi sistematis sebagaimana metode interpretasi lainnya, mempunyai nilai relatif. Suatu kata dalam suatu perundang-undangan memiliki makna yang lebih tinggi dibandingkan kata yang sama dalam perundang-undangan yang lain.[28]
Kalimat maupun istilah-istilah yang terdapat di dalam suatu perjanjian terkadang tidak jelas dan memiliki penafsiran yang multitafsir, oleh karena itu, penafsiran atau interpretasi terhadap klausul yang terdapat di dalam perjanjian terkadang perlu dilakukan. Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu:
a.       Penafsiran Gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan tata bahasa, yang karena itu hanya mengingat bunyi kata-kata dalam kalimat itu sendiri (penjelasan undang-undang menurut susunan kata-katanya).[29] Dengan menggunakan interpretasi gramatikal, maka pengadilan dapat menyatakan bahwa:
1)      Naskah yang terdapat dalam undang-undang atau perjanjian tersebut jelas mengatur perkaranya; atau
2)      Ada dua naskah atau lebih solusi atau pendektan yang dapat dipilih;
3)      Naskah undang-undang tersebut, yang tersusun dalam kalimat, tidak mudah terpengaruh oleh soslusi.[30] Contoh suatu peraturan melarang orang memparkirkan kendaraannya di suatu tempat.[31]
b.      Penafsiran historis atau sejarah, adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi dua yaitu :
1)      Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP, BW, hukum romawi dan sebagainya.[32]
2)      Sejarah undang-undang, yaitu penelitian terhadap pembentukan undang-undang tersebut, seperti ketentuan denda dalam KUHP pidana, sekarang dikalikan lima belas mendekati harga-harga pada waktu KUHP Pidana itu dibentuk.[33]
Contoh : seseorang yang melanggar okum didenda sebesar Rp. 500,-, maka denda sebesar itu jika diterapkan pada zaman sekarang jelas tidak sesuai, oleh karena itu harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga yang sekarang ini.
c.       Penafsiran Sistematis, yaitu dengan cara mempelajari sistem dan rumusan undang-undang yang meliputi:
1)      Penalaran analogi dan penalaran a contario. Penggunaan a contario yaitu  memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan, sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah undang-undang.
2)      Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah terdahulu secara logis tak ada perbedaan).
3)      Penghalusan atau pengkhususan berlakunya undang-undang.
d.      Penafsiran Teleologis atau Sosiologis, yaitu penafsiran berdasarkan  maksud atau tujuan dibuatnya undang-undang itu dan ini meningkatkan kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut masa, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak berubah. Contoh walaupun undang-undang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan akan tetapi jika undang-undang itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap kejadian atau peristiwa masa sekarang.
e.       Penafsiran Authentic (Sahih dan Resmi), yaitu memberikan penafsiran yang pasti sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang itu sendiri.[34] Contoh: Pasal 98 KUHP, dinyatakan malam, hal ini yang dimaksud adalah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit, dan Pasal 100 KUHP, dinyatakan binatang ternak, yang dimaksudkan di sini adalah binatang yang berkuku satu, mamah biak, dan babi.
f.        Penafsiran Ektensis (Luas), Yaitu menafsirkan berdasarkan luasnya arti kata dalam peraturan itu, sehingga suatu peristiwa dapat dimasukannya, seperti : aliran listrik dapat dimasukan kedalam kata benda, karena itu ada yang berwujud dan yang tidak berwujud. Contoh aliran listrik termasuk benda.
g.      Penafsiran Analogi, sesungguhnya hal ini sudah tidak termasuk interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas, yaitu hukum ibarat dengan kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,  sehingga sesuai peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi aturan tersebut, misalnya, menyambung atau menyantol aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Misalnya: Hakim cari undang-undang yang tepat untuk mengadili perkara kalau undang-undang tidak ada, maka ia lari ke:
1)      Yurisprudensi;
2)      Dalil hukum adat;
3)      Melakukan undang-undang secara analogi (kontruksi hukum).
Hakim kalau dalam melakukan undang-undang secara analogi ini harus berhati-hati dalam penggunaannya, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan berikut ini:
1)      Apabila ada perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh undang-undang cukup persamaannya, sehingga penerapan asas yang sama dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan asas keadilan.[35]
2)      Apabila keadilan yang tertarik dari analogi hukum itu serasi dan cocok dengan sitem serta maksud perundang-undangan yang ada.[36]
Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi kekosongan dalam undang-undang.
h.      Penafsiran Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata dalam peraturan itu, misalnya, kerugian tidak termasuk kerugian yang terwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya.[37]
i.        Penafsiran Nasional, yaitu cara penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan hukum-hukum yang berlaku.
j.        Penafsiran a Contrario (Menurut Pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu undang-undang. Berdasarkan perlawanan (pengingkaran) itu dapat dinyatakan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau berada di luar pasal itu. Misalnya Pasal 1576 KUH Perdata: “Penjualan benda yang disewakan tidak menyebabkan putusnya sewa menyewa”. Bagaimana kalau peristiwa penghibahan? Di dalam Pasal 1576 KUH Perdata itu tertulis “penjualan” bukan “penghibahan.” Contoh lain Pasal 34 KUH Perdata berbunyi bahwa; “seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.” Bagaimana halnya bagi seorang laki-laki? Waktu tunggu 300 hari? Jawabannya tidak, karena Pasal 34 KUH Perdata itu tidak menyebutkan bagi laki-laki, tetapi harus ditujukan kepada seorang perempuan. Maksud waktu menunggu dalam Pasal 34 KUH Perdata bagi seorang perempuan itu adalah untuk mencegah adanya keraguan mengenai kedudukan sang anak, ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama. Hal-hal tersebut di atas dapatlah dinyatakan bahwa dasar berfikir a contrario itu merupakan lawan dari menafsirkan undang-undang secara analogis, karena dasar berfikir a contrario itu sama sekali bukan dalil, bahwa pasal untuk suatu peristiwa tertentu juga dapat diadakan peraturan tersendiri itu, sudah bukti yang jelas bahwa undang-undang tidak menghendaki peristiwa yang serupa itu termasuk diatur juga[38].
k.      Penafsiran Perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum pada peristiwa hukum yang kongkrit.
Mengenai asas keseimbangan R. Kranenburg mengatakan bahwa: Asas keseimbangan merupakan dasar berfungsinya kesadaran hukum orang, yang mana kesadaran hukum seseorang adalah menjadi sumber hukum seseorang. Dalil atas asas keseimbangan tersebut adalah bahwa tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu, dan dalam hal pembagian keuntungan dan kerugian tersebut tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, maka tiap-tiap anggota-anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.[39]

4.      Penafsiran Perjanjian Dalam Hukum International
Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) merupakan landasan utama atas pengaturan perjanjian international secara teknis maupun material. Perjanjian International menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum international, apakah terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apapun namanya.[40] Penafsiran perjanjian international berarti perbuatan untuk memberikan keterangan atau menjelaskan instrumen-instrumen atau substansi persetujuan tertulis yang dibuat oleh negara-negara.
Pasal 31 Konvensi Wina 1969 menetapkan aturan-aturan umum penafsiran perjanjian yang terdiri dari empat ketentuan, yaitu:
a.         Suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik menurut arti yang umum yang tercantum dalam ketentuan perjanjian sesuai konteksnya sebagai cermin atas objek dan maksud perjanjian.
b.         Kerangka tujuan penafsiran harus mencakup sebagai tambahan atau teks konsideran dan lampiran yang mencakup setiap persetujuan naskah yang ada hubungannya dengan perjanjian tersebut, dan instrumen apapun yang dibuat oleh satu atau beberapa pihak sehubungan dengan tujuan perjanjian dan oleh pihak lain sebagai instrumen yang berhubungan dengan perjanjian.
c.         Harus juga diperhatikan setiap persetujuan dan praktik penerapan yang menyusul pembentukan perjanjian, serta setiap aturan hukum international yang relevan.
d.         Arti yang khusus dapat ditetapkan bagi suatu hal jika para pihak menghendaki demikian.
Untuk memperkuat arti yang dihasilkan dari penerapan penafsiran sesuai dengan Pasal 31 Konvensi Wina 1969 di atas, maka ada sarana tambahan untuk melakukan penafsiran tersebut yang dimuat dalam Pasal 32 Konvensi Wina 1969, yakni sebagai suatu alat pelengkap dalam melakukan penafsiran, yang mana dalam melakukan penafsiran itu hasilnya tidak ambiguiti atau bermakna ganda atau kabur dan tidak menghasilkan arti yang tidak masuk akal atau yang berlebih-lebihan.
Pasal 33 Konvensi Wina 1969 menjelaskan mengenai perjanjian yang dibuat dalam dua bahasa atau lebih maka istilah-istilah dalam kedua bahasa tersebut dianggap sama, namun apabila suatu teks tertentu dari perjanjian ini memiliki suatu makna yang jauh berbeda maka naskah khususlah yang akan dipakai (a particular text).
Berikut ketentuan penafsiran perjanjian dalam dua bahasa yang dalam implementasinya melibatkan Negara Indonesia dengan negara-negara lainnya:[41]
a.         Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia.
b.         Perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan atau bahasa Inggris.
c.         Jika perjanjian telah disahkan dalam dua atau lebih bahasa, naskah tersebut akan sama-sama sah dalam setiap bahasa, kecuali perjanjian mengatur atau para pihak sepakat bahwa jika terjadi perbedaan penafsiran, naskah dengan bahasa ditentukan dalam perjanjianlah yang akan berlaku.
d.         Versi naskah perjanjian dalam sebuah bahasa salah satu dari naskah-naskah yang telah disahkan akan dianggap naskah otentik jika perjanjian mengatur demikian atau para pihak menyetujuinya.
e.         Syarat-syarat perjanjian dianggap memiliki arti yang sama di masing-masing naskah otentik.
f.          Makna yang paling mendamaikan isi naskah dengan memerhatikan objek dan tujuan dari perjanjian, harus diadopsi.
Ada 3 (tiga) aliran besar yang menjadi doktrin dalam penafsiran perjanjian international, yaitu:[42]
a.       Aliran yang menekankan pada naskah perjanjian (textual school), menurut aliran  ini teks atau naskah dalam perjanjian itu sendirilah yang secara tegas merupakan wujud dari maksud dan kehendak para pihak, oleh karena itu untuk mengetahui maksud dan kehendak dari para pihak haruslah dilihat dan dibaca naskah dari perjanjian itu sendiri.
b.      Aliran yang menekankan pada maksud dari para pihak (intention of the parties school), menurut aliran ini makna yang terkandung dalam suatu perjanjian international hendaknya dicari maksud dari para pihak ketika mereka merundingkan naskah perjanjian itu, oleh karena itu menurut aliran ini meskipun sudah ada naskah perjanjiannya, tetapi dari naskah itu tidak dapat diketahui sepenuhnya maksud dari pada pihak, sebab bahasa yang tercantum dalam naskah itu tidak sepenuhnya representatif sebagai sarana menuangkan maksud dari para pihak.
c.       Aliran yang menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian (teological school), aliran ini menitikberatkan pada tujuan dari perjanjian, karena pengaruh dari berbagai faktor, apa yang menjadi tujuannya belum tentu sama seperti ketika dalam proses perundingan ataupun seperti yang tertuang di dalam naskah perjanjian.
Doktrin-doktrin dalam melakukan penafsiran ini dapat menutupi kekurangan satu sama lain, karena faktanya perjanjian international itu ada yang dari naskah perjanjiannya dapat dilihat dan dicari makna suatu istilah tertentu, adapun istilah tertentu tersebut dapat diketahui maknanya dari tujuan perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini tidak ada cara ataupun metode yang diharuskan atau mengikat untuk diikuti dalam melakukan suatu penafsiran. Pasal 31, 32 dan 33 Konvensi Wina 1969 hanya sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan suatu penafsiran dalam hukum international.

5.      Prinsip atau Doktrin-Dokrin Umum Dalam Penafsiran Perjanjian
Dalam ilmu hukum perjanjian, dikenal 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi dalam penafsiran perjanjian, yaitu sebagai berikut:[43]
a.       Penafsiran perjanjian harus untuk mendapatkan arti logis atau masuk akal (reasonable);
b.      Penafsiran perjanjian harus untuk mendapatkan arti yang sesuai dengan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku;
c.       Penafsiran perjanjian haruslah untuk mendapatkan arti yang efektif dan efisien.
Di samping 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi dalam penafsiran perjanjian di atas, maka dalam ilmu hukum perjanjian dikenal pula beberapa prinsip-prinsip atau doktrin-doktrin umum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam hal terjadi perbedaan penafsiran atau interpretasi terhadap perjanjian, yaitu sebagai berikut:[44]
a.       Pegangan utama dalam menafsirkan perjanjian adalah adanya asumsi bahwa para pihak telah menggunakan bahasa dengan cara yang sama seperti kebanyakan orang menggunakannya;
b.      Klausula yang dinegosiasikan secara khusus lebih diperhatian ketimbang klausula baku;
c.       Klausula khusus lebih diperhatikan ketimbang klausula umum;
d.      Maksud utama (primary purpose) dari para pihak lebih diutamakan;
e.       Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang beritikad baik daripada pihak yang tidak beritikad baik;
f.        Klausula yang ditulis tangan lebih diperhatikan ketimbang klausula yang diketik;
g.      Klausula yang diketik lebih diperhatikan ketimbang klausula yang ditulis dicetak;
h.      Jika dalam perjanjian ada 2 (dua) klausula yang bertentangan, maka klausula yang lebih banyak dibicarakan (dinegosiasikan) lebih dimenangkan daripada klausula yang kurang dinegosiasikan;
i.        Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang tidak memakai tenaga lawyer atau tenaga ahli dalam proses drafting atau negosiasi perjanjian, daripada pihak yang memakai tenaga lawyer atau tenaga ahli;
j.        Doktrin contra proferentem. Dalam hal penafsiran perjanjian, yang dimaksudkan adalah bahwa penafsiran perjanjian dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun perjanjian tersebut;
k.      Doktrin expressio unius est exclusio alterius. Artinya, harafiahnya adalah bahwa menyatakan sesuatu berarti tidak untuk memasukan yang lain. Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini dimaksudkan bahwa jika para pihak telah dengan khusus membuat daftar dari sesuatu, maka berarti yang lainnya tidak akan termasuk dalam daftar tersebut. Kecuali ada kata-kata  yang bersifat inklusif dalam daftar tersebut, seperti kata-kata “dan lain-lain” misalnya;
l.        Doktrin ejusdem generis (dari jenis yang sama). Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini dimaksudkan bahwa jika para pihak telah dengan khusus membuat daftar dari sesuatu, disertai dengan kata-kata yang bersifat inklusif dalam daftar tersebut, seperti kata-kata “dan-lain-lain” misalnya, maka dalam hal ini, hal lain yang boleh masuk ke dalam daftar tersebut adalah hal-hal yang sejenis dengan hal yang ada dalam daftar tersebut;
m.    Doktrin noscitur a sociis (dikenal dari kelompoknya). Doktrin ini serupa dengan doktrin ejusdem generis. Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini dimaksudkan bahwa arti dari suatu kata dalam perjanjian dapat dilihat dari kata-kata lain yang menyertainya;
n.      Jika kebijaksanaan hukum atau kebijaksanaan pengadilan pada umumnya lebih menghendaki keabsahan perjanjian, maka penafsiran harus untuk mengesahkan berlakunya perjanjian daripada membatalkan perjanjian;
o.      Dalam menafsirkan perjanjian, kebiasaan dalam perdagangan mengikat para pihak, meskipun salah satu pihak dalam perjanjian tidak mengetahui adanya kebiasaan tersebut. Misalnya, kata “50% (lima puluh persen)” dalam bisnis bisa juga berarti 49,5% (empat puluh sembilan koma lima persen);
p.      Suatu perjanjian tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan, tidak bisa sepotong-sepotong;
q.      Istilah-istilah teknis harus ditafsirkan sesuai pengertiannya secara teknis dalam bidang yang bersangkutan, tidak ditafsirkan dalam pengertiannya yang umum.;
r.        Istilah khusus harus diartikan secara khusus daripada memakai arti yang berasal dari bahasa yang umum.
Penyebutan prinsip-prinsip tersebut di atas tidak berarti bahwa daftar tersebut sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap. Prinsip-prinsip tersebut memberikan beberapa pedoman umum penafsiran perjanjian. Beberapa prinsip-prinsip tersebut di atas sebenarnya diambil dari ketentuan dalam KUH Perdata (lama).
Walaupun demikian Arthut S. Hartkamp dan Marianne M.M. mengemukakan beberapa prinsip umum interpretasi perjanjian yang diterima dalam praktik penerapan interpretasi di pengadilan Belanda, yaitu:[45]
a.       Maksud para pihak yang harus diuji daripada sekedar menafsirkan makna literal kata-kata dalam perjanjian;
b.      Ketentuan-ketentuan perjanjian harus dipahami dalam makna “in which it would have any effect rather than in a sense in which it would have no effect”;
c.       Kata-kata perjanjian harus diperlukan sesuai dengan sifat perjanjian;
d.      Jika menafsirkan suatu perjanjian harus memperhatikan aspek regional, lokal, profesional, dan kebiasaan;
e.       Terkait dengan klausul baku dalam perjanjian konsumen-berlaku doktrin contra proferentem;
f.        Syarat-syarat umum yang tertulis atau ketikan tambahan yang dicetak mengesampingkan persyaratan yang dicetak; dan
g.      Penerapan suatu argumentum a-contrario harus dilakukan dengan hati-hati.
h.      In case of uncertainties (general) conditions drwan up by a profesional party are in principle construed in favor of other party, especially when the other party is a consumer.
Cara penafsiran yang demikian itu berbeda dengan yang dianut di Amerika Serikat. Jika di dalam sistem civil law, hakim dapat langsung menafsirkan perjanjian berdasarkan asas itikad baik, sedangkan dalam sistem common law, penafsiran perjanjian umumnya diarahkan kepada unsur yang mengacu kepada maksud para pihak (intention the parties).[46]
Proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara penafsiran juga sudah sejak lama dikenal dalam lapangan hukum international, khususnya berbagai cara penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian international, baik yang diatur dalam Konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan (nasional ataupun international). Interaksi antara ketentuan hukum nasional dengan kaidah-kaidah hukum international akan semakin bertambah karena berkembangnya lalu lintas pergaulan hidup international. Hubungan kerjasama antarnegara senantiasa dipelihara dan ditingkatkan. Sebagai salah satu bentuk perwujudannya dituangkan dalam kegiatan itu sehingga peselisihan yang berkaitan dengan penafsiran pernjanjian juga akan semakin meningkat.[47]
Di dalam struktur hukum international dewasa ini tidak terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan penafsiran pada perjanjian international yang dapat mengikat semua negara. Lazimnya penafsiran perjanjian dilakukan oleh negara masing-masing menurut ketentuan hukum nasionalnya, baik hal ini dilakukan oleh pengadilan maupun pemerintahannya. Hak suatu negara untuk mengadakan penafsiran sendiri memang diakui dalam hukum internasional sehingga tidaklah berlebihan apabila dikemukakan pendapat Mc. Nair sebagaimana dikutip oleh Yudha Bakti Ardhiwisastra yang menyatakan bahwa: “there is no part of the Law of Treaties which the writer approaches with more trepidation that the question of inter-pretation”.[48]
UUPC dan RUU Perjanjian (ELIPS), dalam sistematika Bab IV tentang Penafsiran (Interpretation), Pasal 4.1-4.8, mengenai interpretasi perjanjian di atur sebagai berikut:
a.       Interpretasi berdasarkan maksud para pihak (vide Pasal 4.1);
b.      Interpretasi berdasarkan pernyataan dan perilaku lainnya (vide Pasal 4.2);
c.       Interpretasi berdasarkan keadaan yang relevan, meliputi perundingan pendahuluan, praktik-praktik yang telah ditetapkan para pihak, perilaku para pihak sebagai tindak lanjut dari pembentukan perjanjian tersebut, serta sifat dan tujuan perjanjian (vide Pasal 4.3);
d.      Interpretasi berdasarkan istilah dan ungkapan dari sudut pandang keseluruhan perjanjian (vide Pasal 4.4);
e.       Interpretasi berdasarkan semua istilah yang dipergunakan para pihak dalam perjanjian tersebut (vide Pasal 4.5);
f.        Interpretasi berdasarkan doktrin contra proferentem (vide Pasal 4.6);
g.      Interpretasi dengan memasukan syarat yang belum tercantum, apabila terdapat perbedaan mengenai hak dan kewajiban perjanjiantual, dengan memperhatikan maksud para pihak, sifat dan tujuan perjanjian, itikad baik dan transaksi jujur, serta kewajaran (vide Pasal 4.8).
Dalam Akta Perjanjian 1950, interpretasi sama sekali tidak disinggung, walaupun demikian praktik pengadilan (khususnya untuk perjanjian konsumen) menerapkan dua teknik utama untuk melakukan interpretasi terhadap klausul perjanjian yang bersifat membatasi, mengecualikan tanggung gugat (i.c exemption clause, exclusion clause, disclaimer clause), yaitu:[49]
a.       Teknik pemasukan (incorporation), dengan jalan memasukan klausul tersebut sebagai terma (ketentuan) dalam perjanjian. Di sini terdapat dua metode utama untuk memasukan dalam pasal perjanjian, melalui: (i) dokumen perjanjian, dan (ii) notis yang dibelakangnya tercetak klausul dimaksud);
b.      Teknik interpretasi tegas (contra proferentem), dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pengguna (konsumen).

B.       Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance) di Indonesia
1.         Pengertian Asuransi Secara Umum
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, maka “perjanjian” itu sendiri perlu dikaji sebagai variabel untuk menuju pada pengertian asuransi. Di samping itu acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum perngertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Sesuatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih;
b.      Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu (penanggung atau tertanggung) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. (penanggung atau tertanggung), yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi.[50]
Dari batasan tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa setiap perjanjian pada dasarnya akan meliputi hal-hal tersebut di bawah ini:
a.       Perjanjian selalu menciptakan hubungan hukum;
b.      Perjanjian menunjukkan adanya kemampuan atau kewenangan menurut hukum;
c.       Perjanjian mempunyai atau berisikan suatu tujuan bahwa pihak yang satu akan memperoleh dari pihak yang lain suatu prestasi yang mungkin memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
d.      Dalam setiap perjanjian, Kreditur berhak atas prestasi dari Debitur, yang dengan suka rela akan memnuhinya.
e.       Bahwa dalam setiap perjanjian Debitur wajib dan bertanggung jawab melakukan prestasinya sesuai dengan isi perjanjian.
Kelima unsur termasuk di atas pada hakekatnya selalu terkandung pada setiap jenis perjanjian termasuk perjanjian asuransi. Jadi pada perjanjian asuransi di samping harus mengandung kelima unsur pokok tersebut di atas, mengandung pula unsur-unsur lain yang menunjukkan ciri-ciri khusus dalam karakteristiknya. Ciri-ciri dan karakteristik perjanjian asuransi inilah nanti yang membedakannya dengan jenis perjanjian pada umumnya dan perjanjian-perjanjian lain.
Mengingat arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai dengan tujuannya, yaitu sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini sebenarnya menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai kerugian-kerugian ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang belum pasti.
Pertanggungan dalam praktek sering disebut dengan asuransi, tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang sama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Pasal 1 butir (1), mendefinisikan Asuransi sebagai suatu:
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

1)      Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

2)      Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan atau atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dinyatakan adanya unsur-unsur asuransi sebagai berikut:
a.       Adanya Pihak Penanggung dan Tertanggung
Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban, dengan demikian perjanjian antara penanggung dan tertanggung merupakan perjanjian timbal balik dan konsensual.
b.      Adanya Peralihan Risiko dari Tertanggung kepada Penanggung
Mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risikonya yang mengancam harta kekayaan. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.
c.       Adanya Peristiwa Tidak Tertentu (Evenemen)
Evenemen adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan kerugian.
d.      Adanya Pembayaran Premi dari Tertanggung kepada Penanggung
Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung.
e.       Adanya Ganti Kerugian
Jika pada suatu ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Apabila kerugian yang timbul itu bersifat sebagian (partial loss) maka kepada tertanggung diberi penggantian kerugian sebesar kerugian yang diderita tertanggung saja, meskipun tertanggung membayar penuh premi sebesar nilai benda yang diasuransikan, dan apabila kerugian tersebut (total loss) dengan demikian barulah penanggung akan memberikan ganti rugi seluruhnya kepada tertanggung.
f.        Tanggung Jawab Hukum terhadap Pihak Ketiga
Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga, adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Jadi perjanjian itu diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya keadaan (ekonomi) sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa. Batasan perjanjian asuransi secara formal terdapat dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal 246 KUH Dagang:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”

Batasan tersebut di atas oleh Prof. Emmy Pangaribuan secara luwes dikembangkan sebagai berikut:[51]
“Pertanggungan adalah suatu perjanjian, di mana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan,  kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum pasti.”

Dari batasan tersebut di atas Prof. Emmy Pangaribuan selanjutnya menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian asuransi atau pertanggungan itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a.       Perjanjian asuransi atau pertanggungan pada asasnya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (chcadeverzekering atau indemniteits contrat). Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (prinsip indemnitas);
b.      Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian bersyarat. Kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi;
c.       Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti rugi diharapkan dengan kewajiban bertanggung membayar premi;
d.      Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan.
Di samping itu Prof. P. L. Wery, dalam bukunya Hoofzaken van het verzekeringsrecht lebih lanjutnya mengatakan bahwa dari batasan Pasal 246 KUH Dagang Indonesia, yang sama dengan Pasal 246  juga dari dari Wetboek van Koophandel menyimpulkan bahwa pasal tersebut mengandung 3 sifat pokok dari perjanjian asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:[52]
a.       Asuransi pada dasarnya merupakan perjanjian atau perjanjian ganti rugi atau perjanjian indemnitas pihak yang satu (penanggung) mengikat dirinya terhadap pihak yang lain (pengambil asuransi atau tertanggung) untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita olehnya;
b.      Asuransi merupakan perjanjian bersyarat, dalam arti penanggung mengganti kerugian pihak tertanggung ditentukan atau tertanggung pada peristiwa yang tidak dapat dipastikan terlebih dahulu;
c.       Asuransi merupakan perjanjian timbal balik.
Oleh karena itu penanggung terdapat ikatan bersyarat terhadap tertanggung untuk membayar ganti rugi, tetapi sebaliknya dari sisi tertanggung terdapat ikatan tidak bersyarat untuk membayar premi.
Menurut Prof. P.L. Wery selanjutnya masih dalam bukunya yang sama, dikemukakan lagi dua sifat lain dari perjanjian asuransi, meskipun tidak terdapat dalam Pasal yang sama (246 KUH Dagang) tetapi dalam pasal-pasal yang lain yaitu pada Pasal 257 dan 258 KUH Dagang sebagai berikut:[53]
1.         "Asuransi merupakan perjanjian berdasarkan konsensus, dapat terjadi setelah ada kata sepakat, artinya merupakan perjanjian tanpa bentuk.
2.         Asuransi mempunyai sifat kepercayaan yang istimewa, saling percaya mempercayai di antara para pihak adalah yang menentukan perjanjian itu sendiri.

Pasal 246 KUH Dagang yang memberikan batasan perjanjian asuransi, merupakan satu pasal kunci di dalam sistem pengaturan perjanjian asuransi. pasal tersebut mengatur suatu hubungan hukum dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian sehingga perjanjian yang bersangkutan dapat disebut sebaga perjanjian asuransi. Sifat khusus yang ditentukan di dalam Pasal 246 KUH Dagang inilah yang merupakan dasar dari perjanjian asuransi, yang akan didukung oleh asas-asas penting lain yang diatur lebih lanjut dalamm KUH Dagang. Asas-asas lain sebagai asas pelengkap dari perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 250, 251, yo 268, 253, 257, 258 KUH Dagang dan seterusnya.

2.      Prinsip-Prinsip Umum Asuransi
Berdasarkan pada definisi-definisi tentang asuransi, maka terdapat prinsip-prinsip pokok yang berlaku pada perjanjian asuransi, seperti:
a.       Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest)
Dalam perjanjian asuransi, kepentingan atas benda yang dipertanggungkan merupakan syarat yang harus ada pada pihak tertanggung. Berdasarkan prinsip ini, pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan barang yang akan diasuransikan, dan agar kepentingan itu harus dapat dinilai dengan uang[54] Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa, apabila seorang yang mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi. Dengan demikian berdasarkan Pasal 250 KUHD tersebut, kepentingan ini harus ada pada saat perjanjian asuransi diadakan. Pelanggaran pasal ini dapat menyebabkan penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi. Namun dalam prakteknya dewasa ini, ketentuan ini banyak dilanggar, karena berdasarkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat ternyata berpendapat lain.
b.      Prinsip Keseimbangan (Indemnity)
Perjanjian asuransi itu memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung, yang disebabkan oleh bahaya sebagaimana ditentukan di dalam polis. Berdasarkan nilai ganti rugi adalah sama dengan besarnya kerugian yang diderita oleh tertanggung, tidak lebih. Kecuali ditentukan lain di dalam undang-undang, maka suatu objek yang telah dipertanggungkan secara penuh dalam jangka waktu yang sama, tidak dapat dipertanggungakan lagi. Bila hal ini dilakukan, maka perjanjian yang kedua itu terancam batal (Pasal 252 KUHD).[55] Isi Pasal 252 KUHD ini melarang pertanggungan atas benda yang sama dengan nilai penuh untuk kedua kalinya dalam waktu yang bersamaan dengan tujuan untuk mencegah adanya ganti rugi yang melebihi kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya. Tujuan adanya prinsip indemnitas ini pada pertanggungan ini adalah untuk mencegah   perbuatan   orang-orang   yang  mempertanggungkan harta bendanya hanya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.
c.       Prinsip Itikad Baik dan Kejujuran yang Sempurna (Utmost Good Faith)
Di dalam perjanjian asuransi, tertanggung diwajibkan untuk memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya, mengenai objek atau barang yang dipertanggungkan secara benar. Keterangan yang tidak benar atau informasi yang tidak diberikan kepada penanggung walaupun dengan itikad baik sekalipun dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi, prinsip ini diatur di dalam Pasal 251 KUHD. Pasal 251 KUHD, berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada pihak tertanggung, karena ketentuan tersebut mewajibkan tertanggung memberikan keterangan sedemikian rupa sehingga keterangan tersebut dapat diandalkan oleh penanggung untuk menutup asuransi. Pembentukan undang-undang membebani tertanggung dengan kewajiban memberikan keterangan tersebut, karena tertanggung dianggap sebagai orang yang paling tahu tentang risiko yang akan dipertanggungkannya. Oleh karena itu jika tertanggung tidak memberikan keterangan yang jujur, maka penanggung dapat membebaskan dirinya dari risiko yang secara tidak adil telah diperalihkan kepadanya.
d.      Prinsip Subrogasi
Prinsip ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari prinsip indemnity, yaitu yang hanya memberikan ganti rugi kepada tertanggung sebesar kerugian yang dideritanya. Apabila tertanggung setelah menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanmya, dan hak itu beralih kepada penanggung. Prinsip ini diatur secara tegas  dalam  Pasal  284  KUHD  yang  berbunyi: seorang penanggung yang membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.[56] Dari Pasal 284 KUHD juga dapat dinyatakan bahwa untuk terjadinya subrogasi diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1)      Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga;
2)      Adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Di samping itu, dapat juga dinyatakan bahwa subrogasi hanya berlaku jika penanggung telah membayar ganti rugi yang diwajibkan. Subrogasi terjadi secara otomatis.d.engan sendirinya karena undang-undang, penanggung yang telah membayar uang ganti rugi kepada tertanggung, berdasarkan undang-undang dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang sebenarnya dapat dituntut pertanggung jawabannya atas kerugian itu oleh tertanggung, dan tertanggung telah melepaskan tuntutan itu terhadap pihak tersebut, karena tertanggung sudah menuntut kepada penanggung. Subrogasi berlaku pada pertanggungan kerugian.
e.       Prinsip Sebab Langsung
Dalam prinsip ini risiko yang tercantum dalam polis itulah yang diganti kerugiannya, karena dalam polis telah tercantum hal-hal yang telah disepakati mengenai risiko-risiko apa saja yang dijamin, yang akan diganti kerugiannya oleh perusahaan asuransi ketika terjadi peristiwa yang menyebabkan kerugian, kecuali yang tercantum dalam Pasal 249 dan Pasal 276 KUHD, serta risiko-risiko yang tidak dijamin dalam Polis.
Pasal 249 KUHD:
Penanggung sama sekali tidak wajib menanggung untuk kerusakan atau kerugian yang langsung timbul karena cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan kodrat dari yang dipertanggungkan sendiri, kecuali jika dipertanggungkan untuk itu dengan tegas”.

   Pasal 276 KUHD:
“Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul bahaya”.

3.         Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance)
Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance) adalah suatu asuransi atau pertanggungan yang memberikan jaminan atau proteksi terhadap kerugian atau kerusakan atas objek pertanggungan sebagai akibat adanya bahaya-bahaya laut (Maritime Perils) yang terjadi dalam masa pengangkutan melalui laut.
Pengelompokan Jenis Asuransi Pengangkutan Laut, dibagi dalam 3 (tiga) jenis :
a.       Pengangkutan barang keluar negeri (Export), yaitu pengangkutan ditujukan untuk barang-barang yang hendak dikirimkan dari Indonesia keluar negeri (Export);
b.      Pengangkutan barang ke dalam negeri (Import), yaitu pengangkutan ditujukan untuk barang-barang yang dikirim dari luar negeri masukn ke Indonesia (Import);
c.       Pengangkutan antar pulau (Inter-insular), yaitu pengangkutan ditujukan untuk barang-barang yang dikirimkan antara satu kota atau pulau lain dalam suatu negara.
Objek pertanggungan dalam asuransi ini adalah barang yang diangkut itu sendiri (cargo), biaya angkut atau uang tambang (freight), keuntungan yang diharapkan (imaginary profit) dan premi asuransi barang tersebut (insurance premium). 
Adapun risiko-risiko yang dijamin dalam Marine Cargo Insurance:
a.       Bahaya-bahaya yang disebabkan oleh laut seperti ombak besar, angin topan dan sebagainya (perils of the seas);
b.      Bahaya-bahaya yang mungkin timbul atau terjadi di atas lautan seperti tabrakan kapal, kebakaran di kapal, pembajakan dan sebagainya (perils on the seas);
c.       Bahaya-bahaya yang tidak termasuk dalam perils of the seas maupun perils on the seas seperti pencurian, pembongkaran, barang tidak dikirim, pecah dan lain-lain (extraneous risk).
Secara rinci kondisi pertanggungan yang dijamin dalam Marine Cargo Insurance yaitu:
a.       Pengangkutan Laut (Marine Cargo)
1)    ICC “A”, adapun jaminan yang diberikan adalah kerugian yang terjadi selama dalam perjalanan diakibatkan oleh:
a)      Kebakaran atau peledakan;
b)      Kapal kandas, tenggelam atau terbaliknya alat angkut;
c)      Terbalik, tergelincir alat angkut darat;
d)      Bahaya-bahaya pembongkaran barang di suatu pelabuhan darurat;
e)      Tabrakan antar alat angkut (kapal) dengan benda-benda selain air;
f)       Tindakan penyelamatan umum (general average); dan
g)      Pembuangan barang ke laut (jettison).
2)    ICC “B”, adapun jaminan yang diberikan adalah sama dengan ICC “C” ditambah akibat:
a)      Gempa bumi letusan gunung api;
b)      Petir;
c)      Terlempar dari kapal (washing over board);
d)      Kerusakan karena air atau masuknya air ke palka, peti kemas dan tempat penimbunan dikapal; dan
e)      Bongkar muat barang.
3)   ICC “C”, adapun jaminan yang diberikan adalah lingkup yang terluas
yaitu terhadap semua risiko pengangkutan kecuali yang dikecualikan seperti:
a)      Kerusakan akibat perbuatan yang disengaja Tertanggung sendiri;
b)      Kerusakan akibat sifat-sifat  alamiah barang itu sendiri;
c)      Kerusakan akibat susut berat atau isi dan keausan dari barang yang diasuransikan atau karena kebocoran;
d)      Kerusakan akibat pembungkus atau packing yang kurang baik;
e)      Kerusakan akibat tidak layaknya kapal pengangkut; dan
f)       Kerusakan akibat tindakan teroris atau tindakan yang berlatar belakang politik.
b.      Pengangkutan Udara (Air Cargo)
1)      Air Cargo All Risk
2)      Land and Air Cargo Cover “A”
3)      Land and Air Cargo Cover “B”
c.       Pengangkutan Darat (Land Transit)
1)      Land Transit Cover “A”, adapun jaminan yang diberikan adalah:
a)    Kebakaran;
b)    Banjir;
c)     Terguling atau tergelincirnya alat angkut;
d)    Tabrakannya alat angkut atau barang yang diangkut dengan benda lain; dan
e)    Tenggelamnya Ferry saat dilakukan penyebrangan.
2)      Land Transit Cover “B”, adapun jaminan yang diberikan adalah semua risiko selama pengangkutan darat berlangsung.

4.         Dasar Hukum Asuransi Pengangkutan Barang (Marine Cargo Insurance)
Perjanjian Marine Cargo Insurance di Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk polis asuransi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia dan didasarkan pada kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian yang disepakati oleh para pihak. Apabila asuransi tersebut didasarkan pada undang-undang maka asuransi tersebut bersifat memaksa. Tetapi sebenarnya asuransi didasarkan pada perjanjian, yaitu perjanjian antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan nasabah asuransi sebagai tertanggung.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi antara lain:
a.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Berhubung asuransi didasarkan pada suatu perjanjian, maka pasal-pasal yang berkaitan dengan asuransi adalah:
1)      Pasal 1320 KUHPerdata
Yaitu suatu perjanjian asuransi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:[57]
a)    Kesepakatan Para Pihak (Consensus)
Artinya, setiap orang yang mengadakan suatu perjanjian harus ada kata sepakat di antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, apa yang disepakati pihak pertama juga harus disepakati oleh pihak yang lainnya, kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
(1)   Benda yang menjadi objek asuransi;
(2)   Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
(3)   Evenemen dan ganti kerugian;
(4)   Syarat-syarat khusus asuransi;
(5)   Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
b)        Kecapakan Para Pihak
Artinya, orang-orang yang melakukan perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu setiap orang yang sudah dewasa. Menurut KUHPerdata adalah sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah dan tidak berada dibawah pengampuan.[58]
c)      Kewenangan (Authority)
Kedua belah pihak, tertanggung dan penanggung mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang, kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua belah pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian, atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.[59]
d)      Objek Tertentu (Fixed Object)
Artinya, objek asuransi yang diasuransikan harus jelas, paling sedikit harus ditentukan objeknya. Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada perjanjian asuransi kerugian. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas dan pasti, apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya, di mana letaknya, berapa nilainya dan sebagainya, karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi tersebut, dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, dan dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah benar sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan atas objek asuransi.[60]
e)      Kausa yang Halal
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal tersebut, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar maka risiko beralih, jika premi tidak dibayar maka risiko tidak beralih.[61]
f)       Pemberitahuan (Notification)
Salah satu teori hukum yang dikenal dalam hukum asuransi adalah teori objektivitas. Setiap asuransi harus mempunyai objek tertentu, artinya jenis, identitas, dan sifat objek asuransi wajib diberitahukan oleh tertanggung kepada penanggung, tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat objek asuransi mungkin dapat menjadi sebab timbulnya kerugian. Berdasarkan pemberitahuan itu penanggung dapat mempertimbangkan apakah dia akan menerima pengalihan risiko dari tertanggung atau tidak. Keunggulan teori ini adalah penanggung dilindungi dari perbuatan tertanggung yang tidak jujur. Teori objektivitas bertujuan untuk mengarahkan tertanggung dan penanggung agar mengadakan perjanjian asuransi dilandasi asas kebebasan berkontrak yang adil.[62]
b.      Pasal 1338 KUHPerdata
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa kesepakatan antara penanggung dan tertanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada dibawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan pasal ini, yaitu mengenai kebebasan berperjanjian.
Ayat (1),Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Ayat (2),Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan  sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Ayat (3),Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad  baik”.



c.       Pasal 1774 KUHPerdata
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sebagian pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu”.

d.      Pasal 1266 KUHPerdata
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.

e.       Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terdapat di dalam Buku I Bab 9. Pasal 246 - Pasal 286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi.
f.        Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian. Jika Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdatan maka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 mengatur tentang gambaran usaha perasuransian.
g.      Polis Marine Cargo Insurance yang menjadi kesepakatan antara para pihak akan menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

6.         Isi Polis Marine Cargo Insurance
Isi Polis Marine Cargo Insurance yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi di Indonesia ternyata masih mengacu kepada polis standar Marine Cargo Insurance yang diterbitkan oleh Harvey di Inggris, terlepas dari pada itu polis Marine Cargo Insurance di Indonesia memuat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 256 dan 287 KUHD tentang isi polis, juga secara khusus memuat:
a.       Policy Schedule, yang memuat data lengkap terkait dengan nomor polis, jenis polis, nama tertanggung, jumlah pertanggungan, dan lain-lain.
b.      Prosedur dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan di mana kemungkinan penanggung bertanggung jawab, yang melibatkan pihak pengangkut, pihak yang bertanggung jawab atas barang atau pihak ketiga lainnya;
c.       Instruksi untuk survey.
d.      Dokumentasi klaim.
e.       Institute Coal Clauses – 1/10/82 yang terdiri dari 19 pasal yang berisi mengenai:
1)      Risks Covered, yang terdiri dari:
a)      Risks Clause (article 1);
b)      General Average Clause (article 2);
c)      Both to Blame Collision Clause (article 3);
2)      Exclusions, yang terdiri dari:
(1)   General Exclusions Clause (article 4);
(2)   Unseaworthiness Exclusions Clause (article 5);
(3)   War Exclusions Clause (article 6);
(4)   Strikes Exclusions Clause (article 7);

3)      Duration, yang terdiri dari:
(1)   Transit Clause (article 8);
(2)   Termination of Contract of Carriage Clause (article 9);
(3)   Change of Voyage Clause (article 10);
4)      Claim, yang terdiri dari:
(1)   Have an Insurable Interest in the Interest Clause (article 11);
(2)   Forwarding Charges Clause (article 12);
(3)   Constructive Total Loss (article 13);
(4)   Increased Value Clause (article 14);
5)      Benefit of Insurance, yang terdiri dari “Not to Inure” (article 15);
6)      Minimising Losses, yang terdiri dari:
(1)   Duty of Assured Clause (article 16);
(2)   Waiver Clause (article 17);
7)      Avoidance of Delay, yang terdiri dari “Reasonable Despatch Clause” (article 18);
8)      Law and Practice, yang terdiri dari “English Law and Practice Clause” (article 19).
f.        Institute Strikes Clauses (Cargo) – 1 atau 1 atau 82 yang terdiri dari 14 pasal yang berisi mengenai:
1)      Risks Covered (article 1-2);
2)      Exclusions (General Exclusions Clause) (article 3-4);
3)      Duration (article 5-7);
4)      Claims (article 8-9);
5)      Benefit of Insurance (article 10);
6)      Minimising Losses (article 11-12);
7)      Avoidance of Delay (article 13);
8)      Law and Practice (article 14).
g.      Institute Theft, Pilferage & Non-Delivery Clauses – 1 atau 12 atau 82.
h.      Institute Extended Radioactive Contamniation Exlusion Clause.
i.        Information Technology Hazards Clause.
j.        Institute Radioactive Contamination, Chemical, Biological, Bio-Chemicaland Electromagnetic Weapons Exclusion Clause.
k.      Notice of Cancellation Clause.
l.        Seepage and Pollution Exclution.
m.    Terrorism Exclusion Clause.
n.      Transmission and Distribution Lines Exclusion Clause.










BAB III
HASIL PENELITIAN

Dalam Bab ini, penulis menguraikan hasil penelitian mengenai penafsiran perjanjian polis Marine Cargo Insurance dalam sengketa klaim asuransi PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk dan uraian mengenai isi putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara tersebut.
A.    Uraian Kasus
Dalam perkara ini PT Prima Multi Artha selaku Tertanggung mengajukan klaim asuransi Marine Cargo kepada PT Asuransi Bina Dana Artha Tbk selaku Penanggung berdasarkan Polis Marine Cargo Insurance Open cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan perluasan coverage “Institute Coal Clause 1 atau 10 atau 81” yang menjadi dasar perikatan antara para pihak. Adapun yang menjadi objek pertanggungan dalam perjanjian asuransi tersebut adalah cargo berupa batubara (coal) dengan nilai pertanggungan (sum insurance) sebesar Rp. 3.641.332.128,- (tiga milyar enam ratus empat puluh satu juta tiga ratus tiga puluh dua ribu seratus dua puluh delapan rupiah) per shipment untuk jangka waktu pertanggungan (period of insurance) 28 Mei 2012 s.d. 28 Mei 2013.
Bahwa PT Prima Multi Artha selaku Tertanggung telah mengajukan klaim asuransi Marine Cargo kepada PT Asuransi Bina Dana Artha Tbk selaku Penanggung atas hilang atau tumpahnya cargo atau objek pertanggungan milik Tertanggung ke dalam laut berupa batubara yang diangkut dengan menggunakan kapal tongkang atau barge BG SSA 308 yang ditarik oleh kapal tugboat TB SSA 08 dalam perjalanan dari Pelabuhan Hasnur Jaya Utama di daerah Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan menuju ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuhan Banten.
Bahwa Syahbandar Sungai Putting telah menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) untuk kapal tongkang atau barge BG SSA 308 dan tugboat TB SSA 08 tertanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan bahwa kapal layak laut (seaworthy) baik hull maupun awaknya sudah sesuai dengan ketentuan perundang–undangan atau pelayaran yang berlaku. Dalam hal ini pemuatan batubara telah dilakukan survei (Draft Loading Survey) oleh PT Geoservices, hasil survei atau pengukuran muatan batubara seberat 7,967.904 MT.
Evenemen atau kerugian atas hilang atau tumpahnya cargo atau objek pertanggungan milik Tertanggung ke dalam laut terjadi pada tanggal 2 Juli 2013. Sesuai dengan Berita Acara BG SSA 308 yang ditanda tangani oleh Nakhoda kapal yang isinya menyatakan “pada hari senin 2 Juli 2012 jam 12.40 WITA kurang lebih 60 mil utara Pulau Bawean, tiba-tiba BG SSA 308 mendadak mengalami kemiringan sehingga mengakibatkan sebagian muatan tumpah kedalam laut, pada saat itu keadaan cuaca sangat buruk, ombak besar, dan angin cukup kencang dari arah Tenggara dan penyebab kemiringan tongkang tersebut belum bisa diketahui.
Pada tanggal 5 Juli 2012 diketahui penyebab miringnya kapal adalah cuaca buruk dan ombak besar sehingga air masuk ke dalam kapal melalui manhole yang sudah tidak ada penutupnya yang mengakibatkan kapal tidak seimbang atau miring dan muatan tumpah ke laut.  Pada saat TB SSA 08 dan BG SSA 308 sampai tujuan dilakukan survei oleh PT Sucofindo, dari hasil survei diketahui bahwa sisa cargo atau meter batubara yang ada di dalam BG SSA 308 adalah 4.118.101 MT dari muatan semula 7,967.904 MT.
Bahwa akibat kejadian tersebut Tertanggung mengalami kerugian sebesar Rp. 1.759.359.971,00 (Satu milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh satu Rupiah) atau sebanyak 3,849.803 MT batubara yang hilang karena tumpah ke dalam laut dengan nilai Rp. 457.000,00 per MT.
Bahwa atas kejadian tersebut Tertanggung mengajukan klaim kepada Penanggung dan klaim yang diajukan oleh Tertanggung tersebut ditolak oleh Penanggung dengan alasan bahwa akibat cuaca buruk dan ombak besar maka air laut masuk ke dalam tangki melalui 4 (empat) manhole yang hilang karena dicuri, berakibat tongkang miring ke kanan, hal ini menyebabkan muatan batubara menekan pintu tongkang sehingga pintu tongkang kanan jebol yang menyebabkan sebagian batubaranya jatuh ke laut. Penanggung berpendapat kerugian yang terjadi bukan merupakan kejadian yang dijamin di dalam Polis Intitute Coal Clauses 1/10/82 point 1.2.3. entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storageataupun point 1.1.2.Jettison or wahing overboad”.
Sebaliknya Tertanggung berpendapat lain bahwa klaim tersebut adalah klaim yang harus dibayarkan (polis liable) dengan alasan masuknya air ke dalam kapal dijamin dalam Institute Coal Clauses 1.10.82 (Riks Covered) point 1.2.3. entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage”. Masuknya air laut ke dalam kapal diakibatkan oleh cuaca buruk, sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan & Pekerjaan yang ditanda tangani oleh Nakhoda, Yoso Subagyo “kemungkinan penyebab kemiringan tongkang karena faktor cuaca yang sangat buruk sehingga ombak yang besar airnya masuk ke lubang manhole yang sudah tidak ada tutupnya tersebut”. Artinya meskipun manhole dicuri kapal tidak akan miring bilamana tidak ada cuaca buruk dan masuknya air laut ke dalam kapal. Oleh karenanya pencurian atau theft atas manhole merupakan “remote cause” penyebab yang jauh karena ada periode yang merupakan periode interruption setelah itu muncul causa proxima baru, yaitu entry of sea water. Tertanggung berpendapat di dalam perjanjian asuransi marine cargo manganut doktrin causa proxima non remota spectatur (the proximate not the remote cause must be looked into). Artinya bahwa yang perlu diperhatikan adalah penyebab terdekat bukan penyebab terjauh. Di dalam peristiwa klaim ini theft menjadi “remote cause” dan masuknya air laut ke dalam kapal adalah “causa proxima” yang menyebabkan kapal miring dan muatan tumpah ke laut.
Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat antara para pihak terkait dengan penafsiran clausule yang terdapat di dalam polis Marine Cargo Insurance dengan perluasan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 khususnya pada butir 1.2.3 “entry of sea lake or river water  into vessel hold container or place of storage”. Penanggung berpendapat bahwa kata vessel hold pada kalimat tersebut merupakan satu kesatuan kata yang memiliki makna palka kapal, oleh karena kapal tongkang atau barge BG SSA 308 tidak memiliki palka kapal maka clausule pada butir 1.2.3 Institute Coal Clause 1/10/82 tidak dapat diberlakukan untuk kapal tongkang atau barge BG SSA 308. Namun tertanggung memiliki pendapat yang berbeda bahwa kata “vessel hold” yang terdapat di dalam polis Marine Cargo Insurance dengan perluasan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 memiliki makna yang berdiri sendiri, yaitu kata vessel yang berarti kapal dalam arti luas dan kata hold yang berarti palka atau ruang palka. Tertanggung berpendapat bahwa penanggung atau perusahaan asuransi dilarang membuat suatu perjanjian asuransi yang tidak diperuntukan untuk objek yang tidak akan dipertanggungkan atau diasuransikan, mengingat bahwa tongkang atau barge BG SSA 308 ini tidak memiliki palka kapal atau ruang palka maka seharusnya penanggung tidak dapat menafsirkan bahwa kata vessel hold mempunyai makna palka kapal atau suang palka, artinya perusahaan asuransi dalam hal ini PT Asuransi Bina Dana Artha Tbk  tidak menjunjung prinsip itikad baik (insurable interest) dalam suatu perjanjian asuransi atau dengan kata lain Penanggung telah melakukan penyelundupan undang-undang (fraus legis).
Terkait dengan tidak adanya kesepakatan atas penyelesaian klaim asuransi yang diajukan oleh Tertanggung dan berujung pada perdebatan perbedaan pendapat antara Tertanggung dan Penanggung terhadap penafsiran isi dari pada polis terkait dengan dijamin atau tidak dijaminnya kerugian yang dialami oleh Tertanggung sebagaimana klausula yang tercantum di dalam Polis Marine Cargo Insurance, maka Tertanggung dan Penanggung sepakat menyelesaikan penyelesaian klaim asuransi tersebut melalui jalur Arbitrase.

B.     Isi Putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk
1.      Para Pihak
PT Prima Multi Artha, yang berkedudukan di Synergy Building 11th Floor Suite 06, Jl. Jalur Sutera Barat No. 17, Alam Sutera – Tangerang 15325, Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Abdul Aziz, AAAIK, ANZIIF (Snr. Assoc), SE, SH, MH dan Efrizal, SH secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang semuanya adalah Para Advokat pada Global Assurance Partnership Law Firm beralamat di Komplek Bungur Grand Center Blok C No.3, Jl. Ciputat Raya No.4-6, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan 12240, Indonesia, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Nopember 2013, selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON.
PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk yang berkedudukan di Plaza ABDA  atau  Plaza Asia Lt. 27 Jl. Jend. Sudirman Kav. 59, Jakarta 12190, Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Imam Supriyono, SH, MH dan Asrul Togo, SH selaku Advokat dan Konsultan Hukum dari Law Office Imam Supriyono, SH & Partner beralamat di Jl. E2 Raya No. 32, Harapan Mulia Kemayoran Jakarta Pusat, Indonesia, berdasarkan surat kuasa khusus No. SK-010 atau CL atau III atau 2014 tanggal 18 Maret 2014, selanjutnya disebut sebagai : TERMOHON.
2.      Duduk Perkara
Permohonan Pemohon
Menimbang bahwa PEMOHON melalui kuasa hukumnya Abdul Aziz, AAAIK, ANZIIF (Snr. Assoc), SE, SH, MH dan Efrizal, SH dengan surat permohonannya No. 052 atau IV atau MP atau GAP atau 2014 tertanggal 29 April 2014 telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
a.         Bahwa adanya Polis Asuransi Marine Cargo Insurance Open cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 yang telah diterbitkan TERMOHON yang membuktikan adanya hubungan perjanjiantual antara PEMOHON dengan TERMOHON sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang melekat pada perjanjian  tersebut.
b.        Bahwa PEMOHON telah memenuhi kewajiban dengan membayar premi pada tanggal 18 Juli 2012. Pembayaran premi oleh PEMOHON sebelum jatuh tempo pembayaran premi, yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak masa pertanggungan yang dimulai pada tanggal 29 Juni 2012.
c.         Bahwa telah terjadi klaim atau kerugian atas cargo yang dipertanggungkan dalam polis OCPB02031200001 Sertifikat No. 000019.
d.        Bahwa surat penolakan klaim oleh TERMOHON nomor : 0402 atau ABDA atau CLM atau IV atau 2013 tanggal 29 April 2013 dan Facsimile Transmittal nomor : F999 atau ABDA atau CLM atau XI-2012 tanggal 14 Nopember 2012 yang membuktikan bahwa TERMOHON telah menolak klaim Asuransi PEMOHON secara final.
e.         Bahwa surat penunjukan sebagai kuasa hukum PEMOHON kantor  Advokat dan Konsultan Hukum Global Assurance Partnership, yang membuktikan bahwa PEMOHON telah menunjuk kantor Pengacara dan Konsultan hukum tersebut sebagai kuasa hukumnya dalam penyelesaian perselisihan klaim PEMOHON, sehingga tindakan kuasa hukum PEMOHON yang terkait dengan penyelesaian perselisihan klaim PEMOHON merupakan tindakan PEMOHON.
f.          Bahwa melalui surat nomor : S.527 atau NB.21 atau 2013 tanggal 27 Agustus 2013 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta agar TERMOHON memenuhi ketentuan KMK nomor : 422 atau KMK.06 atau 2003 Pasal 16, sehingga harus mengikuti permintaan PEMOHON atau Tertanggung menyelesaikan sengketa melalui forum Arbitrase.
g.        Bahwa surat TERMOHON nomor : S163-BOD-IX-2013 tanggal 25 September 2013 yang memutuskan untuk menyelesaikan sengketa klaim ini melalui Majelis Arbitrase Ad-Hoc, yang membuktikan bahwa sengketa klaim tersebut akan diselesaikan melalui forum Arbitrase.
h.        Bahwa Surat Pemberitahuan untuk mengadakan Arbitrase dari PEMOHON atau GAP Law Firm kepada TERMOHON dengan surat nomor : 009 atau I atau MP atau GAP atau 2014 tanggal 29 Januari 2014 dan surat tanggal 30 Januari 2014 nomor : 010 atau I atau MP atau GAP atau 2014, yang sekaligus memenuhi ketentuan Pasal 8 dari pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang membuktikan bahwa PEMOHON telah memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan yang terkait dengan proses Arbitrase.
Keterangan Tentang Permasalahan dan Perselisihan Klaim
a.         Bahwa pada saat itu pemuatan batubara di pelabuhan Hasnur Jaya Utama telah dilakukan survei (Draft Loading Survey) yang dilakukan oleh PT Geoservices, hasil survei atau pengukuran muatan batubara seberat 7,967.904 MT.
b.        Bahwa Syahbandar Sungai Putting telah menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) untuk TB SSA 08 dan BG SSA 308 tertanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan bahwa kapal layak laut (seaworthy) baik hull maupun awaknya sudah sesuai dengan ketentuan perundang–undangan atau pelayaran yang berlaku.
c.         Bahwa kecelakaan yang menyebabkan kerugian (klaim) atas Objek Pertanggungan yang ada pada Polis Asuransi Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat nomor : 000019, terjadi tanggal 2 Juli 2013. Sesuai dengan Berita Acara BG SSA 308 yang ditanda tangani oleh Nakhoda kapal yang isinya menyatakan “pada hari senin 2 Juli 2012 jam 12.40 WITA kurang lebih 60 mil utara Pulau Bawean, tiba-tiba BG SSA 308 mendadak mengalami kemiringan sehingga mengakibatkan sebagian muatan tumpah kedalam laut. Pada saat itu keadaan cuaca sangat buruk, ombak besar, dan angin cukup kencang dari arah Tenggara dan penyebab kemiringan tongkang tersebut belum bisa diketahui.
d.        Bahwa pada tanggal 5 Juli 2012 diketahui penyebab miringnya kapal adalah cuaca buruk dan ombak besar sehingga air masuk ke dalam kapal melalui manhole yang sudah tidak ada penutupnya yang mengakibatkan kapal tidak seimbang atau miring dan muatan tumpah ke laut.
e.         Bahwa pada saat TB SSA 08 dan BG SSA 308 sampai tujuan dilakukan survei oleh PT Sucofindo, dari hasil survei diketahui bahwa sisa cargo atau meter batubara yang ada di dalam BG SSA 308 adalah 4.118.101 MT.
f.          Bahwa surat PEMOHON kepada TRMOHON nomor : 011 atau PMA-JKT atau VII atau 2012 tanggal 23 Juli 2012 menyampaikan total kerugian yang dialami PEMOHON atas cargo yang diangkut dengan menggunakan TB SSA 08.BG SSA 308 sebesar Rp. 1.759.359.971,00 (Satu milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh satu Rupiah), yaitu 3,849.803 MT batubara dengan nilai Rp. 457.000,00 per MT.
g.        Bahwa sejak pemberitahuan kejadian klaim oleh PEMOHON kepada TERMOHON yakni tanggal 12 Juli 2013, Proses penyelesaian klaim dapat PEMOHON uraikan secara singkat sebagai berikut :
1)        Bahwa alasan penolakan klaim telah diajukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON, yaitu sebagai berikut :
a)    Facsimilie Transmittal TERMOHON nomor: F999 atau ABDA atau CLM atau XI atau -2012 tanggal 14 Nopember 2012 yang menyatakan bahwa berdasarkan “berita Acara Pemeriksaaan Nakhoda”, akibat cuaca buruk dan ombak besar maka air sungai masuk ke kapal lewat manhole yang tutupnya hilang. Hal tersebut yang menyebabkan kapal miring, sehingga cargo terdorong ke pintu dan akhirnya jatuh kelaut.
Policy Liability
Pertarungan atas cargo dimaksud ditutup oleh Polis Marine Cargo dengan kondisi Institude Coal Clauses 1/10/82 yang di antaranya menjamin hal sebagai berikut :
1.2.      loss of damage to the subject matter insured caused by
1.1.2.   jettison or washing overboad
Sesuai dengan dokumen-dokumen pendukung yang ada bahwa kekurangan jumlah cargo yang terjadi disebabkan oleh masuknya air laut melalui “manhole” yang hilang tutupnya selama cuaca buruk sehingga menyebabkan kapal miring dan cargo terdorong ke pintu yang akhirnya jatuh ke laut.
Kesimpulan Termohon
Disebabkan kerugian yang terjadi disebabkan oleh hal yang tidak dijamin oleh polis seperti yang diuraikan tersebut di atas, maka kami tidak mempunyai dasar teknik untuk memproses klaim ini lebih lanjut.
b)    Surat TERMOHON nomor : 0402 atau ABDA atau CLM atau IV atau 2013 tanggal 29 April 2013 yang menegaskan bahwa :
(1)   Kejadian
Air Laut masuk ke dalam tangki melalui 4 (empat) manhole yang hilang karena dicuri, berakibat tongkang miring ke kanan, hal ini menyebabkan muatan batubara menekan pintu tongkang sehingga pintu tongkang kanan jebol yang menyebabkan sebagian batubaranya jatuh ke laut. Kerugian yang terjadi bukan “washing overboad”
(2)   Klausula polis Intitute Coal Clauses 1/10/82
Polis ini memberikan jaminan ganti rugi antara lain untuk :
Ø Jettison or wahing overboad
Ø Entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage
(3)   Batubara yang jatuh ke laut di atas bukan disebabkan oleh     
“washing overboad” sehingga tidak termasuk jaminan di atas.
2)        Terkait dengan argumen-argumen yang diungkapkan oleh TERMOHON di atas, sebaliknya PEMOHON berpendapat bahwa klaim tersebut adalah klaim yang harus dibayarkan (polis liable) dengan alasan sebagai berikut :
a)    Masuknya air ke dalam kapal dijamin dalam Institute Coal Clauses 1.10.82 (Riks Covered) point 1.2.3. entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage. Masuknya air laut ke dalam kapal diakibatkan oleh cuaca buruk, sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan & Pekerjaan yang ditanda tangani oleh Nakhoda, Yoso Subagyo “kemungkinan penyebab kemiringan tongkang karena faktor cuaca yang sangat buruk sehingga ombak yang besar airnya masuk ke lubang manhole yang sudah tidak ada tutupnya tersebut”. Artinya meskipun manhole dicuri kapal tidak akan miring bilamana tidak ada cuaca buruk dan masuknya air laut ke dalam kapal. Oleh karenanya Theft atas manhole merupakan “remote cause” penyebab yang jauh atau remote karena ada periode yang merupakan periode interruption setelah itu muncul causa proxima baru, yaitu entry of sea water. Terlampir polis marine cargo open cover dan sertifikat yang diterbitkan oleh TERMOHON nomor : OCPB020131200001 atau 000019.
b)   Atas penolakan klaim oleh TERMOHON, PT Jaya Proteksindo Sakti meminta second opinion dari Loss Adjuster yang mempunyai reputasi internasional, yaitu Harvey Ashby Limited. Pendapat dari Michael Harvey (Average Adjuster & claims Consultant, website : www.harvey-ashby.co.uk yang disampaikan melalui email kepada PT Jaya Proteksindo Sakti sebagai Broker Asuransi PEMOHON yang menyatakan bahwa :
“The Adjuster has suggested that the cause of the loss of local was theft which is not an insured peril. I think that the adjuster is entirely wrong here. The coal was not stolen and therefore the loss was not proximately caused by theft. In any event the loss of the manhole it self did not cause any damage to the cargo perse, the damage was caused by the entry of the seaweater and the resultant list. I am sure that had the weather been benign seaweater would not have gained access to the barge.
In my view the loss was caused by the barge taking a list. This list was the result of sweater entering the barge via the missing manhole. In this respect it would seem that loss was proximately caused by “entry of sea.. water into vessel...” insured under Clauses 1.2.3. Strictly speaking it is not necessary to investigate the cause of the entry of sweater, other than to ensure that exclusions do not aplly, as it a peril in intself. In the same way damage caused by fire is covered and the only reason to consider the cause of cause of a fire is to ensure that an exclusion does noy aply”.

Opini dari Michael Harvey sangat jelas sesuai dengan fakta atau peristiwa dan jaminan Clauses 1.2.3. bahwa air laut telah memasuki kapal sehingga menyebabkan kapal miring dan muatan tumpah ke laut.
Bahwa masuknya air laut ke dalam kapal melalui manhole yang dicuri disebabkan oleh cuaca yang buruk dan ombak. Namun apapun penyebab air laut masuk ke dalam kapal tidak perlu dipermasalahkan sebagaimana dijelaskan di dalam email Michael Harvey “it is not necessary to investigate the cause of the entry of sea water other than to ensure that exclusions do not apply, as it is a peril in itself”. Jadi tidak perlu melakukan investigasi penyebab masuknya air ke dalam kapal, selain memastikan bahwa pengecualian tidak berlaku karena masuknya air laut adalah peril yang dijamin.
c)    Bahwa di dalam perjanjian asuransi marine cargo menganut doktrin causa proxima non remota spectatur (the proximate not the remote cause must be looked into). Artinya bahwa yang perlu diperhatikan adalah penyebab terdekat bukan penyebab terjauh. Di dalam peristiwa klaim ini theft menjadi “remote cause” dan masuknya air laut ke dalam kapal adalah “causa proxima” yang menyebabkan kapal miring dan muatan tumpah ke laut.
d)   Marine insurance act 1906, terkait dengan proximate cause in section 99(1) “ subject to the provision of this act, and subject to the policy otherwise provides, the insurer is liable for any loss proximately caused by a perils insured againts...” di dalam polis masuknya air laut ke dalam kapal dijamin (Clauses 1.2.3. entery of sea lake or river water into vessel hold container or place or storage). Oleh karenanya menjadi “cause proxima”.
e)    Di dalam surat-surat penolakan klaim yang diajukan oleh TERMOHON atau Penanggung, penolakan ditujukan kepada jaminan 1.2.2. jettison or washing overboard, sementara fakta dan peristiwa jelas bahwa klaim atas jaminan 1.2.3. “entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage” yang mengakibatkan kapal miring ke kanan dan muatan tumpah ke laut.
f)    Pihak Nakhoda beserta Crew atau Awak telah berusaha optimal untuk menyelamatkan kapal dan muatan batubara agar tidak mengalami kerugian lebih besar yang tentunya merupakan bukti niat baik dari Nahkoda atau Tertanggung.
g)   Berdasarkan kronologis yang ada yang merupakan fakta bahwa unsur-unsur perjanjian yang sesuai dengan perjanjian polis, praktek umum dan ketentuan perundangan yang berlaku telah terpenuhi yang meliputi :
(1)     Adanya polis dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati bersama (agreed terms dan conditions) sebagai perikatan antara PEMOHON atau Tertanggung dan TERMOHON atau Penanggung.
(2)     Premi telah dibayarkan dan diterima oleh TERMOHON atau Penanggung.
(3)     Pada saat terjadinya klaim polis dalam keadaan aktif (in force).
(4)     Peristiwa yang mengakibatkan kerugian dan peristiwa tersebut dijamin atau tidak dikecualikan oleh polis sebagaimana PEMOHON uraikan di dalam point 7.2. di atas.
(5)     Tidak ada pelanggaran warranty (breach of warranty).
h.        Bahwa berdasarkan fakta dan dalil-dalil yang PEMOHON kemukakan, mohon kiranya Majelis Arbitrase Ad-Hoc memutuskan sebagai berikut :

MENGADILI
Primair
·      Menerima Permohonan Arbitrase PEMOHON dan Seluruh dalil-dalilnya.
·      Menghukum TERMOHON membayar kerugian PEMOHON sebesar Rp. 1.759.359.971,00 (satu milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh satu rupiah).
Subsidair
·      Jika Majelis Arbitrase Ad-Hoc berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya.
Bahwa untuk mempertahankan tuntutannya PEMOHON telah mengajukan repliknya dengan surat nomor : 063 atau V atau MP atau GAP atau 2014 tanggal 26 Mei 2014 dan kesimpulannya dengan surat nomor : 077 atau VIII atau MP atau GAP atau 2014 tanggal 5 Agustus 2014, yang untuk mempersingkat uraian putusan ini harus dianggap dimuat dalam putusan ini.
Jawaban Termohon
Bahwa terhadap Permohonan PEMOHON tersebut, TERMOHON telah mengajukan jawabannya tertanggal 13 Mei 2014, sebagai berikut:
a.         Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil yang dikemukakan PEMOHON kecuali dengan tegas kebenarannya oleh TERMOHON;
b.        Bahwa benar TERMOHON dengan PEMOHON terjadi hubungan kotraktual sebagaimana Polis Asuransi Marine Cargo Insurance Open Cover Nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 yang diterbitkan TERMOHON dan PEMOHON telah melakukan pembayaran premi sebelum jatuh tempo pada tanggal 18 Juli 2012;
c.         Bahwa Polis Asuransi Marine Cargo Insurance Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 diperluas.d.ilekatkan klausula ”Institute Coal Clauses”  (Asuransi Pengangkutan Batu Bara), dengan demikian terhadap ketentuan sebagaimana Polis Asuransi Marine Cargo Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan klausula “Institute Coal Clauses” 1/10/82 telah mengikat antara PEMOHON selaku tetanggung dan TERMOHON selaku Penanggung;
d.        Bahwa benar PEMOHON selaku Tertanggung dalam asuransi telah mengajukan klaim atas kehilangan cargo dalam polis No. OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan perluasan jaminan “Institute Coal Clauses” 1/10/82 (Asuransi Pengangkutan Batu Bara) yang dipertanggungkan kepada TERMOHON selaku Penanggung dan TERMOHON selaku Penanggung telah menolak klaim yang diajukan PEMOHON tersebut oleh karena klaim tersebut cukup alasan untuk ditolak berdasarkan Fakta “Institute Coal Clauses” (Asuransi Pengangkutan Batu Bara) baik butir 1.2.2 maupun butir 1.2.3;
e.         Bahwa atas penolakan klaim PEMOHON selaku Tertanggung oleh TERMOHON selaku Penanggung tersebut untuk dan atas saran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) TERMOHON tidak keberatan untuk diselesaikan melalui Arbitrase Ad-Hoc yang di mohonkan PEMOHON agar mendapatkan kepastian hukum;
f.          Bahwa benar telah terjadi kecelakaan pada tanggal 2 Juli 2012 atas objek pertangggungan sebagaimana dalam polis Asuransi Cargo Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 akibat dari cuaca buruk, ombak besar angin kencang yang mengakibatkan air masuk kedalam void space (ruang yang seharusnya kosong) melalui manhole (lubang lalu lintas orang) yang terbuka, tongkang miring, pintu jebol dan muatan jatuh ke laut, sesuai Berita Acara yang dibuat dan di tandatangani Nahkoda kapal;
g.        Bahwa terjadinya kecelakaan kapal tersebut TERMOHON selaku Penanggung  dengan sepengetahuan PEMOHON selaku Tertanggung telah menunjuk Loss Adjuster dari PT Dharma Nilatama selaku usaha jasa penilai kerugian yang independent telah diakui keberadaannya menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian untuk melakukan facts finding atas liability polis dengan menerbitkan Final Report atau Laporan Akhir;
h.        Bahwa dari hasil investivigasi atau facts finding atas liability polis, PT Dharma Nilatama selaku Loss Adjusters menyimpulkan bahwa sebagai penyebab kecelakaan kapal karena tidak ada penutup manhole sehingga dengan terjadinya cuaca buruk, ombak besar dan angin kencang mengakibatkan air masuk ke dalam kapal yang menjadikan kapal miring dan pintu kapal atau tongkang jebol dan sebagian muatan tumpah ke dalam laut, Tumpahnya atau jatuhnya muatan kelaut akibat tersebut di atas di luar jaminan polis;
i.          Bahwa jatuhnya batu bara ke laut disebabkan oleh jebolnya pintu  tongkang, Pintu tongkang jebol karena terdorong cargo batu bara pada saat tongkang miring, tongkang miring karena pada saat cuaca buruk air masuk kedalam void space, Institute Coal Clauses 1/10/82 tidak menjamin jatuhnya batu bara karena sebab di atas hal ini sebagaimana diatur di butir 1.2.2;
j.          Bahwa TERMOHON menolak dalil PEMOHON angka 7.2 huruf a di mana dalil tersebut terkesan menyesatkan oleh karena sebagaimana Intitute Coal Clauses butir 1.2.3 yang seharusnya tertulis “entery of sea lake or river water into vessel hold containers or place of stroge” oleh PEMOHON ditambah tanda koma dibelakang kata vessel yaitu ditulis oleh PEMOHON “entry of sea lake or river water into vessel, hold containers or place of stroge” yang sudah barang tentu akan memberikan arti dan makna yang berbeda tidak sebagaimana arti dan makna yang seharusnya dalam “Institute coal Clauses” 1/10/82 butir 1.2.3, karena batu bara dimuat menggunakan tongkang yang diletakan di atas deck (place of stroge) dan tongkang itu sendiri tidak memiliki palka (ruang dibawah deck untuk menyimpan muatan) dengan demikian tidak mungkin ada air yang masuk kedalam ruang palka dari tongkang tersebut;
k.        Bahwa TERMOHON menolak dalil PEMOHON angka 7.2 huruf b yang mengutip pendapat michael Hervey sebagai berikut “... the loss was proximately caused by “entry of ... water into the vessel... pendapat ini telah menghilangkan kata hold dibelakang vessel, sehingga pendapat ini adalah menyesatkan karena menurut Michael Hervey air laut cukup memasuki kapal sedangkan arti atau makna yang ada pada “Institute Coal Clauses” 1/10/82 butir 1.2.3 air harus masuk ke vessel hold atau palka, dengan demikian pendapat ini tidak berlaku bagi batu bara yang hilang karena miringnya tongkang pengangkut sehingga muatan batu bara tumpah kelaut yang tidak disebabkan air masuk ke dalam palka oleh karena tongkang tidak memiliki palka, oleh karena pendapat ini tidak benar maka klaim atau permohonan PEMOHON harus ditolak;
l.          Bahwa benar causa proxima non remota soectature hanya sebagai doktrin atau teori ilmiah, sehingga dalil yang dikemukakan oleh PEMOHON dalam permohonannya butir 7.2.c tidak merupakan bukti hukum. Hal ini sudah dijelaskan dalam butir 10 dan 11 jawaban TERMOHON karenanya dalil ini patut diabaikan.
m.      Bahwa mempergunakan Marine Insurance Act dalam permohonan PEMOHON butir 7.2.d menurut kami tidak tepat, benar dalam Institute Coal Clauses yang berlaku Pasal 19, asuransi ini tunduk kepada hukum dan praktek inggris, namun dengan ditandatanganinya perjanjian penyelesaian sengketa melalui Arbitrase Ad-Hoc yang mengacu pada Undang-Undang Arbitrase No.30 Tahun 1999 yang merupakan hukum positif Indonesia, maka dengan sadar dan sepakat ketentuan Pasal 19 Institute Coal Clauses tersebut diabaikan, dengan demikian mempergunakan hukum Inggris (marine Act 1906 terkait dengan doktrin atau teori butir 7.2.d patut diabaikan. Butir 7.2.d inipun sudah dijelaskan dalam jawaban TERMOHON butir 10 dan 11;
n.        Bahwa TERMOHON menolak dalil sebagaimana Permohonan PEMOHON butir 7.2.e oleh karena untuk loss of (kehilangan) hanya berlaku Clauses 1.2.1 dan 1.2.2 sedangkan untuk Clauses 1.2.3 bukan untuk kargo hilang, maka dari itu Asuransi tidak menyinggung Clauses 1.2.3;
o.        Bahwa klaim yang diajukan PEMOHON selaku Tertanggung kepada TERMOHON selaku Penanggung berdasarkan Open Cover Nomor OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 diperlakukan “Institute Coal Clauses” 1/10/82 (Asuransi Pengangkutan Batu Bara), dalam klausula pengangkutan batu bara memberikan jaminan terkait dengan barang, di antaranya dalam butir :
1.2. loss of or damage to the subject matter insured caused by
      (kehilangan  atau kerusakan terhadap barang yang diasuransikan
      yang disebabkan oleh) :
1.2.1. General avarage sacrifice (pengorbanan)
1.2.2. Jettison or washing overboad (pembuangan muatan ke laut  dengan sengaja untuk  menyelamatkan awak kapal, kapal, dan muatannya) atau muatan muatan tersapu ombak.
                            1.2.3. entery of sea lake or river water into vessel hold container or
                                  place of storage (masuknya air laut, danau atau sungai ke
                                  dalam palka, kontainer atau  tempat penyimpanan).
p.        Bahwa fakta berdasarkan dokumen Berita Acara kecelakaan kapal oleh Nahkoda, kehilangan atau kerusakan barang yang diasuransikan (batu bara) dikaitkan dengan klausula asuransi pengangkutan batu bara (institute coal Clausess 1/10/82) adalah disebabkan oleh masuknya air laut masuk ke void space (ruang yang seharusnya kosong) selama cuaca buruk sehingga menyebabkan kapal miring dan cargo terdorong ke pintu mengakibatkan pintu jebol dan barang jatuh ke laut yang bukan disebabkan karena barang muatan disapu oleh ombak.
q.        Berdasarkan fakta sangat jelas bahwa muatan yang jatuh ke laut bukan karena disapu ombak (washing overboard), bukan karena pengorbanan (general average), bukan karena dengan sengaja membuang muatan ke laut (jettison) dan bukan pula karena masuknya air laut ke dalam palka, container atau tempat penyimpanan cargo, dengan demikian klaim atau Permohonan PEMOHON harus dinyatakan untuk ditolak oleh karena kehilangan cargo milik PEMOHON tidak termasuk risiko yang dijamin oleh polis serta ketentuan yang melekat sebagaimana klausula asuransi pengangkutan batu bara (institute coal Clauses 1/10/82) butir 1.2.1 butir 1.2.2 maupun butir 1.2.3. sebagaimana dasar Permohonan atau klaim oleh PEMOHON;
r.          Bahwa oleh karena Permohonan PEMOHON tidak cukup alasan maka Permohonan PEMOHON harus di tolak seluruhnya atau setidak tidaknya dinyatakan Permohonan tidak dapat diterima.
Maka berdasarkan dalil yang dikemukakan di atas Termohon mohon kepada Majelis Arbitrase Ad-Hoc yang memeriksa perkara ini agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut :
1.      Menolak permohonan PEMOHON seluruhnya.
2.      Menyatakan Klaim yang diajukan PEMOHON tidak Terjamin dama Polis Asuransi Marine Cargo Open Cover nomor OCPB02031200001/sertifikat 000019;
3.      Menyatakan Termohon tidak berkewajiban untuk membayar klaim PEMOHON atau membebaskan TERMOHON dari segala tuntutan atau klaim yang dimohonkan PEMOHON
ATAU
Apabila Majelis Arbitrase Ad-Hoc Yang Terhormat yang memeriksa perkara ini berpendapat lain mohon putusan yang adil (ex aquo et bono)
      Bahwa untuk selanjutnya TERMOHON telah mengajukan dupliknya tertanggal 10 Juni 2014 dan kesimpulan pada tanggal 5 Agustus 2014, yang untuk mempersingkat uraian putusan ini harus dianggap di muat dalam putusan ini.
Keterangan Saksi-Saksi
Bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya PEMOHON telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi yaitu Sdr Yoso Subagio (Mualim I) dan Sdr Eko Prayitno (Nakhoda) dalam kapasitas pribadi bukan sebagai karyawan PT Prima Multi Artha sedangkan untuk menguatkan dalil-dalilnya dari TERMOHON mengajukan 1 (satu) orang saksi fakta yaitu Sdr Capt Sutrisno Jayadi Putro sebagai Saksi dalam kapasitas sebagai tehnical adviser PT Dharma Nilaitama Loss Adjuster.
Sedangkan Majelis mengajukan 1 (satu) orang Saksi Ahli yaitu Sdr Alam Darma keahlian sebagai Average Adjuster pada PT Radita Hutama Internusa Loss Adjuster dan sebelum memberikan kesaksian Saksi-Saksi dan Saksi Ahli telah diambil sumpah terlebih dahulu menurut agama masing-masing.
3.      Pertimbangan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
1)      Menimbang bahwa PEMOHON telah mengajukan Permohonan Arbitrase tanggal 29 April 2014, Replik tanggal 26 Mei 2014 dan Kesimpulan tanggal 5 Agustus 2014 yang untuk mempersingkat uraian putusan ini harus dianggap sudah dimuat dalam putusan ini.
2)      Menimbang bahwa TERMOHON telah mengajukan Jawaban tanggal 13 Mei 2014, Duplik tanggal 10 Juni 2014 dan Kesimpulan tanggal 5 Agustus 2014 yang untuk mempersingkat uraian putusan ini harus dianggap sudah dimuat dalam putusan ini.
3)      Menimbang bahwa antara PEMOHON dan TERMOHON telah disepakati perjanjian Asuransi Marine Cargo Open Cover untuk pengiriman batubara 7.976.904 MT dari Pelabuhan Hasnur Jaya Utama ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuan, Banten, Indonesia dengan nilai sebesar Rp 3.641.332.128,- (tiga milyar enam ratus empat puluh satu juta tiga ratus tiga puluh dua ribu seratus dua puluh delapan Rupiah).
4)      Menimbang bahwa untuk objek yang disebutkan pada angka (3), TERMOHON telah menerbitkan polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 (Bukti P1-P1A & T-1) untuk jangka waktu pertanggungan mulai 28 Mei 2012 sampai dengan 28 Mei 2013 dan premi asuransi sudah dibayar lunas oleh Pemohon pada tanggal 18 Juli 2012 (Bukti P2-P2A & T-2), maka telah terjadi perikatan secara hukum antara PEMOHON dan TERMOHON.
5)      Menimbang bahwa pada tanggal 2 Juli 2012 Barge SSA 308 yang berlokasi kurang lebih 60 mil utara Pulau Bawean mendadak mengalami kemiringan yang disebabkan masuknya air laut ke void space melalui manhole yang tutupnya hilang sebanyak 4  (empat) tutup yang menyebabkan sebagian muatan cargo tumpah ke laut dan pada saat itu cuaca sangat buruk, ombak besar dan angin cukup kencang dari arah tenggara sehingga PEMOHON mengalami kerugian sebesar Rp 1.759.359.971,- (satu milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh satu Rupiah).
6)      Menimbang bahwa PEMOHON telah melaporkan peristiwa kemiringan Barge SSA 308 yang menyebabkan sebagian muatan tumpah ke laut pada tanggal 2 Juli 2012 tersebut kepada TERMOHON dan TERMOHON telah menunjuk Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama untuk melakukan facts finding atas liability polis.
7)      Menimbang bahwa Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama telah melakukan facts finding atas liability polis pada objek pertanggungan yang mengalami kerugian dan dalam final reportnya tertanggal 1 November 2012 Ref.No: GY atau 2120702 atau AT menyimpulkan bahwa “ As a result of which the barge listed to starboard by which the cargo pushed the door that finally detached and fell into the sea together with some cargo” dengan demikian kerugian tersebut bukan yang termasuk dalam jaminan polis.
8)      Menimbang bahwa berdasarkan hasil facts finding atas liability polis yang dilakukan oleh Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama pada objek pertanggungan yang mengalami kerugian yang dituangkan dalam final report Ref.No: GY atau 2120702 atau AT tertanggal 1 November 2012 maka TERMOHON menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh PEMOHON.
9)      Menimbang bahwa PEMOHON tidak bisa menerima alasan penolakan tuntutan ganti rugi yang disampaikan oleh TERMOHON berdasarkan hasil facts finding atas liability polis pada objek pertanggungan oleh Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama bahwa kerugian tersebut bukan yang termasuk dalam jaminan polis, maka di antara PEMOHON dan TERMOHON telah terjadi sengketa asuransi.
10)  Menimbang bahwa tidak adanya “dispute clause” yang tercantum dalam polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 maka PEMOHON melalui Pialang Asuransi PT Jaya Proteksindo Sakti pada tanggal 11 Juni 2013 mengajukan permohonan perlindungan konsumen asuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
11)  Menimbang bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui suratnya Nomor: S.527 atau NB.21 atau 2013 tertanggal 27 Agustus 2013 telah memberi jawaban dengan memberikan informasi kepada TERMOHON dengan tembusan kepada Pialang Asuransi PT Jaya Proteksindo Sakti yang secara garis besar perusahaan asuransi semestinya tidak membatasi upaya PEMOHON untuk melakukan upaya hukum melalui jalur arbitrase.
12)  Menimbang bahwa dengan dikeluarkannya surat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor: S.527 atau NB.21 atau 2013 tertanggal 27 Agustus 2013 maka PEMOHON dan TERMOHON telah bersepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur Arbitrase Ad-Hoc yang dinyatakan dengan Surat Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Ad-Hoc tertanggal 1 April 2014.
13)  Menimbang bahwa sampai dengan proses pemeriksaan persidangan Arbitrase ditutup, Majelis Arbitrase Ad-Hoc telah berusaha untuk mendamaikan Para Pihak yang bersengketa namun usaha perdamaian yang ditawarkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc tidak tercapai karena Para Pihak tetap mempertahankan sesuai permohonan dan jawaban masing-masing karenanya pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan. 
14)  Menimbang bahwa oleh karena Polis telah berlaku sah dan peristiwa terjadinya kerugian material sudah merupakan fakta hukum, maka Majelis Arbitrase Ad-Hoc telah mempertimbangkan hal-hal yang dipersengketakan oleh Para Pihak sebagaimana diuraikan di bawah ini dengan mengacu pada syarat dan ketentuan polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 yang telah disepakati oleh Para Pihak.
15)  Menimbang bahwa mengenai perbedaan pendapat antara Para Pihak tersebut, Majelis Arbitrase Ad-Hoc telah mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan dan pendapat-pendapat yang diajukan oleh Para Pihak dalam dokumen-dokumen Permohonan, Jawaban, Replik, Duplik dan Kesimpulan serta bukti-bukti pendukung yang diajukan, termasuk hal-hal yang dikemukakan Para Pihak dalam proses persidangan.
16)  Menimbang bahwa Majelis Arbitrase Ad-Hoc juga telah mendengar dan mempelajari hal-hal yang disampaikan saksi-saksi yang diajukan PEMOHON (Saudara Yoso Subagio dan Saudara Eko Prayitno) dan saksi yang diajukan TERMOHON (Saudara CaPT Sutrisno Jayadi Putro) serta saksi ahli yang diajukan Majelis Arbitrase Ad-Hoc (Saudara Alam Darma).
17)  Menimbang bahwa TERMOHON menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan PEMOHON dengan alasan karena kehilangan sebagian muatan cargo milik PEMOHON pada saat pengiriman ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuan, Banten, Indonesia tidak termasuk risiko yang dijamin oleh Institute Coal Clauses 1/10/82 butir 1.2.1. dan butir 1.2.2 maupun butir 1.2.3. yang berbunyi (kutipan):
1.2.      loss or damage to the subject-matter insured caused by
1.2.1    general average sacrifice
1.2.2    jettison or washing overboard
1.2.3    entry of sea lake or river water into vessel hold container or
            place of storage

karena penyebabnya adalah masuknya air laut ke dalam tongkang melalui tangki penampungan air yang ada di sebelah kanan disebabkan 4 manhole-nya hilang dicuri sehingga tongkang miring ke kanan. Akibatnya muatan batu bara menekan pintu tongkang sebelah kanan hingga jebol yang menyebabkan sebagian batu bara jatuh ke laut dan hal ini tidak termasuk jaminan dari Institute Coal Clauses 1/10/82) butir 1.2.2 dan butir 1.2.3. sehingga klaim PEMOHON ditolak oleh TERMOHON.
18)  Menimbang bahwa PEMOHON berpendapat sebaliknya yaitu seharusnya TERMOHON harus membayar tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh PEMOHON (policy liable) dengan alasan masuknya air laut ke dalam tongkang dijamin dalam Institute Coal Clauses 1/10/82 (risks covered) pada butir 1.2.3 “entry of sea lake or river water into vessel, hold container or place of storage” bukan dengan 1.2.2 jettison or washing overboard. Masuknya air laut ke dalam kapal diakibatkan oleh cuaca buruk, sebagaimana berita acara pemeriksaan & perkerjaan yang ditanda tangani oleh Nakhoda (Bukti P-13) artinya meskipun 4 manhole hilang dicuri kapal tidak akan miring bilamana tidak ada cuaca buruk karena manhole termasuk penyebab yang jauh (remote causa) dan hal ini sesuai dengan second opinion dari Michael Hervey dari Harvey Ashby Limited yang disampaikan melalui email kepada Pialang Asuransi PT Jaya Proteksindo Sakti.
19)  Menimbang bahwa terdapat perbedaan penafsiran atau pendapat antara PEMOHON dengan TERMOHON khususnya yang menyangkut polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 000019 dengan coverage Institute Coal Clause 1/10/82 khususnya terhadap butir 1.2.2 dan butir 1.2.3. yang telah disepakati oleh Para Pihak maka Majelis Arbitrase Ad-Hoc haruslah mempunyai pendapat sendiri atas perbedaan penafsiran atau pendapat terhadap coverage Institute Coal Clause 1/10/82 khususnya terhadap butir 1.2.2 dan butir 1.2.3. tersebut.
20)  Menimbang bahwa penolakan TERMOHON terhadap tuntutan ganti rugi yang diajukan PEMOHON atas tumpahnya sebagian muatan batu bara ke laut pada tanggal 2 Juli 2012 yang mengakibatkan PEMOHON mengalami kerugian sebesar Rp 1.759.359.971,- (satu milyar tujuh ratus lima puluh sembilan juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh satu Rupiah) tidak dijamin oleh polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 untuk periode pertanggungan mulai 28 Mei 2012 sampai dengan 28 Mei 2013, karena tidak termasuk jaminan butir 1.2. Institute Coal Clauses 1/10/82.
21)    (1)   Menimbang bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter
Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa setelah mendengarkan keterangan saksi dari Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama CaPT Sutrisno Jayadi Putro sebagai technical adviser dalam persidangan arbitrase yang melakukan facts finding di lokasi tempat terjadinya kerugian dan pada kapal Barge SSA 308 yang mengangkut batu bara bahwa masuknya air dengan cara apapun tidak berpengaruh sedangkan kalau dicuri itu tidak di sengaja. Dalam polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 tidak di jelaskan masuknya air karena apa, kalau disapu ombak termasuk washing overboard sedangkan Kalau kapal miring dan muatan bergeser yang kemudian pintunya jebol itu bukan termasuk washing overboard.
Menimbang bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa setelah mendengarkan keterangan saksi dari Loss Adjuster PT Dharma Nilaitama CaPT Sutrisno Jayadi Putro yang diperkuat lagi dengan keterangan saksi Ahli Alam Darma dalam persidangan arbitrase bahwa:
(a)   Clausul 1.2.3 dalam Institute Coal Clauses tidak akan kena, yang pertama tidak masuk entry of see like or rever water into vesel hold tidak masuk ke ruang kargo, yang kedua loss pada kejadian ini adalah kargonya sendiri dan kargo bukan rusak karena air melainkan tumpah dan yang terakhir tongkang ini tidak ada ruang cargonya;
(b)   Proxyme cause dalam kasus ini bukan karena cuaca jelek, melainkan kapal Barge SSA 308 yang mengangkut batu bara ini tidak ada vesel hold karenanya tidak termasuk dalam jaminan Clausul 1.2.3 “entry of see water into vesel hold” artinya jaminan ini tidak perlu ada karena kalaupun ada juga tidak dijamin oleh karena itu tidak applicable untuk kasus ini. Sehingga jaminan yang diberikan oleh asuransi kepada tertanggung sesuai clausul 1,2,3 tidak applicable karena tongkang tidak punya vessel.
(2)   Arbiter Arizal, ER tidak sependapat dengan alasan: bahwa menurut keterangan saksi-saksi Sdr Muhammad Eko Prayitno (Mualim 1) dan Sdr Yoso Subagio (Nakhoda) dalam persidangan arbitrase bahwa sebelum tumpahnya muatan batu bara ke laut pada saat itu keadaan ombak sedang besar yang disertai angin kencang menyebabkan air laut masuk kedalam vessel  atau  tongkang melalui manhole menyebabkan vessel  atau  tongkang miring dan muatan batu bara tumpah ke laut. Jadi penyebab utamanya tetap air laut yang masuk kedalam vessel tongkang melalui manhole karena kalau keadaan ombak sedang baik dan tidak disertai angin kencang maka tidak akan menyebabkan air laut masuk ke dalam manhole mengingat jarak antara permukaan air laut dengan manhole deck tingginya sekitar 50cm.
22)    Menimbang bahwa kerugian yang utama dalam sengketa ini adalah tumpahnya batu bara ke laut akibat terdorong pada saat melakukan perjalanan dari Pelabuhan Hasnur Jaya Utama di daerah Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan menuju ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU 2 Labuan, Banten yang diangkut dengan kapal Barge SSA 308  yang mengalami kemiringan akibat masuknya air ke dalam lambung kapal yang seharusnya kosong karena berfungsi sebagai daya apung dan karenanya kemungkinan akibat keadaan ombak yang sedang besar disertai angin kencang harus diabaikan.
23)    Menimbang bahwa Para Pihak telah sepakat untuk memakai polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan penafsiran di antara PEMOHON dan TERMOHON baik dari segi penulisan tanda baca ataupun pada saat proses pencetakkan polis tersebut khususnya atas dasar jaminan “1.2.3. entry of sea lake or river water into vessel hold container or place of storage” walaupun demikian prinsip-prinsip polis yang dianut tetap mengacu kepada named perils system.
24)    (1) Menimbang bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter
Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 mengacu kepada named perils system maka apabila ada perbedaan penafsiran antara PEMOHON dan TERMOHON disebabkan karena penggunaan atau penghilangan tanda baca koma khususnya dalam Institute Coal Clause maka yang dipakai adalah sebagaimana yang tercatat, tercetak dan terlekat dalam polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dan bukanlah penafsiran ataupun opini-opini yang kemudian disampaikan oleh PEMOHON dan TERMOHON dalam persidangan.
Lebih lanjut Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa Para Pihak seharusnya mengetahui dan menyadari dengan diterbitkannya polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001 atau  sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 oleh TERMOHON dan dibayarkan premi asuransi oleh PEMOHON maka sudah terjadi perjanjian di antara Para Pihak karenanya semua persyaratan dan ketentuan yang berlaku di dalam polis akan berlaku sebagai undang-undang sesuai Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan dalam undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
(2)Arbiter Arizal, ER berpendapat bahwa beberapa bagian naskah polis terdapat penulisan sederetan kata tanpa dipisahkan koma dan masing-masing kata tetap diartikan secara sendiri-sendiri. Misalnya dalam naskah 1.1.2. tertulis “vessel being stranded grounded sunk or capsized”. Di sini terlihat bahwa 3(tiga) kata “stranded grounded sunk” tidak dipisahkan oleh tanda baca koma tetapi ketiga kata tersebut tetap diartikan secara sendiri-sendiri. Contoh lain, dalam naskah 1.1.5. tertulis “earthquake volcanic eruption or lightning”. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) kata “earthquake volcanic eruption” yang tidak dipisahkan oleh koma. Berbeda dengan contoh pertama, ketiga kata ini terdiri dari 2 (dua) kata yaitu earthquake dan volcanic eruption, alasannya adalah karena kata volcanic adalah kata sifat yang mana menurut tata bahasa Inggris menerangkan kata yang terletak sesudahnya.
Arbiter Arizal, ER selanjutnya berpendapat bahwa berkaitan dengan penulisan naskah 1.2.3 terdapat 2 (dua) frasa dengan penulisan tanpa koma, yang pertama “entry of sea lake or river water”. Antara kata-kata sea dan lake tidak terdapat koma namun semua orang pasti akan sepakat bahwa kedua kata tersebut mempunyai arti sendiri-sendiri. Yang kedua, bagian yang menjadi pokok perselisahan yaitu “vessel hold container or place of storage”. Untuk memastikan apakah kata-kata vessel dan hold adalah dua kata terpisah atau satu kata majemuk, perlu dipahami arti dari masing-masingnya dalam kaitan dengan alat angkut  atau  transportasi laut  atau  air.
Arbiter Arizal, ER berpendapat bahwa menurut Wikipedia arti dari kata vessel adalah “a nautical term for all kinds of craft designed for transportation on water, such as ships, boats or submarines, sedangkan arti dari kata ship adalah “large vessel that floats on water” dan juga dapat diartikan sebagai “full rigged ship, a sailing vessel with three or more square rigged masts, as opposed to smaller or fore-and-aft rigged vessels”.
Arbiter Arizal, ER berpendapat bahwa dalam Institutute Coal Clause dipergunakan kata vessel yang mempunyai pengertian luas, sebagai alat angkut bukan ship yang mempunyai pengertian lebih sempit sehingga Clause ini bisa berlaku untuk semua jenis alat angkut  atau  transportasi di laut  atau  air di mana tongkang  atau  barge termasuk dalam pengertian tersebut.
Arbiter Arizal, ER berpendapat bahwa menurut Wikipedia arti dari kata hold hanya dikaitkan dengan ship yaitu ship’s hold karena dapat dipastikan bahwa semua kapal atau ship mempunyai palka atau hold dan tidak ditemukan referensi atas penggunaan kata hold dilekatkan  pada vessel atau vessel hold karena tidak semua vessel mempunyai hold misalnya tongkang  atau  barge.
25)    Menimbang bahwa polis Marine Cargo Open Cover nomor: OCPB02031200001 atau  sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 mengacu kepada named perils system dan Para Pihak sudah mengikatkan diri di dalam suatu perjanjian karenanya semua persyaratan dan ketentuan yang berlaku di dalam polis akan berlaku sebagai undang-undang sesuai Pasal 1338 KUHPerdata dengan demikian adanya  pendapat, penafsiran ataupun opini-opini yang oleh PEMOHON dalam kasus ini tidaklah tepat.
26)    Menimbang bahwa sengeketa asuransi ini mengenai persyaratan dan ketentuan yang terlekat di dalam polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001/sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 khususnya yang menyangkut luas jaminan yang termasuk dalam butir 1.2.3 entry of sea lake or river water into vessel hold container or place of storage maka doktrin-doktrin yang dapat dijadikan bukti pendukung oleh Para Pihak adalah doktrin-doktrin yang di dapat dari yang membuat dan menerbitkan original polis dimaksud.
27)    (1) Menimbang bahwa Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter
Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa dalam hal adanya perbedaan atas doktrin-doktrin yang berlaku dalam praktek perasuransian atas sengketa ini oleh Para Pihak terhadap polis Marine Cargo Open Cover nomor : OCPB02031200001 atau  sertifikat No. 00001 dengan perluasan Institute Coal Clauses 1/10/82 maka yang akan menjadi pertimbangan oleh Majelis adalah doktrin-doktrin yang dikeluarkan oleh institusi-institusi yang berwenang dalam hal ini oleh institusi di mana polis dibuat dan diterbitkan bukan oleh perusahaan perasuransian.
(2) Arbiter Arizal berpendapat bahwa opini dari Michael Harvey (Harvey-Ashby Average Adjuster & Claims Consultant) mengenai masuknya air laut ke dalam kapal melalui manhole yang dicuri disebabkan oleh cuaca yang buruk dan ombak. Namun apapun penyebab air laut masuk ke dalam vessel atau kapal tidak perlu dipermasalahkan sebagaimana dijelaskan di dalam email Michael Harvey: “it is not necessary to investigate the couse of the entry of sea water other than to ensure that exclusions do not apply, as it is a peril in itself”. Jadi tidak perlu melakukan investigasi penyebab masuknya air ke dalam kapal, selain memastikan bahwa pengecualian tidak berlaku karena masuknya air laut adalah peril yang dijamin
28)  Menimbang bahwa doktrin-doktrin yang disampaikan oleh PEMOHON dalam persidangan arbitrase tidak disertai dengan contoh-contoh sengketa asuransi yang sama dengan sengketa asuransi Para Pihak dan juga belum berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisde) serta tidak dikeluarkan oleh institusi di negara mana polis dibuat dan diterbitkan maka doktrin-doktrin tersebut haruslah dikesampingkan.
29)  Menimbang bahwa terdapat adanya perbedaan pendapat atau penafsiran antara para Arbiter di dalam Majelis Arbitrase Ad-Hoc untuk memutuskan sengketa ini maka sesuai huruf e surat Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Majelis Arbitrase Ad-Hoc yang ditanda-tangani Para Pihak maka dalam hal musyawarah dan mufakat tidak dapat dilakukan atau tidak tercapai maka putusan diambil dengan pemungutan suara dan putusan tersebut dinyatakan sah apabila diambil dengan suara terbanyak.
30)  Menimbang bahwa setelah Majelis Arbitrase Ad-Hoc melakukan pertemuan ternyata musyawarah dan mufakat tidak dapat dilakukan atau tidak tercapai maka dalam menentukan pertimbangan hukum harus dilakukan dengan cara pengambilan suara terbanyak dengan perbandingan Arbiter Ngurah Adnyana Dipta dan Arbiter Kornelius Simanjuntak berpendapat bahwa klaim yang diajukan oleh PEMOHON dinyatakan ditolak sedangkan Arbiter Arizal, ER menyatakan dijamin.
31)  Menimbang bahwa Biaya Arbtrase telah disepakati bersama antara PEMOHON dan TERMOHON  sesuai Akta Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Ad-Hoc tertanggal 1 April 2014 dan Surat Penetapan Biaya Arbitrase Ad-Hoc Nomor : 03 atau ARB-AD-HOC atau IV atau 2014 tanggal 15 April 2014, bahwa PEMOHON dan TERMOHON masing-masing menanggung 50%, maka tuntutan PEMOHON agar TERMOHON membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini harus dinyatakan ditolak.
32)  Menimbang bahwa sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya Pasal 60 dan juga sesuai dengan Pernyataan dan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Nomor : 02 atau Mjs.Arb atau IV atau 2013 tanggal 12 April 2013 huruf d yang ditandatangani oleh PEMOHON dan TERMOHON maka putusan dalam sengketa ini haruslah dinyatakan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak dan tidak dapat dimintakan upaya hukum apapun tanpa kecuali, baik upaya hukum banding atau upaya hukum lainnya kepada Pengadilan.
33)  Menimbang bahwa Pasal 54 ayat 4 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan tegas mengatakan dalam putusan harus ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan maka Majelis menetapkan bahwa waktu untuk melaksanakan putusan ini adalah 30 hari sejak putusan ini diucapkan.
34)  Mengingat ketentuan Pasal 54 dan Pasal 56 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta ketentuan hukum lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, maka Majelis Arbitrase Ad-Hoc setelah memeriksa dan mengadili persengketaan ini  menetapkan putusan sebagai berikut :

4.      Isi Putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc
a.       Mengabulkan permohonan TERMOHON untuk seluruhnya.
b.      Menolak permohonan PEMOHON untuk seluruhnya.
c.       Menghukum PEMOHON dan TERMOHON untuk membayar Biaya Arbitrase masing-masing sebesar 50% (limapuluh perseratus)
d.      Menyatakan putusan dalam perkara ini bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat Para Pihak dan tidak dapat dimintakan upaya hukum banding ataupun Kasasi ke Pengadilan.
e.       Menyatakan putusan dalam perkara ini harus dilaksanakan oleh para pihak dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini dibacakan.
Putusan ini ditetapkan dan dibacakan dalam sidang tertutup Majelis Arbitrase Ad-Hoc pada hari Selasa tanggal 2 September 2014 yang dipimpin oleh Kornelius Simanjuntak, SH, MH, AAIK, QIP Ketua merangkap anggota Majelis Arbitrase Ad-Hoc, Drs. Arizal, ER., AAINZ, AAIK, QIP, AAIK sebagai Anggota Majelis Arbitrase Ad-Hoc dan AA. Ngr. Adnyana Dipta, SH, MH, AAIK sebagai Anggota Majelis Arbitrase Ad-Hoc yang disaksikan oleh Heri Wibowo, SH sebagai sekretaris Majelis dan dihadiri oleh Para Pihak.





BAB V

PENUTUP

Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
1.   Pengaturan mengenai penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didasarkan pada ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1342 s.d. 1351 KUH Perdata. Ketentuan mengenai penafsiran perjanjian tersebut merupakan dasar hukum yang dapat digunakan bagi para penegak hukum dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara para pihak yang mencari keadilan baik di dalam lembaga peradilan umum maupun lembaga arbitrase, selain dari ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata juga terdapat prinsip-prinsip atau doktrin-doktrin yang berlaku umum yang juga dapat digunakan sebagai dasar bagi hakim dalam memutus perkara. Penerapan penafsiran perjanjian dalam polis Marine Cargo Insurance di Indonesia dapat diterapkan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yang didasarkan pada ketentuan penafsiran perjanjian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 1342 s.d. 1351 KUH Perdata.
2.      Penafsiran perjanjian yang diterapkan oleh Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam pekara klaim Marine Cargo Insurance antara PT Prima Multi Artha selaku Tertanggung kepada PT Asuransi Bina Dana Artha Tbk selaku Penanggung terdapat beberapa kelemahan, yaitu hakim Arbitrase Ad-Hoc telah mengeyampingkan hukum materil dengan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan ketentuan penafsiran perjanjian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1343, 1344 dan 1349 KUH Perdata dan juga tidak menggunakan prinsip-prinsip penafsiran perjanjian yang berlaku dalam hukum kontrak di Indonesia khususnya prinsip contra proferentem, serta putusan Arbitrase Ad-Hoc yang menolak permohonan tertanggung dan mengabulkan permohonan penanggung atau perusahaan asuransi menurut penulis sepatutnya tidak dapat dibenarkan. Penulis berpendapat asas itikad baik terhadap penafsiran perjanjian memegang peranan penting dalam penafsiran perjanjian khususnya bagi para penegak keadilan, peranan itikad baik dalam penafsiran perjanjian dibangun oleh pengadilan maupun lembaga penegakan hukum lainnya seperti arbitrase, jika perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi perjanjian harus ditafsirkan secara fair dan patut.




B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah ada, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1.      Kepada Hakim Arbitrase Ad-Hoc yang memutus perkara ini, seharusnya melihat ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan prinsip ataupun doktrin-doktrin umum yang berlaku yang dapat dipergunakan dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, karena dalam hal terjadi perbedaan penafsiran atas isi dari perjanjian antara para pihak maka Hakim Arbitrase Ad-Hoc sebagai penegak keadilan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan penafsiran perjanjian yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
2.      Kepada pihak TERMOHON (Perusahaan Asuransi) dalam perkara ini seharusnya dalam membuat suatu perjanjian atau polis asuransi yang mana para pihak dalam perkara ini keduanya adalah perusahaan swasta nasional maka seharusnya perjanjian atau polis asuransi tersebut wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, atau apabila diperlukan menggunakan bahasa asing maka dapat dibuat dalam dua bahasa (bilingual) yaitu dalam hal ini dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, karena jika terjadi perbedaan penafsiran terhadap isi dari polis dalam Bahasa Inggris seperti yang terjadi dalam kasus ini maka para pihak dapat merujuk kepada Bahasa Indonesia yang terdapat di dalam Polis. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi risiko terjadinya perbedaan penafsiran antara para pihak.
3.      Perlu juga dilakukan sosialisasi kepada para penegak hukum di Indonesia tentang ketentuan mengenai penafsiran perjanjian serta prinsip-prinsip atau doktrin-doktrin umum yang dapat digunakan bagi hakim dalam memutus perkara dalam hal adanya perbedaan penafsiran atas isi dari perjanjian antara para pihak, diperlukannya sosialisasi tersebut karena masih kurangnya pengetahuan bagi para penegak keadilan di Indonesia tentang tata cara penafiran perjanjian yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia. Hal ini terbukti dengan tidak digunakannya prinsip penafsiran perjanjian yang terdapat di dalam KUH Perdata dalam putusan Majelis Arbitrase Ad-Hoc dalam perkara klaim asuransi antara PT Prima Multi Artha melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk, sosialisi ketentuan mengenai penafsiran perjanjian ini bertujuan untuk menghindari kekeliruan bagi hakim dalam memutus perkara khususnya dalam hal terjadi perbedaan pendapat atas isi dari perjanjian, sehingga hakim dalam memutus suatu perkara mempunyai dasar hukum atas penafsiran terhadap suatu perjanjian.





[1] Satjipto Rahardjo,  Penafsiran Hukum yang Progresif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 2
[2] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 157.
[3] Satjipto Rahardjo, Op. Cit., 21.
[4] Ibid., 24.
[5]Satjipto Rahardjo, Op. Cit, 35.
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 1138.
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit UI-Press, 2008), 5.
[8] Ibid., 52.
[9] Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Penelitian Research Pengantar, (Bandung: Alumni, 1982), 20.
[10] Ibid., 12.
[11] Soerjono Soekanto, Op Cit., 5.
[12] Paul Scholten, Mr. C. Asser Handleiding Tot De Beofening van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemen Deel, Terjemahan Siti Soemitri Hartono, (Yogyakarta: Cet II, Gadjah Mada University Press, 1993), 3.
[13] Ibid
[14] Ibid.
[15] Ibid., 4-5.
[16] Ibid., 49
[17] Ibid., 52.
[18] Ibid., 53.
[19] H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I, (Jakarta: Cet. II, Rajawali, 1992), 15.
[20] H.F.A. Vollmar, Hukum Benda Menurut KUH Perdata, terjemahan Chidir Ali, (Bandung: Tarsito, 1990), 17.
[21] Ibid.
[22] Achmad Ali, Op. Cit, 170.
[23] Satjipto Rahardjo,  Op. Cit, 40.
[24] A. Plito, Het Systeem van Het Nederlandse Privaatrecht, (terjemahan D. Saragih), (Bandung: Alumni), 1973, 32-49.
[25] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita1992), 286-287.
[26] Ibid., 289.
[27]Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), 156.
[28]  Ibid., 171.
[29] Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 157.
[30] Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law, dan Socialist Law), (Bandung: Nusa Media, 2010), 381.
[31] Hasanuddin AF,  Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2004), 166.
[32] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 157.
[33] Pipin Syarifin, Op.Cit., 157.
[34] Ibid., 158.
[35] Ibid., 158.
[36] Ibid., 159.
[37] Hasanuddin AF, Op.Cit., 166.
[38] Pipin Syarifin, Op.Cit., 160.
[39] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 63-64.
[40] Sefriani, Hukum International Suatu Pengantar, Rajawali Pers, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persaja, 2012), 28.
[41] Suharnoko, Hukum Perjanjian – Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), 19.
[42] Ibid., 320.
[43] Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), 58-60.
[44] Ibid., 61.
[45] Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 218.
[46] Ibid., 219.
[47] Yudha Bhakti Ardhiwisata, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), 55.
[48] Ibid., 56.
[49] Ibid., 59.
[50] Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., 79.
[51] Ibid., 81.
[52] P.L. Wery:  Hoofzaken van het verzekeringsrecht (defeter: kluwer B. V., 1984), 7.
[53] Ibid., 8.
[54] Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, (Yogyakarta: BPFE, 1995), 43.
[55] Ibid., 44.
[56] Ibid., 45.
[57] Abdulkadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, cetakan kedua, (Bandung: Alumni, 1983), 49.
[58] Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., 49.
[59] Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., 50.
[60] Ibid., 51.
[61] Ibid., 52.
[62] Ibid., 53.

PENAFSIRAN PERJANJIAN POLIS MARINE CARGO INSURANCE DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan Majelis Artibrase Ad-Hoc Dalam Perkara Klaim Asuransi Antara PT Prima Multi Artha Melawan PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk)

Oleh : FARHAN SYATHIR, S.H. UNIVERSITAS TARUMANEGARA 2014 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sejak hukum memb...